Sunday 6 April 2014

Amaryllis

Amaryllis

Bahkan, ketika aku melamun tentang sebuah bintang yang tak kukenal pun, aku sempat teringat akan kau. Aku tidak sedang bicara tentang cinta karena setiap perjumpaan kita bukanlah untuk berkencan mesra. Terakhir kali aku melihatmu, kau tengah menghembuskan napas ke lensa kacamata persegimu, membuatnya berembun, lalu mengelapnya dengan ujung bawah kemejamu yang memang tak pernah kau masukkan dengan rapi. Kau tahu? Karena kau melakukannya aku menjadi seperti ini. Aku membencimu dan ini justru membuatku tidak bisa melupakanmu. Aku muak mengingatmu dan memutuskan untuk tak akan bisa berhenti membencimu sejak saat itu, saat di mana kau membuatku tak mampu bermain piano lagi.
"Dira? Kau di kamar, sayang?" tiba-tiba terdengar suara lembut dari luar pintu kamar pribadiku. Itu suara ibu. Ibuku yang wajahnya selalu berhiaskan senyuman meski aku tak pernah produktif memberinya hal yang membanggakan. Wajah itu, wajah yang sama, yang sudah sejak lama sekali tak berani kutatap lama-lama karena hanya melirik sekilas saja sudah dapat membuatku menangis seharian. Dan aku tidak boleh menangis, terutama di depannya. Aku tidak ingin melihatnya menangis diam-iam, tangis tanpa suara yang mengiris dan berdurasi jauh lebih lama daripada tangisanku sendiri, serta dapat membunuhku pelan-pelan.
"Dira... Nadira anak ibu yang cantik. Bubur kacangnya sudah siap. Bagaimana kalau kita makan bersama di balkon kamarmu? Sepertinya pemandangan sore ini sangat asyik untuk dilihat," katanya lembut, tetapi tampak sangat membosankan bagiku. Aku bosan dengan kebaikannya, aku bosan dilayani oleh orang yang seharusnya kini aku layani dan patuhi.
Ia membuka gorden kamarku, lalu menggeser pintu kaca, mempersilahkan angin-angin senja nan sejuk meniup seantero kamarku yang nyaris tidak lagi tampak hidup sejak dua bulan yang lalu. Samar-samar mentari senja menebarkan sinar jingganya, yang membuat mataku memincing dan menyipit sesekali karena belum siap merespon efek silau yang ditebarkannya. Ibu sudah hampir menuntun kursi rodaku ke luar balkon, saat tiba-tiba aku melihat sosok Nyonya Lily melewati jalan blok, di mana dari sana balkon rumahku dapat terlihat dengan jelas.
"Ibu! Aku tidak bilang aku ingin makan di sana. Kalau ibu mau mengapa bukan ibu sendiri saja yang makan di sana? Lagipula, aku sangat benci dengan balkon itu. Mereka selalu saja menoleh ke sini setiap melewati jalan itu," ucapku sedikit keras hingga membuat bergetar gelas yang ibu parkir di atas piano putih di kamarku. 
"Baiklah, nak, jika maumu begitu. Kita makan di sini saja ya," kata ibu lembut dan iakhiri dengan senyuman indah menenangakan yang sampai kapan pun mungkin tak akan pernah bisa kutirukan. Aku malu. Perlahan dapat kurasakan panas mengaliri wajahku. Sepertinya, lagi-lagi aku telah memuntahkan amarah berlebihan untuk hal, yang mungkin menurut orang-orang sangat sepele. Sepele? Ini adalah aib bagiku!
Aku tak suka mereka memandangku dengan aneh. Aku tak suka mereka membicarakan keadaanku dan membandingkanku dengan aku yang dulu. Aku benci orang-orang yang selalu saja melihatku dengan kasihan, tapi sedetik kemuian membicarakan hal-hal bodoh tentangku yang sudah pasti dikarang bebas karena mereka tidak tahu apa pun tentang apa yang terjadi padaku, tentang penderitaan yang kurasakan dua bulan terakhir ini. Dasar pengecut sakit jiwa! Mereka mengeroyokku dalam diam. Bahkan, Cinderella pun hanya disiksa oleh tiga orang!
"Dira? Makan dulu, nak? Hari ini Ibu akan menyuapimu, ya. Aaa..."
Mulutku tak bergeming.
"Mengapa, Dira?"
Aku diam. Aku tak tahu mengapa egoku sebesar Gunung Fuji.
"Dira? Kamu marah pada ibu?" tanyanya. Suaranya melemah. Aku tak berani memandanganya karena aku tahu sekarang matanya sedang berkaca-kaca. Ibu, beri aku waktu.
"Dira?"
"Tinggalkan aku, Ibu! Aku bisa makan sendiri! Aku bukan bayi! Dan aku masih punya kaki!" teriakku. Kali ini aku dapat melihat dari sudut mata kananku, air dalam gelas itu bergoyang akibat ulahku, menaikkan suaraku. Begitu pula dengan ibu, bibir dan tangannya gemetaran, meskipun ia menyembunyikannya dengan senyuman dan remasan tangan. 'Ibu maafkan aku, aku tak pernah bermaksud untuk membentakmu. Namun, tolong percayalah bahwa aku bukan orang cacat yang menyedihkan. Aku bisa seperti yang lain!'
"Baiklah, sayang. Ibu ke dapur dulu, ya." 
Kau percaya? Hei, kau dasar kacamata kuda! Bahkan ia tersenyum saat aku sudah membentak dan bicara degnan sangat kasar padanya. Ini semua gara-gara kau. Kalau kau tak mematahkan jari-jari tanganku, mungkin ibuku tak akan menderita setiap hari olehku dan oleh tetangga-tetangga menyebalkan itu! Tunggu pembalasanku, kau bocah tengik!
Aku mengalihkan pandanganku dari pintu kamarku, sembari memastikan ibu betul-betul telah meninggalkan kamarku, menuju sebongkah piano yang terparkir di dekat pintu balkon. Tubuh piano itu tidak lagi tampak putih karena terselimuti oleh debu. Kau memang telah mematahkan jariku, tapi kau tidak bisa mematahkan ambisiku untuk "menang" darimu karena aku memang lebih baik darimu dan satu-satunya yang terbaik di sekolah. Aku tidak akan mati jika aku bermain piano dengan jari-jari kakiku yang cukup panjang ini. Aku akan membuktikan bahwa aku akan selalu lebih baik darimu, Tuan Muda Hide yang memuakkan!

