Friday 31 October 2014

Wanita Biasa

Hai sayang,
Aku wanita biasa
Penikmat hangatnya senyuman
Pembenci dinginnya pengabaian
Seperti yang kukatakan, aku wanita biasa
Terlalu tidak bisa untuk menjadi luar biasa
Terlalu tersiksa untuk berubah dari hal yang sudah terbiasa
Bolehkah aku menyayangimu dengan cara biasa?
Aku masih yakin, aku wanita biasa
Mengumpati para perayu dan pujangga
Menghindari tawaran dan bahagia yang berlebihan
Dan tetap saja aku terjatuh pada lubang-lubang yang sama
Bolehkah aku memperhatikanmu dari dalam lubang tempatku bersemayam?
Aku bersikeras, aku wanita biasa
Menekankan pisau lipat pada urat takdirku yang biasa
Meneriakkan makian dan tuntutan akan kehidupan yang luar biasa
Dan di sini aku ditampar ironi, mendorongku menjual diri tanpa label harga
Bolehkah aku tetap mengingatmu dengan peranku sebagai wanita biasa?
Aku kira, aku bukan lagi wanita biasa
Penipu, perekayasa romansa
Pendusta, pembolak-balik kata
Pengkhianat, pelanggar janji dan ikrar
Aku kira, aku memang bukan wanita biasa
Lebih rendah dari rendahan
Lebih murah dari murahan
Lebih kecut dari pengecut
Wanita biasa
Bahkan lencana wanita biasa
rasanya begitu berat untuk tersematkan
Sepertinya aku telah menjanda
Bahkan sejak sebelum aku sadar
Bahwa aku adalah seorang wanita

Mungkin

Mungkin kau akan bosan
Pada igauku
Pada sunyiku
Pada gemingku

Mungkin kau akan kabur
Karena dengkurku
Karena posesifku
Karena siksaku

Mungkin kau justru bertahan
Sebab kasihan
Sebab kemanusiaan
Sebab keterpaksaan

Atau mungkin kau mulai menerima
Menggenggam jemariku
Membelai lembut surai hitamku
Mendekapku erat setiap mimpi gelap itu, memotong pelan urat keberaniaku

Namun ternyata
Aku tak punya banyak waktu
Untuk menunggu
Untuk menyambut
Apalagi untuk ber-ba-bi-bu

Aku pun tak berakal
Tak dapat menggapai perumpaan
Tak mampu mengenali perlakuan
Tak biasa membaca bahasa isyarat

Aku tak siap menanggung akibat
Aku tak tahan berkutat dengan kemungkinan
Aku lelah menjadi pengamat di luar pagar
Aku muak melahap angin lewat

Aku akan pergi
Membanting haluanku ke arah yang belum kutahu
Aku akan bersembunyi
Menenggelamkan sunyiku, tawaku, inginku
Aku akan berpura-pura mati
Hingga saat yang tak terukur satuan waktu

Mungkin, hidupku hanya untukku sendiri

Friday 24 October 2014

Jika Kau dapat Mengingat Namaku

Jika kau dapat mengingat namaku nanti,
ingatlah ketika pertama kali aku menjadi ma'mum-mu
ingatlah ketika rerenyahan gerimis dengan jail mengguyur saung
ingatlah ketika kau meniup peluit besi demi sebuah persembahan untuk kami, para pejuang baru nan lugu

Jika kau dapat mengingat namaku nanti,
ingatlah ketika perang di tanah Arab kembali bergejolak,
ingatlah ketika merpati putih pengapit jerami kedamaian berangsur terbang,
ingatlah ketika abu, air dan api di sana tak mampu dibedakan

Jika kau dapat mengingat namaku nanti,
ingatlah ketika dalam gejolak itu,
keluargamu menggelar pentas,
memutihkan nurani yang menggelap,
menyejukkan akal dan menggugah hati untuk membuka mata,
ingatlah ketika itu, aku bersenandung dalam kepungan ayam coklat matang
ingatlah pula, ketika itu kau menunjukkan ibu jemarimu untukku
atas aku, ketidaksengajaanku, mengumpulkan permata yang kau inginkan

Ya....

Jika kau dapat mengingat namaku nanti,
ingatlah bahwa kau begitu berarti,
bagi wanita biasa nan canggung ini,
bagi wanita yang baru mampu berterima kasih kepada Tuhannya sendiri,
bagi wanita yang bersedia berdiri, menanti
akan orang yang belum pernah mengingat namanya dengan pasti

Menanti, menanti sembari memantaskan diri

Jika kau dapat mengingat namaku nanti...

Depok, 11 Desember 2012

Monday 20 October 2014

Festival

Semalam aku bermimpi. Di dalam mimpiku ada kau dan Setia. Kalian sedang bermain dengan kamera di tepi sungai besar, yang airnya setinggi lutut. Di mimpiku itu sedang musim kemarau dan diadakan festival sesuatu yang sangat meriah.

Aku pergi mengunjungi festival itu bersama beberapa orang, yang aku tak yakin siapa mereka. Namun, sebelum mencapai area festival, aku menghentikan langkah karena melihat kalian berdua. Aku ingin menghampiri kalian. Namun, ternyata kita berseberangan. Aku mencari-cari jembatan. Namun, sepertinya tidak ada jembatan di dekat tempat itu. Aku hanya memandang kalian dari kejauhan.

Aku berpikir, bagaimana mungkin di sekitar area festival seperti ini tidak ada jembatan atau apa pun yang menghubungkan daratan yang kupijak dengan daratan di seberang sungai ini, tempat festival berlangsung, juga tempat kalian tengah mengistirahatkan diri. Lalu aku tersadar, festivalnya dilaksanakan di seberang sungai ini. Apakah panitianya sengaja melewatkan soal jembatan ini? Apa mereka tak ingin orang-orang di seberang, seperti aku dan orang-orang yang datang bersamaku, mendatangi festival mereka? Atau mereka lupa? Lupa? Lupa akan hal sekrusial akses ini? Kemudian aku mulai sangsi untuk mendatangi festival tersebut.

Tunggu, orang-orang yang tadi datang bersamaku? Di mana mereka? Sepertinya, mereka pergi meninggalkanku yang tengah memperhatikan kalian berdua dan memikirkan festival serta jembatan. Apakah mereka tetap pergi ke festival? Atau mungkin sudah sampai di sana? Kemudian aku merasakan sesuatu menggoresku, tapi badanku tak terluka. Aku tertunduk. Aku kira aku memikirkan sesuatu, tapi aku tak yakin apakah aku benar-benar memikirkan sesuatu. Aku hanya merasakan nyeri akibat goresan yang tak tampak itu.

