Thursday 24 April 2014

Buku Harian Rindah (1)

Awal Minggu Ke-4 April 2014

Sudah? Kau hanya mengatakan itu saja, lantas pergi?

Kau tahu, aku sangat senang dapat melihatmu. Kau datang sesuai janjimu. Kau membawakanku satu buket bunga, berisi amarilis dan berjumlah tujuh tangkai. Ketujuhnya berwarna putih. Dari kejauhan, kukira kau membawa bunga lili putih. Aku sangat senang melihatnya. Namun, ternyata kau membawakanku amarilis putih bersih yang sangat kusuka dan ini membuatku lebih dari sekadar sangat senang.  Siapa yang menyangka bahwa kau masih mengingat bunga kesukaanku? Selalu ada hal yang menarik dari seorang jenius memang. Aku akan menyimpan bunga-bunga itu dengan baik. Semoga dia dapat bertahan lama, lebih lama dari sekadar "selamanya".

Dewa, apakah aku pernah bercerita padamu bahwa setiap bunga di dunia ini memiliki arti? Atau malah, aku pernah menceritakan padamu bagaimana awal mula kelahiran bunga amarilis berdasarkan mitologi Yunani? Aku penasaran, apakah hal-hal semacam ini cukup penting untuk kau ketahui. Namun, mungkinkah kau tahu mengapa aku menyukai bunga ini? Ini karena aku merasa aku terlalu mirip dengan si dewi dalam mitologi tersebut, yang menjelma menjadi bunga ini, meskipun aku tidak ingin memiliki akhir hidup yang sama dengannya. Aku tidak ingin menusuk jantung hatiku sendiri untuk membuat satu-satunya orang, yang mengisinya, mengisi hati ini, menyadari betapa besarnya kasih dan cinta untuknya, yang telah dia jaga dengan susah payah dalam diamnya suara, dalam dalamnya tatapan, dalam dinginnya perhatian.

Meski kau telah menepati janjimu untuk datang, tapi aku tidak merasakan kehadiranmu sepenuhnya ada bersamaku, wahai Dewa. Aku dapat membaca senyummu, senyum yang kau berikan merupakan senyuman yang berhiaskan isyarat kasihan. Aku dapat membaca kerutan dahimu, kerutan yang hanya akan muncul ketika kau menyembunyikan sesuatu. Aku dapat menghirup aroma jaketmu, aroma tidak harum hasil perpaduan antara material-material praktikum dan parfum yang sama, yang kau pakai sejak tujuh tahun lalu, tetapi tidak cukup mampu untuk menutupi aroma kerja kerasmu kali itu. Aku mendengar pembicaraanmu dengan pembimbingmu dalam telepon itu, meskipun kau telah berusaha menyembunyikannya dengan beralasan akan membeli es serut tropicana fruit di kedai Abah Ali. Aku dapat menerjemahkan isyarat matamu, yang hanya memandangku sesekali dalam sepuluh menit, yang terlalu sering menjadikan layar bioskop sebagai lawan bicaramu. Aku dapat membacamu... Aku dapat melakukannya, karena kita sudah saling mengenal selama sepuluh tahun. 

Apakah dia, Dewa ini, semakin bodoh dalam menyembunyikan kegelisahan dan isi pikirannya? Satu-satu kebodohannya adalah dia tidak tahu kalau aku dapat membaca setiap detil tingkahnya.

Aku, merasa sangat berdosa karena membuatmu yang tengah sangat sibuk datang menemuiku. Aku merasa telah menunda kesuksesanmu karena telah meminta satu harimu untuk dihabiskan dengan melakukan hal-hal kekanak-kanakan yang kuminta. Dewa, apakah aku orang yang sangat tidak baik... untukmu? Dewa, maafkan aku.

_________
Rian, apakah aku harus menceritakan setiap hal kepada mereka berdua? Aku masih tidak tahu bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan mereka. Aku tidak yakin mereka akan mengerti. Rian, aku sedang tidak ingin membahas tentang mereka.

Kuha, sepertinya aku memang terlalu bergantung pada Dewa. Suasana hatiku bergantung pada suasana hatinya. Semangatku bergantung pada semangat dan dorongan darinya. Segala hal yang kupilih untuk kujalankan bergantung pada segala hal yang terjadi dan telah dijalankan olehnya. Padahal, aku tidak merasa dia terpengaruh olehku atau dengan kata lain tidak sering terpikirkan aku dalam setiap langkahnya. Aku iri dengannya yang dapat mengendalikan hidupnya sesuai keinginan dan pilihannya. Kukira aku mulai percaya dengan apa katanya, bahwa sukses adalah pilihan. Apakah kebergantungan ini terjadi mungkin karena aku lebih memilih Dewa dibandingkan sukses itu sendiri sehingga aku seperti ini? Kuha, apakah aku memang menyukainya... Uhn, oke... ini baru satu setengah bulan sejak aku memutuskan untuk mengambil keputusan untuk tidak menyukainya, lebih dari suka terhadap kawan?

___________

Hari kunjungan Dewa saat itu, diakhiri dengan tolehan sembilan puluh derajat darinya. Di atas motor besarnya, sebelum dia pulang, sembari memutar arah motornya menuju jalan setapak sempit itu, dia menoleh padaku. Aku menghadiahinya dengan lambaian sampai jumpa. Namun, dia hanya tersenyum dingin dan berkata, "Sudah?!" Kata pertama dan terakhir yang kudengar selama tujuh jam kebersamaan kami berdua di weekend itu. Kemudian, dia mengegas sepeda motornya menjauhiku yang berdiri mematung di tempat sembari mengawasi kepergiannya. 

'Bukankah ini adalah weekend yang sangat dingin?' batinku.

Tiba-tiba, sepeda motornya menghilang dari pandangan dalam tiga detik dan semuanya menjadi gelap.

Aku terbangun di sini, di ruang perawatan rumah sakit di tempat yang tidak tahu ada di mana karena kami berpisah di suatu tempat yang tak kukenali dengan baik karena menurunnya kesadaranku. Ternyata, kesadaranku yang tiba-tiba menghilang, bukan sepeda motor Dewa. Aku mengetik ini segera setelah terbangun. Kata suster, tekanan darahku sangat rendah dan maag kronisku semakin buruk....dan aku tidak bertanya lebih lanjut tentang yang lain, haha. Sekarang dia sedang menyiapkan makanan "spesial" untukku. Aku hanya mampu menulis sampai sini karena aku takut dia segera datang dan memarahiku karena tidak menuruti perkataannya. Uhn...aku yakin sebentar lagi Rindy akan datang karena suster bilang bahwa pihak rumah sakit telah menghubungi pihak keluargaku dan pasti itulah Rindy, karena aku masih belum menyimpan nomor ayah dan ibu. 

Oke, sudah dulu Rian dan Kuha... 
Aku menyayangi kalian! :)

Wednesday 23 April 2014

Ini Sudah Dimulai

Ini sudah benar-benar dimulai, uhn? Setahun sejak itu sudah berlalu, uhn? Masa-masa, di mana siang dan malam akan terbolak-balik. Di mana, bisa jadi, siklus kehidupan dan masa-masa produktif seseorang akan tertukar. Aku hanya dapat memandangi mereka yang tengah tidur berserakan dengan hanya beralaskan karpet berwarna krem tua. Satu, dua, tiga...ah ternyata tujuh orang berhijab yang tidur di hadapanku, ketika aku menuliskan ini. 

Oh iya, ada juga seorang pemuda, adik tingkat yang masih tergolong maba, yang tengah menghadap laptop sembari sesekali berpikir dan memijit-mijit keyboard laptop yang ternyata hasil pinjaman dari adik angkatan yang lain. Dia sedang mengerjakan tugas deadline, katanya. Dua orang pemuda lain, tampak tertidur pulas di teras sempit, di depan rumah perjuangan ini. Oke, mereka memang beralaskan kasur tua, yang mulai mengeras dan menusuk-nusuk punggung, tapi tak cukup terselimuti tubuh mereka, hingga terkadang mereka terlihat bergerak-gerak menggosok-gosok anggota badannya yang dibelai oleh dinginnya angin malam. Ada pula seorang perempuan, adik tingkat tertua, yang tertidur dengan sengaja di ruangan sebelah, katanya dia akan kuliah pukul delapan pagi.

Mereka semua, yang telah kusebutkan tadi, adalah para panitia dari bimbingan belajar yang diselenggarakan paguyuban ini. Yeah, pemandangan ini terakhir kulihat setahun lalu. Manusia-manusia super, yang bertebaran di seluruh sudut rumah perjuangan, yang lelah setelah di hari sebelumnya mereka menjalankan fungsi ganda sebagai seorang mahasiswa yang menuntut ilmu sesuai konsentrasinya masing-masing, juga sebagai agen penebar ilmu dan penyedia fasilitas belajar kepada para peserta bimbingan belajar di rumah perjuangan ini. Fenomena tahunan, uhn?

Hwoaaah... Adik-adik ini, semangat membimbing adik-adik peserta ya. Jikalau di tengah perjalanan kalian merasa lelah, tetiba merasa menepi tanpa disadari, juga mulai bertanya-tanya "Apa yang sebenarnya sedang aku lakukan di sini? Untuk apa sebenarnya aku melakukan ini hingga meninggalkan apa yang seharusnya kuperjuangkan lebih keras dari ini?"...maka ingatlah, nikmatnya buah keikhlasan juga bunga-bunga senyum yang bersemi di wajah-wajah mereka, adik-adik peserta. Ah, ini akan sangat indah dan hangat, jika kau merasakannya dengan hati, bukan hasrat untuk dipuji. Ini akan membekas membahagiakan, jika kau menjalankannya dengan senang hati, bukan sesak hati. Ini akan membuatmu mengenal dan memiliki, lebih banyak keluarga untukmu berbagi, berkisah dan kau ajak untuk berjalan-berlari. 

