Wednesday 31 December 2014

Aku adalah hantu. Terkadang, aku ingin muncul di tengah kumparan rutinitas manusia yang terlihat bergembira dengan seluruh keramaian dan kebisingan yang mereka timbulkan. Namun, terkadang aku ingin bersembunyi, menjauhi mata-mata ingin tahu yang menyimpan kecurigaan pada makhluk-makhluk tak ingin diketahui sepertiku.

Tuesday 16 December 2014

Satu Sama

Ketika pagi tiba lebih cepat dan malam turun dengan terlambat, kulihat kau menggendong karung besar yang membuatmu nyaris tak bisa berjalan. Aku ingin menghampiri, tapi kulihat kau menolak semua bantuan yang orang lewat tawarkan. Kuurungkan segala niat, kusimak kau dari kejauhan.

Apa aku tak akan pernah menjangkaumu? Bahkan, ketika Tuhan telah sangat baik, menghadirkan kesempatan keseratus, aku masih saja tak mampu menyentuhmu. Kupikir aku sudah sangat berdosa, membiarkanmu tak terbantu. Padahal, aku tahu, aku satu-satunya orang yang harus dan dapat membantumu.

Aku tak bohong tentang aku yang tak mampu menyentuhmu. Bukankah ini tidak mungkin, membantumu tanpa dekat denganmu, tanpa mengertimu? Terkadang aku tak percaya, aku dan kau berasal dari latar belakang yang sama, dari rahim yang sama, dan memiliki tubuh yang sama. Namun, aku lebih tak percaya jika aku dan kau berbeda. Sebab, Tuhan menciptakan satu raga hanya untuk satu jiwa.

Mungkinkah kita betul-betul menjadi satu yang sama?

Satu hal yang harus dilakukan untuk mewujudkannya, meski aku tak yakin dapat melakukannya, adalah dengan tak lagi mengizinkan lalim dan dzalim membedakan kita. Dengan demikian, kita tak akan berpisah kejauhan. Aku mampu menyentuhmu, bahkan memelukmu dan menggendong karung itu bersamamu.

Apa kau percaya, aku dapat melakukannya? Sebab, kepercayaanmu adalah kekuatanku.

Monday 15 December 2014

Bagaimana aku dapat melupakanmu, jika kau selalu saja sengaja memunculkan diri, meski tanpa rupa, di hadapanku.

Sunday 14 December 2014

Tak Ada Judul

Apa kau akan mencintaiku, jika aku menjadi pintar? Apa kau akan memperhatikanku, jika aku menjadi cantik? Apa kau akan peduli kepadaku, jika aku menjadi orang terpandang? Namun, jika aku sudah menjadi pintar, cantik, dan terpandang, barangkali aku tidak akan lagi peduli, perhatian, apalagi cinta kepadamu. Berbagai kemungkinan dapat terjadi, bukan?
Dilihat dari sisi manapun, apa yang ada dan terjadi di antara aku dan kau adalah ketidaktulusan. Hubungan rumpang yang tak tahu harus dilengkapi dengan diksi tepat semacam apa. Karena, tak ada kejujuran dari pihakku juga pihakmu. Karena, tak ada urusan rasa yang  dilibatkan ketika kau berbicara denganku. Karena, tak ada bukti akurat yang dapat membuatmu yakin bahwa ada kelayakan pada diriku. Karena mungkin betul bahwa ini merupakan sebuah cinta satu sisi yang tak menarik bahkan untuk diingat oleh manusia lupa ingatan sekali pun.

Namun, jangan kau kira hal seperti itu dapat berlangsung abadi. Jika pun aku cinta mati kepadamu saat ini, belum tentu aku dapat bertahan menikmati hampanya bertepuk sebelah tangan seperti ini, apalagi jika harus sampai mati. Begitu pula kau. Meskipun kau berpura-pura tidak merasakan kehadiranku selama ini, belum tentu kau tidak merasa kehilangan ketika suatu saat tiba-tiba aku pergi tanpa kembali. Waktu tak hanya berlari tanpa permisi. Ia datang dengan jawaban-jawaban dan kejutan-kejutan yang dikirimkan oleh Tuhan. Aku dan kau, sama-sama belum tahu bagaimana akhir dari episode ini, bukan?

Hanya saja, aku yakin, hampir melebihi seratus persen, bahwa semua ini akan berakhir sebagai sebuah tragedi, apabila ketidaktulusan semacam ini berlangsung terus tanpa ada upaya untuk menghentikannya. Jika aku bersikeras diam di tempat, tak ingin bergerak untuk mengubah diri menjadi lebih layak di mata-Nya hingga layak pula bagimu. Jika kau tak menundukkan kepala untuk sedikit melihat sosok-sosok jelata, yang hanya memiliki kasih dan cinta, sepertiku.

Namun, bukankah Tuhan telah menjamin bahwa orang baik hanya untuk orang baik dan begitu pula sebaliknya? Maka, ketika tiba saatnya waktu berterus terang, ketika aku sudah menjadi lebih baik, tetapi kau tak kunjung mendekat datang; barangkali ini berarti bahwa bukan aku yang tak cukup baik untukmu, melainkan kau lah yang memang tak cukup baik untukku.

Ini memang hanyalah sebuah kesimpulan dangkal yang disimpulkan dengan tidak bijaksana oleh sesosok makhluk kekanak-kanakkan, seorang aku. Namun, kukira ini bukan ide yang buruk, menantang diriku sendiri untuk membuktikan mana yang lebih baik, kau atau aku. Aku tidak berani berharap tantangan ini berakhir remis. Karena remis menandakan bahwa kau dan aku memiliki kadar kebaikan yang sama; bahwa kau maupun aku, tidak kalah ataupun menang; bahwa kau dan aku berdiri di podium yang sama dan mau tidak mau saling berjabat; bahwa menjadi sama dan bersama itu terlalu indah, yang sayangnya justru tak pernah berhasil kubayangkan, hingga membuat kepalaku sakit seperti terpanah.

Apakah betul segala hal yang bermula akan berakhir menyakitkan? Jika benar demikian, sepertinya lebih baik aku diam dan tak mengirimkan tantangan, meskipun ini berarti bahwa aku harus menikmati kesakitanku sedari kini hingga waktu yang tak terprediksi. Bukankah lebih baik bersakit lama-lama kemudian terbiasa, daripada hidup damai berlama-lama lalu tiba-tiba terjangkit sakit memedihkan yang datang tanpa aba-aba?

Wednesday 10 December 2014

Vertigo

*pending*

Katakan!

Kau ingin aku menjadi apa? Apa yang kau inginkan, yang ingin aku wujudkan? Apa pun itu, tolong katakanlah. Katakan padaku. Dengan begitu, aku tahu ke mana aku harus berlari dan dengan cara apa aku harus meningkatkan laju lariku itu.

Di setiap pagi aku terbangun, aku mengantongi mimpi-mimpi yang terkadang hinggap atau terperangkap dalam sarangku, sarang nyaman yang telah ratusan hari lamanya kuhuni, tanpa sekalipun kutinggal pergi. Sayangnya, hal yang nyaman belum tentu merupakan hal yang tepat untuk selalu ditempati atau dijalani. Seperti mimpi-mimpi yang tertangkap olehku, mereka mengabur dan melenyap tanpa memori, seiring pergantian hari. Mereka tak mampu bertahan hidup dalam kantong-kantong yang kusediakan. Mereka tak berkutik di sarangku, yang bagiku bagaikan surga dunia, tapi bagi mereka bagaikan anak neraka yang mengeringkan harapan kehidupan.

Maka aku bertanya, apa yang harus kulakukan agar aku terbang menjauhi sarangku? Aku tak memiliki cukup keinginan yang ingin kuwujudkan, hingga aku teringat padamu, pun pada mereka. Betul. Kalian akar keinginanku. Hanya kalian yang ingin kubuat bahagia, tertawa lepas tanpa diganduli keresahan. Namun, ketika aku menyadari bahwa tanyaku berbalas tanya, keresahan itu justru turut menginfeksiku. Apakah kita akan berakhir seperti ini? Resah dalam hidup yang sarat keresahan yang berlama-lama?

Aku ingin berjalan-jalan, mengitari taman bunga yang dipenuhi alamanda, anggrek tanah, lili merah jambu, teratai air, dan aneka mawar. Aku berharap di sana dapat menghirup wewangian penawar aroma keresahan yang lambat laun menguar dari dalam diriku. Hanya saja, aku tak tahu alamat taman itu. Dan lagi, sayap-sayapku belum siap bertahan terbang lama untuk menujunya. Jika aku harus menanti lebih lama lagi, aku takut aku melenyap, sama seperti mimpi-mimpi yang kukantongi. Namun, memaksakan diri pun sepertinya hanya akan berakhir kematian di tengah jalan. Semua dampak ini aku tak berani menanggungnya seorang diri. Maka lagi dan lagi, aku hanya meringkuk, menggelung, hari demi hari dalam sarang sialan ini.

Aku hanya ingin kau ada untukku. Bersamaku, di sampingku, mendampingi dan menuntunku keluar dari sarang yang menawan akal dan tubuhku bagai jerat setan. Karena aku yakin, kau dapat menamparku, ketika aku mulai menceracau atau barangkali berubah menjadi jalang yang mengotori jalanan. Karena aku percaya, kau dapat menarik dan memapahku, ketika aku terperosok, lumpuh, dan tak mampu untuk berjalan pulang. Karena aku tahu, hanya kau yang bersedia kubebani, oleh diriku yang menggantungkan jiwa ragaku pada bahu kurusmu yang mulai keropos tergerus waktu, setidaknya hingga tiba saatnya aku berani melepas gantungan erat tanganku itu.

Maka kepadamu lah, aku ingin mempersembahkan rajutan sarang jerami yang baru, tenunan sutra lembut yang belum pernah kau sentuh, air madu bunga matahari yang tak pernah kau teguk barang setetes, atau apa pun yang kau inginkan, yang kau ingin aku lakukan untukmu. Ini akan lebih gampang, jika kau berkenan mengatakannya kepadaku. Andai saja cara kita berbincang semudah kita mengedipkan mata, mungkin kau dapat mengatakannya sejak lama, atau aku dapat menanyakannya padamu jauh sebelum kau sempat berkata.