Ketika aku memutuskan untuk mengalihkan pikiran, mataku secara reflek membelokkan arah pandangan. Imaji segerombol bocah tertangkap oleh kedua mataku. Tidak! Mereka nyata. Mereka tengah bermain dengan sangat bergembira di hadapanmu, di sungai itu, sungai di antara kalian berdua dan aku. Namun, kalian sepertinya tak tertarik untuk menghiraukan kegiatan mereka. Kalian tetap berbincang akrab, sembari mengelap lensa kamera.

Aku, entah bagaimana, sudah tak lagi tertarik pada kalian. Aku memusatkan perhatian dan pengamatanku pada bocah-bocah yang berbasah-basah di dalam sungai. Tetiba mataku terpaku pada sesosok anak laki-laki yang tampak familiar. Dia tertawa bahagia setiap salah satu rekan bermainnya mengguyurnya dengan air sungai, yang tetap jernih, meskipun saat itu kemarau. Tak butuh waktu lama, aku pun berhasil mengenalinya. Dia adikku. Adik pertamaku.

Tanpa pikir panjang, aku memanggilnya. Aku tidak tahu tindakan reflek macam apa yang telah kulakukan. Panggilan pertamaku tak membuatnya menoleh. Dia belum dengar. Kupanggil lagi dia, lebih keras dan lebih sering. Dia berhenti tertawa dan lebih menegakkan berdirinya. Kini tampak jelas dia bertelanjang dada, tubuh atasnya tak berbaju. Kepalanya celingak-celinguk mencari-cari sumber suaraku. Rekan-rekannya pun bergeming, sesekali turut membantu mencari. Posisinya membelakangiku, pantas dia lama menyadari keberadaanku. Kupanggil dia sekali lagi dan kali ini dia berhasil mendeteksi arah suaraku.

"Hmm," gumamnya seraya mengangkat badannya sendiri dari sungai, menjauhkannya dari rekan-rekan bermainnya. Dia menemuiku, setelah mengambil kaos putih yang diparkirnya di tepi sungai, tepi sungai di mana aku tengah berdiri.

Dia? Dari mana dia memanjat? Cepat sekali? Apakah begitu cara menyeberangi sungai ini? Tak ada jembatan, apakah harus betul-betul ke bawah dan menyeberanginya langsung? Aku menelusuri bibir sungai yang cukup tinggi ini, mencari-cari jalan atau setidaknya tempat landai yang paling mungkin dapat dilalui untuk turun ke sungai. Sial sekali aku tak memperhatikan dengan baik bagaimana tata cara yang dilakukan adikku hingga dia sampai di sini, di hadapanku.

Dia sudah di hadapanku?

Lantas apa yang akan kulakukan padanya sekarang, setelah dia sudah ada di hadapanku? Bahkan aku tidak memiliki alasan untuk memanggilnya. Aku hanya ingin memanggilnya. 

Dia terdiam, sama sepertiku. Kami hanya saling pandang. Dia tak menanyakan apa pun dan aku bersyukur dia tak bertanya.

Kondisi saling diam itu berlangsung sangat lama. Biasanya aku akan sangat bosan ketika terlibat dalam kondisi seperti itu. Namun, kali ini aku menikmatinya. Aku tak bosan, walau hanya berdiri diam dan memandangnya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana dengannya karena wajahnya sama sekali tak menyumbangkan ekspresi.

Aku tak ingin dia bosan dan meninggalkanku. Maka aku mengajaknya berkeliling. Aku sudah tak tertarik pada festival itu atau pada kalian yang bermain kamera tanpa peduli apa yang ada di sekitar kalian. Aku hanya ingin aku berada di dekat adikku. Aku ingin dia mengikutiku, menghiraukanku, meski dia tak bicara apa pun.

Kami melangkah pelan, menikmati setiap hal yang ada di sekitar sungai dan padang rumput hijau yang sedang kami injak-injak itu. Ini seperti senja, tapi aku bahkan tak yakin saat itu sudah mencapai pukul lima. Dia masih diam, aku pun demikian. Kami diam sepanjang perjalanan.

Cukup lama kami berjalan, tapi lelah sama sekali tak terasa menggoda kaki. Kami pun tiba di suatu tempat. Tempat yang saat ini adalah tempat sejarah bagiku.

"Gedung sekolah? Sekolahmu?" tanyanya.

Aku mengangguk. Rasa hangat menjalar di tubuhku. Sepertinya, aku bahagia karena akhirnya dia berbicara.

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Kenapa?" aku berbalik bertanya. Aku bukan bertanya padanya, melainkan pada diriku sendiri. Kenapa aku mengajaknya ke sini? Aku tak punya jawaban untuk ini. Aku tidak tahu. Aku diam tanpa menampakkan kepanikan atau kebingungan dalam mencari jawaban untuknya. Kenapa? Aku pun tidak tahu kenapa tiba-tiba kami bisa sampai di sini. Dan aku pun melarikan diri, menghindari tatapan penasarannya dengan membuang pandanganku ke arah tiang voli.

Dia tidak bertanya lagi. Dia hanya menungguku menjawabnya. Dia percaya aku akan menjawabnya. Ini terlihat dari matanya, yang kulirik lewat ekor mataku. Dia bersabar. Aku terkesan.

Kutepuk bahu kanannya seraya berkata, "Bersihkanlah dirimu dan pakaianmu. Kau tampak kacau setelah bermain di sungai." Hanya kata-kata itu yang meluncur dengan lancar dari mulutku. Entah kupungut dari mana mereka.

Dia mengangguk. Aku membawanya ke taman sekolah, menuju sebuah keran yang berada di tepi kolam ikan di wilayah taman tersebut. Dia mendekati keran itu, menyalakannya, membersihkan kaki, tangan, wajah, dan rambut di kepalanya. Apakah dia adikku yang biasanya? Dia menurutiku dengan mudah, tidak seperti biasanya. Dia tak membantah atau banyak bertanya. Namun, dia kehilangan tawa, seperti tawa yang dilakukannya di sungai. Apa aku tak memahami sesuatu? Apa aku melewatkan banyak hal? Apa aku memang tak mengenalnya?

"Sudah," katanya pasca berbasuh.

"Iya? Kau tampak lebih baik," pujiku jujur.

"Iya. Ini segar. Tapi kenapa?" dia kembali bertanya tentang itu lagi.

Aku tak menjawabnya. Aku masih tidak tahu. Lalu aku mengajaknya pulang.