*****

Sial! Aku sudah berkali-kali berlatih, tapi aku masih saja belum terbiasa. Aku akan berusaha untuk menekan tuts ini lebih keras, meskipun kelingking kaki kiriku masih terlalu lemah. Jika seperti ini terus aku tidak akan bisa memainkan tempo dengan baik. Tampaknya, aku tidak akan dapat memainkan lagu Chopin dalam sekejap seperti dulu lagi. Ah! Hide! Kau benar-benar harus membayarnya!
Pergerakanku masih sangat kaku. Aku tidak mungkin mengikuti kontes piano dengan hanya memainkan lagu Twinkle Twinkle. ‘Oke Dira! Kau pasti bisa! Selagi ibu pergi, manfaatkan waktumu dengan sebaik-baiknya untuk berlatih.’ Mungkin aku harus benar-benar memulai dari pemanasan lagi. Jari-jari dan pundakku mulai pegal. Wah! Tak kusangka tangan doraemon ini berguna juga untuk memijit bahu? Tuhan, Kau memang selalu menawan dengan segala kejutan indah-Mu. 
Tok...tok...tok. Suara pintu? Ibu? Ini gawat, kalau sapai dia tahu apa yang sedang aku lakukan. Di mana? Di mana novel milik bocah sialan itu? Mengapa kamar ini jadi begitu berantakkan? Payah ini! Ibu masih belum boleh tahu tentang ini, sekarang. Di mana novel sialan itu? Nah ketemu kau! Bantu aku mengelabui ibuku. Baca, baca, baca!
"Dira, ibu masuk."