Kita, makhluk rimba yang melarikan diri dari bisingnya rutinitas manusia bermata menusuk lagi berisik, dapatkah kita bertahan? Dapatkah kita sembuh dari infeksi keresahan ini? Tolong katakan! Katakan padaku, apa yang harus kulakukan untuk mewujudkan pelarian ini! Katakan bahwa kita bisa berlari! Katakan lah tidak hanya dengan kata, tetapi juga keyakinan tanpa keraguan! Katakan lah bukan hanya dengan lidah, melainkan juga dengan mata dan tingkah! Katakan lah setidaknya hingga aku siap berhenti menuruti keegoisanku, hingga aku mampu berhenti bergantung padamu, berhenti bernapas tanpa bantuan embusan udara yang selali kau tiupkan untukku.

Aku akan terus menanti. Meski sekarat pun, aku akan menanti kata-kata itu datang padaku dan aku pasti mewujudkannya untukmu juga mereka yang kau cinta.

Monday 8 December 2014

Hehe, kayaknya gara-gara aku, ada beberapa orang yang jadi memanggilmu dengan sebutan ****** juga, ya? Maaf yaaaa….
Namun, kayaknya lucu juga sih kedengarannya… :P
Ngakak saya waktu pertama kali lihat gambar di atas, :D
kepingankisahamarilis.blogspot.com
Kebumen-Depok
Entahlah 2009-Juli 2012

Satu
pada 28 Juni 2009 pukul 9:34
(Tahukah? Gara-gara pernah ngobrolin Tetralogi Laskar Pelangi di MXIT denganmu, aku jadi makin suka dan suka sama novelnya Andrea Hirata. Hehe, aku yakin kamu udah lupa kita pernah ngobrolinnya. Ini note pertama yang mana saat menulisnya, aku sedikit ingat padamu, J)

Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat katalismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membumbung di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjera pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang biru bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. (Andrea Hirata: Sang Pemimpi, mozaik 1, "What a Wonderful World", hal. 1)

Jika kita ditimpa buah nangka, itu artinya memang nasib kita harus ditimpa buah nangka. Tak dapat, sedikit pun, dielakkan. Dulu, jauh sebelum kita lahir, Tuhan telah mencatat dalam buku-Nya bahwa kita memang akan ditimpa buah nangka. Perkara kita harus menghindari berada di bawah buah nangka matang sebab tangkainya sudah rapuh adalah perkara lain. Tak apa-apa kita duduk pantai di bawah buah nangka semacam itu karena umi Tuhan telah mencatat dalam buku-Nya apakah kita akan ditimpa buah nangka atau tidak. (Andrea Hirata: Sang Pemimpi, Mozaik 11, "Spiderman", hal. 127)
Orang yang disambar petir memiliki ekspresi dan sikap tubuh yang aneh seolah tubuhnya dimasuki makhluk asing dan makhluk asing itu mengambil alih jiwanya. Di atas fondasi kepercayaan seperti itulah orang-orang Melayu tempo dulu meletakkan cara yang spektakuler untuk menyelamatkan korban sambaran petir. Jika ada korban petir yang tak langsung tewas, dukun Melayu, dalam hal ini dukun langit, segera menyalakan api di bawah tungku yang panjang. Di tungku itu dijejer daun-daun kelapa yang masih hijau lengkap dengan pelepahnya. Dan di atas daun kelapa itulah sang korbang dipanggang, di-barbeque. Maksudnya, untuk mengusir dengu listrik dari dalam tubuhnya. Percaya atau tidak, cara ini sering sukses. Penjelasan logisnya barangkali ada pada seputar reaksi antara asap, panas api, listrik, sugesti, dan tipu muslihat dunia gelap perdukunan. Adapun yang tak sempat tertolong, seperti terakhir kulihat, seorang sembari nira disambar petir saat memanjat pohon aren. Ia wafat di tempat, lekat di pohon itu, kedua tangannya tak dapat diluruskan. Ia ****fani dan dikucurkan dengan sikap tangan seperti seorang dirigen orkestra sedang mengarahkan lagu "Aku Seorang Kapiten". (Andrea Hirata: Sang Pemimpi, mozaik 13, Pangeran Mustika Raja Bana, hal. 157-158.

Bakat tidak seperti alergi,dan ia tidak otomatis timbul seperti jerawat,tapi dalam banyak kejadian ia harus ditemukan
.

Yatta! Kamu ternyata mengomentarinya, hehe…
Rajine..wis ngrekam mbrang dicateti maning..jyan jyan









Dua
11 Juli 2009 pukul 20:44
(Ini note ke-2 tentang kamu. Sebenarnya, bukan menceritakan kamu. Aku ingat sekali, kamu sering menggunakan kata rewel. Bagiku kata rewel itu kata yang sangat jarang kudengar sehingga saat setiap aku membacanya dari komentarmu, kata rewel ini terlihat lucu sekali. Kawaii, seperti ucapan seorang kakak yang sedang memarahi adik kecilnya, tapi lembut. Rewel ini cikal bakal sebuah cerpen. Namun berhenti dan belum sempat nerusin lagi. Terima kasih untuk inspirasinya. J)

Rewel in the Palace

Burung gereja berdasi bercicit ceria di dahan kering pohok ek yang dulu sengaja ditanam dekat-dekat dengan kamar oleh Jase. Tujuannya adalah agar dia dapat menggunakannya untuk turun dari kamarnya di lantai 2 rumahnya. 

Hehe... inspired by nylelek pers0n!

Smangat!!!

Tiga
18 Juli 2009 pukul 23:12
(Maaf sekali. Aku juga nggak tahu kenapa aku menuliskan ini untukmu. Gomenasai untuk memikirkan dan menantikanmu mengajak ber-chatting via MXIT di malam hari.)

Di balik kilau pepohonan cemara angin yang bernyanyi tanpa solmisasi...
Di antara dedahanan jambu mawar yang bunganya tengah ramai berebut untuk mekar...
Dan di tiap sela dedaunan rambutan yang selalu sibuk mengumpulkan karbondioksida...
.......
Aku tertunduk, mengerutkan dahi, menyeleksi dan menyusun serpihan-serpihan puzzle istimewa untukmu...
Ku bisikkan 3 kata rahasia yang kuharapkan besedia terbang bersama semilir angin...menuju kotak pos hatimu, hanya untukmu, tuk pertama dan terakhir kali...
Pertengahan Juli yang kering dan dingin adalah pertanda awal musim bunga bersemi di kalender hatiku...
Tiga kali perjumpaan dalam lima menit perkiraan waktu, membuatku tiga kali jatuh ke dalam lubang nan usil memainkan ilusi, memaksaku memamerkan senyum simpul mahalku secara cuma-cuma kepada siapa saja... Tak tanggung-tanggung, satu lesung pipi selalu kulemparkan tuk menyambutmu...
Hanya untukmu, tiga kata rahasia... Tiga diksi termahal yang memang limited edition, kutitipkan pada angin... Semoga hinggap di mimpimu. . . .
Nite. . .












Empat
19 Juli 2009 pukul 10:05
(Ini adalah kelanjutan note sebelumnya. Di sini, aku mulai merasa ada yang salah dan benar-benar salah denganku. Aku yang terlalu memaksa dan berpura-pura tidak tahu bahwa kau adalah kekasih orang lain. Nakal dan keras kepala, ya? Oh iya, dalam beberapa bagian tulisanku, mungkin aku seperti menyalahkanmu. Namun, sebenarnya tidak. Terima kasih justru ingin kuucapkan selama ini padamu yang begitu baik dan mau mengobrol denganku, si kakak kelas tua renta. Memang selalu terlintas pikiran, “Jika aku bukan kakak kelas, pasti aku tidak akan bisa ngobrol denganmu seperti itu, hehe”. Aku sadar tapi tetap memaksa. Maaaaaaf… L)

I've never felt something like this before...
Mungkin suatu kontraposisi sehari-hari bagi khalayak umum, tapi bagiku ini adalah suatu invers yang jarang terjadi di 17 tahun keberadaanku di dunia...
Jika ditelaah lebih lanjut, menilik memoriam-memoriam terdahulu yang hampir terkubur oleh waktu, belum pernah kualami keberhasilan berarti dalam peristiwa ini.
Aku tergiur, terhipnotis oleh kilauan patah-patah katanya. Dia yang tak pernah kehilangan cerlang, dan tak kan pernah menghilangkannya demi satu tujuan menarik hati banyak orang...
Aku salah satu dari banyak orang itu, dan di sini aku sebagai korban dari nikmat sekejap yang membawa kesengsaraan panjang dan sulit dilupakan...
Sem0ga aku akan lebih jarang mengalami ini, dan kutemukan sekali lagi saja, untuk yang terakhir...
Tiga kata untuknya masih tersimpan, terjaga , hanya untuknya yang tak tahu siapa dan di mana, serta entah kapan kedatangannya. . .Top of Form










Lima:
31 Juli 2009 pukul 18:50
(Iya. Aku sering menyebutkan kawan bisu, ya? Itu adalah kamu. Maaf, aku agresif. Malu. Komentar monolog yang ditulis di komentar-komentar di bawah note ini adalah apa yang aku rasakan saat itu. Entahlah! Aku malu membacanya lagi.)

Setiap melihatnya, bahkan mendengar namanya saja, aku jadi...begitu merasa aneh...
Aneeh banget!!!
Kata "the virgin": Rasa ini sungguh tak wajar...hehe... Dan mungkin kurang lebih maksudku sama dengan itu...
Setelah berpapasan dengannya, sedikitnya dua inspirasi timbul begitu saja tanpa permisi. Wow! Aku heran...dan senang. Hehe...
Bahkan, aku begitu susah mendeskripsikan rasa tidak wajar itu. Begitu abstrak dan mendalam. Begitu terpendam dan penuh rahasia. Begitu membuatku penasaran! Hmm... Bukan cinta, hanya saja rindu menerus terhadap kata-kata bisunya yang begitu menyihir dan menginspirasiku. Sungguh! Belum pernah satu huruf pun, terucap dua arah. Hmm...
Namun, setiap berbincang bisu, semangatku tumbuh! Inspirasi mengalir! Dan senyumku tersungging, kecil.
Memang aku yang over. Hehe...
Coz...sekarang, aku pun tak pernah lagi terpaut sepatah kata pun dengannya. Gpp, asal masih sekedar papasan kecil, aku tetap senang. Kau inspirasiku! Salah satu pot0ngan puzzleku yang baru kutemukan di hamparan kebun inspirasi sempit dan berpepohonan rimbun!