"Kalau begitu, kita pulang?" tanyaku, retoris.

Dia mengangguk. Kami pun bertolak dari sekolah.

Di tengah perjalanan menuju rumah, tetiba aku teringat akanmu. Aku mulai bertanya-tanya. Apa kau masih di tepi sungai? Apa kau masih berfokus diri pada kamera? Apa kau masih bersama Setia? Atau sudah pulang dan merebahkan diri? Aku penasaran dan memutuskan untuk kembali ke tepi sungai, tempat kalian duduk bersantai.

"Aku masih punya urusan. Kau bisa pulang sendiri?" tanyaku kepada adikku.

"Ya. Aku akan pulang," jawabnya.

"Pastikan sampai rumah dan bertemu dengan mereka," pesanku.

"Ya," jawabnya singkat.

Kami berpisah. Aku berbalik arah, melangkah menuju tepian sungai. Aku sempat menengok ke belakang sesekali, melihat punggungnya menjauh, memastikan dia memilih belokan yang benar, hingga dia tak lagi terlihat.

Aku berjalan sedikit lebih cepat, bahkan semakin cepat, dan kudapati tetiba kakiku setengah berlari. Apa aku sepenasaran itu? Penasaran akan apa?

Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan, tapi saat aku tiba di tempat parkir festival, napasku terengah-engah. Festival? Aku di area festival tanpa perlu menyeberangi sungai?

Aku melihat ke arah Barat, dua puluh meter dari tempatku berdiri. Sungai itu masih ada. Jadi, aku tidak berhalusinasi beberapa saat lalu, saat aku melihat kalian, saat aku tak menemukan jembatan, saat aku putus asa untuk mendatangi festival, saat aku menemukan adikku, dan saat aku berjalan di tepian sungai itu bersamanya. Lalu bagaimana caraku sampai ke festival ini tanpa menyeberangi sungai itu?

Persetan! Mungkin aku telah mengambil jalan memutar tanpa sadar, jalan alternatif yang tak pernah aku tahu keberadaannya selama ini, dan aku menemukannya secara tiba-tiba tanpa aku ingat, bahkan tanpa kau sadari. Apakah aku baru saja mengumpat dan menyumpal umpatan itu sendiri?

Saat aku berpikir tidak penting itu lah, aku melihatmu keluar dari tempat parkir. Kau memacu hati-hati sepeda motormu. Aku senang dapat menemukanmu tepat waktu. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arahmu, tepat menyongsong kau dan sepeda motormu.

Tak kusangka, kau terkaget lantas mengumpat dengan keras, "Sial! Apa kau cari mati, hah?"

Aku diam membatu.

"Awas! Menyingkirlah dari depanku, apa kau sengaja mengumpankan diri?" katamu lagi sembari berteriak.

Aku terperangah. Kau berbeda. 

Orang-orang telah mengalihkan perhatian mereka dari aktivitas mereka --menjelajahi kemegahan festival-- ke arahku yang tengah dimaki, membuatku mengerti apa yang namanya hampir mati. Sayup-sayup aku dapat mendengar mereka berbisik.

'Ada apa?'
'Ada seorang gadis yang hampir tertabrak motor.
'Wah! Pakaian wanita itu aneh sekali!
'Eh, dia tuli ya?'
'Tidak. Mungkin, hanya kaget.'
'Ibu, aku takut. Hiks hiks.'
'Kasihan, gadis itu.'
'Pemuda itu keterlaluan, berteriak seperti itu.'
'Tch! Gadis itu yang salah. Dia sengaja menabrakkan diri. Dasar bodoh.'
'.......'


Dan semakin banyak sekali orang yang sengaja datang untuk menontonku. Mereka membangun opini mereka sembari mengerubungiku. Apa aku tengah diperhatikan? Jadi, beginikah rasanya menjadi pusat perhatian? Jika iya, maka aku tidak suka menjadi pusat perhatian. Apakah mereka tak bisa meninggalkanku dan kembali ke festival? Aku bukanlah festival! Kecuali, mereka benar-benar menganggapku sedang berfestival kematian.

"KAU BEGO, HAH?" kali ini kau meneriakiku kelewatan hingga aku kehilangan kesabaran.

"Kau t...tak me..menge..mengenalku?" tanyaku. Apakah begini caraku mengekspresikan kehilangan kesabaran itu? Namun, benar, aku merasa kita seperti orang asing.

"Mengenal? Dasar aneh! Minggir!" bentakmu, sontak membuatku menepi tanpa melawan. Mendengar jawabanmu dan caramu berteriak padaku, sepertinya kau tak ingat padaku. Atau memang kita sama sekali tidak pernah berkenalan?

Kerumunan di sekelilingku menyepi, tetapi masih terdengar kasak-kusuk dari mereka yang sepertinya topiknya adalah aku. Aku tak peduli dengan mereka, yang aku pikirkan hanya kau yang tak mampu mengingatku. Apa kita benar-benar pernah berkenalan?

Dan begitulah festival mimpi ini berakhir. Aku mendapatkan adikku kembali, tetapi tak mampu dikenali oleh dirimu lagi.

Saturday 11 October 2014

Terpaku

Aku belum mengizinkan diriku diterbangkan oleh angin,
sebab aku gembira menanamkan jiwaku di sini,
meski aku berdusta dan mengkhianati ragaku sendiri,
yang telah lebih dulu pergi,
dan kini ia terjebak setengah diri,
di perbatasan alam nyata dan mimpi

Dua kepala bocah telah kulompati,
detik dan jarak perjalananku tak lagi terasa berarti,
kulaju langkahku tanpa henti,
tetapi bayangku tak jua mengikuti
Haruskah aku berhenti,
dan mulai membangun tenda di sini?

Tatkala mentari mulai menenggelamkan diri,
kehampaan memenjarakanku dalam bui tanpa jeruji,
aku memakukan diri tanpa berniat untuk melarikan diri,
menguping gagak yang berkicau tanpa solmisasi,
memandang ilalang yang menari tanpa emosi,
hingga tetiba rembulan datang mencibir sembari menendang pergi sang mentari

Aku tak ingin meraih gemintang,
tak berhasrat menorehkan jejak di pasir pantai milik seseorang,
tak berniat menancapkan bendera di puncak gemunung untuk disaksikan banyak orang,
tak berdaya untuk melukiskan peta dan merancang menara pencakar angkasa,
dan karenanya aku menderita kelumpuhan tak kasat mata
Aku tak bergerak, kehilangan kendali, bahkan suara untuk memanjatkan pinta

Keterjebakanku, tanpa melaun-laun, telah mematikan sendi dan kesadaran
Aku tak tahu cara mempersatukan raga dan jiwaku yang telah berseberangan alam
Aku tak kuasa memaksa bayanganku menyamai langkah yang telah berlari meninggalkannya
Aku tak mampu memecahkan kehampaan yang memurukkanku dalam kegelapan
Apakah akan ada keajaiban atau setidaknya kesempatan

bagi seseorang yang telah kehilangan keinginan bahkan ingatan akan pencapaian? 