Waaaah... Selamat berkontribusi, selamat menjalin kebahagiaan yang ternilai oleh materi, selamat memupuk amal untuk bekal akhirta nanti. Selamaaaaat berjuang dan berbagi! :D

Saturday 19 April 2014

Surat? Memo? Entahlah...

Kau jadi mengunjungiku, tidak??? Kenapa tidak menghubungi atau membalas suratku? Balas segeraaaa....

Thursday 17 April 2014

Surat Panjang untuk "Kau yang Berjanji Akan Datang"

Hahahahaha... Apa kau begitu mencemaskanku? Baru sekali ini, kau tidak tampak cool sama sekali. Suratmu terlihat begitu kacau dan cerewet! Kau mengingatkanku pada adikmu, Ambalika. Ngomong-ngomong apa kabarnya? Bagaimana ujian akhirnya? Aku harap dia dapat mengerjakannya dengan baik, lulus dengan nilai yang sempurna sepertimu, dan segera menyusulmu ke UI. Uhn... Aku penasaran, apakah dia masih setia dengan cita-citanya menjadi seorang arsitek. :D

Terima kasih, Dewaaa... Aku merasa begitu diperhatikan. Ternyata, masih ada orang yang perhatian kepadaku, eoh? Aku sangat senang memiliki teman (?) sepertimu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan kau lakukan padaku, jika ternyata apa yang kukatakan dalam suratku yang kemarin adalah bohong. Ahahaha. Aku bohong, Wa! Aku bohong, jika aku bilang bahwa aku tidak sakit. :') 

Baiklah, aku ulangi. Ini bukan hipokondria. Dokter Rizki tidak mungkin salah mendiagnosis karena dia sudah mengangani mungkin ratusan pasien dengan penyakit yang sama denganku. Dia bilang, penyakitku ini masih stadium awal. Artinya, ginjalku belum sepenuhnya gagal bekerja. Dokter Rizki juga memujiku, tepatnya kepekaanku, menyadari tanda-tanda ini dari jauh hari. Jika telat sedikit, ini akan menjadi semakin sulit untuk ditangani. 

Dia mengatakan banyak hal, tapi aku hanya mengingat beberapa. Setidaknya, menurutnya aku masih bisa diselamatkan. Aku masih bisa memperlambat perkembangan penyakitku, jika aku patuh dengan dietku. Dia memberiku beberapa obat dan aku harus meminumnya dengan teratur. Aku harus mengunjunginya setiap minggu untuk memastikan bahwa aku benar-benar menurutinya dan tidak berbuat macam-macam. Dia juga memberiku daftar menu makanan secara detail. Aku tidak boleh lagi makan makanan berlemak terlalu banyak. Artinya, aku tidak bisa makan Jumbo Steak bersamamu lagi, mungkin. Aku juga harus mengatur jam dan asupan giziku. Takaran karbohidratku harus sama di setiap porsi makanku. Buah-buahan pun, tidak semua buah boleh kumakan. Aku tidak boleh makan tomat dan sayur bayam, juga pisang yang sangat aku sukai. Dan masih banyak lagi. Uhn...intinya, kau tidak usah repot-repot mengirimkan list menu diet untukku, seperti katamu. Dokter Rizki dan petugas gizi di sini jauh lebih mengerti dari pada kau. Dan tentu saja aku akan patuh karena aku tidak ingin cepat mati. Aku ingin membuktikan padamu bahwa hidupku memang berharga. Oh, iya... tentang donor itu, aku hanya mencoba cari-cari. Hehe... Mungkin beberapa tahun lagi aku akan memerlukannya. Aku akan segera memberitahukan tentang penyakit ini kepada ayah dan ibu, ketika aku sudah sembuh, Wa. (Kapan, ya? Hahaha)

Aku sudah pindah rumah kontrakan. Aku sekarang kost, Wa. Tidak jauh dari kontrakan yang dulu alias masih dalam kota Bandung. Hanya berjarak sekilometer mungkin? Namun, aku yakin rumah kost-ku yang sekarang jauh lebih dekat dengan kontrakanmu di Depok sana, hahaha. Jadi bisa kau simpulkan kan, Dewa yang jenius, bahwa alasanku untuk pindah bukanlah karena aku ingin berdekatan denganmu, tidak seperti yang kau pikirkan. Jangan-jangan kau sendiri yang mengaharapkan aku mendekatimu? Mengaku sajalah... 

Oia, di rumah kost-ku yang baru ada seorang koki. Aku tidak memilih rumah kost ini sembarangan. Aku sudah berkeliling mencari rumah kost yang dekat dengan kampus dan memilki koki yang mau memasakkan menu dietku dengan tepat takaran dan kandungannya. Hanya kost inilah yang menyediakannya dan menyanggupinya. Aku bersyukur sekali untuk ini. Nama kokinya adalah Pak Rahman. Dia mantan koki di Rumah Sakit Sardjito. Dia memang sudah tidak muda. Usianya sekitar 60 tahunan, kuperkirankan. Namun, dia sangat berpengalaman dalam hal menyiapkan menu makanan penderita penyakit dalam. Masakannya juga sangat enak, meskipun menyesuaikan menu dietku.

Aku tidak ingin membicarakan tugas akhirku dan jangan pernah kau bertanya tentangnya kecuali aku yang menceritakannya sendiri kepadamu. Titik. 

Kyaaaa!!! Seperti yang kukira dari seorang Dewa. Kau sangat keren, Wa. Aku yakin, pembimbingmu akan lebih terkesan lagi jika kau betul-betul telah menyelesaikan prototype-mu. Jika boleh kutahu, apa yang kau ajukan untuk tesismu? Kau membuat apa? Apakah sesuatu yang bagus? Sebuah robot? Hwoaah... Aku tidak sabar untuk melihat karyamu. Aku sangat yakin juga kalau akan lebih hebat dari Pak Danu. Beliau pasti mulai melihat potensimu, makanya dia mengajakmu mengerjakan proyeknya, kan? Kau hebat, Wa. Sungguh! 

Wa, baterai laptopku sudah hampir habis.

Aku berharap kau betul-betul dapat meluangkan waktumu untuk mengunjungiku. Tentu saja ada bioskop di dekat kost-ku. Kau pasti ingin menonton film itu, kan? Sejak kapan kau menyukai film action seperti itu? Namun, baiklah! Ayo menontonnya! Meski aku yakin, kau tidak akan menyukainya dan justru mengritik habis-habisan setiap adegan di dalamnya, seperti biasanya. Oh, iya. Aku tidak menginginkan apa pun. Aku hanya ingin bertemu denganmu. Ini sudah lebih dari cukup untuk mengobati rinduku dan mungkin memperlambat keparahan penyakitku, hahaha. (Bagaimana bisa?)

Tentu saja aku masih ingat padanya. Salammu untuknya...mungkin akan sulit kusampaikan. Sudah hampir lima bulan aku tidak bertemu dengannya. Tentang wisudaku, aku justru berharap kau tidak datang. Aku tidak ingin kau melihatku dengan togaku. Aku tidak ingin dilihat oleh orang lain...dan mungkin masih seperti rencanaku yang dulu, aku tidak ingin ikut merayakan wisuda. Aku benci melihat dan terlibat di antara kerumunan orang banyak. Mungkin, kita bisa menggantinya dengan menghadiri Pesta Kembang Api? Pleasssse, aku sangat ingin  menontonnya bersamamu sebagai ganti kegagalan tahun lalu. 

Hwoaaaah....
Sudah, ya...


Dariku, 

yang mulai jenuh mengerjakan tugas akhirku.

Saya di Paguyuban (disunting dari pos saya sendiri di tumblr)

Ini tahun ke-4 saya di sini, di bumi perkuliahan Universitas Indonesia. Ini tahun ke-4 saya menjadi salah satu warga dari keluarga besar paguyuban Perhimak UI. Dan di tahun ke-4 ini, saya masih saja ingin tahu dan sedikit-sedikit ikut campur dalam salah satu agenda terbesarnya. Ckckck. Parah, ya?

Perhimak UI, siapa yang menyangka saya dapat menjadi bagiannya? Siapa pula yang menyangka jika, pada akhirnya, jalur perjalanan yang saya pilih justru didominasi oleh interaksi yang terjadi dengan warga dan kegiatan di Perhimak UI, dibandingkan dengan teman-teman atau kegiatan di kampus? 

Perhimak UI ini, bisa dibilang merupakan keluarga kedua saya. Segera setelah saya diterima di UI, saya pun menjadi anggota paguyuban, yang ternyata supersibuk dan superbanyak agendanya, ini. Sekarang, saya sudah angkatan senior, angkatan aktif tertua di tahun ini, tapi saya curiga ada yang salah dengan saya karena kesan dewasa sama sekali tidak tampak melekat pada diri saya. Dari segi umur, saya tidak lagi muda. Saya ingat, ketika saya masih mahasiswa baru (2010), saya memandang angkatan tertua saat itu (2007) sebagai angkatan senior yang harus dihormati karena lebih matang usianya, luas pengalamannya, keren pengabdiannya, tinggi ilmunya, dewasa pembawaannya, dan lain-lain. Sayang sekali, hingga saat saya menuliskan ini, saya merasa poin-poin yang saya sebutkan di atas, yang mengindikasikan bahwa saya angkatan senior yang mestinya dapat diteladani oleh adik-adik angkatannya, sama sekali tidak tampak pada saya saat ini. 

Satu-satunya pembawaan saya yang membuat saya tampak dewasa (mungkin?) menurut saya adalah sikap tenang (lebih ke kalem sebenarnya) yang cukup dapat saya kuasai akhir-akhir ini. Namun, pembawaan tenang ini bukanlah pertanda pendewasaan, melainkan karena saya yang semakin "krik" berinteraksi dengan orang lain. Pembawaan saya yang diam (saya memang pendiam) ini justru membuat beberapa adik kelas bingung. Ekspresi muka diam saya memang mengerikan, haha. Mungkin mereka kikuk melihatnya. 

