Sunday 6 April 2014

Pulanglah Sejenak

“Mau semangka?”

“Aku puasa,” jawabnya sekenanya.

“Oh, afwan. Nggak pulang, Di?” tanyaku.

“Tidak,” jawabnya singkat.

“Kenapa?” tanyaku lagi dengan penasaran. Ini aneh. Semua peserta bimbingan belajar yang ada di sini pulang ke kampung halaman untuk merayakan pesta pelepasan. Namun, dia masih di sini, duduk lesehan memangku dan menekuni buku berjudul Sejarah dan Perkembangan Islam di balkon Rumah Belajar.

“Aku lebih suka meng-khatam-kan buku yang kakak kasih ini daripada membuang enam belas jam waktuku untuk perjalanan pulang,” jawabnya datar tanpa menatap wajahku sedetik pun. Dia aneh, meskipun dia sangat jenius dan selalu menduduki peringkat lima besar dalam Try Out di bimbingan belajar ini. ‘Kamu unik, dik! Tidak udik seperti yang teman-temanmu bilang,’ batinku.

“Baiklah, teruskan belajarmu, Ardi,” jawabku tak kalah singkat.

*****

“Ardi! Selamat ya! Manajemen FE UI, heh? Itu keren sekali,”; “Masya Allah!”; “Hei udik, keren sekali kamu!”; “Ardi barokalloh, selamat ya!”

Berbagai ucapan selamat dari teman-temannya, sesama peserta bimbel, melayang untuk Ardi. Syukur alhamdulillah, perjuangannya dua bulan merantau jauh lintas pulau untuk fokus belajar di bimbingan belajar ini tidaklah percuma.

Sekilas aku teringat dua bulan lalu, saat ia mengayuh sebuah sepeda kumbang yang pedal pengayuhnya telah menggundul. Dua puluh kilometer, jarak dari kampungnya ke pelabuhan, dia tempuh tanpa duka di pagi buta untuk menemuiku. Dia membawa tas selempang kecil dengan muatan yang bentuknya lebih terbaca sebagai buku dibandingkan bekal dan pakaian. Di depan mataku, dia menemui seorang nahkoda kapal dan menukarkan sepeda itu dengan empat lembar uang kertas yang tidak dapat kuterka berapa nominalnya. Dia meloloskan selembar uang biru dari kumpulan uang kertas itu dan menyerahkannya kepada petugas kapal feri. Masya Allah, sebesar itu tekadnya kah untuk mampu menembus UI, Rabb? Jika iya, maka teguhkan dan ridhoilah dia. Aamiin.

“Kak, izinkan aku ikut denganmu ke tanah perjuangan, Depok! Aku hanya punya segini untuk membayar bimbelmu,” Ia mengakhiri kata-katanya seraya menyodorkan tiga lembar uang seratus ribuan. Hatiku tertampar. Pedih. Segera kudorong tangannya dan kuucapkan, “Simpanlah untuk bekalmu nanti di sana. Ibukota tidaklah seramah kampung Minang.”

Diturunkanlah kedua tangannya lalu ia berkata, “Baiklah, kak. Namun, aku bukan seorang free rider, kak. Terimalah selembar dan sisanya akan kulunasi setelah aku berhasil menembus gerbatama UI.”

Hatiku bergetar. Kuanggukkan kepalaku dan kuucapkan, “Aku jamin aku akan menerimanya dengan tangan terbuka menengadah ke langit-Nya.” Begitulah ia merelakan satu-satunya miliknya yang berharga untuk menyambung mimpi. Kapal feri pun memecah ombak dan buih.

Kini, Allah memberinya hadiah yang ia minta dan memang ia butuhkan untuk menggapai cita-citanya.
“Selamat, Ardi. Jagalah amanah dan pemberian-Nya dengan tetap struggle seperti tempo hari saat sudah di bangku perkuliahan nanti!” ucapku padanya dengan penuh rasa bahagia.

*****

“Sudah setahun ya, Ardi? Alhamdulillah, bukan maba lagi, ya?” sapaku saat bertemu dirinya di Rumah
Belajar tahun ini. Sudah setahun sejak dia tiba di sini sebagai peserta bimbel, tanpa pernah pulang sekali pun ke Minang hingga kini dia menjadi mahasiswa UI.

“Oh, halo, kak Jun. Kau benar. Sudah selama itu, ya?” balasnya, retoris.

“Begitulah. Tidak ingin pulang menjenguk ibu dan kedua adikmu?” tanyaku, menajamkah arah pembicaraan.

“Belum.”

“Kenapa? Tidak merindukan mereka? Tidak ingin memberi tahu ibumu hasil belajarmu setahun di sini yang berbuah cum laude?” tambahku yang diikuti dengan ekspresi wajah menyuram darinya.

