Saturday 28 December 2013

Hari Terakhir Ngasdos BI

Gue sedang mengawasi Ujian Akhir Semester mata kuliah Biostat Intermediet untuk S2, yang PJMA-nya Pak Besral (PA gue juga) sekarang. Tak terasa, satu semester berlalu begitu cepat. Sudah satu semester gue mengasisteni PA gue sendiri dan ini akan segera berakhir.

Hoah!
Awalnya, gue mengira semester ini akan keren karena gue berkesempatan bertemu PA gue setiap minggunya. Namun, dasar coward deh ya, gue ini, bukannya makin deket, makin lama gue malah makin ngumpet setiap ketemu beliau. Hahaha *ketawa miris*. Oke, let it flow... Semester depan gue harus maksimal dan tidak takut menemui beliau. Ganbatte! Hai!!!

Meskipun ini hari terakhir ngasdos BI, tetapi gue berharap, ini bukan kesempatan terakhir gue menjadi asdos. Semoga semester depan gue masih bisa pegang 1 kelas. Kenapa? Ini membuat gue kembali mengingat materi lampau. Gue menikmati kembali belajar dengan gratis dan pastinya informasi yang didapat juga bertambah. Ada banyak hal yang baru yang gue dapat. Gue suka. Hahai.

Yeah, gue sedikit bosan dalam mengawasi kali ini. So, gue nge-blog dengan sangat random seperti ini. Ehehe. :p

Friday 27 December 2013

Simfoni Empat Musim (1)

Ini malam yang sempurna. Besok adalah awal liburan musim dingin dan aku sudah menyusun segunung rencana yang akan kulakukan untuk menghabiskannya. Aku sudah tidak sabar menanti datangnya esok pagi. Mataku sampai-sampai tak mau terpejam. Keduanya menerawang ke langit-langit kamar, samar-samar membayangkan apa saja yang akan aku lakukan besok. Siluet abu-abu dan putih menari-nari di atas hamparan pasir yang tersapu ombak kemilau.

Aku sendirian di rumah saat ini. Mom, Dad, Cedric, dan Naomi tengah menginap di rumah bibi Serena, yang baru saja melahirkan anak laki-laki ketiganya. Mereka tidak curiga kepadaku, ketika aku menolak untuk ikut bersama mereka dengan alasan lutut kiriku, yang dioperasi tahun lalu, sedang sedikit bermasalah. Tentu saja aku mengarangnya karena sebetulnya, selepas operasi itu, kakiku sama sekali tidak pernah sakit lagi. Aku terpaksa berbohong kepada mereka karena hanya itulah satu-satunya cara agar aku dapat bermain dengan tenang.

"Anabeth! Hey, apa kau di rumah?"

'Siapa?' Sepertinya aku tidak mengundang siapa pun untuk datang ke pesta di kebun belakang. Tunggu, sepertinya aku tidak sedang mengadakan sebuah pesta. Aneh. Siapa dia? Aku seperti mengenali suaranya, jika saja tanpa serak.

"Hey! Anabeth! Aku tahu kau di rumah. Tadi sore aku melihat semua keluargamu pergi dengan van coklat milik ayahmu. Pasti mereka akan pergi ke rumah bibi Serena, paling tidak untuk tiga hari. Dan aku yakin pasti kau telah berbohong kepada mereka dengan berkata lututmu bermasalah agar kau diperbolehkan untuk tidak ikut, bukan?" teriak suara yang berasal dari pintu samping itu.

'Sial! Itu pasti Justin!' Bagaimana mungkin aku tidak mengenali suaranya. Ada apa dengan suaranya? Aku harus segera membungkamnya sebelum Mrs. Ross menyadari makna teriakan Justin dan melaporkannya kepada Dad.

"Hey, Beth! Lama sekali, apa kau tak takut kalau Mr. Ross..."

Ckrkk. Suara pintu yang kubuka berhasil membuatnya diam.

"Apa kau tidak bisa sedetik saja membuat mulutmu diam, Just? Sepertinya lain kali aku harus menyumpalnya dengan kaus kaki Naomi. Kau tahu akibatnya, jika Mrs. Ross tahu dan melaporkannya kepada Dad. Aku tidak main-main dengan perkataanku saat itu. Mengerti???" jawabku sewot. Aku sangat sebal dengan sifat kekanak-kanakannya. Tahun ini dia sudah 14 tahun, tapi tingkahnya masih sama seperti lima tahun lalu, ketika kami pertama berkenalan. Kuduga kekanak-kanakkanya inilah yang membuatnya tak pernah sekali pun disukai seorang gadis di sekolah. Ini membuatnya tampak begitu menyebalkan sekaligus memperihatinkan. Oke, aku mulai melantur.

Justin tak begitu mendengarkanku. Sesekali dia menguap lebar dan menggaruk-garuk kaki kirinya --yang kutebak tidak gatal sama sekali-- dengan kaki yang lain. Dia memang selalu seperti itu, sangat kekanak-kanakkan. "Yes, Ma'am! Sudah selesai pidatonya, ibu negara?" lagi-lagi dia mengucapkannya. Dia memang selalu menjawabku dengan kata-kata itu, yang pada akhirnya hanya akan kujawab dengan mengangkat bahu atau memutar bola mataku. Aku mempersilahkannya masuk atau lebih tepatnya dia mendorongku ke samping pintu sehingga dia dapat melompat masuk dengan gerakan yang tidak terlihat lucu sama sekali.

"Hey, dengar! Kau sudah besar bocah! Dan ada apa dengan suaramu? Kau bukan bocah lagi sepertinya? Uhn?" entah kenapa tiba-tiba mewujudkan kekesalanku menjadi kenyataan.

Dia terbelalak dan berhenti melompat-lompat. Satu, dua, tiga detik dan dia pun tertawa terbahak-bahak, "Buahahaha... Tentu saja aku bukan bocah lagi. Menurutmu siapa yang lebih bocah di sini? Aku atau kau, bocah?" jawabnya sambil tertawa mengejek sembari membanggakan suaranya yang kini memang terdengar lebih berat dibandingkan dua bulan lalu.

Aku dapat merasakan panas merayapi pipiku. Memang untuk beberapa hal, aku lebih kekanak-kanakkan daripada dia, jadi... "Tentu saja kau yang lebih bocah karena aku satu tahun lebih tua darimu, bocah!'

"Sepuluh bulan, dua puluh lima hari tepatnya! Itu belum genap satu tahun, Beth!" jawabnya meralat kalkulasiku.

"Yeah, tapi itu sudah beda tahun lahir. Itu sama saja," tentu aku tak mau mengalah.

"Tentu, saja berbeda, Beth. Lagipula, bukankah kita berada di kelas yang sama? Wah! Apa ini artinya? Jika bukan karena aku yang terlalu pintar, pasti karena kau begitu bodoh. Apa kau pernah mengulang kelasmu satu tahun, Beth? Hahahaha..."

"STOP, Justin! Kau mulai mengusik topik ini lagi. Aku tidak suka, INGAT?!! Bertingkahlah sesuai umurmu, Just!" akhirnya emosiku meledak. Sekarang aku yakin, aku dapat membuatnya merasa bersalah karena sekarang dia menundukkan kepalanya. Mungkin saja sekarang matanya berkaca-kaca atau malah mungkin sudah mulai basah? Tiba-tiba, seolah-olah muncul suatu energi dari dalam diriku yang menonjok perasaanku. Apa aku sudah keterlaluan padanya?