Selisih usia antara saya dan adik-adik angkatan saat ini semakin lebar. Saya semakin merasa bahwa saya tidak memiliki topik atau urusan dengan mereka. Saya bertanya sesekali, menjawab jika dipersilahkan, bicara jika perlu dan sebagainya. Seharusnya, sudah saatnya saya tidak lagi terlalu ingin tahu dan mencampuri urusan mereka jika tidak diminta. Mereka pun pasti bingung, jika ditanyai, dikepoi terus menerus. Hnnn... Andai saya dapat menahan hasrat kepo ini sebaik dia. Toh, setelah saya bertanya dan mendapatkan informasi tentang kendala atau hal yang terjadi di dalamnya, saya hanya dapat menampungnya, memujinya jika memang itu adalah hal yang patut diapresiasi atau memberi dukungan semangat jika ada hal tersendat yang terjadi dalam pelaksanaan suatu kegiatan. 

Saya memang angkatan 2010. Namun, entah mengapa sejak 2011 hingga pertengahan 2013, sejak saya memiliki adik angkatan, saya justru merasa lebih mudah berkomunikasi dengan adik-adik itu. Selain karena sempat adanya kesalahpahaman saya terhadap 2010, saya juga lebih sering berinteraksi dengan para adik tingkat. Mungkin inilah yang membuat saya masih kekanak-kanakan. Sekarang, saya mulai terusik karena mereka, para adik angkatan pun, mulai menyinggung-nyinggung masalah kedewasaan saya yang patut dipertanyakan.

Satu hal yang masih menjadi tanda tanya besar bagi saya saat ini adalah: Meskipun saya sering kepo dengan kegiatan-kegiatannya, bahkan saat tahun ke-3 (tahun lalu) masih mengikuti kepanitiaannya sebagai salah satu PJ, saya masih tidak terlalu mengenal dan dekat dengan para warganya. Di sini saya tetaplah saya yang pendiam dan tidak cocok untuk terlibat dan dilibatkan dalam inti pusaran dan pergerakannya. Saya di Perhimak adalah seorang teknis 70%, tak pandai berbicara sistematis dan tak juga cukup pantas dimintai wejangan (meski sudah senior).

Selama tinggal di Depok ini, saya merasa, porsi yang saya sediakan untuk kuliah dan paguyuban ini hampir sama. Terkadang saya membelot ke paguyuban ketika bosan dengan hal-hal terkait perkuliahan, tetapi terkadang saya menjadikan urusan kuliah untuk kabur dari rapat-rapat paguyuban. Saya adalah orang yang mudah ter-distract oleh hal-hal baru yang menurut saya lebih menyenangkan untuk dijalankan. Inilah mengapa saya sering kali berakhir dengan mencari-cari sesuatu yang bisa dilakukan di paguyuban ini ketika saya sedang bosan dengan kuliah, hingga tanpa sadar saya keasyikan main di paguyuban nyaris lupa atau parahnya malas mengerjakan kewajiban kuliah. Haha... (jangan ditiru). 

Beberapa orang pernah bilang, jika motivasi saya untuk sebegitu sukanya muncul di paguyuban bisa jadi adalah suatu pencitraan diri saya sendiri, agar terlihat baik dan bagus di mata orang-orang Perhimak UI. Ah. Bisa jadi tuh. Mungkin saya terlalu terlihat ingin eksis kali, ya? Haha, sekarang saya tidak peduli apa kata mereka. Saya pernah menjadi angkatan muda di sini dan saya tahu bagaimana rasanya ketika dalam masa-masa sulit dan membutuhkan solusi atau bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, saya sering kepo dan tetiba muncul di berbagai kegiatan. Monggo saja dibilang pengen eksis atau sebagainya. Saya hanya mampu beralasan bahwa saya hanya tidak betul-betul bisa untuk tidak mencari tahu berita tentang Perhimak UI. Selalu saja ada faktor penarik yang membuat saya datang lagi dan datang lagi ke event-event-nya, meskipun pada akhirnya hanya menonton mereka dengan krik. Bisa jadi, saya memang udah terlanjur pengen kepo keterlaluan pada Perhimak. Cinta? Tidak juga. Saya menyadarinya setelah teman sekampus saya mengatakannya. 

Jika ada anggota Perhimak lain yang membaca ini, bisa jadi mereka heran, “Kok bisa ini orang segitunya ke Perhimak UI? Hidup sejahterakah? Nemu cintakah? Dikasih makankah? Atau memang pengen ngeksiskah?”

Saya orangnya memang cukup keras kepala, suka penasaran dan mungkin setia. Meskipun lebih dari sekali dua kali saya merasa kecewa selama berada di Perhimak UI, tetapu selalu ada kenangan akan hal-hal yang menyenangkan yang mampu menghapus kekecewaan tersebut.

Saya sendiri bukan orang yang mudah move on atau jatuh hati. Jika saya suka menyapa atau mendatangi sesuatu, ini berarti bahwa saya memang masih cukup nyaman dengan hal itu. Dalam hal ini adalah Perhimak UI. Meskipun saya akui, hanya beberapa orang di sana yang nyaman dan menyamankan. Meskipun saya tidak yakin, apakah beberapa orang itu memiliki perasaan yang sama dengan saya. Meski pada akhirnya, saya sering mendapati diri saya yang sendirian saja persis orang tak punya visi, luntang-lantung tak punya lawan mengobrol di sana.

Pada akhirnya, kepada dan karena anak-anak Perhimak lah saya berkisah, tertawa, marah, sedih, berkarya, bertamasya, belajar hidup, bertanya dan mungkin bisa jadi jatuh cinta. Memang sih, tidak selalu hanya ada Perhimak UI di kehidupan merantau saya. Namun, tetap saja, Perhimak UI adalah salah satu hal paling berpengaruh dalam hidup saya. Di sini, saya memperoleh kesempatan memimpin dan memandu beberapa orang. Di sini, saya pernah dipercaya mengerjakan tugas besar. Di sini, saya merasa saya pernah dibutuhkan. Di sini pula, saya merasa bahwa saya cukup bermanfaat untuk beberapa orang. 
Terima kasih. :)

Wednesday 16 April 2014

Surat Kejengkelan untuk "Yang Menjengkelkan"

HEH, kau!!!

BLOODY HELL!!! 
Kenapa kau baru memberitahuku sekarang? Bulan lalu katamu? Bulan lalu kau bertemu dokter Rizki? Itu artinya ketika kau menuliskan surat rindu itu, kau sudah menemuinya dan mengetahui penyakitmu, hah? Kenapa kau begitu santai? Kenapa kau malah menulis surat yang berputar-putar seperti itu???

Ke mana kau pindah? Kau datang ke kotaku? Apa kau gila? Sejauh itukah kau mencintaiku? Pikirkan dulu tugas akhirmu dan aku juga akan memikirkan tesisku! Perhatikan kesehatanmu! Jangan berbuat hal yang macam-macam. 

Kau membuatku sulit menuliskan ini. Harus kumulai dari mana ini? Apakah kau bilang kalau kau mulai mencari donor? Golongan darah B, ya. Tidak! Kenapa kau mencari donor? Stadium berapa? Katakan padaku! Aku masih tidak menyangka, ini benar-benar terjadi padamu. Aku masih menganggapmu hanya berhipokondria selama ini. Mungkin kau tersugesti dengan pikiran-pikiran itu hingga tubuhmu menuruti sugesti tersebut. Aku harap ini bukan yang kronis. Oh, Tuhan... Kenapa kau tidak memberitahu orang tuamu? Aku tidak yakin, aku dapat selalu membantumu karena kesibukanku saat ini. Bagaimana jika ada hal buruk yang terjadi padamu dan kau sendirian? Aku tidak bisa membayangkannya lagi. Ah! Golongan darah B, ya? Apakah kau membutuhkannya secepat ini? Bagaimana tentang biayanya? Kau harus memberitahuku jika tabunganmu sudah habis untuk berobat.

Oh iya, aku pernah mendengar kalau orang yang sakit ini harus melakukan diet makanan. Aku akan mencari infonya. Tetangga kontrakanku, anaknya...oh bukan, keponakannya...ah persetan siapanya, juga menderita sakit ini. Dia memiliki menu makan yang diatur dan harus mematuhinya. Aku...masih tidak percaya kau benar-benar... Baiklah!!! Kau tidak boleh naik stadium. Kau harus memperlambatnya! Berjanjilah padaku! Aku akan mengirimkan menu diet itu kepadamu dan kau harus mematuhinya. Aku akan mengirimkan setiap info tentang ini kepadamu dan kau harus mencoba menjalankannya. Satu lagi! Jangan minum obat penahan rasa sakit semacam asam mefenamat terlalu sering karena, menurut dugaanku, dia akan memperparah kondisimu, terutama lambungmu.

Apakah kali ini aku terlalu cerewet? 

Aku jengkel sekali kepadamu. Aku tidak mengerti kenapa kau menganggap hal besar seperti ini seolah-olah sesuatu yang sepele. Oke, selamat kau menang. Namun, apakah kepuasan akan kemenangan itu dapat menyembuhkan penyakitmu? Ingat! Kau ini sekarang adalah seorang perempuan berumur 22 tahun. Ingat, kan? 

Tunggu, 16 Maret lalu, sehari setelah ulang tahunmu, bukankah kita bertemu dan makan bersama? Ini kurang dari sebulan yang lalu, kan? Kau sudah tahu tentang penyakitmu, kan? Kenapa KAU TIDAK BILANG APAPUN padaku??? Hah!!! Kau tidak banyak bicara, selain bercerita tentang hal tidak penting. Apa, ya? Tentang perseteruanmu dengan teman sekampusmu? KAU ini, benar-benar... Kau tidak mau diurusi atau apa, hah?

Oke, jangan lupa kirimkan alamatmu. Weekend ini, sepertinya aku dapat sedikit meluangkan waktuku. Sepertinya aku dapat mengunjungimu. Kuharap di sana ada bioskop yang dekat karena ada satu film yang ingin kutonton. Kau ingin aku membawakanmu apa? 