WoW kau orang yang ku maksud, semoga kau membaca ini, lalu bangkitkan semangatku lagi dan lagi...

Ayo, kawan bincang bisuku....
Aku rindu kata-kata ikhlasmu!
Top of Form



Komentar:Top of Form

Kereeen...

Apa, b0ng??

Please, tell me what must I do? fiugh...
Semakin ditulis, semakin aku terobsesi. Namun, ini hanya obsesi kompulsif yang terus memuncak tak tahu kapan akan mencapai si sumber obsesi...
Gila!
Sehari saja tak menulis, meski satu hal kecil tentangnya, rasanya ga enak, n slalu pengen menceritakannya meski hanya pada hape soulmateku...

Kangen!
Hahae...

Kutulis di mana saja yang masih muat, dan mau menerima coretan tak pentingku ini.
Mana lagi ya?
Hmm...


Basa-basi!
Aku tak suka orang yang terlalu banyak basa-basi untuk menutupi kekurangannya!
Meski itu adalah kau!
Enam
2 Agustus 2009 pukul 17:21
(Ini adalah cerpen yang kubuat sebagai pemenuh tugas Bahasa Indonesia saat kelas 12. Percaya? Aku menulisnya beberapa saat setelah chat denganmu di MXIT. Aku buntu ide dan tidak tahu mau menulis apa lagi, maka aku memutuskan menuliskan kisah tragis seekor kecebong. Terima kasih lagi karena secara tidak langsung dan tanpa kamu sadari kamu telah menginspirasikan sebuah ide lagi.)

Di Ladang Tebu

Musim gugur hampir berlalu. Angin musim dingin mulai bertiup menggelitik bulu kuduk dan hamparan ilalang di ladang tebu. Dari kejauhan terdengar suara ratusan langkah kaki yang makin lama makin mendekat, menggemparkan kediaman para makhluk pelompat yang sedang nyaman mendengkur di bawah terpaan cahaya bulan malam ke-13 di sana.
Perlahan tapi pasti, satu per satu dari mereka terjaga lalu berteriak seenaknya, "Wibik...wibik..." Sekarang, suara langkah kaki telah digantikan oleh riuhnya konser yang dimeriahkan musisi-musisi amfibi, membawakan theme song andalan mereka, "Wibik...wibik..." Mereka berlompatan ke sana ke mari, padahal tak ada yang mendekati. Mungkin insting mereka jauh lebih peka dari perkiraan para manusia ladang.
Sementara itu, sekitar dua puluh meter dari ladang tebu tempat para katak itu bisaa beraktivitas dan istirahat, ratusan pasang mata manusia mengintai mereka. Beberapa menit lagi, perburuan hewan amfibi ini resmi dibuka. Pesertanya tak lain tak bukan adalah ratusan pengintai ladang tadi. Berbagai senjata seperti cangkul, pisau, sapu jerami, hingga samurai telah mereka genggami. Bumerang kecil pun tak luput dija****n benda pamungkas. Tatapan mereka --yang kebanyakan adalah petani-- tajam, teliti dan terpusat pada ladang tebu. 
Kini hanya tinggal menunggu tanda, dan mereka telah siap melakukan penyerangan dan mengayunkan benda-benda di genggamannya seasyik bermain yoyo. “Priiiit...” Lalu seluruh manusia bersenjata berhamburan ke ladang melancarkan aksi.

*****
Dahinya berkerut, sehingga dapat menahan sebulir keringat yang meluncur lincah dari kepala botaknya. Meski keringat bercucuran, tapi Profesor Keynes tetap kekeuh menempelkan matanya pada lensa okuler mikroskop elektron. Objek pengamatannya adalah gumpalan kecil berinti hitam dan diselimuti lendir bening yang telah ia ja****n preparat. Entah spesies apa yang sedang ia teliti. Namun, yang pasti ini adalah suatu proyek besar sebagai bentuk sumbangannya bagi khazanah ilmu pengetahuan.
Sementara sang profesor asyik bekerja, di ruangan yang sama, ada sesuatu yang mengawasi setiap inci gerakan profesor di setiap detiknya. Jika profesor mengerutkan dahi, ia pun akan semakin serius mengamati. Jika profesor tertawa, ia ikut menari berputar di dalam kotak akuariumnya. Ia adalah seekor kecebong berumur tiga hari.
Sepanjang 3 hari hidupnya ia tak pernah melihat danau, sawah, rawa, got atau tempat-tempat semacam itu yang bisaanya merupakan tempat lahir, tanah air para kaumnya. Kecebong ini lahir dan tumbuh di akuarium profesor Keynes bersama sekitar seratus ekor saudaranya. Bahkan, ia tak punya nama. Menamai mereka satu per satu bukanlah ide bagus. Apalagi profesor sendiri sedang sibuk meneliti seluk beluk leluhur kecebong itu. Alhasil, ia pun menamai dirinya sendiri "Nana", sebab ia suka bersenandung dalam air. Satu-satunya hobi Nana adalah memperhatikan profesor. Hobi yang oleh saudara-saudaranya dianggap aneh dan membuang-buang waktu.
Di film-film kartun, anak burung yang baru menetas akan menganggap sosok pertama yang dilihatnya sebagai induknya, meskipun sosok itu adalah seekor kucing. Tampaknya, hal ini pula yang terjadi di pada Nana. Ia begitu menyayangi profesor yang sering berada di dekatnya.
Suatu hari, bertepatan dengan lima hari umur Nana, seorang wanita asing datang ke laboratorium. Dia memakai baju safari coklat, bertopi lebar dan tampaknya datang dari tempat jauh. Kedatanganya adalah untuk mendiskusikan satu hal serius dengan profesor. Namanya Sandra.
"Bagaimana perkembangan penelitianmu, Prof?" tanya Sandra kepada profesor yang sedang menulis suatu kajian ilmiah. Profesor berhenti menulis. Dibetulkannya letak kacamata perseginya yang melorot. Lalu ia menghirup nafas panjang, menahannya beberapa detik sebelum kemudian ia hembuskan.
Hening sejenak dan akhirnya ia pun menjawab sambil membelai dagunya yang tak berjenggot, "Hmm... Sandra, setelah kuteliti lebih lanjut, kematian buaya-buaya di rawa itu disebabkan oleh Cane toad."
Sandra diam. Wajahnya tampak serius berpikir, "Begitu? Tapi, bagaimana mungkin? Mereka sangat membantu para petani. Sejak tahun 1935, mereka sengaja diimpor dari benua Amerika untuk membasmi hama kumbang yang menyerang tanaman tebu di Queensland. Kini mereka telah beranak pinak di seantero Australia. Bagaimana mungkin mereka bisa membunuh para buaya-buaya itu?"
Di dalam akuarium, Nana mendengarkan percakapan itu dengan seksama. ‘Apa itu Cane toad? Queensland? Amerika? Nama-nama apa itu?’ Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan di kepala Nana. Ia pun semakin antusias memperhatikan dua makhluk besar yang tidak hidup di air itu.
"Sandra. Katak-katak ini mempunyai sistem pertahanan diri yang kompleks. Satu bulan penelitianku terhadap Cane toad, ternyata membuahkan fakta baru. Mereka berbeda dengan katak-katak jenis lain, sebab ada semacam kantung beracun yang tersembunyi di balik kaki depannya. Zat-zat mematikan yang kutemukan dalam sampel buaya itu sama dengan racun yang ada di dalam kantung katak itu," jelas profesor panjang lebar.
Kenyataan itu membuat Sandra tercengang. Tampaknya ia tak menyangka bahwa katak-katak yang panjangnya bisa mencapai 20 cm itu adalah kunci penyebab ketidakstabilan ekosistem di sekitar hutan dan ladang tebu. Perlahan-lahan ia mulai bicara lagi, "Saya mengerti, Prof. Populasinya yang begitu pesat satu dekade terakhir, bahkan hingga ke daerah rawa di hutan, memang cukup membuat saya bertanya-tanya. Apakah tak ada predator yang mau menyantap katak-katak itu? Ternyata mereka mati sebelum berhasil memangsanya. Lalu, Prof, apa mereka berbahaya bagi manusia?"
Si kecebong masih serius memperhatikan mereka. Meskipun ia mendengarkan tiap kalimat percakapan itu, tapi tak sedikit pun ia memahami maknanya. Kapasitas memori pikirannya kecil, sekecil tubuhnya.