*****

"Kontes piano? Hah! Ibu ingin mereka menertawakanku? Lagipula aku sudah lupa bagaiamana cara bermain piano!" Demi Menara Tokyo! Aku kaget sekali dengan ajakan ibu untuk mengikuti kontes piano. Bagaiamana ibu tahu kalau aku mulai berlatih piano lagi? 
"Dira..." Ya, ampun! Benarkah ibu sedang menangis? Tuhan, tolong hukum aku. Apakah aku sudah sangat menyakiti hatinya? Maafkan aku Tuhan, aku tak bermaksud melakukan hal buruk kepadanya.
"Dira. Ibu tidak pernah tahu kalau kau masih sangat menyukai piano. Hiks. Maafkan ibu untuk ketidakpekaan ibu. Hingga kemarin ibu tak sengaja mendengarkan permainan pianomu, sangat cantik. Ibu di belakangmu dan akan selalu mendukungmu. Kau tak perlu mencemaskan apalagi mempedulikan apa kata tetangga, paman, bibi dan kakek. Kejarlah mimpimu, nak," kata ibu masih sambil menangis sesenggukan.
Apa yang harus kulakukan, Tuhan? Ia pasti sedih kalau tahu tujuanku bermain piano lagi adalah untuk mengalahkan Hide.

*****
Bagus! Gerakanku sudah lebih baik! Aku harus menentukan lagu yang tepat dengan kondisiku saat ini. Lagu apa yang tepat untukku dan tidak akan bisa dimainkan oleh Hide? Hide itu... Ia tidak pernah mau memainkan lagu bertempo lambat bukan? Shymphoni 7 Beethoven? Atau Schubert? Mozart? Ia pasti memilih lagu Chopin favoritku! Demi bunga sakura aku belum pernah sebingung ini dalam memilih lagu.
Halo, Tuhan! Aku mulai terbiasa dengan tangan doraemon dan jari kaki menariku. Biarkan mereka bermain harmonis hingga tiba hari kontes nanti, Tuhan. Hei, bunga amarilis! Kau cerah sekali hari ini. Apakah kau ingin membalas dendam kepada bunga lili di sampingmu karena ia mekar lebih dulu darimu dan sekarang malah mulai keriput dan layu, meninggalkanmu mekar sendirian? Ahaha. Kau terlalu cantik untuk mambalas dendam, amarilis sayang. 
Amarilis? Amaryllis? Mengapa tak pernah terpikirkan sebelumnya??? Bingo!!! Amaryliis! Hide sangat membenci lagu itu!