Uhn... Ngomong-ngomong, selamat! Kau telah membuatku cemas sepanjang hari. Maaf, aku baru membalasnya sore. Baru saja aku kembali dari Semarang. Yeah, kemarin aku memang pergi ke sana dengan Pak Danu (bukan pembimbingku dan kami tidak pergi ke Timur). Dia sangat jenius, Ndah. Aku akan menjadi seperti dia. Semester depan, aku akan menyelesaikan tesisku. Pembimbingku sangat suka dengan judul tesis yang kuajukan. Aku sudah mulai menyusun desain prototype-nya. Hnnn... Aku juga masih menjadi asistennya. Tiga kali dalam seminggu, aku menemaninya mengajar di kelas. Lihat, betapa sibuknya aku yang keren ini, bukan? Jadi, berhentilah berpikir macam-macam tentangku. Aku tidak akan meninggalkan "ini" karena berkatnya lah aku menjadi seperti sekarang ini. Aku juga tidak berniat untuk mengabaikanmu, jika kau mulai berpikir demikian. 

Ndah, kau masih ingat dia, bukan? Bagaimana kabarnya? Apakah dia masih sibuk dengan praktik-praktik lapangannya? Bukankah tahun ini adalah tahun kelulusannya... bersama denganmu? Aku tidak tahu apakah aku dapat menghadiri pesta kelulusan itu. Aku ingin menitip salam untuknya, tapi sepertinya tidak mungkin. Oke, lupakan saja.

Kau mau cerita apa? Berceritalah sesukamu. Mungkin aku akan telat membalasnya, tapi aku pasti membaca semuanya tanpa terlambat. Ingat! Jaga kondisimu. Segera kabari aku, jika terjadi sesuatu.


Dewa.

Tuesday 15 April 2014

Surat Ketidaksabaran untuk "Yang Tidak Bisa Dinanti dengan Kesabaran"

Heh! Apa kau tidak tahu kalau aku sangat menantikan balasan surat darimu? Kau ini jenius, bukan? Tidak mungkin kau tidak mengerti dengan isi suratku, bukan? Apa kau belum membacanya? Atau sengaja tidak ingin membalasnya? Ish! Kali ini aku tidak peduli, kau akan membalas surat-suratku atau tidak. Aku akan terus mengirimimu surat, meski kau tidak pernah menjawabku. Aku hanya memiliki waktu empat puluh menit lagi untuk menulis surat ini. Jadi, aku tidak akan berpanjang lebar seperti biasanya.

Oh, iya sebelum aku memulai bercerita, akun ingin meluruskan isi surat rinduku yang sebelumnya karena kau tak kunjung membalas surat bergambarku. Aku memang merindukanmu, aku sudah sangat jujur. Namun, aku pun sudah sangat jujur ketika bilang bahwa aku tidak menyukaimu dan kau belum masuk standar atau kriteriaku dan aku juga tidak ingin memantaskan diriku untuk memenuhi kriteriamu. Ingat ini baik-baik!

Oke, aku akan mulai bercerita. Aku harap kau tidak kaget ketika membacanya dan sepertinya memang tidak akan kaget. Ini tentang kecurigaanku terhadap tubuhku sendiri, yang pernah kuceritakan padamu, tahun lalu. Bulan lalu, akhirnya aku memberanikan diri menemui dokter Rizki, seperti saranmu...dan ternyata kecurigaanku benar. Aku tidak sedang berhipokondria, selama ini. Hahaha... Kau tidak kaget, bukan? 

Aku berbohong, jika aku berkata: aku tidak sedih. Namun, aku tidak bisa betul-betul bersedih. Kau tahu? Ini sakit, pasti. Namun, entah kenapa aku merasa puas karena dugaanku terbukti. Aku menang dan kau kalah. Aku merasa senang karena kau salah. Seorang jenius bisa salah juga. Hahaha.... Ha... Ha.. Ha... Aku masih belum memberitahukan ini kepada siapa pun, bahkan ke ayah dan ibu. Aku kira, aku masih bisa menahannya hingga hari kelulusan. Tentu saja aku tidak akan berdiam diri. Aku juga sedang mencari-cari orang baik bergolongan darah B yang mau berbagi denganku. Ternyata tidak mudah, hahaha. 

Aku belum tahu seberapa parah kondisiku. Namun, dokter Rizki bilang ini tidak sampai membuatku melakukan hemodialisis. Aku bersyukur untuk ini. 

Hmmm... aku sudah pindah rumah. Aku akan memberitahumu jika kau membalas surat ini. Tempat tinggalku yang sekarang lebih dekat dengan rumah kontrakanmu. 

Oh, iya. Aku juga ingin bercerita beberapa hal lain...tapi ini tergantung dengan balasan suratmu nanti. Aku mulai tidak sabar menanti jawabanmu. Aku mulai tidak sabar berbaik kata dalam surat-suratku kepadamu. Aku akan membuat kata-kata dalam suratku lebih sederhana agar kau tidak lelah membacanya. Aku akan terus bercerita.

Uhn... bagaimana proyekmu? Kudengar dari seseorang kau sedang sangat sibuk dengan proyek di wilayah timur? Di mana? Proyek apa? Waaah...aku senang pembimbingmu begitu baik dan mempercayaimu untuk membantunya dan melibatkanmu dalam proyek-proyeknya. Selamat dan semangat, ya. Aku akan sangat senang jika kau dapat lulus lebih cepat dari orang lain seperti yang kau inginkan. Beritahu aku lebih banyak kabar tentangmu, oke?



Dariku, 


yang tak sabar menanti balasan suratmu dan mengirimi lebih banyak surat lagi untukmu

Thursday 10 April 2014

Permohonan Maaf untuk Telah Mengirimkan SPAM ke Beberapa E-mail Orang

Mohon maaf sebesar-besarnya kepada beberapa puluh orang yang tetiba memperoleh e-mail dari blogger yang berisi pemberitahuan tentang keberadaan blog saya juga me-share link blog saya. Kyaaa!!! Super duper baru tahu kalau ternyata memilih pembaca blog itu sama dengan mengundang mereka via e-mail untuk membaca blog kita. Sekali lagi, saya mohon maaf karena telah bertingkah alay dan tidak jelas yang mengganggu ketenangan e-mail kalian. Ini di luar pengetahuan dan pemahaman saya. :(

Maaf juga kepada **** yang akun e-mailnya saya intip karena masih ter-login (?) di laptop saya sejak mengunduh bukti pembayaran tiket kereta api seminggu yang lalu. Tindakah mengintip tanpa izin itu membuat saya tersadar tentang adanya e-mail undangan atau pemberitahuan untuk membaca blog saya ini. Jadi, terima kasih juga sebenarnya. 

Hwoaaah!!! Bahkan saya mengundang Bapak PA saya untuk membaca blog saya ini, eoh? Malu! Mau ditaruh ke mana muka ini? Semoga kiriman e-mail itu terbaca atau teranggap sebagai SPAM. Aamiin, aamiin, aamiin. Maaf ya, Pak. :(

Oh, selain ****, ada juga ***** yang saya buka e-mailnya (kyaaaa, maaf membobol akun orang lagi) untuk memastikan apakah betul e-mail tersebut dikirimkan ke orang-orang di kontak e-mail saya. Ternyata betul, ***** juga menerimanya. 

Kepada saudari **** dan saudara *****, saya menganjurkan kalian berdua untuk mengganti password akun gmail kalian, jika apa yang di dalamnya tidak ingin diintip oleh saya lagi. Saya juga menghapus e-mail tersebut sebagai respons kaget yang saya berikan ketika melihatnya, tentu saja tanpa sempat meminta izin ke kalian. Gomenasai! ToT

Mohon maaf lagi. Ini sungguh hal yang alay dan memalukan, yang herannya hal-hal seperti sulit sekali untuk terhindarkan dalam perjalanan hidup saya. 


Tertanda, 


Ani, yang betul-betul menyesali perbuatannya.

Wednesday 9 April 2014

Bagaimana Ini: Saya Belum Bisa Move On!

Ini tentang cinta pertama saya, yang saya temukan pada saat kelas IX SMP.

Apa yang dapat saya ceritakan tentangnya? Dia masih muda dan selalu lebih muda dari saya hingga sekarang. Haha, ya iyalah. Parahnya, semakin hari jarak usia antara kita tampak semakin lebar karena dia tak juga tampak menua atau dewasa. Yeah, saya tidak tahu berapa usianya atau kapan dia lahir karena menurut saya itu tidak penting.

Pertama kali melihatnya, dia mengenakan baju oranye cerah. Tingkahnya begitu ceria, penuh semangat dan aura optimis yang tampak tak akan pernah habis. Dia memang cerewet, banyak bicara, mudah berteriak, beberapa hal yang tidak saya suka jika pemilik karakter tersebut adalah seorang laki-laki. Namun, di saat-saat tertentu, di mana sebagian besar orang akan terjatuh dan menyerah untuk menghadapi rintangan yang menghadangnya, dia justru akan berdiri dan melawannya, hingga ditemukan kedamaian.

Dia mudah tersulut amarah, juga melotot dengan ekspresi yang sangat lucu dan menggemaskan. Namun, di saat-saat genting di mana orang pada umumnya akan mudah saling mengatai dan baku hantam demi memperjuangkan kepentingan dan mempertahankan keamanan dirinya sendiri, dia justru akan menahan emosinya tanpa mau menyakiti orang-orang di sekelilingnya.

Dia memang sangat konyol dan tak mengenal rambu-rambu dalam berkata kepada siapa pun, berapa pun umurnya. Dia supel, tanpa merendahkan yang lebih muda, tanpa menjilat kepada yang lebih tua, tanpa menusuk dari belakang... kepada mereka, orang-orang yang telah mempercayainya.