*****
Esoknya, Nana berharap agar Sandra datang lagi dan mengatakan hal-hal lain yang lebih mudah untuk dipahami olehnya. Ia menyukai Sandra sejak awal melihatnya. Sandra adalah orang pertama yang menyapanya --menyapa mereka tepatnya-- dengan mengobok-obok akuarium. Padahal, saat itu Sandra hanya berniat merendam kelingkingnya yang sedikit melepuh karena tercelup ke dalam secangkir kopi panas.
Ckrrk... Pintu terbuka, lalu melangkah seorang anak laki-laki kecil memakai seragam TK. Anak kecil itu mengendap-endap lirih di dalam laboratorium. Ia berhenti tiba-tiba di depan akuarium lalu berteriak, "Mak... Emak! Ada ikan kecil-kecil belenang, Mak! Banyak! Ada sejuta! Di sini mak!" Suaranya yang cempreng mengagetkan Nana dan membuat gaduh seisi rumah.
"Wah, suara itu menggetarkan dunia!" kata Nana kepada seekor ikan koi bersirip kuning yang berada di dekatnya. Akuarium adalah dunia baginya.
"Iya. Aku takut suaranya menimbulkan polusi di dunia kita," jawab ikan mas itu.
"Apa itu polusi?" tanya Nana dengan penuh penasaran.
Si ikan tampak bingung saat ditanya balik, lalu dia pun menjawab, "Hmm... Profesor berkata seperti itu 7 hari yang lalu saat memandang kotak kaca itu." Mata bulatnya melotot ke arah televisi.
"Aku hanya mengutip kata-katanya. Hehe..." imbuh si ikan.
"Tujuh hari lalu? Umurku saja baru enam hari. Kalau begitu kau lebih tua dariku. Berapa umurmu?"
Si ikan berenang berputar di tempat sebanyak tiga kali yang menandakan ia sedang berpikir. Lalu ia menjawab, "Aha... biar kutanyakan pada emakku."
"Emak? Apa itu emak? Manusia kecil itu juga menyebutkan emak tadi," tanya Nana membabi buta.
"Emak itu orang yang lebih tua darimu. Dia tahu segala hal yang tak kau ketahui," jawab si ikan.
"Kalau begitu kau emakku?"
"Aku? Entahlah. Sepertinya tampang kita berdua berbeda. Kau
begitu hitam legam dan mulus. Sedangkan aku, indah, berkilau tapi bersisik. Ah... sudahlah biar kutanya emakku yang ada di dunia seberang!" jawab ikan. 
Lalu ia meninggalkan Nana menuju sebuah akuarium lebih besar yang berada di samping akuarium mereka. Nana terus mengawasinya hingga si ikan sampai di perbatasan "dunia" dan bertatap muka dengan seekor ikan mas koi super besar. Si ikan menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi dengan ikan besar itu. Tak lama kemudian, si ikan koi kecil bersirip kuning pun berbalik dan menemui Nana.
"Sudah kudapatkan jawaban. Kata emakku, aku menetas saat bulan bulat sempurna dan nanti malam adalah bulan bulat sempurna keduaku. Jadi umurku adalah satu bulan. Hahaha!"
"Oh... Lalu kau siapa?" tanya Nana.
"Aku? Namaku Sybil kau Nana bukan? Dan satu lagi, aku bukanlah emakmu. Kata emakku, emakmu adalah orang yang melahirkanmu. Eit... Jangan bertanya soal emakmu lagi padaku!" kata ikan itu yang ternyata bernama Sybil seolah-olah bisa membaca pikiran Nana.
"Oh...Baiklah, Sybil. Lalu, mengapa emakmu ada di dunia yang lain?"
"Entahlah. Profesor memisahkan kami sesaat setelah aku menetas."
"Lalu..." kata-kata Nana terhenti setelah terdengar suara berisik menuju laboratorium. Pintu terbuka, lalu muncul profesor dan seorang manusia bertutup kepala panjang hingga terjuntai menutupi dada.
"Aduh... Elu ya, Dul! Udah emak bilangin ratusan kali tetep aje nakal! Jangan masuk ruangan Mister Propesor! Bagimane kalo ntu barang-barang pade pecah? Pan bisa berabe ntu urusanye! Maapin, anak aye yah, Mister!" kata manusia bertutup kepala itu sambil menaboki anaknya dengan lembut.
"Hahaha... Tidak apa-apa. Saya suka dengan anak kecil yang rasa ingin tahunya besar. Apalagi setiap melihat Abdul, saya jadi ingat anak saya" kata Profesor Keynes.
"Terime kasih, Mister. Mister kagak marah same ni Bedul yang bandel. Oh iye, aye do'ain semoge Mister bisa cepet ketemu anaknye di Australie. Amin... Ya udeh, kami ke dapur dulu, Mister, mau masak makan siang. Ayo, Dul!"
“Mpok, bagaimana kalau Abdul di sini saja dulu?" pinta profesor.
"Kagak ape-ape nih? Ntar kalo ganggu Mister bagimana?"
"Kagak ape-ape, Mpok! Haha..." jawab Profesor menirukan logat Mpok Ijah.
"Ah! Mister bise-bise aje! Ya udeh, aye turun. Permisi!"
Mpok Ijah keluar dari laboratorium. Pintu tertutup. Profesor mendekati Abdul, lalu berkata, "Dul, binatang ini namanya kecebong atau berudu, bukan ikan."
Abdul tampak mengerti, lalu ia bertanya, "Meleka saudalanya ikan, ya, Mistel?"
"Hahaha... No, son! Mereka adalah anak-anak katak. Kau tahu katak bukan?"
"Waaah... Kelen! Kok meleka tidak punya kaki?"
"Tentu saja mereka punya. Hanya saja belum tumbuh. Suatu saat nanti mereka akan bermetamorfosis menjadi katak dan hidup di darat. Kau mengerti, Nak?" tanya profesor.
Abdul mengangguk pelan. Tak jelas apakah ia mengerti atau tidak, tetapi yang pasti Nana lah yang sedang bergembira saat ini. Ia tahu siapa dirinya sekarang. Ia tahu leluhurnya. Ia adalah Putra sang Katak!
"Kau tahu Sybil? Aku adalah Putra Katak! Seperti apa katak itu, Sybil?" tanyanya. Belum sempat dijawab, dia sudah berkata lagi, "Eh... Katak? Hah?? Katak? Aku..." tiba-tiba ia berhenti bicara. 
Kegembiraannya meluntur seiring semakin pelan suaranya.
"Ada apa, Na?" tanya Sybil tampak heran.
"Aku anak seorang pembunuh!