*****

"Ibu yakin, ibu mendaftarkanku di kontes yang sama dengan kontes yang Hide ikuti?" Ibu mengangguk, matanya memandang ke arah sejumput ilalang kering yang tumbuh di taman yang sedang kami lewati ini. Aneh, ia tidak memandangku saat mengiyakanku. Ah biarlah, aku harus berkonsentrasi pada kontesku.
Langit hari ini begitu cerah. Biru muda tergelar di mana-mana. Hitam putih tuts piano itu bahkan turut berubah warna menjadi biru dan putih. Sungguh damaianya hati ini. Aku sebenarnya tak ingin menang dari Hide, aku hanya ingin membuatnya merasa bersalah, menangis, meminta maaf dan mengakui kemampuanku di depan banyak orang dan penikmat musik. Aku tahu jika sebenarnya... ia baik. 
Benar. Ia baik. Namun, mengapa ia tak segera menemuiku setelah kejadian itu? Mengapa ia tidak menolongku saat aku terjatuh dan kedua tanganku terlindas mobil ayahnya? Apakah kita benar-benar tidak pernah berteman? Apakah selama ini ia hanya menganggapku sebagai seorang saingan? Tuan Muda Hide, si Beethoven Jepang? Kalau ia Beethoven maka aku Chopin! Bagaimana mungkin si pemain piano ceroboh yang tidak peka saat dipanggil seperti ia bisa dijuluki Beethoven? Nama julukan itu terlalu baik untuknya.
Benar juga! Jika kuingat-ingat, ia sangat menyebalkan ketika berhadapan dengan piano. Ia tidak akan menengok ke mana pun, tidak akan tersenyum, tidak merespon ketika kupanggil sekali pun. Apa karena dia sombong? Atau memang benar karena pengaruh scence musik dan konsentrasinya yang sangat baik saat menikmati permainnya sendiri sehingga ia sangat susah untuk berpaling dari piano di hadapannya. Ya, ampun aku harus fokus pada permainanku nanti. Sekarang saatnya senam jari! Pemanasan.
Ruangan backstage sudah sangat ramai oleh peserta. Aku kembali hidup! Namun, tunggu! Mengapa orang-orang seperti mereka ada di sini? Mereka aneh. Gadis ini, ia hanya memiliki empat jari tangan. Kakak laki-laki itu, ia tak punya kaki? Tempat apa ini? Ibu? Ibuku? Ia tega membuangku ke kontes murahan seperti ini?
"Ibu, maksud Ibu apa membawaku ke tempat seperti ini? Aku tidak seperti mereka ibu. Aku jenius musik. Aku tidak cacat! Aku hanya tak punya jari gara-gara Hide! Ibu, aku kece..."
"Hai, Nadira. Ohisashibure desu ne?" suara ini tak asing dan sepertinya asalnya dari belakangku.
Laki-laki berkacamata hitam? Cuih! Ia datang juga, Hide? Berubah dan semakin bergaya ia sekarang? Kacamata hitam? Digandeng gadis cantik dan sangat muda? Tak kusangka ia berubah sedrastis itu hanya dalam waktu setahun. Ia bahkan tak berhenti tersenyum, seperti ibu. Senyum yang memuakkan. Ya, kalian sama-sama sangat memuakkan.
"Baik atau buruk kabarku, bukan urusanmu! Kau yang menyuruh ibuku membujukku untuk mengikuti kontes memalukan ini? Cuih! Tak cukup kau menghancurkan mimpiku?" Napasku tersengal. Aku tak mampu menatap wajah ibuku. Entahlah apa yang kulakukan, aku tak tahu apakah aku sedang menuduh, memfitnah atau memotong hati seseorang. Aku benci dibohongi, apalagi oleh ibuku sendiri.
Sial! Mengapa orang ini tidak meresponku? Setidak penting itu kah pertanyaanku? Apakah ia tak punya hati, sampai-sampai tak tahu caranya meminta maaf padaku? Oke, kalau ini maumu, melihatku disaksikan orang-orang dalam kontes piano untuk penyandang cacat. Oke! Kau tahu, Hide? Hatimu juga cacat! Lalu, mengapa kau tidak mengikuti kontes ini juga?
"Kontestan selanjutnya, Hide Ninomiya..." suara tepukan tangan dari arah bangku penonton terdengar keras siap menyambut kontestan selanjutnya, yang ternyata adalah Hide.
"Kakak, sekarang giliranmu tampil," kata gadis cantik yang menggandeng Hide. Ia pun mengantarkan Hide hingga ke atas panggung. Mereka berdua tampak sangat serasi. Apakah mereka akan berduet? Pamer sekali. Namun, gadis itu memanggil Kakak? Ia adik perempuan Hide yang selama ini ia ceritakan? Cantik sekali.