Tingkah dan perilakunya seperti bocah yang terlalu aktif. Ini terbentuk bukan tanpa sebab. Dia yatim piatu sejak lahir, tak pernah disayangi dengan cukup, tak pernah dididik dengan penuh kasih sayang seperti orang lain pada umumnya. Setiap tindakan konyolnya adalah hasil belajar sosialnya, dalam menutupi kesepian hatinya, kerinduan tak tersampaikannya, keterasingan di saat kanak-kanak yang membuatnya bosan dan memicunya untuk menjadi orang yang dapat dilihat orang lain melalui kekuatan dan perbuatannya. Hmm...

Yep! Dia sangat berbakat, kuat dan jenius di saat-saat genting, sebetulnya. Namun, tidak semua orang menyadari kemampuannya. Tingkah kekanak-kanakannya menutupi kekuatan dan pemikirannya yang sangat keren. Meski, pada awalnya, banyak orang yang tidak menyukainya atau sering dibuat jengkel olehnya, tetapi sebenarnya mereka sangat menyukainya. Begitu pula saya...

Bagi saya, dia adalah seorang yang lucu, tak mudah menyerah, cerdas dan keren. Pandai? Tidak. Sabar? Tidak. Emosian? IYA! Namun, bagaimana pun juga dia tetaplah cinta pertama saya. Saya tidak tahu bagaimana kabarnya, sudah seberapa jauh perjalanannya, apakah sudah menemukan orang yang dicarinya selama ini, bagaimana peningkatan kemampuannya, cerita apa yang dimilikinya, dll...karena saya sama sekali tidak pernah mengikuti kabarnya lagi.

Satu yang saya tahu, saya masih mencintainya dan belum bisa bergeser ke yang lain, selain dia, Naruto. Betul sekali, dia adalah tokoh utama anime yang pertama kali saya sukai dalam hidup saya.

Laman Celoteh Ani (catatanseorangani)


  • When I Came Join "Them"
  • Releksi Jumat Kelabu
  • Pujian Itu Lagi
  • Section Leader??? Oh No!
  • MPKT
  • Surprising Day
  • Kamis Datar-datar
  • Penyakit Hati
  • Bu Guru?
  • Ujian
  • Nilai UTS Ke-2
  • I Love Bikun
  • Kenapa Selalu Ini?
  • Namaku Ani
  • My New Friend
  • About Pisces (Cause I'm a Pisces Girl)
  • Nyampah
  • Yaya Yaya Yaya
  • Galau
  • Awal Maret
  • Mamaaaaa...
  • Fakta tentang Saya
  • Selasa, 8 Maret 2011
  • sjsdddssffff
  • Kacau
  • Blog Ini Semakin Parah
  • Kenapa Saya Merasa Hidup Saya Semakin Tidak Jelas Begini?
  • Hari Terakhir di Kebumen
  • Hancur! Hancur! Hancur!
  • Gue dan Bakpao
  • Puskesmas
  • Jumat Berkabung (Ini Judul Udah Gue Gunakan Tiga Kali)
  • Resolusi
  • Catatan Lama
  • What a Friend Said About Me
  • Ani is...
  • Entah Kapan
  • Resume Hari Kamis
  • Sesuatuuuuu...
  • Cerita Anak-anak?
  • Dua Puluh
  • Shocked!
  • Maaf, Mama...
  • :(
  • My Long Holiday
  • Dulu Saat di MBUI
  • Sembilan Belas Nopember 2012
  • Sepuluh Bulan (1)
  • Sepuluh Bulan (2)
  • Disactive
  • Hari Terakhir Ngasdos BI
  • New Year
  • My Fantastic New Year
  • Dedeknya (1)
  • Tentang Bullying di Zaman SMA
  • Tentang Bersyukur
  • Terima Kasih Mas Indra
  • Di Kelas Biostat Dasar
  • Saya Senang
  • Saya Suka, tapi Tidak Suka
  • Nasi(b)
  • Surat Bukti untuk "Kau yang Sulit Mengerti"


    Aku hanya ingin memperlihatkannya sebagai bukti,
    bahwa mentari senja yang perlahan tenggelam di sana juga indah,
    bahwa semilir angin di sana juga memiliki kekhasan wangi,
    bahwa ini adalah keindahan yang berkebalikan,
    dengan yang ada dalam isi pesanmu tempo dulu,
    bahwa apa yang kau katakan tidaklah selalu benar, 
    bahwa logika dan pemikiranmu tidak semestinya dituruti selalu.

    Apakah kau mengerti apa yang ingin kusampaikan?
    Tidak mengerti, bukan?
    Tidak ingat, bukan?

    Baiklah, kali ini hanya ini yang dapat kukirimkan untukmu.
    Bacalah gambar ini dengan sedikit menggunakan hati...


    Dari yang sedang irit berkata-kata

    Sepatu

    Sepatu yang saya maksud di sini adalah sepatu yang judul lagu, yang dinyanyikan oleh Tulus Band, Sepatu. Pertama kali saya mendengar lagu tersebut adalah pada saat Gladi Resik acara puncak UI GTK X, 2 Februari 2014 lalu. Yep, tepat sekali, saya jatuh cinta pada saat pertama kali mendengar lagu ini. Ndilalahnya, saya merekam mereka pada saat menyanyikan lagu ini. 

    Oke, siapa mereka? 
    Mereka adalah....siapa, ya?
    Hadeuh! Geje, kan? 

    Jadi, mereka ini adalah Grup Musik Perhimak UI tahun 2013-2014 yang saya sendiri juga tak tahu nama dagangnya (?), maksudnya nama panggungnya. Grup musik ini terdiri dari tujuh orang, yaitu:

    Tuesday 8 April 2014

    Pesta Kembang Api di Pertengahan Juli

    Nasi(b)

    Ini hampir seminggu sejak kembali ke Depok dan inilah hari-hari di mana saya sangat malas makan, terutama nasi. Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, dan Senin. Jika tak salah ingat, hanya pada hari Kamis dan Sabtu saya makan nasi. Sisanya, saya hanya makan sayur berkuah masakan sendiri: rebusan bayam atau caesim dan sayur campur-campur lainnya, tanpa nasi. Itu pun hanya sekali sehari, ketika menjelang sore. 

    Malamnya? Paling hanya menggoreng 3 potong tempe daun khas kampung halaman yang dibekalkan oleh Mama atau omelet mi atau tidak sama sekali.

    Ke mana perginya kau, wahai nafsu makan?

    Sunday 6 April 2014

    Surat Cinta dari Orang Alay untuk Orang yang Tidak Dikenal (superkocak)

    Ohayou C***** alias Pak D**** ***** ******* J

    Apa kabar? Semoga kerasan belajar **********-nya dan cepet jadi ****** yang disayang ******-nya. Aamiin…

    To the point aja,
    Aku ini bukan lagi sedang nembak karena aku juga tahu itu nggak mungkin sukses, ahaha. Semua tulisan ini hanya bentuk pemberitahuan perasaan soalnya udah dipendam lama (kayak di sinetron, ya? haha). Sebenarnya, Mama juga nggak memperbolehkan anak gadisnya berbuat hal nekad seperti ini… tapiiii….

    Maaf, aku keras kepala karena aku menyukaimu sejak lama.

    Surat Coklat dan Negeri Tadpolean (1)

    Dear Chloe yang menjengkelkan,

    Kau tahu, Chloe? Aku sedang sangat jengkel ketika menulis surat ini.

    Hari Minggu itu, bahkan ketika matahari belum merangkul bumi, aku telah tengah menunggumu di depan stasiun kota. Pada surat yang terakhir, kau mengatakan bahwa kau tidak ingin aku telat menjemputmu, bukan? Aku menepatinya. Kota kecil ini masih berselimut dingin, ketika aku berangkat dari peternakan menaiki kereta kuda ayahku.

    Kau tahu, kan? Hanya kereta itu dan Joice, kuda betina kesayangan ayah yang energetic, yang kupunya untuk berpindah dari rumah ke tempat lain. Sebenarnya, aku hampir meminjam mobil Ford merah milik Nyonya Roweena --tetanggaku yang sangat kaya dan baik-- hanya untuk menjemputmu. Aku tekankan sekali lagi, UNTUK MENJEMPUTMU! 

    Pulanglah Sejenak

    “Mau semangka?”

    “Aku puasa,” jawabnya sekenanya.

    “Oh, afwan. Nggak pulang, Di?” tanyaku.

    “Tidak,” jawabnya singkat.

    “Kenapa?” tanyaku lagi dengan penasaran. Ini aneh. Semua peserta bimbingan belajar yang ada di sini pulang ke kampung halaman untuk merayakan pesta pelepasan. Namun, dia masih di sini, duduk lesehan memangku dan menekuni buku berjudul Sejarah dan Perkembangan Islam di balkon Rumah Belajar.

    “Aku lebih suka meng-khatam-kan buku yang kakak kasih ini daripada membuang enam belas jam waktuku untuk perjalanan pulang,” jawabnya datar tanpa menatap wajahku sedetik pun. Dia aneh, meskipun dia sangat jenius dan selalu menduduki peringkat lima besar dalam Try Out di bimbingan belajar ini. ‘Kamu unik, dik! Tidak udik seperti yang teman-temanmu bilang,’ batinku.

    “Baiklah, teruskan belajarmu, Ardi,” jawabku tak kalah singkat.

    *****

    “Ardi! Selamat ya! Manajemen FE UI, heh? Itu keren sekali,”; “Masya Allah!”; “Hei udik, keren sekali kamu!”; “Ardi barokalloh, selamat ya!”

    Berbagai ucapan selamat dari teman-temannya, sesama peserta bimbel, melayang untuk Ardi. Syukur alhamdulillah, perjuangannya dua bulan merantau jauh lintas pulau untuk fokus belajar di bimbingan belajar ini tidaklah percuma.