*****
"Sudahlah. Tak usah kau pikirkan. Wajahmu sama sekali tak menakutkan. Bahkan, kau tak memiliki sirip duri seperti yang kumiliki," kata Sybil pada suatu hari. 
Nana sudah menceritakan tragedi kematian buaya di ladang tebu. Sejak ia tahu bahwa ia adalah anak seekor katak yang merupakan hewan pembunuh hewan lain, semangatnya mulai menurun. Profesor dan Sandra tak lagi penting baginya. Sybil yang telah mende****sikan dirinya sendiri sebagai sahabat Nana lah yang selalu menghiburnya. Hubungan antara keduanya memang semakin dekat akhir-akhir ini.
"Ah... Sudahlah Sybil. Kata-katamu tak akan pernah membantu. Lebih baik kau pergi sebelum terbunuh seperti buaya-buaya itu!" usir Nana.
Sybil hanya diam. Bukan karena tak dengar atau tak mengerti, tapi karena ia melihat sesuatu. Matanya memelototi satu bagian tubuh Nana. Mulutnya terbuka, sampai-sampai lupa menutup.
"Na!Kau punya kaki!" teriaknya tiba-tiba. Lalu ia mengitari Nana untuk memastikan. "Yeah! Sepasang kaki belakang! Pantas saja beberapa hari ini kau bersikap aneh. Ternyata memang karena hendak tumbuh kaki. Haha... Keren!" celetuk Sybil setengah berteriak, sehingga membuat penghuni laboratorium kaget.
Kali ini Nana tak bisa lagi menghindar. Ada satu dorongan dalam tubuhya yang memaksanya tersenyum. Lalu ia berkata, "Dasar kau ikan! Hahaha... Tapi, apa itu mungkin? Aku marah-marah gara-gara mau tumbuh kaki? Coba ada emakku di sini, pasti dia sudah memberitahuku segala hal tentang kaumku."
Sybill tersadar dari kesenangan sesaatnya --merayakan tumbuhnya kaki Nana--, lalu menghampiri sahabat terkasihnya. "Sudahlah, Kawan. Kau tak butuh emakmu lagi. Ada aku dan semua saudaramu di sini. Benar kan teman-teman?" hibur Sybil lalu melirik pada penghuni akuariam lain memastikan apakah warga lain dalam akuarium berpendapat sama dengannya. 
Namun, hanya beberapa ekor yang bilang "ya". Sedangkan yang lain menggumamkan kata-kata semacam: "Dasar sinting!"; "O, ya?"; "Aku tak ingat kalau aku bersaudara dengannya," atau "Siapa yang peduli? 'Cuz I don't care!"
"Oh! Jangan pedulikan mereka, Kawan. Kau pasti bisa hidup tanpa emakmu! Mereka hanya makhluk-makhluk berotak udang, bahkan lebih kecil dari otak udang. Hahaha...!" kata Sybil menanggapi keadaan. 
"Sybil! Kau pikir otakmu sebesar kelapa? Enak saja kau menghna kami seperti itu!" bentak seekor ikan di belakangnya. Ternyata, tanpa ia sadari, ratusan makhluk air di sekelilingnya sedang memandangnya dengan wajah geram. Dalam hitungan detik seluruh makhluk air telah merubungnya dan mengeropoknya.
Nana hanya diam pasrah menyaksikan. "Rasakan tuh, Bil! Hehe..." batin Nana. Ia sudah hendak membantu Sybil, ketika pintu terbuka yang diikuti masuknya Profesor dan Sandra. Sandra tampak berbeda kali ini. Ia tidak memakai baju safari, sepatu boot hitam juga topi lebar bersimbol pohon seperti bisaanya. Baunya pun harum, tidak lagi amis campuran bau ikan, asap, tanah liat dan keringat. Polisi hutan ini telah berubah menjadi bidadari cantik yang memesona. 
"Wah...wah... Penampilanmu tak seperti bisaanya, San? Mau ke mana kau?" tanya profesor kepada Sandra.
"Bisaa ke Bali, Prof. Aku sudah penat berada di hutan Australia sebulan ini. Apalagi dengan semakin banyaknya binatang yang mati. Mereka membuatku stres," jawab Sandra.
"Oh iya! Sekarang aku sudah yakin mengenai katak beracun Cane toad itu. Mereka sangat berbahaya bagi makhluk hidup, tak terkecuali manusia," kata profesor mulai serius.
Sandra kaget. Tas kecil yang ia selempangkan di bahunya melorot hingga ke siku. "Lalu, bagaimana cara kita membunuh mereka agar bukan malah kita yang terbunuh, Prof?" tanya Sandra. Suaranya meninggi. Wajahnya memerah. Suhu di laboratorium serasa naik drastis. Padahal langit Bogor sedang mendung saat itu. 
"Seharusnya hal ini sudah kita sadari sejak lama. Toh, katak-katak itu tak bisa melompat setinggi batang tebu untuk menangkap kumbang yang justru sering hinggap di ujung batang. Aku sungguh menyesalkan kelalaianku ini! BETAPA BODOHNYA AKU!" kata Sandra. Kali ini ia tak lupa menggebrak meja kerja profesor. Kertas-kertas berhamburan akibat ulah Sandra. Namun, profesor Keynes sama sekali tidak berusaha mengambilinya. Ia hanya diam tanpa ekspresi.
Sedangkan Nana, ia tak berkedip menyaksikan peristiwa itu. Sampai-sampai ia tak sadar bahwa Sybil sudah lolos dari lingkaran penghajaran dan sekarang berada di sampingnya dengan tubuh babak belur. Beberapa sisiknya terkelupas.
Tampaknya ia tak akan berani berbicara sembarangan lagi.
Sandra masih diliputi amarah. Namun, rona merah di wajahnya berangsur mulai memudar sekarang. Tangannya kembalai santai dan ia membetulkan tas tangannya yang melorot. “Maaf, Profesor!” katanya pelan.
Profesor tak lagi diam saja. Ia malah tersenyum, lalu perlahan tertawa kepada Sandra. Sandra justru bingung melihatnya. Ini bukanlah saat yang tepat untuk tertawa, pasti kurang lebih seperti maksudnya.
“Ternyata kau bisa marah juga, San? Hahahaha…” kata profesor.
“Apa maksudmu, Prfof??! Jangan bercanda!” katanya setengah berteriak. Namun, jelas terlukis sesimpul senyum kecil di sudut bibirnya. Ia malu pada profesor, sebab mukanya kembali memerah.
Profesor mengerem tawanya denan susah payah, lalu berkata, “Aku belum selesai bicara, San. Hahaha… katak itu hanya berbahaya bagi manusia jika terjadi kontak fisik saja. Tentu saja tak kan berakibat apa-apa jika kau membunuhnya dengan alat. Dasar, Sandra! Dari dulu kau memang tak berubah.”
Bagai turun hujan di tengah gurun Sahara. Itulah yang melanda Sandra kini. Kemarahan dan penyesalannya seperti terbawa arus sungai Nil dan tak menyisakannya sedikit pun. Ia merangkul profesor seperti merangkul ayahnya sendiri. Lalu ia pun berlari meninggalkan laboratorium dengan gembira tak lupa disertai lambaian tangan untuk profesor.
“Hahaha… dasar Kanguru mungil!” gumam profesor.
Baru beberapa detik, Sandra kembali lagi ke dalam laboratorium. Ia ingin menyampaikan sesuatu yang tadi terlupa karena saking shocknya. 
“Prof, aku titip tas ini di sini. Satu minggu lagi aku akan mengambilnya sepulang dari Bali. Aku akan menghubungi pemerintah Australia mengenai penemuan itu. Oh iya, Prof, apa kau punya usul tentang cara membunuh katak-katak itu?”
Profesor mengacungkan jempol berdiri, Lalu Sandra pergi dengan senyuman.
Top of Form
*****
Mentari pagi mengintip melalui lubang-lubang ventilasi laboratorium dan membagikan sinarnya ke seluruh organisme di dalamnya. Tempat itu menghangat hampir satu jam setiap harinya. Di saat seperti inilah para keluarga kaktus, ercis, aster, kumbang kayu jati, ikan tak terkecuali kecebong dan makhluk hidup lainnya asyik menjemur diri di dalam tempat hidup masing-masing. Laboratorium itu sangat besar dan mungkin lebih terlihat seperti taman wisata modern mini di dalam gedung.
Di setiap jengkal hamparan lantainya pasti terdapat organisme hidup yang terawat dengan baik. Pada sudut kanan ruangan, terdapat sekumpulan akuarium berbagai ukuran untuk berbagai hewan air tawar. Di sanalah Nana dan Sybil berada.
“Kau tahu Sybil? Setelah aku mendengarkan percakapan demi percakapan antara nona Sandra dan profesor, aku semakin yakin bahwa tempat asalku adalah dari Aus… Ern... Australia yang berada entah di mana. Mereka telah menyebutkan tempat itu sebanyak…. banyak sekali,” kata Nana. Ia tidak bisa menghitung seperti halnya Sybil, kawannya.
“Apa kau yakin? Memang aku tak pernah melihat katak dan anaknya. Dan kata emakku, memang baru sekali ini profesor memelihara kecebong di laboratorium ini. Namun, bagaimana kalau ternyata pendapatmu salah?” jawab Sybil ada sedikit rasa cemas dalam nada suaranya. Sybil memang sudah sangat bosan menasehati Nana mengenai perkara ini.
“Kawan, do’akanlah aku. Aku akan ke Australia, bagaimanapun caranya,” katanya dengan wajah penuh semangat dan mata berapi-api.
“Ya…ya…ya… terserah kau saja lah, Na! Do’aku merestuimu!”
*****
“Halo! Sandra? Ini aku, Profesor Keynes. Aku sudah menemukan waktu pemberantasan Cane toad yang tepat. Sebentar lagi bulan mati, di malam-malam seperti inilah mereka membentuk semacam kumpulan katak jantan dan katak betina untuk kawin. Kurang lebih lima hari lagi. Maka, lusa pulanglah ke Bogor untuk mempersiakan segala hal! Oh iya, satu lagi,  dibutuhkan banyak orang untuk melakukannya. Jumlah mereka ribuan!” kata profesor kepada Sandra melalu sambungan telepon.
“Lusa? Sempurna! Lusa, aku sudah berubah menjadi seekor katak. Katak jantan yang gagah! Dan aku akan ke Australia menemui emakku. Meski dia pembunuh sekali pun!” kata Nana pada Sybil. Sybil hanya bisa menggelengkan kepala. Ia benar-benar sudah pasrah, meski sebenarnya dia ingin sekali mencegah Nana demi keselamatan diri Nana sendiri.
*****
Subuh hari, Nana sudah bersiap melakukan rencana ekspedisi pencarian emaknya. Ia benar-benar sudah berubah menjadi katak kecil --yang oleh Abdul dipanggil “Percil”—berwarna hijau lumut dengan garis hitam. Nana berpamitan kepada seluruh kawan sejawatnya selama hidup di laboratorium dan ia tak lagi bisa menahan air matanya saat harus berpisah dari Sybil. ‘Namun, mau tak mau ia telah memilih takdir hidupnya’\
 begitulah yang diucapkan emak Sybil kapada Sybil, sehingga membuat Sybil tegar melepas Nana.
Sandra sudah sampai di laboratorium. Lalu, dengan cekatan Nana melompat keluar dari akuarium. Setelah berhasil, ia langsung melompat menuju tas ransel Sandra yang dititipkannya kepada profesor semingu lalu sebelum berangkat ke Bali. Ia menyelinap ke dalam kantong paling luar yang biasanya digunakan sebagai tempat botol minum dan akan terus bersembunyi di sana hingga sampai di Australia.
“Hai, Prof! Di mana tas titipanku?” tanya Sandra.
“Oh iya, ambil saja di situ,” jawab profesor sambil menunjuk sebuah rak barang. Sandra segera mengambilnya lalu menggendongnya di punggung. ‘Wah! Hangat’ batin Nana. Saking hanngat dan nyamannya suhu dalam tas itu, Nana pun mengantuk lalu tertidur dalam hitungan menit.
“Prof, bagaimana rencananya?” tanya Sandra lagi.
“Jadi begini. Adakanlah sebuah festival perburuan katak beracun di ladang tebu. Aha! Namanya…. “Toad Day Out”. Cool bukan? Lalu, sediakan imbalan yang menggiurkan bagi mereka yang berhasil menangkap katak terbanyak dan terberat, baik hidup maupun mati. Sehingga akan banyak orang yang tertarik mengikuti perburuan ini. Jangan lupa ingatkan mereka agar tidak menyentuh bagian tubuh katak tersebut sedikit pun! Apa kau paham?” jelas profesor.
“Rencana brilian! Tentu aku paham, Prof! Kalau begitu aku pergi dulu. Dua malam lagi, ladang dan hutan akan bebas bencana. Thank’s God! Bye, Prof. Tunggulah kabar baik dari kami,” kata Sandra begitu ceria lalu ia pun bergegas pergi menuju bandara untuk segera terbang ke Queensland.
Tanpa ada yang sadar, di dalam air ada makhluk lain yang mengetahui rencana itu. Ia kini sedang manangis sendu, memikirkan nasib sahabatnya yang sedang mendatangi pertempuran mautnya. Ialah Sybil.
*****
“Oh aku sampai di ladang tebu Australia! Luas! Luas sekali! Tidak seperti duniaku di laboratorium. Sempit dan berair! Aku datang, Emak!” teriak Nana sesampainya di ladang.
Ia melompat ke sana ke mari berusaha mencari spesiesnya dengan hati bahagia. Baru satu menit ia mencari, ia sudah bertemu dengan seeokor katak berwarna coklat gelap dan bergaris merah. Ia begitu tampak lucu. Lalu Nana pun bertanya kepadanya, “Hai, kau pasti saudaraku! Apa kau Cane toad? Aku juga! Aku terpisah dari kalian saat aku masih telur.”
Katak itu tampak heran sekali, lalu berkata, “Apa kau bercanda, Nak? Kau hanya seekor katak sawah! Kau berbeda dengan kami! Pulang sana ke Ibumu!”
*****
Serbuan para manusia ladang itu benar-benar dahsyat. Satu per satu katak dilibas, dihantam dan ditebas dengan senjata mereka. Dalam waktu sebentar mereka sudah mengisi kantung-kantung dengan bangkai-bangakai katak beracun. Ladang tebu adalah saksi bisu pertempuran ratusan ribu katak melawan ratusan manusia pemburu.
Nana berada di waktu dan tempat yang benar-benar tidak tepat. Sebuah bumerang mendarat di kepalanya dan membuatnya tersungkur. Malam terang berhias bintang kerlap dan bulan malam ke-27 perlahan berputar, lalu makin gelap, sangat gelap dan “pett!!!”


Komentar:Top of Form

Mksdny??
Kq kecebong bnyiny wibik-wibik??
Pye to thok?Hehe..

Iku drg rampung mas, ceb0ng y adekmu,hehe...
Kn ceb0ngE drg gede, aq bkinE akhire sit...
(Aku salah nge-tag. Mau ngetag kamu, malah yang ke-tag masmu, Mas Ajun. Pas dia komentar, aku kaget banget. Maaf lagi, aku juga komentar aneh-aneh di bawah ini.)















Tujuh
8 Agustus 2009 pukul 23:29
(Maaf, tidak bermaksud berkata kasar padamu.)