Friday 10 October 2014

Mengapa Amarilis?


Lagu di atas merupakan lagu Amaryllis karya komposer Henri Ghys. Saya memainkannya dengan aplikasi piano pada ponsel saya. Oh iya, mohon maaf jika banyak sekali nada yang meleset karena saya mengulik melodinya semampu saya, hanya dalam beberapa menit. Kemudian segera merekam dan meng-upload-nya ke soundcoud  karena sudah sangat tidak sabar untuk segera menuliskan pos tentang amarilis ini.


Ilustrasi Bunga Ama
Amarilis merupakan nama salah satu spesies bunga, dari suku bakung-bakungan atau dengan kata lain ia masih satu keluarga dengan bunga lili. Nama amarilis diadaptasi dari namanya dalam bahasa inggris, yaitu amaryllis, dan dalam bahasa latin, yaitu Amarillya beladona. Bunga ini memiliki petal berjumlah enam, tiga di bagian dalam dan tiga di bagian luar. Bunga ini dapat bertahan di segala musim dan memiliki warna mencolok yang khas, seperti merah, kuning, putih, dll. Sekilas dia memang sangat mirip dengan bunga lili. Habitat bunga ini adalah di seluruh dunia, terutama Afrika.

Selain itu, berdasarkan kisah mitologi Yunani yang pernah saya baca sekitar dua tahun lalu, Amaryllis merupakan nama seorang dewi atau peri pemalu yang jatuh hati pada seorang pemuda bernama Alteo, ketika pertama kali melihatnya. Namun, niat Amaryllis untuk menyatakan cintanya tak kunjung terwujud karena Alteo ternyata tidak mudah jatuh cinta pada seorang gadis karena dia sangat menyukai bunga melebihi apa pun. Bahkan, pernah suatu ketika Alteo berujar, "Aku hanya akan mencintai gadis yang memberiku sekuntum bunga yang belum pernah kulihat sebelumnya."

Hal ini membuat Amaryllis bimbang, hingga suatu ketika dia meminta nasihat kepada (semacam) dewi cinta. Dewi tersebut menyarankan Amaryllis untuk pergi mengunjungi kediaman Alteo setiap senja dan menampakkan dirinya. Dia juga menyuruh Amaryllis mengambil sebuah panah suci dan menggunakannya untuk memanah jantung dan hatinya sendiri, di setiap malam dalam setiap kunjungannya, dengan harapan Alteo akan memperhatikan kehadirannya. Amaryllis melakukan setiap nasihat tersebut. Pada malam pertama kunjungannya di rumah Alteo, dia berdiri menghadap ke rumah dan memanah dadanya menembus ke dalam jantung dan hatinya. Namun sayangnya, Alteo tidak melihat apa yang dilakukannya. Malam kedua, ketiga, dan seterusnya, Amaryllis selalu melakukan hal yang sama meskipun lambat laun tenaga dan darahnya habis terkuras dan Alteo tak kunjung menyadari tindakan menyedihkannya. 

Hingga malam ketiga puluh pun akhirnya tiba dan dia telah kehabisan segala daya yang ia punya. Tusukan panah di malam ketiga puluh itu membuatnya terluka hebat sehingga darah yang berasal dari tubuhnya menggenang dan merembas masuk ke dalam pintu rumah Alteo. Alteo pun menyadari kemunculan darah tersebut dan bergegas membuka pintu. Ketika pintu terbuka, Alteo mendapati sekuntum bunga asing berwarna merah segar tertanam di depan pintu rumahnya. Bersamaan dengan itu, dia juga melihat sesosok gadis terkulai dengan keadaan yang sangat lemah dan ternyata itu adalah Amaryllis. Hal itu membuat dia tersadar bahwa Amaryllis memperhatikan dan menantinya selama ini. Namun, dia sangat terlambat dalam menyadari semua hal tersebut. Sosok gadis itu mulai memudar dan ini artinya dia akan segera menghilang. Alteo pun mendekati gadis tersebut, memberinya sebuah ciuman yang lembut, ciuman pertama dan terakhir antara mereka berdua. Amaryllis pun tersenyum menyadari pengorbanannya akhirnya membuahkan hasil, meskipun ini sudah sangat terlambat. Dia akhirnya lenyap dan menyisakan bunga merah tadi, yang kini tampak mekar menumbuh lebih besar seiring dengan menghilangnya dirinya. Alteo belum pernah meliihat bunga merah ini sebelumnya, kemudian dia menamainya Amaryllis.

Ini kisah yang dramatis bukan? Saya baru mengetahui kisah ini, setelah bertahun-tahun saya menggunakan nama amarilis tersebut sebagai username saya. Sedikit kaget dan sedih ketika pertama kali membacanya. Namun, saya tidak ingin menghilangkan nama tersebut dari username saya, meskipun berdasarkan mitologi Yunani di atas, bunga bernama amarilis ini memiliki kisah hidup dan perjuangan meraih cinta yang tragis. Kekeraskepalaan saya dalam mempertahankan penggunaan nama amarilis ini sebenarnya disebabkan oleh saya yang sudah terlanjur cinta pada nama tersebut. 

Mungkin, hanya sedikit orang yang tahu apa itu amariils. Dan saya sudah terbiasa menghadapi wajah-wajah bertanya-tanya dari mereka yang baru sekali mendengar nama amarilis dari saya atau menjawab sekenanya pada mereka yang menyempatkan waktu untuk bertanya kepada saya tentang arti nama tersebut. Selama bertahun-tahun, seringkali saya ditanyai tentang amarilis ini. Ada yang bertanya dengan sangat mendalam, ada pula yang bertanya untuk sekadar basa-basi saja. Ada yang saking penasarannya hingga browsing gambar lewat internet, ada pula yang terpuaskan rasa penasarannya dengan hanya diberi jawaban, "Amarilis itu nama bunga," oleh saya. 