    Sekilas aku teringat dua bulan lalu, saat ia mengayuh sebuah sepeda kumbang yang pedal pengayuhnya telah menggundul. Dua puluh kilometer, jarak dari kampungnya ke pelabuhan, dia tempuh tanpa duka di pagi buta untuk menemuiku. Dia membawa tas selempang kecil dengan muatan yang bentuknya lebih terbaca sebagai buku dibandingkan bekal dan pakaian. Di depan mataku, dia menemui seorang nahkoda kapal dan menukarkan sepeda itu dengan empat lembar uang kertas yang tidak dapat kuterka berapa nominalnya. Dia meloloskan selembar uang biru dari kumpulan uang kertas itu dan menyerahkannya kepada petugas kapal feri. Masya Allah, sebesar itu tekadnya kah untuk mampu menembus UI, Rabb? Jika iya, maka teguhkan dan ridhoilah dia. Aamiin.

    “Kak, izinkan aku ikut denganmu ke tanah perjuangan, Depok! Aku hanya punya segini untuk membayar bimbelmu,” Ia mengakhiri kata-katanya seraya menyodorkan tiga lembar uang seratus ribuan. Hatiku tertampar. Pedih. Segera kudorong tangannya dan kuucapkan, “Simpanlah untuk bekalmu nanti di sana. Ibukota tidaklah seramah kampung Minang.”

    Diturunkanlah kedua tangannya lalu ia berkata, “Baiklah, kak. Namun, aku bukan seorang free rider, kak. Terimalah selembar dan sisanya akan kulunasi setelah aku berhasil menembus gerbatama UI.”

    Hatiku bergetar. Kuanggukkan kepalaku dan kuucapkan, “Aku jamin aku akan menerimanya dengan tangan terbuka menengadah ke langit-Nya.” Begitulah ia merelakan satu-satunya miliknya yang berharga untuk menyambung mimpi. Kapal feri pun memecah ombak dan buih.

    Kini, Allah memberinya hadiah yang ia minta dan memang ia butuhkan untuk menggapai cita-citanya.
    “Selamat, Ardi. Jagalah amanah dan pemberian-Nya dengan tetap struggle seperti tempo hari saat sudah di bangku perkuliahan nanti!” ucapku padanya dengan penuh rasa bahagia.

    *****

    “Sudah setahun ya, Ardi? Alhamdulillah, bukan maba lagi, ya?” sapaku saat bertemu dirinya di Rumah
    Belajar tahun ini. Sudah setahun sejak dia tiba di sini sebagai peserta bimbel, tanpa pernah pulang sekali pun ke Minang hingga kini dia menjadi mahasiswa UI.

    “Oh, halo, kak Jun. Kau benar. Sudah selama itu, ya?” balasnya, retoris.

    “Begitulah. Tidak ingin pulang menjenguk ibu dan kedua adikmu?” tanyaku, menajamkah arah pembicaraan.

    “Belum.”

    “Kenapa? Tidak merindukan mereka? Tidak ingin memberi tahu ibumu hasil belajarmu setahun di sini yang berbuah cum laude?” tambahku yang diikuti dengan ekspresi wajah menyuram darinya.

    “Iya. Aku berhasil dan juga gagal,” jawabnya di luar dugaan dan tanpa ada benang merah dengan percakapan sebelumnya. Mengerti kebingunganku, ia pun menambahkan, “Aku abang yang gagal bagi kedua adikku, kak.”

    “Ceritakanlah!” perintahku tanpa merubah nada.

    “Riana, adik pertamaku, dikeluarkan dari sekolah karena… terpergok mencuri oleh gurunya. Sedangkan Dzikra adik keduaku, dia tidak berhasil naik ke kelas 3 SD karena masih tak bisa membaca hingga akhir kelas 2. Aku benar-benar bersalah kepada mereka. Aku abang yang benar-benar gagal dan tak pandai mengajari saudara,” ungkapnya datar. Namun, dapat kulihat matanya berkaca-kaca.

    “Oh iya, kak. Haha, aku pun belum bisa membayar janji dan hutangku tahun lalu padamu. Tunggulah sebulan lagi. Aku akan segera menerima upahku sebagai pengajar privat dan pekerja kontruksi selama liburan ini. Afwan jiddan, kak,” tambahnya lagi dengan diakhiri tundukkan kepala.

    Entah bagaimana aku tak mampu menyela kalimatnya. Ardi ini telah melampaui ketegaran dan perjuangan seorang anak sekaligus ayah sejak kematian ayahnya di umurnya yang belum genap sembilan tahun. Mana mungkin aku membenarkan kegagalan dirinya? Seorang Ardi yang datar dan diam, tak kusangka dia memendam sekian besar beban pikiran.

    “Hei, Ardi. Kau percaya takdir dan rencana Allah bukan? Setiap orang pastilah punya keistimewaan masing-masing. Bukankah kau bercerita bahwa Riana sangat pandai merangkai kata dan bait? Bukankah kau berkata bahwa Dzikra sangat lihai melukis awan dan bukit? Bukanlah salahmu jika Riana menderita kleptomania dan Dzikra disleksia. Allah telah mengatur kompensasi dan komposisi hidup mereka, kau dan aku. Pulanglah. Mereka juga butuh raga dan jiwamu untuk mengarahkan mereka. Bukan hanya kiriman surat, wesel dan uang-uang yang telah kau peroleh dari hasil membanting tulang. Bagilah cerita perjalanan dan perjuanganmu di sini, biarkan berpikir dan memecahkan sendiri apa yang disebut dengan perjuangan dalam segala keterbatasan. Kau belum gagal, kawan!” aku tak pernah berbicara sepanjang ini karena aku belum pernah benar-benar berjuang. Kutarik secarik kertas bergambar dan berlabel penerbangan dari kantong kemejaku. Kusodorkan ke arahnya. Sedetik kemudian Ardi pun melinangkan air mata pertama dalam hidupnya.

    (terinspirasi dari kisah seorang kawan dengan banyak pengubahan)

    _________________________________________________________________________________
    Depok, 15 Juli 2012

    Amaryllis

    Amaryllis

    Bahkan, ketika aku melamun tentang sebuah bintang yang tak kukenal pun, aku sempat teringat akan kau. Aku tidak sedang bicara tentang cinta karena setiap perjumpaan kita bukanlah untuk berkencan mesra. Terakhir kali aku melihatmu, kau tengah menghembuskan napas ke lensa kacamata persegimu, membuatnya berembun, lalu mengelapnya dengan ujung bawah kemejamu yang memang tak pernah kau masukkan dengan rapi. Kau tahu? Karena kau melakukannya aku menjadi seperti ini. Aku membencimu dan ini justru membuatku tidak bisa melupakanmu. Aku muak mengingatmu dan memutuskan untuk tak akan bisa berhenti membencimu sejak saat itu, saat di mana kau membuatku tak mampu bermain piano lagi.
    "Dira? Kau di kamar, sayang?" tiba-tiba terdengar suara lembut dari luar pintu kamar pribadiku. Itu suara ibu. Ibuku yang wajahnya selalu berhiaskan senyuman meski aku tak pernah produktif memberinya hal yang membanggakan. Wajah itu, wajah yang sama, yang sudah sejak lama sekali tak berani kutatap lama-lama karena hanya melirik sekilas saja sudah dapat membuatku menangis seharian. Dan aku tidak boleh menangis, terutama di depannya. Aku tidak ingin melihatnya menangis diam-iam, tangis tanpa suara yang mengiris dan berdurasi jauh lebih lama daripada tangisanku sendiri, serta dapat membunuhku pelan-pelan.
    "Dira... Nadira anak ibu yang cantik. Bubur kacangnya sudah siap. Bagaimana kalau kita makan bersama di balkon kamarmu? Sepertinya pemandangan sore ini sangat asyik untuk dilihat," katanya lembut, tetapi tampak sangat membosankan bagiku. Aku bosan dengan kebaikannya, aku bosan dilayani oleh orang yang seharusnya kini aku layani dan patuhi.
    Ia membuka gorden kamarku, lalu menggeser pintu kaca, mempersilahkan angin-angin senja nan sejuk meniup seantero kamarku yang nyaris tidak lagi tampak hidup sejak dua bulan yang lalu. Samar-samar mentari senja menebarkan sinar jingganya, yang membuat mataku memincing dan menyipit sesekali karena belum siap merespon efek silau yang ditebarkannya. Ibu sudah hampir menuntun kursi rodaku ke luar balkon, saat tiba-tiba aku melihat sosok Nyonya Lily melewati jalan blok, di mana dari sana balkon rumahku dapat terlihat dengan jelas.
    "Ibu! Aku tidak bilang aku ingin makan di sana. Kalau ibu mau mengapa bukan ibu sendiri saja yang makan di sana? Lagipula, aku sangat benci dengan balkon itu. Mereka selalu saja menoleh ke sini setiap melewati jalan itu," ucapku sedikit keras hingga membuat bergetar gelas yang ibu parkir di atas piano putih di kamarku. 
    "Baiklah, nak, jika maumu begitu. Kita makan di sini saja ya," kata ibu lembut dan iakhiri dengan senyuman indah menenangakan yang sampai kapan pun mungkin tak akan pernah bisa kutirukan. Aku malu. Perlahan dapat kurasakan panas mengaliri wajahku. Sepertinya, lagi-lagi aku telah memuntahkan amarah berlebihan untuk hal, yang mungkin menurut orang-orang sangat sepele. Sepele? Ini adalah aib bagiku!
    Aku tak suka mereka memandangku dengan aneh. Aku tak suka mereka membicarakan keadaanku dan membandingkanku dengan aku yang dulu. Aku benci orang-orang yang selalu saja melihatku dengan kasihan, tapi sedetik kemuian membicarakan hal-hal bodoh tentangku yang sudah pasti dikarang bebas karena mereka tidak tahu apa pun tentang apa yang terjadi padaku, tentang penderitaan yang kurasakan dua bulan terakhir ini. Dasar pengecut sakit jiwa! Mereka mengeroyokku dalam diam. Bahkan, Cinderella pun hanya disiksa oleh tiga orang!
    "Dira? Makan dulu, nak? Hari ini Ibu akan menyuapimu, ya. Aaa..."
    Mulutku tak bergeming.
    "Mengapa, Dira?"
    Aku diam. Aku tak tahu mengapa egoku sebesar Gunung Fuji.
    "Dira? Kamu marah pada ibu?" tanyanya. Suaranya melemah. Aku tak berani memandanganya karena aku tahu sekarang matanya sedang berkaca-kaca. Ibu, beri aku waktu.
    "Dira?"
    "Tinggalkan aku, Ibu! Aku bisa makan sendiri! Aku bukan bayi! Dan aku masih punya kaki!" teriakku. Kali ini aku dapat melihat dari sudut mata kananku, air dalam gelas itu bergoyang akibat ulahku, menaikkan suaraku. Begitu pula dengan ibu, bibir dan tangannya gemetaran, meskipun ia menyembunyikannya dengan senyuman dan remasan tangan. 'Ibu maafkan aku, aku tak pernah bermaksud untuk membentakmu. Namun, tolong percayalah bahwa aku bukan orang cacat yang menyedihkan. Aku bisa seperti yang lain!'
    "Baiklah, sayang. Ibu ke dapur dulu, ya." 
    Kau percaya? Hei, kau dasar kacamata kuda! Bahkan ia tersenyum saat aku sudah membentak dan bicara degnan sangat kasar padanya. Ini semua gara-gara kau. Kalau kau tak mematahkan jari-jari tanganku, mungkin ibuku tak akan menderita setiap hari olehku dan oleh tetangga-tetangga menyebalkan itu! Tunggu pembalasanku, kau bocah tengik!
    Aku mengalihkan pandanganku dari pintu kamarku, sembari memastikan ibu betul-betul telah meninggalkan kamarku, menuju sebongkah piano yang terparkir di dekat pintu balkon. Tubuh piano itu tidak lagi tampak putih karena terselimuti oleh debu. Kau memang telah mematahkan jariku, tapi kau tidak bisa mematahkan ambisiku untuk "menang" darimu karena aku memang lebih baik darimu dan satu-satunya yang terbaik di sekolah. Aku tidak akan mati jika aku bermain piano dengan jari-jari kakiku yang cukup panjang ini. Aku akan membuktikan bahwa aku akan selalu lebih baik darimu, Tuan Muda Hide yang memuakkan!