Sepucuk surat tertulis untukmu...

Simpang getaran hati ini telah mencapai besar maksimal
Gelombang itu, gelombang yang tak mengalami polarisasi itu, mewarnai duyun-duyun semangatku...
Mendobrag adrenalin, memperberat kerja cerebrum dan membekukan papilia saat satu radius denganmu...
Harimau bukan lagi hewan bertaring mengerikan, melainkan ia adalah seekor kucing persia berbulu halus dan berwajah lucu
Bekicot bukan lagi sebagai gastropod yang menggelikan dan membuat mual...
Namun, ia laksana mutiara berjalan yang memesona dan menarik hati
Integral bukanlah dilema, tapi cerita cinta yang membahana merdu di telinga...

Ah kau betul-betul biang segala sakit gila!
Sebab kau, orang rela mati...
Sebab kau, orang mau melepas mimpi...
Sebab kau, orang ikhlas dicaci maki...
Sebab kau, orang senang dibodohi...
Dahsyat dan menghancurkan!
Hangat dan memilukan!
Kompleks dan menyingkat!

Andai kau baca sepucuk surat ini, kau akan tahu kehadiranmu tak selalu bersemi indah... Tapi juga membuat gersang dan menggugurkan harapan...





Nggilani lah koe!
Nek ngerti ng0m0ng ae!
Nek rikuh ya tak0n disit!
Aku pancen the real loser!

Delapan
13 Agustus 2009 pukul 21:08
(Terkadang aku heran. Kenapa kamu hampir selalu datang dan menanggalkan torehan komentar tepat di catatan yang memang benar-benar tertuju untuk kamu. Kamu tahukah dan hanya diam?)

Akhir-akhir ini catatan Ani ngga genah. Sebenernya dari dulu juga ga ada yang genah sih. Namun, sungguh 15 catatan terakhir tidak dari hati, tidak murni dan sarat pemaksaan kehendak. Ya, entah kehendak siapa, bisa Ani, bisa juga orang lain. Ani ga tahu ada ato tidakkah orang yang baca. Hehe... Tapi Ani berharap ga usah ada. 
Awalnya, Ani nulis karena Ani pengen. Pengen berlatih, pengen nuangin perasaan, pengen menyimpan segala peristiwa atau ide-ide ke dalam memori selain otak. Karena Ani pelupa. Hehe...
Namun, kemarin ini Ani menulis untuk menarik perhatian seseorang. Dan Ani tau, itu ga baik alias buruk dan rendah! Hal ini bisa menghancurkan image Ani sendiri yang sebelumnya tenang seperti ikan laut dalam yang tak pernah muncul di permukaan. Dan Ani ingin tetap seperti itu... Tenang, tenteram dan fokus.
Bebas dan jauh dari rasa cemas di tengah penantian...
Mulai saat ini, Ani akan lebih berhati-hati dan selektif di segala hal...
Sebenarnya ada satu dambaan akan perubahan... 
Di suatu lahan lapang, tanpa tirai ilalang yang menghalang...
Kemilaunya menghampar dan mencerahkan sudut impian...
Tak gersang, tak berfatamorgana dan tak bermajas... Kondusif, efektif dan imaginatif!
Satu perubahan kuharapkan lahir di sana...
Top of Form

Komentar:Top of Form

Apalah kwe??

Dng ana sg maca, y? Ya d0'aku tk trkabul. Melas je sg maca ddi bgg... He...






Sembilan:
17 Agustus 2009 pukul 6:05
(Di tulisan ini, aku sudah benar-benar sadar bahwa aku memang sudah keterlaluan dan tidak tahu diri. Aku terlalu memaksakan kehendak dan harapan untuk dapat ngobrol dan mengenalmu lebih dekat dengan segala keterbatasanku yang pecundang ini. Aku pernah bercerita dengan sahabat, dia bijak dan menyuruhku melupakan harapan impulsive itu. Namun, ternyata itu…sulit. L)

Sebuah nama, sebuah cerita
Sepatah panggilan, secuil kenangan...
Sudah timbul niat tuk menghilang,
Sudah muncul energi untuk melupakan
Namun, begitu susah mengaplikasikan rancangan rapuh yang telah direncanakan dari jauh-jauh hari itu...
Sehari tersakiti, tetapi lebih banyak hari dapati bahagia...
Seorang Kawan berkata, "Hapuslah satu titik kecil sebelum lubang besar tercipta karenanya!"
Mengerti...
Tetapi, tetap saja kebimbangan lebih mendominasi tiap milimeter persegi ruang akal dan hati...
Hmm...
Detik demi detik terisi kata-kata imajiner menilai gambaran abstrak tak bertema...
Terus begitu hingga datang pagi dan lepas malam...
Membayangkan yang tak penting, memicu otak untuk menyingkirkan prioritas...
Untunglah kenyataan lambat laun menghampiri, sehingga gerbang kesadaran terbuka mengganti mimpi fana tak ada guna...
Terjaga...
Di persimpangan kini aku berdiri, disuguhi dua pilihan tak terdefinisi...
Baru terbangun aku...
Belum sempat ku berprinsip, belum teguh keyakinanku dan belum tertata betul hidup nyataku...
Namun, aku sudah harus memilih...
Aku pilih tuk menghilangkan, tuk melupakan atau setidaknya menghapus terlebih dahulu sebagai permulaan...
Bismillahirrahmanirrahim...


Sepuluh
21 Agustus 2009 pukul 17:14
(Sebenarnya aku sadar bahwa kemampuan menulisku masih kurang dan terbatas pada fiksi dan tulisan nonilmiah. Namun, aku suka untuk menulis catatan tidak jelas karena pada beberapa catatan aku dapat memperoleh komentarmu dan itu artinya menyenangkan. Parahnya, lama-lama aku tidak puny aide untuk menulisa hal lain selain tentang rasa dan rasa. Tulisanku semakin akuan dan idealis, semakin bermuatan curhatan dan harapan memaksakan. Aku pun menulis ini berharap kamu datang.)

Ani kehabisan kata!
Sejak tidak lagi mengikuti kata hati dalam menuangkan imajinasi, ia seolah-olah menderita disleksia bertahap. Nggilani lah pkokmen! 
Ada yang jual isi ulang perbendaharaan kata? Atau rangkaian kata pembangkit semangat? Atau apa saja yang bisa bikin hidup imajinasi dan inspirasi??? Atau apa pun lah yang bisa bikin senyum?
Dibutuhkan cepat! Kirim ke wall, komen catatan, atau ke email anny_smarties@yahoo.com, dapatkan marchandise menarik berupa ucapan terima kasih.
Komentar:Top of Form
Top of Form

****** Hahahaha mba ayoh jyan...

Hahaha, dng mlh guyu? Endi kata"ne? Ora due mesti y?















Sebelas
25 Agustus 2009 pukul 18:25
(Aku mengaku bahwa aku sangat sering memperhatikanmu via facebook dan MXIT. Aku kepo, tak dapat kusangkal. Berkat kebiasaan itu, aku punya twitter dan flicker. Berkat itu pula aku rajin menulis di blog. Sebenarnya memalukan sekali menulis dan membagikan perasaan ini kepadamu. Mengakui bahwa aku terlalu tergantung dan ingin ngobrol denganmu. Maaf ya, aku agresif. Pasti kau terganggu. Aku takut tak ada kesmpatan lagi, maka aku nekat. Jika kau luang bukalah kepingankisahamarilis.blogspot.com. Di sana akan banyak namamu disebut sebagai tokoh dia. Hnn… Tulisan ini, cara nulisnya ikut-ikutan kamu, hehe)

Mst ef m n0tes r unimprtnt. I thnk thse r d wrds tht pple oftn thght aftr ræd m n0ts. Bt, fr m, thy'r vry imprtnt. Thy'r like b gtherd in a csste cnsst ef m mmries, m ideas, m wnts, m sspects, m imgntns, n evrytg in m head. Its a vry cmplx compiltn csste.

Komentar:Top of Form

****** waaw

Wt waaw?
D u lke m nts?
Hhe
Y, i d....

Wew, thx...
(cttn wgu dsnengi?)
Keren mbe....maen...

I cnt find d angle ef "keren" ef ths nts. GrmmrE b slh... Wkwk
eh,wilang kmenmu lwh kt 1,hhe








Dua Belas
28 Agustus 2009 pukul 18:09
(Mungkin note ini terlihat tidak ada hubungannya dan tidak ada muatannya tentang kamu. Namun, ketahuilah bahwa “tak tahan sedetik pun tanpa hp” itu berarti bahwa aku bahwa “tak tahan sedetik pun tanpa melihat komentarmu atau mengetahui kabarmu via tulisan internet”. Yeah… Menyedihkannya aku tak pernah bisa ngobrol denganmu tanpa on line. Hahai… Aku tidak tahu cara meminta nomor hp. Toh, aku tak punya urusan, maka aku tak punya alasan selain soal perasaan.)

Tak tahan sedetik pun tanpa hp,
Tak tahan satu jam pun tanpa membuka opera mini,
Tak tahan, meski hanya tilik pun, untuk tidak membuka mxit,
Tak tahan, alias penasaran, meski hanya seminggu sekali, tanpa membuka friendster...
I love my cellphone as deep as my love for my friends. 'Cuz it's bel0ng to them. My soulmate...
Mad!!!
Haha...
Kapan-kapan akan aku belikan rantai spesial untuk kau,
lengkap dengan gembok imajinernya yang barcode nya hanya aku yang tahu. Agar kau selalu di sampingku!
Waw, mad!!!
Stress yo koyo iki, haha…Top of Form



















Tiga Belas:
21 September 2009 pukul 14:38
(Maaf jika ini menyudutkanmu. Padahal kamu tidak tahu apa-apa. Padahal kita sama sekali tidak saling mengenal. Namun, aku bertindak seolah-olah aku sudah sangat mengenalmu dan dekat denganmu. Maaf yaa… Tulisan ini dibuat setelah kamu turut komentar di sebuah status, di mana dalam status itu, orang-orang yang berkomentar adalah teman-teman sebayaku.)