Aku mendekatinya, merendahkan tubuhku agar dapat sedikit mengintip wajahnya dan tiba-tiba, "Bahh!!! Yes, ma'am? Ada yang bisa saya bantu?" Dia melompat ke depan, ke arahku, membuatku terkaget dan terjengkang ke belakang. Tentu saja dia hanya tertawa terguling-guling di sofa menyaksikan posisi dan ekspresi wajahku yang tengah memancarkan aura marah, cemas dan terkejut. 'Sial! Aku menyesal mengkhawatirkanmu, Just!'

"Ya! Ada! Tinggalkan aku sendiri, kecuali kau ada urusan denganku atau memberiku sesuatu yang baru!" jawabku akhirnya, begitu acak. Namun, sepertinya, ini berhasil membungkamnya. Kulihat ekspresi wajahnya berubah. Dia sudah berhenti tertawa dan mengalihkan segala fokus perhatiannya pada tangannya yang tengah mengorek-orek satu per satu saku-saku celana longgarnya.

"Aha! Aku punya ini, Beth!" sebuah benda tiga dimensi, berbentuk persegi panjang, tetiba muncul di depan mataku. Aku tak cepat mengenali benda itu. Terlebih karena benda ini terpoles warna silver jernih, dia memantulkan cahaya yang masuk melalui ventilasi pintu kamar Cedric. Silau dan aku membutuhkan setidaknya lima detik untuk mengenalinya dengan baik.

"HARMONIKA!?" teriakku seketika. Kurebut benda itu. Kuputar-putar sembari mengamati setiap detailnya. Aku selalu tertarik dengan setiap alat musik yang dibawanya, begitu pula dengan harmonika ini. Ini pertama kalinya aku melihat dan menyentuh harmonika dengan indraku sendiri. Dia tampak begitu kaku, mengkilat dan misterius.

"Kau suka, Beth?" tanya Justin memotong aktivitasku yang tengah terbengong-bengong mengamati sebuah benda mungil di genggamanku.

"Lumayan," jawabku singkat. Tentu saja aku sangat menyukainya. Aku sangat menyukai setiap benda-benda yang bersuara, bahkan jika benda itu hanyalah atap teras belakang, yang bersuara ketika diterpa reruntuhan hujan, atau teko teh Mom, yang bersiul setiap pagi. Aku sangat menyukai mereka, meskipun Dad sangat tidak suka ketika aku bilang aku menyukai musik.

Aku mengalihkan pandanganku kepada Justin ingin sekali aku mengatakan terima kasih. Aku tidak ingin membuatnya besar kepala dan mungkin yeah, aku terlalu gengsi untuk mengapresiasi seseorang yang lebih muda dariku. Apalagi jika orang itu adalah Justin.

"Sama-sama," kata Justin tiba-tiba.

"Apa? Aku tidak mengatakan apa-apa," protesku.

"Yeah, tapi matamu mengatakan segalanya, Beth!" jawabnya dengan cekikikan.

"Oke, baiklah. Terima kasih, Just!!!" ucapku datar, akhirnya, masih tanpa memandangnya. Seluruh perhatianku seolah kucurahkan untuk benda di tanganku ini.

"Oke, tak usah memaksakan. Ayo mulai rekaman!" katanya sambil mengeluarkan alat perekam.

"Ehh? Jadi, ini bukan untukku?" jawabku, pura-pura kaget.

Entah mengapa justru Justin yang sepertinya menampakkan keterkejutan. Alisnya mengendur, air mukanya menampakkan kesalahtingkahan. "Apa kau sangat mengingkannya, Beth? Maaf aku tak bisa memberikanmu yang ini juga. Aku hanya, yeah... kau tahu, kan? Menerima apa yang diberikan oleh Papa... dan tentu saja meminta tolong darimu untuk memainkannya... dan aku merekamnya... dan menunjukkannya ke Papa ketika dia pulang... dan... "

"Hahaha, iya, boy! Aku hanya beranda, tentu saja! Aku juga tidak mungkin menyimpannya untukku, di rumah ini. Jika Dad menemukannya, bisa berbahaya. Kena kau, Just!" kataku. Geli sekali melihatnya bertingkah lucu seperti itu.

Terkadang aku penasaran, mengapa hidup kami seperti tertukar.

Papa Justin adalah seorang komposer dan pemain musik, dengan spesialisasinya adalah piano. Beliau juga mengajar musik di sebuah universitas di Australia, kalau aku tidak salah ingat. Selain itu, beliau adalah pendiri Four Seasons Orchestra yang pada setiap tahunnya rutin, mengadakan pertunjukan tengah musim, di empat negara berbeda. Papanya mengingkan atau lebih tepatnya menganggap Justin memiliki bakat yang sama dengannya. Namun, ternyata bakat itu tidak diwariskan secara genetik kepada Justin karena dia sama sekali tidak mampu memainkan alat musik apa pun, bahkan untuk sekedar membunyikan solmisasi dengan benar pun dia tidak bisa. Inilah yang membuatnya memintaku untuk memainkan alat-alat musik yang diberikan oleh papanya untuk direkam dan dikirimkan ke papanya.

Lalu bagaimana denganku? Yeah, aku bukan seperti August Rush yang begitu jenius dan dapat membuat dan mengaransemen tanpa sekolah musik, yang dapat memainkan setiap alat musik meski baru pertama kali kujumpai atau menerka nada dengan baik sejak aku masih balita. Aku hanya gadis biasa yang memiliki ketertarikan diam-diam yang luar biasa terhadap musik, tetapi aku memiliki seorang Dad yang sangat tidak menyukai musik bahkan untuk sekadar mengucapkan do-re-mi di depannya saja, aku tak berani. Aku tidak tahu pasti alasan Dad begitu membenci musik dan aku tidak berani menanyakannya. Saat aku dan Cedric seusia Naomi, kami tidak pernah bernyanyi bersama Dad. Dad pasti akan pergi melenyap tanpa jejak ketika salah satu dari kami mulai bernyanyi. Naomi baru berusia 4 tahun. Dia masih belum mengerti dan dia selalu bahagia bernyanyi hanya bersamaku, Cedric atau Mom.

Semenjak kepindahan kami ke sini, tujuh tahun lalu, aku berteman akrab dengan Justin. Dari sinilah aku mengenal dan mencintai musik. Justin begitu mengetahui musik, tapi tidak dengan memainkannya. Dia pandai sekali mengulang apa yang diajarkan papanya, tapi tidak mampu mengaplikasikannya. Alhasil, dia "menggunakanku" selama tiga tahun terakhir untuk memainkan alat-alat musik yang dimilikinya. Aku begitu menikmati "pemintaan bantuannya" dan dia pun begitu menikmati "menggunakanku".

"Beth, terkadang aku penasaran, mengapa hidup kita seperti tertukar," katanya tiba-tiba.