    *****

    Sial! Aku sudah berkali-kali berlatih, tapi aku masih saja belum terbiasa. Aku akan berusaha untuk menekan tuts ini lebih keras, meskipun kelingking kaki kiriku masih terlalu lemah. Jika seperti ini terus aku tidak akan bisa memainkan tempo dengan baik. Tampaknya, aku tidak akan dapat memainkan lagu Chopin dalam sekejap seperti dulu lagi. Ah! Hide! Kau benar-benar harus membayarnya!
    Pergerakanku masih sangat kaku. Aku tidak mungkin mengikuti kontes piano dengan hanya memainkan lagu Twinkle Twinkle. ‘Oke Dira! Kau pasti bisa! Selagi ibu pergi, manfaatkan waktumu dengan sebaik-baiknya untuk berlatih.’ Mungkin aku harus benar-benar memulai dari pemanasan lagi. Jari-jari dan pundakku mulai pegal. Wah! Tak kusangka tangan doraemon ini berguna juga untuk memijit bahu? Tuhan, Kau memang selalu menawan dengan segala kejutan indah-Mu. 
    Tok...tok...tok. Suara pintu? Ibu? Ini gawat, kalau sapai dia tahu apa yang sedang aku lakukan. Di mana? Di mana novel milik bocah sialan itu? Mengapa kamar ini jadi begitu berantakkan? Payah ini! Ibu masih belum boleh tahu tentang ini, sekarang. Di mana novel sialan itu? Nah ketemu kau! Bantu aku mengelabui ibuku. Baca, baca, baca!
    "Dira, ibu masuk."

    *****

    "Kontes piano? Hah! Ibu ingin mereka menertawakanku? Lagipula aku sudah lupa bagaiamana cara bermain piano!" Demi Menara Tokyo! Aku kaget sekali dengan ajakan ibu untuk mengikuti kontes piano. Bagaiamana ibu tahu kalau aku mulai berlatih piano lagi? 
    "Dira..." Ya, ampun! Benarkah ibu sedang menangis? Tuhan, tolong hukum aku. Apakah aku sudah sangat menyakiti hatinya? Maafkan aku Tuhan, aku tak bermaksud melakukan hal buruk kepadanya.
    "Dira. Ibu tidak pernah tahu kalau kau masih sangat menyukai piano. Hiks. Maafkan ibu untuk ketidakpekaan ibu. Hingga kemarin ibu tak sengaja mendengarkan permainan pianomu, sangat cantik. Ibu di belakangmu dan akan selalu mendukungmu. Kau tak perlu mencemaskan apalagi mempedulikan apa kata tetangga, paman, bibi dan kakek. Kejarlah mimpimu, nak," kata ibu masih sambil menangis sesenggukan.
    Apa yang harus kulakukan, Tuhan? Ia pasti sedih kalau tahu tujuanku bermain piano lagi adalah untuk mengalahkan Hide.

    *****
    Bagus! Gerakanku sudah lebih baik! Aku harus menentukan lagu yang tepat dengan kondisiku saat ini. Lagu apa yang tepat untukku dan tidak akan bisa dimainkan oleh Hide? Hide itu... Ia tidak pernah mau memainkan lagu bertempo lambat bukan? Shymphoni 7 Beethoven? Atau Schubert? Mozart? Ia pasti memilih lagu Chopin favoritku! Demi bunga sakura aku belum pernah sebingung ini dalam memilih lagu.
    Halo, Tuhan! Aku mulai terbiasa dengan tangan doraemon dan jari kaki menariku. Biarkan mereka bermain harmonis hingga tiba hari kontes nanti, Tuhan. Hei, bunga amarilis! Kau cerah sekali hari ini. Apakah kau ingin membalas dendam kepada bunga lili di sampingmu karena ia mekar lebih dulu darimu dan sekarang malah mulai keriput dan layu, meninggalkanmu mekar sendirian? Ahaha. Kau terlalu cantik untuk mambalas dendam, amarilis sayang. 
    Amarilis? Amaryllis? Mengapa tak pernah terpikirkan sebelumnya??? Bingo!!! Amaryliis! Hide sangat membenci lagu itu!