Hey kau!
Muncul...
Menyelinap...
Dari sudut tak mungkin, ke dunia lain tak bergenre sama denganmu...
Ikut serta kegiatan bisu, tanpa dalang pelaku, tanpa otak yang membantu...
Kau menari-nari dalam gemulai asap yang mengepung duniaku...
Kau berpidato kepada khalayak berbeda, seolah-olah ingin membuncahkan satu ide maksud tertentu tapi tak kunjung dimengerti. Abstrak sangat kata-katamu, tinggi nian dalil teorimu.
Namun, anehnya aku temukan satu sistem kesengajaan di dalamnya. Apa agar mereka tahu, jadi kau ulangi ide maksudmu itu di mana saja?
Kalau begitu faktanya, aku mafhum... Dan aku akan coba tuk mengerti... Tak usah kau gemborkan, sengajakan, karena nanti hal itu akan menusukku. Okeh?










Empat Belas
6 Oktober 2009 pukul 23:45
(Hehe. Catatan yang ini gokil. Jadi, pada suatu hari, kekasih kamu yang anak IPS SMANSA pernah nge-wall. Namun, kayak ada nada sindirian gitu. Sebenarnya, mungkin sama sekali tidak ada niat menyindir, tapi akunya saja yang sedang buruk emosinya. Akhirnya, aku bikin note ini karena dari kemarin-kemarin juga sedang banyak orang yang menyindir dengan tidak jelasnya. Nb: menyindir= meneror bagiku, hehe. Gomenasaiii… Jika aku pernah mengusik kamu hingga kekasih-kekasih kamu turut terganggu. Tiga orang berinisial I? Hehe…)
"Jangan dikira saya suka diteror! Baik secara halus, apalagi kasar. Tak segan-segan saya mengambil tindakan tegas khusus bagi Anda yang melakukan hal tersebut. Please dech jangan lebay... Saya sedang berusaha fokus dan tolong sekali jangan ganggu saya. Terima kasih..."Top of Form





Lima Belas
20 Oktober 2009 pukul 5:37
(Komentar di bawah tulisan ini betul-betul menggambarkan bagaimana perasaanku saat itu. Memalukan hanya mampu berkoar terlalu keras lewat tulisan tanpa mau mengungkapkan. Aku kira ini catatan terakhir tentang kamu, tapi ternyata…)

Limbung...
Diterpa beliung yang hanya lewat
Gontai...
Diimpit tekanan sepoi angin yang tak tahu apa-apa
Teriris galau, dicekam terka dan sesak oleh hipotesa tak berkesimpulan
***
Langkah itu...
Menepi di pelamunan, menggoreskan kecut senyuman di pasuryan
Memerah pipi basa
Menyublim angkuh raga
Tergoda kalimat "bijak bestari"
Jenaka membuana perempat bulan kemudian
Madu...
Madu mengisi kendi tiba-tiba
Manis memenuhi luasan gundu berbunga
Harum kesturi merebak paksa dari sela-sela bunga venus, kembang suring, dan mimosa pudica yang enggan tersenyum
Sempurna...
***
Sepenat penantian, segeram tarikan nafas beruang, selemah bunyi yang didengar kelelawar... Aku berteriak sejadi-jadinya di balik persembunyian

Komentar:
Top of Form
Waw! Ini tulisan terakhir tentang dia. Dra. Yes!
Huah, orang dalam tulisan ini betul-betul sudah tak kenal saya. Sekali lagi, saya mencintai orang asing.
Enam Belas
9 November 2009 pukul 17:12
(Aku sudah bilang, kan, kalau aku suka kepo dan lihatin FB kamu? Pernah suatu hari aku melihat profil facebookmu. Saat itu, ada komentar, wall atau semacamnya dari kekasihmu yang anak IPS SMANSA. Dia manggil kamu, mas, kan? Hehe… Terus, terus, terus… Ya gitu deh!)

Panggilan khusus itu membuat mata dan telinga panas...
Menghidupkan hipotesa minus dan mereaksikan praduga dengan ilusi menghasilkan fitnah sepihak. Parah!






Tujuh Belas
11 November 2009 pukul 11:25
(Ini adalah saat aku sudah sangat frustasi dan hampir menangis karena semakin jarang berkomunikasi denganmu, hehe. Childish? Yeah, that’s the real me!)

Manusia boleh merencanakan, tapi Tuhan lah yang menentukan.
Saya kira ini sudah sangat jelas.Top of Form







Delapan Belas
9 Januari 2010 pukul 18:11
(Sebab kau memanggilku mbee di MXIT, aku sebal di awal, tapi terbiasa sesudahnya. Tahukah? Temperamenku berkurang setelah mengenalmu, tapi prestasiku menurun drastis. Hehe. Aku tidak sedang menyalahkanmu. Meski aku menjadi siswi yang tidak terlalu pandai sejak kelas 12, tapi aku bahagia karena aku menjadi lebih banyak menulis. Meski memalukan untuk mengakuinya, aku akan berkata jujur bahwa aku banyak menulis setalah kamu sering mengomentari catatan fb-ku. Terima kasih.)

Sebuah peristiwa masa lampau mempertemukan seorang wanita muda biasa dengan sebuah nama biasa yang berangsur menjadi tak biasa baginya, bahkan luar biasa. Hal itu mengakibatkan hal-hal lain yang tidak biasa juga. Hingga lama-lama membuatnya menjadi orang tak biasa dan terlalu terobsesi pada hal wagu.


Ck..ck..ck.. Obsesi kompulsif yang keterlaluan!

Sembilan Belas
4 Februari 2010 pukul 18:48
(Aku tulis catatan ini beberapa hari setelah aku melihat kamu dan Firman lewat saat aku absen di fingerprint itu. Aku yakin kamu tak lihat karena hanya Firman yang senyum. Yah! Aku lupa, mungkin kamu tak mengenalku ding, ya? Hehehehe… Jadi malu. Asing banget ya ternyata? Hehe. Oh iya, jadi setelah aku melihat kalian berdua, aku membayangkan kamu dan Firman bercakap-cakap seperti di dalam catatan ini. Aku Inten, kamu si kacamata kuda, sedangkan Firman itu temenmu. Oh iya, selebihnya kisah nyata, hehe. Happy Reading! *kalau kamu memutuskan untuk membacanya hingga sejauh ini, :P*)

Di pojok ruangan yang sesak dan panas, Inten dihidangi salah satu menu ujian nasional beraroma agak hangus dan bikin mumet, bernama Fisika. Sementara satu jam yang lalu, ia baru saja menyelesaikan makanan pembuka, Biologi.
Acara makan-makan kali ini sungguh tak biasa. Tiga puluh sembilan teman sekelasnya tampak menikmati seluruh menu, tapi berbeda dengan Inten, ia hanya bingung dan terus melamun. Sampai-sampai Mister Sugeng Riyadi menegurnya karena ia belum meninggalkan sidik jari di finger print tadi pagi. Parahnya lagi, Inten tak mendengar namanya dipanggil-panggil: "Juminten! Juminten!". Alhasil kultum selama 17 menit pun ia terima dari Mister, karena berani melamun tanpa alasan (tau darimana si Mister kalo ia ga punya alasan?? Intinya di sini pak mister Sugeng Riyadi mandan sotoy gitu).
Bonar yang duduk tepat di depan Inten, tampak terkekeh-kekeh menyaksikan Inten diceramahi. Sedangkan, Harjo si mata bundar yang duduk di samping Bonar hanya sok-sokkan menyipit-nyipitkan matanya biar keliatan kayak orang Korea. Ulah Harjo membuat Inten makin mual bukannya malah ketawa (orang Harjo juga ngga ngelawak ding, lali aku). Kultum dari Mister Sugeng Riyadi diakhiri dengan bel panjang tanda istirahat kedua.
'Slamet! Slamet!' batin Inten.
Bagi Inten hari itu berlalu sangat lambat kayak siput keseleo. Namun, dia juga tetap saja bingung dan bingung. Dia sendiri bingung kenapa dia bingung. Apa yang sedang ia pikirkan, dia pun tak tahu. Istirahat kedua ini, dia memutuskan menuju ke pojokkan dekat ruang inap tamu sekolah (sekolah mahal bin modern, ada kamar khusus tamu penting) untuk absen. Dua orang adik kelas, yang satu berkacamata kuda dan yang satu berjaket belang-belang memandangi Inten dengan heran. 
Lalu si bocah kacamata kuda berkomentar, "Ihvi, ivikivi kavakavak kevelavas niviavat sevekovolavah ovorava yava? Avayavawevene nevembeve avabseven. Javan!"
Bocah berjakat belang ungu dan kuning menanggapi, "Oh mungkin mau esuk jarine ketinggalan mbok, nembe diterna bapake saiki, dadi nembe absen. Aja su'udhon dipit lah koe lah!"
Si kacamata kuda menjawab,"Ih koe bodo temen sih! Aku ngomonge anggo sandi koe njawabe serune ora pacul, nek wonge krungu prewe? Lagian sing su'udhon koe, masa ana driji ketinggalan! Dasar bocah pinter!"
"HAHAHA, maturnuwun, aku pancen pinter, kemarin juga rangking 0, lebih tinggi dari Supari yang rangking 1. Haha!" jawab si jaket belang-belang.
Inten yang memang bertampang datar-datar saja, ternyata ada di samping mereka berdua. Ikut nguping dan meng-iyakan kata-kata mereka. Setelah dua adik kelas Inten itu selesai berbincang, Inten pun tiba-tiba berkomentar yang mengagetkan kedua bocah itu, "Iya iki, adek-adek kelas. Absennya salah waktu. Biasanya sih ngga jam segini. Tapi gara-gara hari ini aku lagi bingung, jadi aku ya begini. Hmm... Biasanya aku sih check in nya dua detik sebelum check out. Ya pulang sekolahan lah. Tapi gara-gara Mister Sugeng Riyadi nyuruh aku check in sesegera mungkin, ya udah lah gasik. Pisan-pisan."
Di dalam hati si kacamata kuda berkata, "OH PANCEN BOCAH BINGUNG!". Sedangkan si jaket belang-belang berkata, "MBA, keren! Aku bahkan belum pernah absen telat, aku mau ikut-ikutan kamu ah!"
****
Inten masih bingung. Dia belum menemukan penyebab kebingungannya. Akhirnya, ia memutuskan kembali ke kelas dan meneruskan aktivitasnya yang masih bersambung, melamun.
Ia tak juga menemukan penyebabnya bingung. Akhirnya ia bertanya pada teman sebangkunya, "Stephanie, kenapa aku bingung ya?"
Stephanie menjawab, "Mbok kamu panceng bingungan, Inten?"
Jebred! Bumi gonjang-ganjing, badai datang tiba-tiba, langit menggelap dan hujan turun tiba-tiba (lebai!). Lalu tiga detik kemudian, bumi kembali normal bahkan jauh lebih normal: ozon kembali tak berlubang; polusi air, tanah, udara dan angin tersedot oleh sesuatu misterius; pepohonan tumbuh menghijaukan hutan; lautan membiru; langit cerah dan burung jalak berterbangan lincah di atap ruang guru (lebai banget! Ora nyambung maning!)
"Oh iya ya!" kata Inten begitu bersemangat dan tampaknya sudah hilang mutlak bencana kebingungannya dan semuanya membaik.