"Hey, kita sudah terlalu sering mengatakannya. Ayo ke "sana"! Aku sudah tidak sabar untuk mencoba memainkan harmonika ini. Ini alat musik tiup pertama yang kau perlihatkan kepadaku, Just," jawabku sembari menuntunnya ke sebuah tempat.

*****
(bersambung)

Tuesday 24 December 2013

:)

Oke, akhirnya harapan itu terkabul. Alhamdulillah... Gue masih diberi kesempatan untuk menemukannya. Kelegaan ini tidak dapat dikatakan dengan kata. Kekhawatiran akan suatu bencana kecil yang selama ini mencabik ketenangan, tidak pernah terbukti kebenarannya. Masihlah sama. Meski terbata-bata, meski diawali dengan kekakuan luar biasa, pada akhirnya, lima menit berharga dapat gue habiskan dengan lumayan biasa. Gue akan meralat segala ketidakmutuan tulisan gue sebelumnya. Gue akan sembunyikan lagi setiap hal yang gue torehkan dengan tidak elegan dan tanpa dipikirkan sampai matang.

23 Desember 2013, di *piiip* adalah pembuktian bahwa apa yang ada ketika dahulu adalah tetaplah sama seperti dahulu. Meski topik tingkat akhir berhasil membekukan kesadaran, tapi celotehan tentang sinema, liburan dan indra cukup mengembangkan kebahagiaan dan kelegaan dalam diri gue. Alhamdulillah... Ini lebih sederhana dari teori yang gue reka kemarin. :)

Semangat!!!
Kita masih berteman... (?)

Monday 23 December 2013

Jika Kau

Jika kau menemukan ini, mungkin kau akan segera tutup mata dan berbalik badan.
Jika kau tak sengaja membaca ini, mungkin kau akan muntah karena bosan.
Jika kau semakin mengenali diriku ini, mungkin kau akan semakin berdakwah di media tetangga.
Jika kau telah mengenalku sebelum melimpahkanku ini, mungkin kau akan segera berpaling mencari yang lain, yang lebih bermartabat.
Jika kau semakin menemukan sisi gelapku, mungkin kau akan semakin menjauhiku, membuatku semakin gelap akanmu dan lama-lama melupakanmu.

Namun, hahaha...
Ini sulit ternyata, melupakanmu tiba-tiba.
Semakin membulatkan tekad, semakin berat langkah yang kuseret dalam perjalanan.
Semakin besar memutuskan untuk tidak mau mengingat, semakin besar pula kecemasan yang bermunculan.

Kukira aku dapat membuat ini kembali hangat, seperti yang telah "waktu" lakukan dalam mengembalikan aku dan si tupai kacamata bulat kembali berteman.
Kukira aku akan cukup mengertimu hanya dengan membaca, satu dua celotehan bermuatanmu.
Kukira aku tidak perlu betul-betul menjauhkan raga, mempertebal dinding pemagar dan berceloteh tanpa batas dengan liar seperti ini.
Kukira aku telah mendapatkan sedikit perhatianmu, sedikit ingatanmu, sedikit spesialisasi darimu.

Namun, ternyata tidak ada.
Ini hanya profesionalitas.
Ini hanya penghormatan dan formalitas.
Ini hanya keceriaan dalam waktu terbatas.
Ini hanya perkiraan, ilusi dan kesalahpahamanku yang melulu melintas.

Perkiraan hanyalah praduga tanpa bukti dan tanda.
Semakin mengira, hanya akan semakin melahirkan tanya.

Semakin dibicarakan, semakin menguras logika, semakin menggerus harga diri.

Di sini, bertingkah macam orang patah hati dan tak mampu menjalankan hidup.
Memang sedikit banyak, kau memenuhi otakku, hingga setidaknya satu dua kali, kau muncul dalam imajinasi alam nyata dan mimpi.
Namun, aku tak sekeras itu, ingin memilikimu, memperoleh sepenuhnya perhatianmu atau mengemis dibalasi suka dari hati.
Meski demikian, aku tak ingin juga komunikasi antara kita berhenti tanpa arti, perjumpaan kita hanya pelarian dari mandat yang mampir dan silaturahmi berakhir karena aku yang terlalu pendir.

Aku mengoreksi diri, sudah pasti.
Aku menghukumi pikir, sesekali.
Aku membodohkan tingkah, tiap waktu.
Namun, pasti lagi dan lagi aku berbuat bodoh terus dan terus dengan cara bodoh, yang oleh orang bodoh pun dianggap bodoh.

Harus bagaimana?
Agar aku mau mengerti,
Agar aku mau mengakhiri,
Agar aku tak lagi menyesatkan diri,
Agar aku tak kecanduan untuk menguntit,
Agar aku dapat memberi pengakuan,
Agar aku berani mengajukan permohonan maaf,
Agar aku memperoleh kehangatan katamu,
Agar aku dan kau dapat berkomunikasi lagi?
Aku harus bagaimana?

Jika kau membaca ini, sebelum kau pergi, sudikah kau memceritahuku yang bodoh, cerewet di tulisan dan tidak tahu malu ini?
Maukah?
Di sini?

Saturday 21 December 2013

Memori :)

Enaknya dari menuliskan kejadian yang kita alami atau bisa dibilang curhat ke dalam buku diary (apa pun) adalah kita dapat dengan mudah terbang lagi ke memori masa lalu yang pastinya berkesan, meski sepahit apapun itu. Maka janganlah berhenti menulis, Ani. Tulisanmu adalah bukti bahwa kau pernah ada! Buatlah prasastimu sendiri, ukir dia dengan kesabaran, lalu poles dia dengan luapan emosi, pikiran dan perasaan hati nurani.

Gue yakin, orang yang rajin menulis memiliki nilai plus dibandingkan dengan mereka yang kurang sering menulis. Sejauh ini, motivasi gue dalam menulis adalah karena gue memang suka bercerita lewat tulisan. Gue suka menyimpan perasaan dan menguncinya dalam baris kata yang aneh dan tidak dimengerti orang lain. Setidaknya itu anggapan gue.

Gue suka membaca tulisan gue sendiri, narsis memang, tapi inilah asyiknya menulis, gue bisa mengetahui gue dari waktu ke waktu. Gue yang labil? Jelas! Tanpa membaca pun tahu! Haha. Pokoknya menulis itu lezaat... :9

Gue membuka blog gue yang dulu. Di sana terdapat sebuah post yang membuat gue tersenyum malau-malu tikus. Gue ingat beberapa tahun yang lalu, saat kelas XI SMA (mungkin hingga sekarang?), gue suka sekali memelototi layar handphone. Tak rela jika lampu layarnya mati karena hal itu akan membuat gue kesusahan melihat namanya. Gue rela menghabiskan belasan ribu untuk membeli pulsa agar gue bisa mengetahui perkembangannya di dunia maya. Gue seperti seorang mata-mata yang akan menyesal, jika ada satu kegiatan tentang dia yang terlewat sedikit saja.

Ini terlihat seperti sebuah perasaan cinta? Namun, gue sangat bisa menjawab "bukan" dengan cepat karena sebenarnya gue menganggap dia sebagai inspirator dan pelawak. Gue tidak bisa membiarkan mata gue ini untuk tidak membaca sedikit pun banyolannya setiap hari.