Saya pertama kali mengetahui nama amarilis ketika duduk di sekolah dasar, dari sebuah manga (komik) cantik karya Mariko Takeda berjudul AMARILIS. Mungkin Anda pernah membacanya? Saya masih kelas 3 atau 4 SD ketika membacanya, jadi ingatan dan nalar saya masih sangat buruk saat itu. Jika tidak salah ingat dan tidak salah paham, komik ini bercerita tentang seorang gadis bernama "sebut saja Mari-chan" (saya lupa siapa namanya).

Mari-chan merupakan anak bungsu dari lima bersaudara dan anak perempuan satu-satunya di antara mereka berlima. Dia memiliki kakak-kakak laki-laki yang unik-unik dan memiliki sifat yang berbeda satu sama lain. Kakak pertamanya (yang berambut biru panjang) menjadi seorang waria untuk mendalami pekerjaannya demi menghidupi keempat adiknya. Kakak keduanya, saya tidak ingat apa profesinya, tapi bisa jadi dia adalah seorang rocker. Kakak ketiganya adalah sosok berkaca mata dan lagi-lagi saya tidak tahu apa pekerjaannya. Yang terakhir, yaitu kakak keempatnya adalah seorang pelajar, sama seperti Mari-chan. Kakak keempatnya inilah yang paling dekat dengan Mari-chan, meskipun paling jaim dan paling jail terhadapnya. Meski demikian, si kakak keempat ini merupakan salah satu sosok yang paling tahu segala hal, khususnya tentang Mari-chan, dan juga paling sering muncul di dalam komik, setelah si Mari-chan itu sendiri. 

Awalnya, komik ini bercerita tentang kehidupan keluarga Mari-chan dan kakak-kakaknya. Namun, semakin ke tengah cerita saya kecil pun menyadari jika komik ini juga berkisah tentang musik. Mari-chan, sedari kecil dilarang oleh kakak pertamanya untuk bermain bahkan berkenalan dengan musik. Hal ini membuat Mari-chan bertanya-tanya, meskipun dia tetap mematuhi perintah kakaknya tersebut. Pada suatu hari, Mari-chan yang hampir tidak pernah melihat apalagi memainkan alat musik, tertarik untuk mendekati sebuah piano di sekolahnya. Penasaran, dia pun membuka penutupnya dan memencetnya di sembarang nada. Aneh, tetiba dia seperti mendengarkan alunan lagu tertentu dalam imajinasinya dan ia pun menjajal memainkannya dengan piano tersebut. Secara ajaib, dia memainkan sebuah lagu dengan nada yang sama seperti yang didengarnya di dalam imajinasinya. Dia merasa bingung, mengapa dia bisa bermain piano bahkan sebuah lagu, padahal dia tidak pernah menyentuh piano sama sekali. Tanpa dia sadari, aksinya itu teramati oleh teman sekelasnya "sebut saja dia Mayumi-chan". Mayumi-chan kaget karena Mari-chan dapat memainkan lagu itu pada percobaan pertama, padahal dia tahu bahwa Mari-chan tidak pernah mengenal musik sama sekali. Lagu itu berjudul Amarilis. Lagu yang baru berhasil oleh Mayumi-chan setelah berlatih selama satu atau dua bulan lamanya. 

Sejak kejadian itu, Mari-chan dan Mayumi-chan menjadi berteman cukup baik. Mayumi-chan berasal dari keluarga kaya raya yang memiliki rumah mewah dan selalu diantar atau dijemput oleh sopir pribadi. Berbeda dengan Mari-chan yang memang ditakdirkan menjadi anggota keluarganya saat ini, yang meskipun tidak kaya sama sekali, tetapi sangat hangat dan penuh kasih sayang. Hal yang sangat sulit dirasakan oleh Mayumi-chan. Semakin lama pertemanan Mari-chan dan Mayumi-chan semakin dekat dan Mari-chan pun menjadi sering bermain ke rumah Mayumi-chan sepulang sekolah. Mayumi-chan memiliki sebuah piano bersuara merdu di rumahnya dan ini adalah salah satu alasan yang membuat Mari-chan suka ketika berkunjung ke sana. Tidak hanya suka, ternyata Mari-chan memiliki bakat spesial yang misterius di bidang musik, terutama piano. Dia dapat memainkan berbagai lagu dari berbagai komposer dengan berlatih hanya beberapa kali. Hal ini membuat Mayumi-chan sedikit iri. Dia sedih karena dia merasa tidak memiliki bakat bermain piano seperti Mari-chan, padahal ibunya adalah seorang pianis terkenal. 

Suatu ketika, Ibu Mayumi-chan melihat Mari-chan memainkan Amarilis dan dia teringat akan masa lalunya, ketika dia memainkan lagu tersebut untuk calon anak yang sedang dikandungnya. Namun sayangnya, anak tersebut tidak pernah tumbuh besar dalam asuhannya karena menurut dokter dia terlalu lemah untuk bertahan ketika dilahirkan. Jika masih hidup, anak itu akan seumuran dengan Mayumi-chan dan Mari-chan. 

Di akhir cerita, akhirnya terkuak sebuah fakta yang mengejutkan tentang kehidupan Mari-chan berdasarkan keterkaitan petunjuk-petunjuk yang dimunculkan oleh komikusnya dalam komik ini. Mari-chan yang sepanjang hidupnya dilarang bermain musik oleh kakak pertamanya ternyata adalah anak seorang pianis terkenal Jepang, yang tidak lain tidak bukan adalah ibu Mayumi-chan. Kakak pertamanya itu tidak ingin Mari-chan tumbuh menjadi seorang pemusik seperti ibunya, seorang ibu yang menurutnya dulu telah tega menelantarkan anak yang baru saja dilahirkannya. Kakak keempat Mari juga ternyata mengetahui jika ibu Mayumi-chan adalah ibu kandung Mari-chan karena dia melihat saat-saat ketika bayi Mari-chan diberikan kepada kakak pertamanya, di samping sang ibu kandungnya, yang saat itu tengan mengalami tekanan mental. Mayumi-chan sendiri merupakan anak yang diadopsi oleh keluarga tersebut untuk menggantikan Mari-chan, karena pasca menyadari kehilangan bayinya, si ibu kembali mengalami depresi. Fakta ini pun menjelaskan teka-teki dari mana bakat musik Mari yang spesial berasal.