“Iya. Aku berhasil dan juga gagal,” jawabnya di luar dugaan dan tanpa ada benang merah dengan percakapan sebelumnya. Mengerti kebingunganku, ia pun menambahkan, “Aku abang yang gagal bagi kedua adikku, kak.”

“Ceritakanlah!” perintahku tanpa merubah nada.

“Riana, adik pertamaku, dikeluarkan dari sekolah karena… terpergok mencuri oleh gurunya. Sedangkan Dzikra adik keduaku, dia tidak berhasil naik ke kelas 3 SD karena masih tak bisa membaca hingga akhir kelas 2. Aku benar-benar bersalah kepada mereka. Aku abang yang benar-benar gagal dan tak pandai mengajari saudara,” ungkapnya datar. Namun, dapat kulihat matanya berkaca-kaca.

“Oh iya, kak. Haha, aku pun belum bisa membayar janji dan hutangku tahun lalu padamu. Tunggulah sebulan lagi. Aku akan segera menerima upahku sebagai pengajar privat dan pekerja kontruksi selama liburan ini. Afwan jiddan, kak,” tambahnya lagi dengan diakhiri tundukkan kepala.

Entah bagaimana aku tak mampu menyela kalimatnya. Ardi ini telah melampaui ketegaran dan perjuangan seorang anak sekaligus ayah sejak kematian ayahnya di umurnya yang belum genap sembilan tahun. Mana mungkin aku membenarkan kegagalan dirinya? Seorang Ardi yang datar dan diam, tak kusangka dia memendam sekian besar beban pikiran.

“Hei, Ardi. Kau percaya takdir dan rencana Allah bukan? Setiap orang pastilah punya keistimewaan masing-masing. Bukankah kau bercerita bahwa Riana sangat pandai merangkai kata dan bait? Bukankah kau berkata bahwa Dzikra sangat lihai melukis awan dan bukit? Bukanlah salahmu jika Riana menderita kleptomania dan Dzikra disleksia. Allah telah mengatur kompensasi dan komposisi hidup mereka, kau dan aku. Pulanglah. Mereka juga butuh raga dan jiwamu untuk mengarahkan mereka. Bukan hanya kiriman surat, wesel dan uang-uang yang telah kau peroleh dari hasil membanting tulang. Bagilah cerita perjalanan dan perjuanganmu di sini, biarkan berpikir dan memecahkan sendiri apa yang disebut dengan perjuangan dalam segala keterbatasan. Kau belum gagal, kawan!” aku tak pernah berbicara sepanjang ini karena aku belum pernah benar-benar berjuang. Kutarik secarik kertas bergambar dan berlabel penerbangan dari kantong kemejaku. Kusodorkan ke arahnya. Sedetik kemudian Ardi pun melinangkan air mata pertama dalam hidupnya.

(terinspirasi dari kisah seorang kawan dengan banyak pengubahan)

_________________________________________________________________________________
Depok, 15 Juli 2012

14 comments:

  1. Bagus, Mba... Seorang kawan? Berarti 2010? Hehe... ^_^
    Sekadar komentar... Hehe...
    Subhanallahil'adzim tertulis "Subhanallohal’adziim." Biasanya tasbih itu untuk ekspresi penyucian nama Allah apabila melihat hal-hal yang negatif atau buruk. Misalkan melihat kesyirikan maka yang terucap subhanallah. Untuk hal2 takjub atau bersifat menyelamati bisa menggunakan ma sya'a Allah/Allahu akbar/mabruk/barakallah/allah yubarik fiik/dst. Terus bisa ditambahkan kosa kata Minangnya karena latarnya ada unsur Minangnya; misalkan awa/ambo/sumangaik/bundo/dst *inget temen Minang ketika bercakap2 di kampus haha...* ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tentang kosa kata Minang, nggak kepikiran juga dulu. Wahaha. Dan entah kenapa, sampai sekarang aku kurang suka aja menambahkan kosa kata bahasa lain.
      Saran yang bagus :D
      Makasih... :D :D :D

      Delete
  2. Iya, Ndra. Makasih koreksinya. Dulu (2012 itu) masih belum ngerti. Tahunya, kalau takjub ngucapnya, "Subhanallah."
    Ini copaste yang dulu, tanpa kuedit. Hehe.
    Makasih lagi ya...
    Anak 2011, Ndra. Temenmu. Hehe.

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Coba inget-inget deh, Ndra...kira-kira inspirasi yang bisa kudapat dari mereka berdua mirip dengan kisah dalam cerpen di atas, nggak? Haha...

      Delete
    2. Hnnn...ketemu Handy di mana emang, Ndra? :D

      Delete
    3. Jadi, bukan Handy? Terus siapa?

      Delete
    4. Kamu ingin tahu banget po, Ndra? ^^'

      Delete

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...