Ada satu cerita alay. Pernah gue ketiduran dengan koneksi yang masih tersambung ke internet. Hnn... Gue sedang online, nama aplikasinya ****. Populer sekali aplikasi ini saat itu. Gue juga kecanduan. Kecanduan ini gara-gara dia? Haha bisa jadi. Jadi, di malam itu, dia mengirimkan beberapa message, memanggil-manggil gue dengan nama panggilan aneh yang seperti biasa dia layangkan ke gue. Namun, gue sudah bilang kan, kalau gue tertidur? Alhasil... Gue tidak membalasnya. Dan andai lo tahu, gue cukup menyesal, kecewa dan uggh. Semacam mendiamkan teman lama yang sudah sangat lama dinanti kedatangannya, giliran dia datan betulan, lo malah tidur. Huaahaha....

Ehnn...parah ya??? Haha... Ani Ani! Labil! Namun, apa daya, dia berbeda dengan gue, my bloggie. Dia sekarang jauh sehingga gue canggug jika ingin memintanya melawak untuk gue, atau sekedar mengirimkan pesan-pesan nyleneh kepada gue. Gue rindu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi. Komunikasi kami sudah sejauh kutub utara dengan kutub selatan. Hahai! Sama-sama sulit sinyal, berseberangan dan tak mungkin akan bertemu.

Semoga lo masih mengingat gue, boy... :D

Thursday 19 December 2013

Gue yang...

"Apa liat-liat!"

Kurang lebih seperti itu situasi dan kondisi "nya" saat ini... ToT
Ingin sekali gue meminta maaf kepadanya, tapi jika ditanya untuk apa, pasti gue akan bingung juga menjelaskannya.
Untuk apa?
Untuk segalanya.
Untuk setiap hal terkecil yang telah gue perbuat, baik secara sadar maupun tidak. Gue:
-Yang membuatnya malas melihat gue, bahkan jika itu hanya sekedar membuka pesan dengan nama gue tercantum sebagai pengirimnya;
-Yang perasa dan merasa seolah-olah gue cukup penting untuk melintas di kehidupannya;
- Yang membuatnya marah setiap gue berkicau dan entah kenapa seolah teralamatkan untuknya;
- Yang berisik, seolah mengetahui dan berhak selalu mengetahui setiap hal terkecil tentangnya;
- Yang tak sopan menggunakan dan melihat-lihat konten benda-benda miliknya;
- Yang terlalu ngotot dan memaksakan perasaan yang tak seharusnya dipaksakan;
- Yang tak mampu menjaga kepercayaannya;
- Yang terlalu rumit dalam memikirkan setiap hal yang simpel menurutnya;
- Yang selalu beralasan banyak dan tak pandai menyortirnya, juga tak peka mengenali situasi dan kondisinya;
- Yang membuatnya telah salah mendaratkan pilihannya;
- Yang membuatnya melakukan hal-hal yang mungkin lebih baik tidak dilakukannya;
- Yang terlalu ingin mengetahui kisahnya dan masa lalu yang telah dilaluinya;
- Yang tak bersikap dewasa selayaknya perempuan lain di umur sekian;
- Yang mudah panik dan tak jarang berpikir picik yang tak masuk akal;
- Yang melakukan hal-hal ekstrem dan tak biasa dilakukan gadis normal;
- Dan yang lain-lain yang pastinya masih banyak lagi.

Tuesday 17 December 2013

Menikah

Asli!!!
Post yang sedang lo baca ini memang berisi konten tentang pernikahan. Namun, bukan artinya gue pengen menikah dalam waktu dekat dan gue juga tidak sedang galau-galau terkait jodoh, meskipun post-post gue banyak yang berisi tentang kisah galau.

Ini bukan tentang tata

Monday 16 December 2013

Mengapa Kau Melamarku Saat Itu?

Kau mengenakan kaos biru muda berhiaskan pelangi dan tampak tengah memiliki percakapan setengah serius dengan sepupu perempuanku. Kalian berdiri memalang di pintu laboratorium. Bagaimana kalian bisa menjadi begitu dekat? Bahkan ketika berbulan-bulan aku dan kau hidup bersama, waktu itu, kita berdua tak cukup memiliki kedekatan seperti itu. 

Ini membuatku bertanya-tanya, "Mengapa kau melamarku saat itu? Bukan dia saja atau perempuan yang bertetangga kamar dengannya, yang pernah sangat kau cintai lahir dan batin?" 

Aku benci harus melewati kalian yang tengah berbincang akrab tanpa tahu tempat. Aku ragu, lalu kuputuskan untuk menunggu. Beberapa menit berlalu kalian tak juga berpindah tempat, meski belasan orang berlalu lalang melewati pintu itu. 

"Kalian mengganggu! Sial!" teriak seorang remaja lelaki berseragam SMA, yang baru saja melewati pintu itu. Entah mengapa, aku merasa senang, mereka diteriaki. 

Akhirnya, aku memutuskan untuk mengikuti jejak anak lelaki bermulut kasar itu. Aku sudah menyiapkan kata-kata makian, yang lebih memerahkan telinga, untuk kalian. Aku siap memaki, kalau-kalau kalian terlalu sulit untuk menyingkirkan badan. Dan tentu saja aku tidak peduli jika wajahku akan terlihat oleh kalian berdua. Toh, aku dan kau tak lagi punya urusan, tak lagi tersatukan oleh sebuah ikatan. Terlebih aku yakin, di sini hanya aku yang merasakan kesakitan oleh kecemburuan. Ya, aku memang akan tetap dan terus cemburu, meski kini aku tak lagi berhak melakukan itu. 

Aku mendekat. Kebetulan kau membalikkan badan. Kalian tak lagi saling berhadapan. Punggungmu terlihat jelas membelakanginya. Apa kalian tetiba bertengkar? 

Namun, hey, ini kesempatan baik untukku lewat tanpa terlihat. Kunaikkan kecepatan langkahku dan sekejap telah kucapai pintu. Dengan sigap, aku putar daun pintu hingga kaitnya terbuka dan badan pintu itu terhuyung ke dalam. 

Aku siap berlari ke dalam laboratorium. Namun, tiba-tiba, "Hap," tangan kananmu memblokade jalanku dengan rentangannya yang membentuk sebuah palang pintu. Aku terhalang, terhenti di antara kalian. Kau masih membelakanginya dan kini bertambah aku. Mata kita tak bertemu, tapi aku yakin sepasang mata lain dari sosok sepupu bertalian darah, yang tengah berdiri di belakangku, tengah tertuju padaku. Aku dapat merasakan tusukan imajiner yang membuat isi kepalaku tak lagi bekerja sesuai tugasnya. 

'Please, boy! Get out of my way. I wanna come in!' batinku. 

Tetiba kau menyingkirkan tangan kananmu, memberikan akses untukku. Aku terkaget. Otakku menyuruhku untuk berlari, segera masuk. Namun, tubuhku berpendapat lain. Ia bergeming, tak sedikit pun mau bergeser dari tempat yang menyulut kengerian itu. Apa ini? Jantungku berdegup kencang seperti ketika pertama kali aku bertemu denganmu. Jatuh untuk kedua kali? 