Setelah melalui berbagai kendala dan kejadian, akhirnya Mari pun diperbolehkan untuk bermain musik dan menemui ibu kandungnya oleh kakak pertamanya dan berhasil melakukan konser pianonya yang ditonton oleh semua kakak-kakaknya dan keluarga kandungnya. Ah! Ini adalah komik pertama yang saya baca ketika SD. Komik dengan cerita yang ringan, tetapi sangat berkesan dan tidak akan pernah hilang dari memori saya. Nama Amarilis terngiang-ngiang hingga saya besar dan mengenali berbagai hal. Ketika saya mulai tertarik untuk menulis dan kebingungan dalam memilih nama yang tepat untuk nama pena saya, saya pun memilih nama itu. Nama yang indah dan penuh kenangan masa kecil. Beberapa hari lalu, saya browsing tentang score dan berbagai hal yang berhubungan denganlagu Amarilis seperti yang ada dalam komik Amarilis. Ada berbagai hasil temuan yang diperoleh, tetapi akhirnya saya memutuskan untuk jatuh cinta pada Amaryllis karya Henri Ghys yang nadanya cukup sederhana, tetapi mudah nyantol di telinga. Iseng saya pun mencari atau ngulik melodinya dan merekamnya. 

Jadi, inilah asal muasal saya menggunakan amarilis sebagai username saya.

Thursday 2 October 2014

Owl Brotherhood

Owl Brotherhood?
Apakah frasa itu terlihat sangat aneh? Jika iya, abaikan saja! Hehe. Dua kata itu sebetulnya kata-kata yang spontan terpikirkan untuk memberi nama sebuah grup percakapan Whatsapp yang berisi hanya tiga orang, yaitu saya dan dua orang adik angkatan saya, Rheta dan Roland. Awalnya, grup --yang saya buat secara spontan dan dengan memasukkan mereka berdua secara paksa-- ini, saya beri nama "Alarm" karena memang fungsinya adalah sebagai media untuk meminta bantuan mereka, membangunkan saya di jam-jam tertentu. Yeah, saya memang sangat sulit untuk dibangunkan bahkan oleh alarm sekali pun. Namun, anehnya, saya pasti akan bangun jika mendengar nada panggilan telepon saya berbunyi. Alhasil, saya pun nekad membuat grup tersebut. 

Di awal tindakan geje saya ini, saya merasa sangat tidak enak pastinya, memasukkan dua anak orang, yang ketika itu sudah pulang ke Kebumen, secara paksa ke dalam grup ini, hanya untuk saya repotkan atau membangunkan saya. Saya kira, mereka akan keberatan, apalagi si dedek Roland ini merupakan seorang dedek laki-laki yang agak sulit dimengerti baru saya kenal satu setengah tahun. Kalau Rheta, dia memang sudah sering saya tarik-tarik dalam dunia saya sehingga sepertinya sudah pasrah saja jika saya repotkan. Itulah mengapa saya nekad-nekad saja memasukkan dia, si Rheta. Lagipula dia seorang dedek perempuan yang baik, dan lebih mudah memahami saya yang juga sesama perempuan. *maaf  terkesan feminis, tapi saya memang seorang yang awkward dan bingung dalam berteman dengan lawan jenis*

Namun, ternyata, setelah beberapa hari, mereka berdua tidak mengeluarkan diri dari grup tersebut. Meskipun awalnya, dedek Oland (panggilan saya ke Roland, karena mengucapkan konsonan (R) setelah konsonan (K) terasa sangat aneh, akhirnya saya memutuskan untuk membuang huruf R-nya sesekali ketika memanggilnya) memang terlihat agak terganggu, tapi akhirnya dia tidak memutuskan untuk left dari grup. Bahkan, dia mengganti ikon grup tersebut dengan gambar di atas, yaitu gambar jam berbentuk sekeluarga burung hantu, yang terdiri induk burung hantu dan dua anaknya, yang SANGAAAAAT LUCUUUUU. Tindakannya itu mengilhami saya untuk mengganti nama grup Whatapp tersebut, dari "Alarm" ini menjadi "Owl Brotherhood". Jujur, saya sangat suka dengan gambar jam tersebut, selain memiliki relasi dengan tujuan pembentukkan grup ini, yaitu sebagai alarm, figurnya juga burung hantu, yang entah sejak kapan, sangat saya sukai. 


#Rheta
Nama lengkapnya Rheta Veda  Nugraha. Pertama kali melihat Rheta adalah pada saat SMP. Kami bertiga memang bersekolah di SMP dan SMA yang sama, yaitu SMP dan SMA Negeri 1 Kebumen. Saya langsung hafal dan mudah mengenalinya karena saya sering melihat dia dan Rhea berangkat sekolah bersama saat SMP dan saya kira mereka adalah anak kembar. Namun, ternyata mereka adik kakak yang rumahnya berada di desa yang sama dengan saya, tapi beda RW atau dukuh. Selain itu, dia juga salah satu dari beberapa siswi SMP N 1 Kebumen yang memakai jilbab saat itu. Oh iya, kata Mama saya, ketika kami sama-sama balita, kami pernah hidup bertetangga selama beberapa bulan dan saya pernah bermain bersama Rhea. 

Rheta dan bebungaan di dinding Gunung Prau
Meski saya sudah tahu Rheta sejak SMP, tetapi pertama kali berkenalan dengannya adalah empat tahun kemudian, tepatnya pada saat saya kuliah semester 2, di sini, di Depok, pada saat B3 2011 berlangsung. Sejak saat itulah kami saling bersapa, berbincang, bercanda, dan sebagainya hingga saat kini, karena ternyata lagi-lagi Rheta menjadi adik angkatan saya di UI, bahkan kembali berjodoh belajar di satu fakultas yang sama, yaitu di FKM. Kami pun semakin sering bertemu karena kami tergabung dalam Perhimak UI dan tinggal di asrama yang sama, yaitu asrama UI. 

Rheta bergolongan darah B, sama seperti saya. Sugesti akan kemungkinan kesamaan sifat dan pemikiran akibat kesamaan golongan darah inilah yang mungkin membuat saya sering mendekatinya, selain karena dia memang baik. Dia adalah pendengar yang sabar, pemberi respon yang baik dan tidak mempermasalahkan perbedaan atau pritilan-pritilan tidak penting dari saya yang terkadang membuat orang lain membangun pemikiran tertentu tentang saya. Dia menghargai perbedaan dan menyebutnya sebagai karakteristik dan hak dari setiap individu dalam berekspresi. Semakin lama mengenal Rheta, saya semakin merasa nyaman berteman dengannya, terutama sejak dia berpindah kos ke kosan saya saat ini, Wisma Yellow Orchid. 

