Monday 23 May 2016

Suatu Hari di Gudang Buku

Rerindangan pohon, dinginnya bangku semen, dan kotak-kotak kayu pengap yang ragu bergeming... Di antara celah mereka, kulihat seorang anak berjalan, akan menghampiri. Hampir-hampir hilang napasku, henti nadiku, dan hangus akal sehatku dalam setengah detik kala itu. Bukan! Bukan karena serangan jantung atau stroke, melainkan karena terkaget pikiran warasku.

Kuikuti sepasang kaki. Dari balikku, muncul lagi, langkah kaki lain. Dia karibnya. Kami berpapasan, aku berdebar, dia tak ubah raut muka. Kami bertiga saling diam. Kawannya melirik muka, aku terdiam sejenak. Berharap, milirik pula mata manusia di sampingnya. Namun tidak. Seekor kupu-kupu hampir mati di sudut lemari kayu karena menyaksikanku.

Aku malu, lantas beringsut ke dalam gudang buku. Ibu garang memoles muka. Ibu sayu mengukur pengunjung. Jemariku mencari buku tentang penari, sedang mataku melirik ke sana dan ke sini. "Aman untuk menjadi diri sendiri," kataku dalam hati.

Berhenti menoleh, kuperoleh sebuah manuskrip tua. Dia coklat, berbau khas, dan tampak megah. Kubuka lembar pertama, dadaku tertinju kagum. Kubuka halaman terakhir, air mata tanpa permisi berlari mengalir. Aku dan perasaanku, dibolak-balikkan lembaran tua yang tak punya judul diri.

Aku jatuh hati untuk kesejuta kali. Kumantapkan hati menulis tentang ini. Secarik kartu terlampau buruk kutarik dari saku dada. Sehelai kertas nota bekas kugelar di atas meja kusam. Pensil menari, otak bersalto liar tanpa kendali. 'Guruku akan bahagia dengan ini!' teriakku tanpa berbunyi.

Aku selesai dan bersiap mengunjungi para ibu penjaga gudang buku. Pintu tiba-tiba penuh sesak dan sinar mentari terhalang oleh benda berbayang yang tidak normal. Dia. Dia menyeruak. Kepala lebih dulu, lantas tangan menyusul, melambai tanpa gaya, entah kepada siapa. Karibnya muncul, meninggalkannya, tertawa tanpa bahasa. Aku kaku. Hatiku ingin meraih, tapi otak tak jua memberi izin. Jiwaku ingin menghambur, tapi raga tak mampu bergerak barang seinci. Maka aku diam tanpa ekspresi.

Keheningan terpecah oleh sebaris bibirnya yang serupa bulan sabit. Tanganku tak tahu cara berdusta, lantas melambai padanya, girang segirang Amelia. Tersadar, terbaca rasa tak biasa, aku mencoba bertingkah luar biasa. Tak ada daya upaya, kakiku melangkah menyamping persis seekor kepiting dikejar burung ceking. Menuju tikus elektronik, menjaring informasi palsu tetang kupu-kupu hitam putih. Napasku berlari, tempat duduk pun seakan tak mau kompromi. Dia masih menatap, aku pura-pura tak lihat.

Dalam hati aku meminta bantuan. "Oh tolong, kau karibnya, cepatlah datang. Bawa dia pulang. Masukkan dia ke dalam lubang di mana kalian biasa berkubang, di mana di depannya aku terbiasa berpura-pura berlalu-lalang."

Aku heran kepada jaring laba-laba yang berlubang besar di hadapanku. Kupu-kupu hitam putih lolos dari tangkapan. Aku kehabisan akal, lantas hilang tingkah. Dia masih di samping para ibu. Aku tak bernyali untuk mendekat. Gudang buku tiba-tiba berlalat, karenaku yang ternyata mulai membusuk, kehabisan waktu menghimpun nyali, kehabisan energi karena kaki tak henti bergetar penuh ekspresi.

Aku tak bisa pergi. Lantas pura-pura membuka diary. Ibu garang melempar perhatian. Ibu sayu masih sibuk mengukur. Dia hilang! Aku terlonjak senang. Berdiri tanpa hati-hati dan menyenggol tubuh lemari. Bruk! Suara lemari teraniaya manusia terlepas dari manisnya mara bahaya. Ibu garang makin penasaran. Berhenti menebar bedak dan membulatkan mata di balik kacamata segiempat. Aku tersenyum tanpa makna.

Aku mendekat dan menyiapkan manuskrip tua. Secarik kartu terhidang di atasnya. Pulpen masuk saku, nota bekas terselip di pengaitnya. Aku harus bergegas sebelum dia muncul dan membuatku lupa bernapas.

Perkiraanku tak sering salah, akan kucapai si ibu dalam lima langkah. Aku melayang, ringan nian dalam ketergesaan. Namun sial! Jidatku menghantam punggung yang lebar! Aku memeluk lantai dan dia memutar badan. Alangkah kesialan ini begitu penuh bintang-bintang, sang pemilik tubuh mengulurkan tangan. Mataku terbuka dan seketika inginku hilang ingatan. Dia! Dia lagi dengan wajah gelisah dan penuh rasa bersalah.

Aku berdiri tanpa menjabat tangan. Lantas tanpa sadar bertingkah tidak wajar. Si manuskrip tanpa alasan ingin kujejalkan dalam tas tangan. Si ibu garang tahu lantas menyetop laju tanganku.

Aku malu dia melihatku. Aku bertingkah salah tingkah, si ibu mengira aku kleptomania. Sedangkan dia terlihat menahan tawa. Aku memerah dan dia menjadi salah tingkah.

Aku berbalik. Membuka lemari berjudul sastra dan melempar si manuskrip. Aku lupa si guru dan lupa tujuan kunjunganku. Dia bermuka heran, si ibu garang melotot seperti biasanya bahkan si ibu sayu berhenti mengukur. Karibnya datang dari pojok ruang mendekati dia. Dia meminta maaf, aku bersiap angkat bicara.

Karibnya ingin berucap sedangkan dia telah siap mendengar pernyataan. Aku tak rela, maka dengan kecepatan kereta kuda, aku mengambil alih percakapan, "Hai! Namaku Ani. Tidakkah kau mengenalku sejak lama?"

Depok, 24 April 2012

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...