Nadira! Fokus! Musuh besarmu sedang menebar pesona di atas panggung sebagai kon... kontestan? Ia kontestan? Sandiwara macam apa ini? Sungguh aku tak mengerti lagi mengapa Hide yang sekarang semakin pandai berakting. Ia bukan lagi Hide si kacamata kuda, tapi Hide si tidak tahu malu!
Gadis itu masih melingkarkan gandengan tangannya di lengan atas Hide. Mereka membungkuk bersama ke  penonton lalu berjalan ke arah tempat duduk. Hide duduk di kursi piano yang telah disediakan oleh panitia, lalu gadis itu meninggalkannya sendiri. Gadis itu...maksudku adiknya itu... tidak bermain dengannya? Mereka tidak berduet? 
Perlahan, Hide mulai memainkan jarinya, memainkan tuts-tuts piano di hadapannya dan menghasilkan rangkaian nada sangat kukenal. Apa ini? Amaryllis? Hide memainkan Amaryllis? Mengapa? Mengapa ia memainkan lagu yang dibencinya? Mengapa ia tidak lagi membenci lagu yang kusukai? Mengapa ia memainkan lagu yang terakhir kali ibunya mainkan sebagai pengantar tidur untuknya, sebelum mencampakan ia dan adiknya di keesokan paginya? 
"Hallo, Kak,” sapa gadis yang selalu menggandeng Hide sedari aku bertemu dengannya. “Kau Kak Nadira? Kau teman kakakku, kan?" gadis cantik itu kembali menyapaku. Amaryllis mengalun dengan pasti. Temponya dimainkan dengan lambat, jauh lebih lambat dari tempo asli hasil komposisi Henri Ghys. Setiap nada yang dimainkannya seolah diisi oleh napas pemainnya. Hide memainkan perasaannya. Ia menambahkan banyak sekali bumbu dan hiasan dalam sajian Amaryllis. Sampai-sampai tidak ada sedikit pun celah kekosongan dalam permainannya yang tidak isi dengan perasaannya. Aku terbawa ke dalam permainannya, ke dalam dunia imajinasi yang berhias bunga-bunga dan mentari musim semi, membuatku hampir lupa akan kehadiran gadis cantik yang menyapaku.
"Iya. Aku Nadira. Kau adiknya?" Aku bertanya balik kepada gadis itu.
"Iya. Perkenalkan namaku Nagisha. Yoroshiku onegaishimasu," jawabnya dengan sangat manis. Amaryllis masi berbunyi, nada-nadanya seolah berkilau dan menari di batang-batang hitam putih yang tampak ikut meleleh. Hide...
"Nadira-san... Setahun lalu..." dan kata-katanya itu seketika membuat pandanganku memburam.
*****
Dunia menggelap dan kenangan masa lalu terputar kembali. Aku dan Hide baru saja pulang dari sekolah musik. Kami berdua sama-sama dari kelas piano. Sore itu, kami berdua akan menonton konser Ryusuke Honda. Kami hampir terlambat dan aku tidak mau melewatkan satu nada pun dari permainan sang maestro pujaan. Aku berlari di sepanjang jalan menuju tempat konser. Di belakangku, Hide mengejarku dengan kewalahan.
Aku sudah mencapai tepi jalan raya dan mengantre bersama pejalan kaki yang akan menyeberang lainnya. Hide masih sempoyongan berlari. Tiba-tiba, ia berhenti, lima meter sebelum tempat penyeberangan. Ia melepas kacamatanya, meniupnya lalu ia mengelapnya.
Aku sangat marah saat itu dan bersiap untuk menarik kerahnya untuk segera bergegas. Namun, tiba-tiba lampu lalu lintas menyala merah. Orang-orang pun berbondong-bondong menyeberang. Aku tidak siap dan tiba-tiba ada seorang bapak berbadan besar yang menabrakku hingga aku jatuh tertelungkup ke arah jalan. Hide masih sibuk mengelap kacamatanya tanpa sadar bahwa aku terjatuh.
Saat aku akan bangkit, tiba-tiba sebuah sepeda motor menyerempet dan sekali lagi membuatku terjatuh. Naasnya, saat itu ada sebuah mobil yang mulai melaju kembali karena lampu sudah menyala hijau lagi. Aku tak mampu menghindar. Mobil itu menggilas pergelangan tangan kananku dan lengan bawah tangan kiriku. Ban depan dan belakang tanpa kecuali. Lalu semuanya gelap dan aku tidak pernah melihat Hide lagi saat itu.
Ibu memberitahuku bahwa ayah Hide adalah pengemudi mobil yang menabrakku itu. Beliau merasa sangat bersalah dan selalu rajin menjengukku, meski aku tidak pernah mau menemuainya. Namun tidak dengan Hide. Ia menghilang. Aku sedih kehilangannya dan lama-lama benci, hingga menjadi seperi ini.