Setelah kami satu kosan, saya semakin sering mengajaknya berbicara, makan bersama, jalan-jalan tidak jelas bersama, memaksanya keluar dari kamar untuk mendengarkan ocehan saya hingga shubuh datang, atau mengecenginya dengan seseorang. Meskipun umur kami terpaut satu tahun lebih, tetapi saya menganggapnya seperti teman sebaya, seperti Tiara, Leli, Widya, Ifa, dan Dzakia. Saya heran sebenarnya, mengapa dia dapat sesabar itu dalam menghadapi sifat labil dan kekanak-kanakan saya. Namun, saya sangat bersyukur karena dapat mengenalnya dan berteman dengannya. Darinya, saya belajar tentang kasih sayang dan ketulusan, tentang bagaimana menjadi wanita seharusnya, bagaimana menjadi pendengar yang baik, bagaimana memperlakukan orang lain dengan ikhlas, bagaimana berteman, bagaimana mengekspresikan kebebasan, bagaimana untuk yakin pada diri sendiri, dan bagaimana melakukan banyak hal lain. 


#Roland
Nama lengkapnya Roland Raymond Dino. Sepertinya saya pernah melihat Roland pada saat SMP di SMP N 1 Kebumen karena dulu dia memiliki rambut merah yang lebat, tapi tidak pernah melihatnya pada saat SMA, meskipun kami bersekolah di SMA yang sama. Selisih umur kami berdua adalah dua tahun, saya angkatan 2010 sedangkan dia angkatan 2012. Saya pertama kali berkenalan dengannya pada saat...tidak tahu. Pertama kali saya melihatnya secara sadar, yaitu saat kasti perdana Perhimak UI kepengurusan Jodi, tahun 2012 silam. Pada saat itu, di saat anak-anak angkatan 2012 lain berkenalan, bersapa, atau setidaknya tersenyum saat melihat saya, dia adalah satu-satunya orang yang tidak melakukannya dan lebih memilih tetap bermain kasti atau berbincang dengan orang lain yang sudah dikenalnya. Karena kejadian itulah, saya menganggap Roland sebagai seorang adik angkatan yang sangat sombong dan sebaiknya saya hindari demi kenyamanan hidup saya. Kemudian, berbulan-bulan pun berlalu di semester 5 saya itu dengan sedikit sekali melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan Perhimak UI.

Roland di puncak Gunung Prau
Awal tahun 2013, semester 5 pun berlalu, dan entah bagaimana ceritanya saya sudah kembali ikut-ikutan kegiatan Perhimak UI, yang pada saat itu adalah Kebumen Campuss Fair (KCF) 2013. Di sanalah kali kedua saya bertemu dengan Roland secara sadar. Dia masih saja seperti pada saat kasti, berseliwar-seliwer ke sana-ke sini terlihat mengganggu mata *haduh maaf, menurut saya cowok cool nggak banyak gerak itu lebih keren daripada yang banyak gerak*. Dan KCF berlangsung meriah dan lancar seperti tahun sebelumnya. 

Menjelang siang, tiba-tiba Roland mendekati saya yang sedang lesehan seorang diri di samping stand Perhimak UI, dan bisa jadi inilah perkenalan pertama kami. Dia berkata (dengan bahasa jawa sebetulnya), "Mba Ani, kan? Maaf sebelumnya, soalnya kita belum pernah berkenalan sama sekali sebelumnya, terus tiba-tiba aku mau minta tolong. Aku Roland, 2012, PJ PDD (publikasi, dekorasi, dokumentasi) UI GTK 9. Jadi, kalau misalnya besok persiapan dekor UI GTK dilakukan di rumah mba Ani boleh nggak? Terus, mau minta tolong mba Ani juga buat ikut mbantuin PDD. Mba bisa nggak? Maaf banget agak nggak sopan ini, ya, dadakan banget bilangnya, di saat seperti ini lagi." Saya hanya menjawab, "Oke, boleh-boleh." Dan dia pun pergi setelah mengucapkan terima kasih singkat. Pada saat itu pun, saya masih merasa Roland adalah tipe-tipe cowok menyebalkan yang hanya datang pada saat membutuhkan bantuan saja.

Hingga kemudian, tiba juga waktunya kegiatan PDD dan latihan grup musik Perhimak UI berlangsung di rumah saya (yep, entah bagaimana caranya, tiba-tiba rumah saya seolah-olah jadi beskem perhimak ketiga setelah gazeb alun-alun dan rumah Umam). Pada saat itulah saya sedikit mengubah cara berpikir saya tentang Roland. Dia memang terlihat angkuh, tapi sebetulnya tidak juga. Dia memang berisik, tapi sebetulnya dia cukup inisiatif dan bertanggung jawab. Dia tampak ngeyel dan tidak mendengarkan apa kata orang lain, tapi sebenarnya dia dengar dan mungkin memikirkannya dan diam-diam mempertimbangkan saran dari orang lain. Mungkin, dia terlihat sangat eksis, mengeluyur di sini dan di sana, bicara begini-begitu, lalu tiba-tiba pergi dan kembali dengan membawa atau melakukan sesuatu, dan segelintir tindakan lainnya yang sebagian besar tidak dapat saya mengerti maksudnya, tetapi mungkin sebenarnya dia hanya tidak dapat berdiam diri tanpa melakukan atau mengatakan sesuatu. Uhn...bisa dibilang, hampir semua karakteristik manusia bergolongan darah O ada pada dirinya. 

Sejak saat itu, saya memutuskan bahwa sepertinya saya harus mengubah cara berpikir saya kepada orang-orang. Saya tidak boleh lagi ber-prejudice atau mudah sebal kepada orang lain hanya karena perlakuan tidak baik pada saat bertemu. Yeah, dari pengalaman saya dalam menilainya, saya memperoleh pelajaran untuk tidak menilai orang dari bungkus luarnya. Selain itu, setiap melihatnya, saya selalu teringat akan adik laki-laki saya, Ais (Fariz) yang memiliki sifat yang bertolak belakang dengannya. Mengapa ada anak muda yang begitu pendiam dan hanya suka berkawan dengan komputernya seperti adik saya di saat ada anak muda lain seperti Roland dan teman-temannya? Lalu, saya pun bertekad untuk lebih berusaha mengenali dan mendekati adik kandung saya, seperti halnya saya pernah berusaha mengenali dan mendekatkan diri dengannya atau adik angkatan yang lain. 