    *****

    "Ibu yakin, ibu mendaftarkanku di kontes yang sama dengan kontes yang Hide ikuti?" Ibu mengangguk, matanya memandang ke arah sejumput ilalang kering yang tumbuh di taman yang sedang kami lewati ini. Aneh, ia tidak memandangku saat mengiyakanku. Ah biarlah, aku harus berkonsentrasi pada kontesku.
    Langit hari ini begitu cerah. Biru muda tergelar di mana-mana. Hitam putih tuts piano itu bahkan turut berubah warna menjadi biru dan putih. Sungguh damaianya hati ini. Aku sebenarnya tak ingin menang dari Hide, aku hanya ingin membuatnya merasa bersalah, menangis, meminta maaf dan mengakui kemampuanku di depan banyak orang dan penikmat musik. Aku tahu jika sebenarnya... ia baik. 
    Benar. Ia baik. Namun, mengapa ia tak segera menemuiku setelah kejadian itu? Mengapa ia tidak menolongku saat aku terjatuh dan kedua tanganku terlindas mobil ayahnya? Apakah kita benar-benar tidak pernah berteman? Apakah selama ini ia hanya menganggapku sebagai seorang saingan? Tuan Muda Hide, si Beethoven Jepang? Kalau ia Beethoven maka aku Chopin! Bagaimana mungkin si pemain piano ceroboh yang tidak peka saat dipanggil seperti ia bisa dijuluki Beethoven? Nama julukan itu terlalu baik untuknya.
    Benar juga! Jika kuingat-ingat, ia sangat menyebalkan ketika berhadapan dengan piano. Ia tidak akan menengok ke mana pun, tidak akan tersenyum, tidak merespon ketika kupanggil sekali pun. Apa karena dia sombong? Atau memang benar karena pengaruh scence musik dan konsentrasinya yang sangat baik saat menikmati permainnya sendiri sehingga ia sangat susah untuk berpaling dari piano di hadapannya. Ya, ampun aku harus fokus pada permainanku nanti. Sekarang saatnya senam jari! Pemanasan.
    Ruangan backstage sudah sangat ramai oleh peserta. Aku kembali hidup! Namun, tunggu! Mengapa orang-orang seperti mereka ada di sini? Mereka aneh. Gadis ini, ia hanya memiliki empat jari tangan. Kakak laki-laki itu, ia tak punya kaki? Tempat apa ini? Ibu? Ibuku? Ia tega membuangku ke kontes murahan seperti ini?
    "Ibu, maksud Ibu apa membawaku ke tempat seperti ini? Aku tidak seperti mereka ibu. Aku jenius musik. Aku tidak cacat! Aku hanya tak punya jari gara-gara Hide! Ibu, aku kece..."
    "Hai, Nadira. Ohisashibure desu ne?" suara ini tak asing dan sepertinya asalnya dari belakangku.
    Laki-laki berkacamata hitam? Cuih! Ia datang juga, Hide? Berubah dan semakin bergaya ia sekarang? Kacamata hitam? Digandeng gadis cantik dan sangat muda? Tak kusangka ia berubah sedrastis itu hanya dalam waktu setahun. Ia bahkan tak berhenti tersenyum, seperti ibu. Senyum yang memuakkan. Ya, kalian sama-sama sangat memuakkan.
    "Baik atau buruk kabarku, bukan urusanmu! Kau yang menyuruh ibuku membujukku untuk mengikuti kontes memalukan ini? Cuih! Tak cukup kau menghancurkan mimpiku?" Napasku tersengal. Aku tak mampu menatap wajah ibuku. Entahlah apa yang kulakukan, aku tak tahu apakah aku sedang menuduh, memfitnah atau memotong hati seseorang. Aku benci dibohongi, apalagi oleh ibuku sendiri.
    Sial! Mengapa orang ini tidak meresponku? Setidak penting itu kah pertanyaanku? Apakah ia tak punya hati, sampai-sampai tak tahu caranya meminta maaf padaku? Oke, kalau ini maumu, melihatku disaksikan orang-orang dalam kontes piano untuk penyandang cacat. Oke! Kau tahu, Hide? Hatimu juga cacat! Lalu, mengapa kau tidak mengikuti kontes ini juga?
    "Kontestan selanjutnya, Hide Ninomiya..." suara tepukan tangan dari arah bangku penonton terdengar keras siap menyambut kontestan selanjutnya, yang ternyata adalah Hide.
    "Kakak, sekarang giliranmu tampil," kata gadis cantik yang menggandeng Hide. Ia pun mengantarkan Hide hingga ke atas panggung. Mereka berdua tampak sangat serasi. Apakah mereka akan berduet? Pamer sekali. Namun, gadis itu memanggil Kakak? Ia adik perempuan Hide yang selama ini ia ceritakan? Cantik sekali.
    Nadira! Fokus! Musuh besarmu sedang menebar pesona di atas panggung sebagai kon... kontestan? Ia kontestan? Sandiwara macam apa ini? Sungguh aku tak mengerti lagi mengapa Hide yang sekarang semakin pandai berakting. Ia bukan lagi Hide si kacamata kuda, tapi Hide si tidak tahu malu!
    Gadis itu masih melingkarkan gandengan tangannya di lengan atas Hide. Mereka membungkuk bersama ke  penonton lalu berjalan ke arah tempat duduk. Hide duduk di kursi piano yang telah disediakan oleh panitia, lalu gadis itu meninggalkannya sendiri. Gadis itu...maksudku adiknya itu... tidak bermain dengannya? Mereka tidak berduet? 
    Perlahan, Hide mulai memainkan jarinya, memainkan tuts-tuts piano di hadapannya dan menghasilkan rangkaian nada sangat kukenal. Apa ini? Amaryllis? Hide memainkan Amaryllis? Mengapa? Mengapa ia memainkan lagu yang dibencinya? Mengapa ia tidak lagi membenci lagu yang kusukai? Mengapa ia memainkan lagu yang terakhir kali ibunya mainkan sebagai pengantar tidur untuknya, sebelum mencampakan ia dan adiknya di keesokan paginya? 
    "Hallo, Kak,” sapa gadis yang selalu menggandeng Hide sedari aku bertemu dengannya. “Kau Kak Nadira? Kau teman kakakku, kan?" gadis cantik itu kembali menyapaku. Amaryllis mengalun dengan pasti. Temponya dimainkan dengan lambat, jauh lebih lambat dari tempo asli hasil komposisi Henri Ghys. Setiap nada yang dimainkannya seolah diisi oleh napas pemainnya. Hide memainkan perasaannya. Ia menambahkan banyak sekali bumbu dan hiasan dalam sajian Amaryllis. Sampai-sampai tidak ada sedikit pun celah kekosongan dalam permainannya yang tidak isi dengan perasaannya. Aku terbawa ke dalam permainannya, ke dalam dunia imajinasi yang berhias bunga-bunga dan mentari musim semi, membuatku hampir lupa akan kehadiran gadis cantik yang menyapaku.
    "Iya. Aku Nadira. Kau adiknya?" Aku bertanya balik kepada gadis itu.
    "Iya. Perkenalkan namaku Nagisha. Yoroshiku onegaishimasu," jawabnya dengan sangat manis. Amaryllis masi berbunyi, nada-nadanya seolah berkilau dan menari di batang-batang hitam putih yang tampak ikut meleleh. Hide...
    "Nadira-san... Setahun lalu..." dan kata-katanya itu seketika membuat pandanganku memburam.
    *****
    Dunia menggelap dan kenangan masa lalu terputar kembali. Aku dan Hide baru saja pulang dari sekolah musik. Kami berdua sama-sama dari kelas piano. Sore itu, kami berdua akan menonton konser Ryusuke Honda. Kami hampir terlambat dan aku tidak mau melewatkan satu nada pun dari permainan sang maestro pujaan. Aku berlari di sepanjang jalan menuju tempat konser. Di belakangku, Hide mengejarku dengan kewalahan.
    Aku sudah mencapai tepi jalan raya dan mengantre bersama pejalan kaki yang akan menyeberang lainnya. Hide masih sempoyongan berlari. Tiba-tiba, ia berhenti, lima meter sebelum tempat penyeberangan. Ia melepas kacamatanya, meniupnya lalu ia mengelapnya.
    Aku sangat marah saat itu dan bersiap untuk menarik kerahnya untuk segera bergegas. Namun, tiba-tiba lampu lalu lintas menyala merah. Orang-orang pun berbondong-bondong menyeberang. Aku tidak siap dan tiba-tiba ada seorang bapak berbadan besar yang menabrakku hingga aku jatuh tertelungkup ke arah jalan. Hide masih sibuk mengelap kacamatanya tanpa sadar bahwa aku terjatuh.
    Saat aku akan bangkit, tiba-tiba sebuah sepeda motor menyerempet dan sekali lagi membuatku terjatuh. Naasnya, saat itu ada sebuah mobil yang mulai melaju kembali karena lampu sudah menyala hijau lagi. Aku tak mampu menghindar. Mobil itu menggilas pergelangan tangan kananku dan lengan bawah tangan kiriku. Ban depan dan belakang tanpa kecuali. Lalu semuanya gelap dan aku tidak pernah melihat Hide lagi saat itu.
    Ibu memberitahuku bahwa ayah Hide adalah pengemudi mobil yang menabrakku itu. Beliau merasa sangat bersalah dan selalu rajin menjengukku, meski aku tidak pernah mau menemuainya. Namun tidak dengan Hide. Ia menghilang. Aku sedih kehilangannya dan lama-lama benci, hingga menjadi seperi ini.

    *****
    "Nadira-san. Kamu tidak apa-apa?" suara Nagisha menyadarkanku.
    "Iya. Tidak apa-apa," jawabku singkat.
    "Kakakku... Ia menyusulmu ke rumah sakit, setahun lalu. Ia sangat merasa bersalah dan menyesal. Ia sangat menyayangimu dan menganggapmu sebagai sahabat, Nadira-san," napasku tecekat.
    "Namun, Tuhan berkehendak lain. Sepertinya Ia sedang menguji kekuatan kakak. Motor yang kakak naiki bertabrakan dengan motor lain di tikungan menuju rumah sakit tempatmu dirawat. Ia terseret bersama motornya. Kakak tak menggunakan helm saat itu dan kacamata kakak pecah. Mata kakak... matanya..." Nagisha diam sejenak aku panik, aku menyesal.

    "Mata kanannya tidak terselamatkan sedangkan mata kirinya... ada serpihan kaca spion berukuran sangat kecil yang masuk ke mata kirinya. Akibatnya, ia tidak dapat melihat dengan baik dan ia selalu melihat tujuh bayangan benda dengan mata kirinya. Kata dokter, itu adalah refleksi bayangan yang diakibatkan oleh kaca itu. Kakak tak berani menemuimu. Akhirnya, kakak menyuruh sopir kami untuk berpura-pura menjadi ayah kami dan menjengukmu setiap hari. Sopir itu berpura-pura menjadi orang yang menabrakmu. Ia memberitahukan kabarmu setiap hari ke kakak. Kakak sangat sedih karena Nadira-san... seperti ini. Pendengarannya pun semakin terganggu dan bertambah parah dibandingkan dulu saat sebelum kec..." aku tak bisa membendung air mataku. Ini seperti adegan film. Aku tak bisa lagi diam mendengarkannya.
    "Na... Nagisha-chan, ia sekarang tak bisa mendengar dan sangat menderita dalam melihat? Selama ini, ia mendapat julukan Beethoven Jepang itu, gara-gara pendengarannya yang kurang itu?" Nagisha mengangguk. Aku pun melemas dan terjatuh. Ibu memelukku. Ia menangis, tapi dari ekspresinya, sepertinya ia sudah mengetahui semua ini. Tuhan, aku begitu... berhati jahat. Tuhan... bahagiakan Hide, aku mohon.
    "Hnn... Nagisha-chan, tolong bantu aku!" panggil seorang laki-laki bersuara baritone dari arah panggung. Ternyata Amaryllis telah selesai dimainkan. Hide pun sudah membungkuk ke arah penonton yang dibalas dengan tepukan tangan dan teriakan "Bravo" oleh sebagian dari mereka.
    Aku tak tahan lagi, kutarik diriku dari kejatuhan. Aku berlari menghambur ke arah Hide dan meraih tangannya. Menuntun jemarinya ke arah tuts piano. Kunaikkan kakiku dan bersiap memijit tuts-tuts piano. Kumainkan tiga bar awal Amaryllis. Kuajak ia berduet bersama. Ia menyentuh jemari kakiku dan sudah tentu ia mampu menebak nada-nada yang tengah kumainkan, meskipun ia tidak dapat mendengarkan permainanku.
    "Amaryllis... Nadira, kaukah itu? Kau suka dengan permainanku tadi? Amaryllis untukmu, Nadira. Kau Amaryllisku, Dira. Kau menggantikan ibuku, Amaryllisku yang hilang. Maukah kau memafkanku dan tak menghilang lagi?"
    “Aku yang seharusnya menanyakan itu, Hide. Maukah kau tak bersembunyi dariku lagi? Kau temanku bukan?” tanyaku.
    Dia mengangguk. Kami pun tersenyum bersama diiringi riuh rendah penonton yang turut berkaca-kaca dalam suka. Ini bagaikan mimpi atau adegan dalam film lebih tepatnya... dapat berduet lagi dengannya, sahabatku. Aku tak akan lagi menghilangkan diriku darimu, Hide. Tak akan pernah, selamanya. Aku berjanji, Hide. Maafkan aku membuatmu seperti ini.


    MD: Ide Yang Tersesat

    Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...