Butuh lima detik hingga aku dapat menguasai dan mengendalikan diriku sendiri. Ketika aku siap untuk melangkah masuk, kau membalikkan badanmu. Dan sekali lagi, kau menghalangi jalanku, berganti dengan tangan kirimu. Dengan jelas aku melihat wajahmu. Wajah yang sama, yang menyimpan misterinya sendiri, yang tak pernah dapat kemengerti. Melihat wajah itu, pilu dan amarah menghardirkan tenaga baru bagiku. 

"Singkirkan!" kataku dengan suara sedikit bergetar. Kau menurut tanpa sedikit pun memandangku. Aku dapat melangkah masuk, tetapi aku merasa terusir oleh cintaku sendiri. Apakah ini benar-benar telah berakhir? Cinta yang bertepuk sebelah tangan tak akan pernah menemukan pasangan tangannya? Tak akan pernah benar-benar bertepuk tangan? 

Kembali aku bertanya, "Mengapa kau melamarku saat itu?" 

***** 
Langit senja Jakarta. Tak kemuning, tak dilukisi jingga memerah. Abu-abu. Abu-abu di mana-mana. Aku menikmatinya sembari duduk di atas ayunan. Monumen bermahkota emas itu berdiri tegak, mencuat ke atas seperti ingin menusuk langit. Mengapa harus dia yang terhadir di hadapanku? Mengapa aku duduk di atas ayunan karet ini? Berayun tanpa henti, sembari memandangi monumen tua congkak, yang tampak berlompat-lompat seiring ayunanku yang bergerak konstan, ke depan dan belakang. 

Aku terhenyak, bersandar ke penyangga punggung ayunan karet itu. Gerimis sedikit demi sedikit mengiklankan diri, mendarat lemah di atas pangkuanku dan membuat basah rok coklat panjangku. 

'Aaargh, aku masih ingin di sini,' teriakku dalam hati. Aku tak peduli lagi dengan malam yang mulai menyergapi, dengan gerimis yang mulai membanjiri. Aku ingin membekukan perasaanku untukmu, menghanyutkan semua pikiran ilegalku tentangmu. 

Kutarik penutup kepala yang menyatu dengan jaket hoodie-ku. Terbungkam. Suara gerimis terdengar sedikit terbungkam, menyisakan suara dalam yang bergemericik menghantam tanah merah di bawahku. Terpagari. Aku hanya melihat ke depan, ke monumen bermahkota emas yang samar-samar mulai terselimuti kabut, tanpa melirik ke samping, tanpa menilik ke belakang. 

Bermenit-menit, aku masih melayang, berayun lemah tanpa ingin memijak tanah. Air langit ini mulai menelusup memasuki pori jaketku. Dingin mulai menjilati kulitku. Langit mulai menghitam pekat. Mungkin sudah seharusnya kusudahi upacara kesedihan bermandikan gerimis ini. 

Kuberhentikan laju ayunanku. Diam di tempat, kutatap monumen bermahkota emas itu untuk terakhir kalinya di hari ini. Semenit? Mungkin lebih. 

Aku tak pernah berkawan ketika pulang dan kali ini ingin sekali aku memilikinya. Aku kembali teringat akan kau. Kau lagi dan kau lagi! Apa tak cukup gerimis ini menyingkirkanmu dari pikiranku? Aku tertunduk frustasi. 

Tetiba, suara terkekeh terdengar dari arah kananku. 

'Kau!!!' teriakku dalam batin. 

"Iya aku!" jawabmu sembali tersenyum dengan cara dan sesuai ciri khasmu. Butiran air mengalir dari rambut ikal pendeknya yang basah, melewati dahi, lekukan mata, dan menetes melalui ujung hidung sedikit mancungmu. 

'Apakah dia sudah lama berjongkok di sampingku? Dihujani gerimis? Disuguhi pemandangan menjijikan tentang perempuan sakit jiwa yang tengah berayun sembari menantang hujan?' 

Aku merasakan datangnya aliran panas di pipi, menguapkan rintik gerimis yang menerpa wajahku, mengusir dingin yang baru sebentar menghinggapi. Aku dapat menatap mata hitam pualammu dan senyum serupa pisangmu. 

"Tunggu aku di sini. Aku akan mengambil sepeda motorku," katamu. Kemudian kau berlari ke arah alun-alun kota, menghilang tenggelam di tikungan tajam. 

Aku merasa aneh karena aku mengangguk dan menuruti perkataanmu, diam menanti di bawah pohon asam sambil memelintir tali gantungan ayunan. Aku menanti hingga gerimis berubah menjadi hujan sejati. Aku menanti hingga sekujur tubuh tak mampu mengingat rasanya kehangatan. Aku menanti hingga lama sekali dan tak mampu membedakan kenyataan dan mimpi. Dan... 


***** 
...benar saja, ini adalah mimpi. Dalam mimpi pun, aku dipermainkan oleh rasa dan hati. 

Sunday 15 December 2013

Cerpen Gagal

Judul        : *belum kepikiran mau dijuduli apa*
Genre       : Friendship, Music, Poetry, Drama
Setting     : Middle School Life
Rate         : K+
Characters: Kau dan ACI's characters
Summary : 
Ini adalah cerpen tentang perjuangan Guru Jay, Andi, Cahaya, Ian dan teman-temannya dalam *melakukan sesuatu*. Cerpen ini baru sepertiga jalan tapi gagal alias tidak jadi dikirimkan, karena telat nyadar kalau saya tidak memenuhi persyaratan umur dan pendidikan--> ketuaan dan bukan lagi pelajar sekolah -____-




“Tidak ada kata terlambat bagi seorang pemimpi yang memiliki mimpi untuk mewujudkan mimpi-mimpi orang lain,” sayup-sayup terdengar suara seorang lelaki dewasa berpenampilan nyentrik dari arah kelas 9D. Guru Jay, itulah panggilan sehari-hari yang dilayangkan kepadanya di sekolah. Ia tampak nyaman saja dengan panggilan, yang sebetulnya kurang sopan untuk ukuran sebuah panggilan sapaan bagi seorang guru, itu. Guru Jay adalah seorang guru musik yang selalu memiliki ide-ide unik. Saking uniknya, ia sering kali membuat para siswanya, bahkan rekan sesama gurunya tergeleng-geleng karena takjub atau saking tidak pahamnya.


“Maksud Guru?” tanya seorang siswi yang duduk di pojok kanan tepat di depan meja guru. Wajah bulatnya terlihat semakin bulat karena ia mendongakkan kepalanya dengan berlebihan hingga rambut panjang yang ditirainya tak mampu menutupi pipi-pipi chubby­­-nya. Matanya membelalak sempurna, dahinya berkerut hebat hingga nyaris menyatukan kedua alisnya.


‘Anak ini terlalu penasaran atau memang ia terlalu lama dalam mencerna apa yang kuucapkan?’  batin Guru Jay. Ia tampak terkekeh geli ketika mendengar pertanyaan siswi tersebut. “Hahaha. Begini Nanda,” Guru Jay mulai menjawab pertanyaan dari siswi yang ternyata bernama Nanda itu, “tadi kita semua sama-sama mendengar apa yang dikatakan Andi, bukan? Ia berkata bahwa ia hanya seorang pemimpi dan ia terlalu pesimis dapat mewujudkan cita-citanya sebagai seorang guru musik karena...”