*****
"Nadira-san. Kamu tidak apa-apa?" suara Nagisha menyadarkanku.
"Iya. Tidak apa-apa," jawabku singkat.
"Kakakku... Ia menyusulmu ke rumah sakit, setahun lalu. Ia sangat merasa bersalah dan menyesal. Ia sangat menyayangimu dan menganggapmu sebagai sahabat, Nadira-san," napasku tecekat.
"Namun, Tuhan berkehendak lain. Sepertinya Ia sedang menguji kekuatan kakak. Motor yang kakak naiki bertabrakan dengan motor lain di tikungan menuju rumah sakit tempatmu dirawat. Ia terseret bersama motornya. Kakak tak menggunakan helm saat itu dan kacamata kakak pecah. Mata kakak... matanya..." Nagisha diam sejenak aku panik, aku menyesal.

"Mata kanannya tidak terselamatkan sedangkan mata kirinya... ada serpihan kaca spion berukuran sangat kecil yang masuk ke mata kirinya. Akibatnya, ia tidak dapat melihat dengan baik dan ia selalu melihat tujuh bayangan benda dengan mata kirinya. Kata dokter, itu adalah refleksi bayangan yang diakibatkan oleh kaca itu. Kakak tak berani menemuimu. Akhirnya, kakak menyuruh sopir kami untuk berpura-pura menjadi ayah kami dan menjengukmu setiap hari. Sopir itu berpura-pura menjadi orang yang menabrakmu. Ia memberitahukan kabarmu setiap hari ke kakak. Kakak sangat sedih karena Nadira-san... seperti ini. Pendengarannya pun semakin terganggu dan bertambah parah dibandingkan dulu saat sebelum kec..." aku tak bisa membendung air mataku. Ini seperti adegan film. Aku tak bisa lagi diam mendengarkannya.
"Na... Nagisha-chan, ia sekarang tak bisa mendengar dan sangat menderita dalam melihat? Selama ini, ia mendapat julukan Beethoven Jepang itu, gara-gara pendengarannya yang kurang itu?" Nagisha mengangguk. Aku pun melemas dan terjatuh. Ibu memelukku. Ia menangis, tapi dari ekspresinya, sepertinya ia sudah mengetahui semua ini. Tuhan, aku begitu... berhati jahat. Tuhan... bahagiakan Hide, aku mohon.
"Hnn... Nagisha-chan, tolong bantu aku!" panggil seorang laki-laki bersuara baritone dari arah panggung. Ternyata Amaryllis telah selesai dimainkan. Hide pun sudah membungkuk ke arah penonton yang dibalas dengan tepukan tangan dan teriakan "Bravo" oleh sebagian dari mereka.
Aku tak tahan lagi, kutarik diriku dari kejatuhan. Aku berlari menghambur ke arah Hide dan meraih tangannya. Menuntun jemarinya ke arah tuts piano. Kunaikkan kakiku dan bersiap memijit tuts-tuts piano. Kumainkan tiga bar awal Amaryllis. Kuajak ia berduet bersama. Ia menyentuh jemari kakiku dan sudah tentu ia mampu menebak nada-nada yang tengah kumainkan, meskipun ia tidak dapat mendengarkan permainanku.
"Amaryllis... Nadira, kaukah itu? Kau suka dengan permainanku tadi? Amaryllis untukmu, Nadira. Kau Amaryllisku, Dira. Kau menggantikan ibuku, Amaryllisku yang hilang. Maukah kau memafkanku dan tak menghilang lagi?"
“Aku yang seharusnya menanyakan itu, Hide. Maukah kau tak bersembunyi dariku lagi? Kau temanku bukan?” tanyaku.
Dia mengangguk. Kami pun tersenyum bersama diiringi riuh rendah penonton yang turut berkaca-kaca dalam suka. Ini bagaikan mimpi atau adegan dalam film lebih tepatnya... dapat berduet lagi dengannya, sahabatku. Aku tak akan lagi menghilangkan diriku darimu, Hide. Tak akan pernah, selamanya. Aku berjanji, Hide. Maafkan aku membuatmu seperti ini.


No comments:

Post a Comment

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...