Mengapa mereka berdua?
Saya sebetulnya tidak tahu mengapa saya membuat grup Whatsapp itu dan memasukkan mereka berdua ke dalamnya. Hanya saja, semenjak berkenalan dengan mereka, saya merasa saya lebih dapat berekspresi dan menjadi jujur. Entahlah, bagaimana dan apa posisi dan pengaruh saya bagi mereka, menurut mereka berdua atau bahkan menurut orang lain yang pernah melihat kami atau membaca tulisan ini. Namun, bagi saya mereka seperti air sekaligus tempat sampah, yang entah bagaimana caranya mampu menyugesti saya. Dengan aliran airnya yang sengaja saya paksa mengaliri saya setiap kali saya mulai mengering, saya dapat sedikit demi sedikit kembali mengalir dalam sungai kehidupan saya sendiri. Dengan kelapangan hati dan kelogisan pemikiran mereka, saya sering memaksa memanfaatkannya untuk membuang sampah, keluh, kesah, dan pemikiran-pemikiran aneh saya ketika saya mulai bingung ke mana saya seharusnya menumpahkannya. Seringkali saya memperoleh inspirasi, tonjokan, dan kekuatan setelah bercerita dengan mereka. Namun, terkadang kehampaan dan kekesalan juga saya dapatkan tanpa terencana. Apakah hal seperti ini yeng disebut sebuah pertemanan? Atau setidaknya perasaan yang timbul dari menganggap seseorang sebagai teman? Apa pun itu, saya merasa senang mengenal mereka, terlepas dari bagaimana cara mereka manganggap saya. Sejauh ini, saya masih merasa hubungan kami bertiga aneh, di mana perasaan yang saya rasakan sepertinya masihlah berlangsung sepihak. Saya mungkin belum memberikan banyak hal atau bantuan untuk mereka, tetapi sebisa mungkin saya akan menjadi teman atau "apa pun namanya" yang baik ketika mereka butuhkan. Semoga saya dapat menjaga tekad saya ini. 

Saya, Rheta dan Roland
Tentang saya dan Rheta, sepertinya orang lain melihat saya dan dia seperti pertemanan anak perempuan pada umumnya. Namun, sebetulnya saya menganggapnya lebih dari itu. Meskipun, terkadang obrolan kami berakhir dengan tanpa kesimpulan dan penyelesaian, tetapi kenyamanan yang timbul ketika obrolan itu berlangsung merupakan hal berharga yang sangat sulit untuk ditemukan ketika mengobrol dengan orang lain. Meski demikian, lagi-lagi saya tidak tahu bagaimana perasaannya ketika mengobrol dengan saya karena sebenarnya, saya sering merampas waktunya hanya untuk menghabiskannya dengan hal-hal tidak berkualitas dengan saya. Dalam hal ini, saya seperti telah berbuat dzalim kepadanya. Pernah suatu ketika saya bertanya kepadanya apakah saya pernah tersebut dalam doanya dan dia menjawab "ya" dengan tanpa ragu. Saya sangat terharu saat mendengarnya. Tak hanya itu, ternyata dia juga mengingat setiap hal yang saya ceritakan kepadanya, yang menandakan bahwa dia mendengarkan bahkan menyimak dengan baik ketika saya berbicara. Lagi-lagi saya terharu dan merasa terhormat karenanya.

Tentang saya dan Roland, mungkin ada beberapa atau banyak orang, tak terkecuali kekasihnya, yang mengira jika saya memiliki perasaan tertentu, semacam suka atau modus kepadanya. Padahal dari obrolan dan interaksi kami berdua, sudah dapat dipastikan bahwa tidak ada hal yang mengindikasikan kebenaran adanya rasa-rasa semacam itu. Sikap saya terhadap Roland, sama halnya seperti sikap saya ke Ais, alias seperti seorang kakak ke adiknya atau sebaliknya. Mungkin, saya pernah menyebutkan di sini, bahwa saya sangat tidak nyaman ketika berbicara atau berada di samping anak laki-laki karena pada masa lalu kebanyakan pengalaman buruk dan bullying yang terjadi pada saya dilakukan oleh teman laki-laki. Namun, entah mengapa saya merasa tidak lagi se-awkward atau beranggapan seburuk itu setelah beberapa kali saya mengobrol dengan Roland. Mungkin, sifatnya yang seperti itu, cerewet dan supel, meskipun kadang arogan (?) dalam berteman mengubah beberapa cara berpikir saya tentang anak laki-laki. Hal ini membuat saya mengganggap Roland sebagai teman laki-laki pertama saya *padahal adik angkatan -,-*. Oh iya, saya pernah berkata kepadanya, "Maaf ya, dan ingatkan jika apa yang saya lakukan sudah berlebihan dan menimbulkan kesalahpahaman," dan dia hanya menjawab, "Ya. Lagian selama ini kan komunikasi yang terjadi sebagian besar hanya searah." Dan ini menjelaskan banyak hal bukan? :D

Sebenarnya, saya orang yang tidak enakkan atau rikuhan dalam meminta tolong atau menyuruh. Namun, entah mengapa kepada mereka berdua, terkadang saya tega dan nekad mengajak, meminta atau menyuruh mereka melakukan sesuatu, misalnya: ngajak mereka camping atau main ke pantai atau parahnya minta mereka membantu memasukkan output analisis data skripsi saya saat semester lalu. Lebih parahnya lagi, saya memutuskan untuk tidak merampungkan skripsi saya setelah semua hal yang mereka lakukan untuk membantu saya. Jika dipikir-pikir lagi, sepertinya tindakan saya kepada mereka sudah sangat keterlaluan. Saya jadi kasihan sama mereka yang sepertinya sering saya repotkan dan tarik-tarik ke dalam kehidupan saya. 

Ah, tidak tahu lagi... Saya hanya mampu berterima kasih pada Tuhan karena mengizinkan saya mengenal kalian. Terima kasih juga kalian, untuk kesempatan dan kebaikan yang kalian berikan untuk saya. Saya sayang kalian tanpa alasan...



Saya dan Rheta, selfie (dengan kamera saku) di Sarang Burung

Saya dan Rheta, (masih) selfie (dengan kamera saku) di Sarang Burung

Saya dan Roland (masih) di Sarang Burung, dipotret oleh Rheta

Saya dan Roland, selfie (pakai kamera saku Roland) di semak-semak (?)
Oh, sepertinya ini di Telaga Warna, Wonosobo

Rheta dan Roland, di Sarang Burung, dipotret oleh saya

Rheta dan Roland, di Pantai Menganti, dipotret oleh saya


Selfie 1 oleh Roland, dari luar pagar

Selfie 2 oleh saya, dari dalam pagar

Selfie 3 oleh Roland


Di dalam tenda 1 (tenda anak perempuan) saat camping di Sarang Burung

(Masih) Di dalam tenda 1 saat camping di Sarang Burung

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...