“...guru musik sekeren Anda, Guru Jay,” potong Andi sembari mengoreksi ucapan Guru Jay.


“Oke, Andi... sebagai seorang guru musik yang sekeren gue, hahaha...karena Andi merasa ia terlalu terlambat dalam mengenal dan mempelajari musik. Begitu bukan?” seluruh siswa mengangguk serentak. Beberapa di antaranya terkekeh sambil menirukan gaya bahasa gaul lo-gue ala Guru Jay. Guru Jay diam dan tersenyum, sembari menanti mereka kembali terfokus kepadanya. Setelah mereka diam, ia kembali malanjutkan, “Namun, ia tidak terlambat, tentu saja. Apalagi jika tujuannya adalah untuk memperkenalkan musik kepada anak-anak di daerahnya, sedari dini. Kalian kira semua jenius musik selalu memulai berlatih membaca not balok dan bermain piano ketika mereka mulai merangkak, hm? Tidak bukan? Come on, anak-anak! Kejeniusan hanya menyumbang tak lebih dari 10 persen dari suatu keberhasilan. Lalu sisanya? Tentu saja niat untuk mau mencoba hingga akhir dan kerja keras tanpa bosan,” kata Guru Jay dengan suara mantap, tapi terdengar lembut dan menyenangkan.


“Jadi, tak perlu menjadi jenius seperti Mozart dan Beethoven, Guru? Yang penting usaha?” tanya seorang siswa laki-laki berkacamata persegi yang langsung diiyakan oleh siswa laki-laki bermata coklat terang yang duduk sebangku dengannya.


“Oh, jadi kalian berdua berpikir seperti itu, Ichsan? Bagas? Nah, kau tahu Ichsan bagaimana akhir hidup Mozart, yang cemerlang sejak muda?” tanya Guru Jay sembari mendekatkanlangkahnya menuju meja duduk Ichsan dan Bagas.


Ichsan terdiam. Tangan kanannya membetulkan letak kacamatanya yang melorot ke ujung hidungnya yang mungil. Ia pun menjawab dengan pertanyaan, “Sukses? Berumur panjang dan memiliki band atau kelompok musik yang terkenal?”


“No, boy! Dia mati muda, Ichsan... dan dalam keadaan miskin,” jawab Guru Jay singkat.


“Betulkah? Bagaimana mungkin?” tanya Andi kaget.


Guru Jay tersenyum penuh arti. “Karena ia  terlalu jenius, hingga lupa caranya bekerja keras dalam memanajemen kejeniusan dan kehidupannya, boy. Baik. Sepertinya ada yang masih belum berkenalan dengan tokoh-tokoh musik dunia, nih. Sepertinya, ini mengasyikkan untuk dijadikan tugas pekan ini. Hahaha!” kata Guru Jay. Sontak, seluruh kelas bergidik sekaligus menjadi ramai oleh keluhan-keluhan. Hampir semuanya menyalahkan Ichsan yang ditengarai menjadi penyebab “penganugerahan tugas musik ini”.


“Oke, anak-anak, silent please! Tidak usah terlalu bersemangat seperti itu, hahaha,” teriak Guru Jay dengan volume yang ternyata tidak cukup membuat siswanya mengalihkan perhatian kepadanya. Mereka masih saja berteriak, menawar keringanan tugas, meminta pemberian tugas dibatalkan, dan sebagainya. “Bocaaah! Diam, woy!” teriak Guru Jay dengan volume yang bisa jadi dapat menggetarkan kaca jendela ruangan kelas itu. Sontak seluruh siswa terkaget dan kembali duduk diam di bangku masing-masing. “Berkelompoklah menjadi lima kelompok dan pilih salah satu genre musik dan.... “ 


Kriiiiing,suara bel istirahat berbunyi.


“...dan kumpulkan kertas draft-nya setelah istirahat di meja saya. Draft-nya berisi nama anggota kelompok, genre musik dan nama tokoh yang akan kalian bahas dalam paper  kalian. Dan satu lagi... Setiap kelompok wajib membuat rancangan pementasan musik sesuai genre yang kelompok kalian pilih,” jelas Guru Jay yang ditanggapi dengan hening oleh anak-anak sekelas. Bukan karena mereka sudah paham dan bersedia menerima tugas tersebut dengan senang hati, melainkan karena mereka tak menyangka akan mendapatkan tugas yang menantang semacam ini secara spontan dan tiba-tiba. 


“Tugas ini akan kita bahas pekan depan! Yeay, tidak sabar menanti hari Rabu datang lagi,” Setidaknya mereka perlu beberapa detik untuk tenggelam dalam alam bawah sadarnya masing-masing, mencerna setiap poin tugas yang disampaikan oleh Guru Jay dan ketika mereka tersadar, Guru Jay sudah keluar dari kelas meereka.


“TIDAAAAAK!!!” setidaknya dua per tiga siswa 9D berteriak histeris mendapati tugas ini mengandung unsur “pementasan” dan Guru Jay tidak akan pernah main-main setiap ucapannya.


*****
Awan mendung memayungi ubun-ubun setiap siswa 9D. Mereka tidak menyangka pelajaran musik mereka, yang diawali dengan suka cita sembari mendengarkan dan menceritakan cita-cita masing-masing anak-anak 9D, berakhir suram seperti ini. Nanda dan Tiwi, si kembar siam beda ayah ibu, yang duduk sebangku, telah bertanya ke anak-anak kelas 9C dan 9E perihal pemberian “semacam tugas aneh” dari Guru Jay kepada kelas mereka dan jawabannya adalah sama-sama TIDAK. Hal ini membuat awan mendung di langit-langit kelas 9D semakin hitam.


Pasalnya, ini hanya dua bulan menjelang Ujian Nasional. Mereka harus meningkatkan kapasitas belajar mereka pada mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional. Mereka berpikir bahwa tugas yang diberikan Guru Jay hanya akan mengurangi jatah waktu belajar mereka yang berharga. Apalagi Guru Jaya membumbui tugas dengan kata "pementasan” yang artinya sembilan puluh sembilan persen, apa pun yang terjadi nantinya, Guru Jay pasti akan mewujudkan pementasan ini tetap terselenggara.


“Andiii! Ichsaaan! Bagaaas! Nandaaa! Tiwiii! Ke mari!”teriak seorang siswa laki-laki yang selalu memakai jaket setiap saat.


“Apa sih, Iaaan! Berisik deh!” jawab Tiwi dengan muka sebal. Teriakan siswa laki-laki berjaket yang dipanggil Ian itu memang sangat keras. Ditambah lagi, suara tenor yang unik, tetapi lebih mendekati cempreng seakan menggaruk-garuk telinga. Kelima orang yang namanya dipanggil itu pun mendekati Ian dengan tujuan agar ia tidak lagi menimbulkan polusi suara bagi warga kelas lain.


“Apa sebaiknya aku melaporkan ini kepada papaku?” tawarIan.


“Ini? Ini apa? Oh tidak! Maksudmu bukan tentang...” jawab Nanda sambil membekap mulutnya sendiri.


“Tepat sekali! Tugas ini tidak penting sama sekali. Kita sebentar lagi ujian loh. Ingat, kan? Kita tidak mungkin menuruti perkataan Guru Jay yang semaunya sendiri ini. Pak Salman, Papaku, kan kepala sekolah. Hanya papaku yang dapat membuat Guru Jay, membat...”


“TIDAK, papa’s boy!”jawab kelimanya serentak membuat Ian terlonjak di tempat.


Andi pun mendekati Ian. Diraihnya telinga kiri Ian kemudian berbisik dengan volume bisik yang tidak mampu didefinisikan sebagai suatu bisikan, “Sudah saatnya kamu keluar dari balik ketiak papamu, Ian. Ayolah, kita hadapi tantangan ini dengan cara jantan..."


"... dan elegan,” imbuh Nanda.


Wajah Ian memerah, bibirnya bergetar sembari menimpali, “Tapi kalian sendiri tidak suka dengan tugas ini, kan?” Mata hitamnya berkaca-kaca.


“Kami memang sedikit shocked  Ian, tapi kami lebih tidak suka jika kamu menjelekkan guru dan menyelesaikan masalah tugas ini dengan cara seperti itu. Iya, kan, geng?” kata Tiwi yang langsung diiyakan oleh seantero kelas. Ian terdiam, wajahnya tertekuk dan terlukisi semburat malu.




Kriiiiing...
Bel tanda masuk pelajaran terakhir berbunyi lebih keras dibandingkan biasanya. Anak-anak 9D berlarian mencari kelompok musiknya masing-masing. Ada yang masih memilih genre musik untuk kelompoknya; ada yang mencakar rambutnya sendiri karena tak kunjung menemukan titik temu dari genre musik dan ide pementasan kelompoknya; ada yang bersorak karena akhirnya mereka berhasil menentukan satu genre musik setelah beradu opini sepanjang istirahat; dan ada pula yang masih berdebat kusir sejak sebelum istirahat. Singkat cerita, belum ada satu pun kelompok yang telah berhasil menyelesaikan draft mereka.


“Bu Kinan sudah dataaaang,” teriak Sabri, salah satu siswa 9D yang terbiasa bertugas sebagai penjaga palang pintu kelas, sambil berlarian tak tentu arah hingga akhirnya masuk ke dalam kelas.


“Terima kasih Sabri sudah mengumumkan kedatangan Ibu. Kamu boleh duduk di tempat semestinya,” kata Bu Kinan, guru Bahasa Indonesia mereka, sembari membantu Sabri, yang entah bagaimana caranya ikat pinggangnya yang menjuntai tersangkut gantungan sapu ketika berlarian tadi sehingga ia terjerembab dengan muka mendarat terlebih dahulu. Tawa anak-anak 9D pun meledak dan Sabri akhirnya kembali ke kursinya sambil mengelus-elus dahi dan hidung setengah mancungnya.


“Selamat siang anak-anak. Oh, iya. Sebelumnya ada titipan pesan dari Pak Guru Jay...” kata Bu Kinan tiba-tiba dan sukses membuat atmosfer kelas yang sempat bertabur tawa selama beberapa detik seolah berubah menjadi ruang yang terpolusi gas metana, membuat mereka menahan napas. Bu Kinan melanjutkan perkataannya, sembali tersenyum geli, “Santai saja,anak-anak. Beliau bilang kalian bisa mengumpulkan draft tugasnya maksimal jam 3 sore di mejanya. Ia akan menunggu,” kata Bu kinan yang secara signifikan berhasil membuat aura kelas berubah dan bertabur pelangi-pelangi kelegaan. Setidaknya mendung di langit-langitnya sedikit berkurang.


“Satu lagi...” ternyata pengumuman dari Bu Kinan belum selesai dan beberapa dari mereka kembali menahannafas, mengantisipasi jika apa yang diumumkan adalah kabar lain dari Guru Jay. “Hahaha ,tenang saja ini bukan tentang Pak Guru Jay dan tugasnya, tapi tentang teman sekelas kalian yang baru. Cahaya! Sini masuk, nak!” kata Bu Kinan sembari melambaikan tangan ke seseorang di luar kelas dan disusul dengan masuknya sesosok gadis perempuan cantik, berkulit langsat dengan rambut panjang terjuntai hingga sepinggang.


“Perkenalkan dirimu, Cahaya,” perintah Bu Kinan.


“Cahaya imnida... Uhm, maksud saya, nama saya Cahaya. Saya adalah siswa pindahan dari Korea Selatan,” kata si siswa baru, yang diikuti dengan gumaman dan sorak tertahan dari anak-anak 9D. Cahaya dapat membaca keterkejutan mini para calon teman sekelasnya. Ia pun melanjutkan, “Meski demikian saya lahir di Indonesia, kok. Ibu, kakek dan nenek saya berasal dari Wonosobo. Itulah sebabnya saya pindah ke sini dan... Hey, jika kalian masih tidak percaya, apa kalian tidak sadar kalau bahasa Indonesia saya cukup baik dan lancar?” tanya Cahaya dengan hiasan senyum manis yang membuat siswa 9D tertawa kecil.


“Bagus, perkenalan yang menarik Cahaya. Sekarang kamu bisa duduk di kursi kosong di samping Sabri, di belakang Tiwi dan Nanda,” kata Bu Kinan, masih dengan senyum pisangnya yangkhas. Cahaya mengikuti arah dan duduk di kursi yang ditunjukkan Bu Kinan. "Yap, tepat sekali di sana."


“Anyeong! Salam kenal Cahaya,” sapa Tiwi dan Nanda bersamaan.


“Anyeong! Wah kalian mengetahui bahasa Korea!?” jawab Cahaya bersemangat.


“Sedikit. Haha,” kata Tiwi.


“Kami kan penggemar hal-halberbau Korea, termasuk musik Korea. Ihihihi,” timpal Nanda.


“Kau jenius, Nanda! Bagaimana kalau kita mengangkat tema musik Korea untuk paper kita?” kata Tiwi saking bersemangatnya hingga membuat Bu Kinan repot-repor menyuruh mereka memperhatikannya di depan.


Raut wajah Cahaya berubah seketika setelah mendengar percakapan kecil keduanya. Ia hanya menjawab “oh” datar, yangentah mengapa berhasil membuat Nanda dan Tiwi salah tingkah dan berbalikmenghadap ke depan memperhatikan Bu Kinan.


‘Lagi-lagi ini terjadi. Orang-orang yang dengan bangga mendeklarasikan kecintaannya kepada budaya bangsa lain. Apakah aku akan asing juga di sini?’  batin cahaya.




*****



(bersambung)

Jika

Jika aku menceritakan sisa waktu ini
Akankah ada perbedaan pada dirimu?
Jika bukan sebuah pengakuan,
maka ialah sebentuk belas kasihan

Friday 6 December 2013

Unfollow

My beloved bloggie,

Lo pasti tidak tahu bahwa salah satu orang, yang menurut gue termasuk ke dalam kelompok orang yang nyaman, sudah meng-unfollow gue. Ya, sekarang lo sudah tahu, kan? Tidak usah ditanyakan bagaimana cara gue mengetahuinya, bahwa ada orang yang meng-unfollow gue.

Oke, sebelumnya, gue jelaskan dulu,  unfollow yang gue maksud itu apa. Jadi, di FB, ketika lo berteman dengan A, lo akan dapat melihat kabar berita dari A itu, baik meng-update atau mengomentari status, meng-upload foto, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Nah, ketika lo bisa melihat aktivitas dari A di beranda lo, berarti lo masih mem-follow dia. Fitur ini memang akan menjadi deffault settings di FB ketika lo berteman dengan seseorang. Namun, lo juga dapat membuatnya tidak muncul di beranda FB dia, dengan mengutak-atik pengaturan pertemanan lo dengan dia. Dengan demikian, lo tidak akan mengetahui aktivitas dia (si A), selain lo mengunjungi akunnya atau biasa dikenal dengan sebutan kepo.

Nah, di-unfollow yang semacam itulah yang gue terima dari seseorang itu. Tindakannya itu mungkin membuat dia tidak lagi terberisiki oleh status-status labil gue. Namun, apakah dia pernah memikirkan bagaimana tingkat kecemasan dan perasaan bersalah gue terhadapnya, ketika gue tahu bahwa gue di-unfollow-nya?

Gue seorang yang parnoan. Akibatnya, gue kepikiran dan menjadi sungkan. Gue tidak lagi senyaman dulu dalam berkomunikasi dengannya. Perasaan bersalah, yang selalu tak terhentikan oleh logika, dan keinginan meminta maaf, yang tak juga tersampaikan, membuat gue galau ketika teringat tentangnya.

Atas hal itu, gue pun mengotak-atik akun twitter-nya agar tidak mem-follow gue. Gue tidak mau dia kembali terberisiki oleh gue di twitter. Namun, setelah gue pikir-pikir, buat apa gue melakukan itu? Hahaha. Tidak masuk akal memang.

Thursday 5 December 2013

Membalas SMS

Gue adalah orang yang akan langsung berpikir macam-macam jika SMS gue tidak dibalas. Oleh karena itu, sering kali gue mengomel tidak jelas kepada siapa saja yang ada di dekat gue ketika gue sedang menantikan SMS gue yang tidak kunjung dibalas oleh seseorang.

Oke, berdasarkan pengamatan gue, kepedulian dan urutan prioritas seseorang, salah satunya dapat dilihat dari cara dia membalas SMS.
1. Jika dia selalu membalas SMS, terkadang cepat, terkadang lama, tapi setiap SMS untuknya selalu dibalasnya,  artinya dia adalah seorang yang bisa jadi adil, berkecukupan (pulsa), responsif dan tidak pemilih. Tipe orang seperti ini akan menjadi orang yang akan selalu diingat atau dicari untuk dikirimi SMS, baik penting maupun tidak.
2. Jika dia sesekali membalas dan sewww

Wednesday 4 December 2013

Ini tentang Begitu Belum (atau Memang Tidak) Berjodohnya Gue dan Itu (1)

Okay! Zaman "dia" sudah berakhir kah? Hahaha... Tidak tahu. Setidaknya gue telah berhasil menjalankan apa yang namanya move on dari "dia". Hehe... Masa Bodoh!!! ;p

Nah, alkisah gue baru saja mengantarkan Leli sampai depan Gang Senggol, setelah berhari-hari lamanya dia menginap di kost gue, ngebantuin gue entry data. Sehabis dari Gang Senggol, gue langsung menuju Kutek karena kerjaan meng-entry gue belum selesai. Nah, di sepanjang jalan UI menuju Kutek, gue membayangkan beraneka makanan yang ada pinggiran Kutek: "Yang mana yang akan gue beli???"

Akhirnya, ketika sampai depan Al Hikam, gue pun memutuskan untuk membeli: Soto Campur di *piiip* atau Mi Ayam *peeep*. Sampailah gue di seberang *peeep*. Laju motor gue kurangi dan berhentilah gue. Gue masih bingung memutuskan untuk beli di *piiip* atau di *peeep*. Akhirnya, gue memutuskan untuk membeli Mi Ayam Bakso saja di *peeep*. 

Singkat cerita, mi ayam selesai dibungkus dan gue kembali melajukan sepeda motor gue.

Sampai di depan *piiip*, terbiasa, gue menoleh ke kiri. Entah mengapa gue sangat suka sekali mengintip siapa-siapa saja yang singgah makan di sana. Saat gue mengintip ke sana (beberapa menit yang lalu), gue mendapati tiga orang duduk di serambinya. Dua orang merupakan sepasang kekasih, satu orang lainnya duduk sendirian dengan tatapan dan perhatian yang tertuju pada layar handphone pintarnya. Ia menggunakan kaos putih cerah yang cukup familiar. Tak salah lagi, gue memang mengenali orang itu.

Itu. Sebut saja orang itu sebagai "itu". Setidaknya begitulah cara gue memanggilnya jika gue sedang berbincang dengan si landak, sejak bulan Juli lalu. Yeah! Dalam hati, gue merasa bersyukur karena gue tidak jadi membeli Soto Campur di *piiip* di mana "itu" sedang berada di sana. Di sisi lain, gue merasa geli karena kejadian semacam ini, "berjumpa tetapi tak bersua sapa" terlalu sering. Gue cekikan di sisa perjalanan gue menuju kost.

September lalu, ketika pindahan, kami berpapasan di depan *piiip*. Gue lihat itu, itu tidak lihat gue. Ketika baliknya, gue juga lihat "itu" yang ternyata "itu" sudah lihat gue duluan. Lokasinya sungguh sangat tidak oke, yaitu di *jejalanan di mana dua alat transportasi paling egois sering kali lewat dan menimbulkan kemacetan dalam kebisingan*.  Di sini kami juga tidak bertegur sapa. Gue senyam-senyum geje di balik tumpukan kardus pindahan.

Oktober, kami ber-beberapa belas mendatangi suatu tempat hiburan mata. Gue bertemu "itu" dan kami pun tidak berdialog satu kata pun. Oktober, saat itulah gue terakhir berkomunikasi lewat kata dengan "itu".

November, ada sebuah acara makan. Gue dengan tiga orang lainnya, berangkat telat dan berpapasan dengan "itu" dan temannya di gerbang Kutek. Lagi-lagi hanya gue yang lihat. Di titik pertemuan, kami sama sekali tidak berada di titik yang oke. Bagai kutub utara dan selatan, terpisahkan tujuh samudra dan lima benua. Lagi, gue belum lagi berkesempatan untuk menyampaikan ungkapan penyesalan. November malam, kembali gue berpapasan dengan itu di depan "itu". Gue tengah menoleh sembari mengendari motor dan membocengkan sang putri. Gue hampir menabrak "itu" kalau sang putri tak berteriak.

Desember, hari ini kembali gue melihatnya satu dua detik di depan *piiip* itu. Gue suka melihat "itu" dengan setelan atasan putih. Putih membuatnya cerah dan terlihat bahagia. Hohoho.

Wahwah...begitu belum berjodohnya gue dan "itu" untuk kembali bertemu dan berkomunikasi seperti saat makan di *piiip* malam itu. Ohohooooo...

Semoga, hari-harinya akan selalu menyenangkan... 

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...