Dua Puluh
6 April 2010 pukul 19:42
(Sebelum mengenalmu, aku sama sekali tidak bisa menulis hal-hal berbau romance. Meski begitu…aku hanya mampu menjajarkanmu dengan Fisika saat itu. Menyiksa. *mulai ngga jelas*)

Haduh!
Rasa ini sungguh tak wajar, kambuh lagi!
Saat di mana pengennya buang muka melulu saat bertemu!
Saat waktu terasa menjadi begitu lama sembari menungguimu!
Saat otak seolah beku dan suara tertahan di ujung lidah apabila berhadapan langsung denganmu!
Sungguh mata tak bisa jauh dari sosokmu!
Benar adanya jika lutut kakiku tak bisa berhenti berguncang menantimu, was-was.
Tak bisa dipungkiri saat otot jantung bekerja lebih keras ketika menangkap sinyal kemunculanmu
Jangankan melihat rupamu, mendengar suaramu saja sudah berantakan akal sehatku...
Ya ampun, syndrome **** dan Fisika!












Dua Puluh Satu
19 April 2010 pukul 20:17
(Hnn… sudah jelas kah?)

Deg!
Diam!
Deg deg deg
Dag dig dug
Datar!
Durasi memanjang
Dedaun melambat jatuh

Datang langkah tak dinyana
Diri kaku
Dagu menjatuh
Do'a me-nyata
Duka pun sirna

Dag dag dug
Dua, tidak!
Dua lebih, iya!
Dua kali, berharap lebih...
Dua kali seunthel-unthel, mauuu...

Dug dig dag...
Dia menjauh...
Diri melega...



Dua Puluh Dua
30 April 2010 pukul 23:09
(Yang ini nggak terlalu penting. Hanya sebuah kesadaran yang muncul saat membaca ulang riwayat chat denganmu.)

Beberapa jam lalu, huruf "n" tampak di mataku sebagai huruf "h". Tentu saja kesalahan itu sangat mengubah makna kata, makna kalimat dan makna sakkabehane. Apalagi hal itu terjadi dalam sebuah per-chatting-an. Fatal banget lah akibatnya, terlebih karena aku baru sadar sekarang. Parah! Payah! Parah!
Percakapan itu sudah panjang dan aku baru nyadar kesalahanku itu setelah sangat lama *maaf diulangi lagi, biar lebai*
Hwah! Apa sih penyebab pikunku itu? Faktor lingkungan saat kejadian kah? Atau emang gawan bayi? Tapi, kata teman itu karena kebiasaan yang hampir ingin mendarah daging *maaf, sedikit lebai*
Contoh salah lihat yang mengubah makna:
tambani jadi tambahi, jauh banget kan maknanya? Fatal lah!
Tapi saat itu, menurutku ucapanku nyambung-nyambung aja karena memang keahlianku menyambung-nyambungkan sesuatu meski tampak muskil sekali pun (Dan hasilnya? Ya, tetap aja wagu di bagian sambungannya itu) *maaf membingungkan, saya juga bingung*. 
Balik lagi ke kalimat jawabanku yang salah sambung. Saat diingat, dibaca dan dipahami lagi ternyata aku baru sadar bahwa aku salah sambung pada satu kata yang berakibat sangat fatal. Apalagi ya... Sekali lagi... Apalagi ya... Orang yang diajak ngomong itu juga nyambung aja njawabnya alias ngga protes atau merasa bingung dengan jawabanku yang tidak nyambung tadi. Bukankah sambungan ini menjadi salah sambung yang wagu?
Hingga aku sadari baru-baru ini, salah sambung itu justru, ehm... hehehe. Keduanya memang ora nyambungan. Misinterpreted!
Akhirnya, saya hanya bisa berharap semoga dia, yang tadi diajak bicara, tidak menyadari kesalahsambungan yang seperti bolah mbrundhet ini. Amiin.
Hehe




Dua Puluh Tiga
18 Juli 2010 pukul 23:09
(Ini pas pertama kali ke Detos, tiba-tiba lihat tas mirip tas punggungmu. Hnn… Aku nggak sengaja hafal lho. Itu karena aku sering lihat tasnya saja pas lagi dipakai. Serius nggak sengaja, misal pas mau TUC, absen di lobi SMANSA, dll.)



Wajahnya terbayang sampai ITC. ITC coba! Dari Kebumen jauh-jauh ke Depok! Ngapain jal? *yambuhya deneng takon?*
Tas punggungnya pun, tergeletak di kursi panjang di sampingku... Apa maksudnya coba? Masa nyusul ke Depok? Setelah beberapa lama berpikir tanpa ujung, seorang senior mengambilnya dari sisiku. Owh tasnya senior... *kasian deh gue*
Lalu... Lalu... Kacamata itu? Apa maksudnya?? Kok bisa ada di meja makan??? Beberapa detik kemudian seorang pelayan warung makan mengambilnya dan memakainya... *apa jal maksude?*


Dua Puluh Empat
18 Oktober 2012 pukul 20.22

Memang kenapa? Jika aku mencintainya dengan hati, bukan mata?

Aku menemukannya dengan jerih payahku sendiri. Dia mengukir huruf kuno di atas pualam sambil berlindung di bawah rerindangan pohon kipas yang jenaka dan menari melambai indah, mengibaskan angin musim panas. Pohon kipas ini tidak segagah oak atau segarang pohon asam yang tinggi besar. Dia indah. Dia jenaka. Dia tidak menahan angin, tapi dia membuat angin menari menyejukkan. Itulah hebatnya pohon kipas yang dibuatnya untuk bernaung.

Orang itu, selalu membuatkan puisi indah untukku. Mungkin bagimu, puisi itu hanya seonggok kata-kata lawak. Bahkan, mungkin baginya, puisi itu adalah sebuah introduksi penghormatan padaku yang lebih dulu terhormat dibanding dirinya. Dan aku bisa saja menganggap puisi itu basa-basi tanpa makna. Namun, aku tidak berpikir seperti itu.

Kau tahu? Puisi yang ditulis dengan tinta penanya yang berwarna hijau mentimun itu lebih indah dari kitab-kitab berisi kisah pahlawan di pewayangan dunia. Puisi itu mampu membuatku lupa bahwa aku alergi pada antalgin. Dan puisi itu selalu mewarnai otakku dengan pelangi dua puluh tujuh warna yang didominasi warna ungu dan hijau. 

Dia adalah orang yang membuatku menjadi gila. Tergila-gila pada meronce huruf. Huruf-huruf itu tercipta bukan tanpa sebab. Mereka ada, terlebih agar mereka mampu menyebabkan dia memberiku lebih banyak puisi lagi. Lihat? Dia seperti opium yang menyeretku dalam ketergantungan. 

Aku menyalahkannya? Tidak! Justru aku mensyukurinya.Ini adalah anugrah dan anugrah adalah kenikmatan. Aku merasakan sebuah saat di mana jiwa terbakar godaan syaitan, pun aku merasakan beberapa kali saat bandang menghanyutkan sisa-sisa bahagia dan emosi. Aku pun tidak bilang tidak saat aku menjadi seorang egois yang hebat dan sekaligus penyihir yang penuh tipu muslihat. Aku mengalaminya di sebuah masa suram yang diliputi oleh puisi-puisi darinya. Masa suram itu sebenarnya aku buat sendiri. Namun, dia cenderung menjadi bumbu utama menunya yang tidak bisa dianggap tidak ada. Tanpanya tidak ada yang spesial di dlam sajian masa suram ini.

Aku tersadar, lantas aku menanamkan dalam-dalam sebuah harapan dalam do'aku agar aku bisa mencintainya dengan hati bukan mata. Dengan mata hati, bukan mata kaki atau mata-mata dadakan tak terlihat yang tiba-tiba diciptakan otak untuk mencari sisi puitisnya...

Aku ingin pergi dari masa suram itu... Ingin sekali, bantu saya Tuhan. 



Dua Puluh Lima
7 November 2010 pukul 21:40
(Baca paragraf pertama dan kedua aja! Selain itu Cuma pendeskripsian sebuah mimpi yang pernah aku alami. Oh iya, ini cerpen semi faktual.)

Aku melihat dia duduk di tepi tiang voli. Sesekali bertepuk tangan, tapi lebih jarang tidaknya. Mungkin dia menjagokan tim yang salah atau kalah atau belum waktunya menang atau sinonimnya. Seorang teman memberitahuku bahwa dia adalah dia. Aku kaget awalnya karena ternyata dia sangat berbeda dengan dia yang ada di imajinasiku. Kawanku berkata dia pendiam dan pelajar yang berbudi baik. Aku menganggapnya sebagai orang aneh yang tidak bisa mengatakan hal yang serius, tidak bisa diam dan penuh dengan pikiran lawak.
Aku mengamati wajahnya dari radius terlalu jauh yang tidak dapat ditolerir mata minusku. Aku hanya mampu menangkap sepasang benda hitam menghiasi daerah kapalanya. Aku bersyukur menonton pertandingan voli sore itu karena setidaknya aku berhasil menemukan dia, orang aneh yang selalu bersembunyi di balik kata-kata sihir. 
Sore itu, kemeriahan suporter dari kedua kubu tidak mampu menandingi kerasnya degup jantungku. Mustahil memang, tapi aku memang selalu mendengarkan kata hatiku atau pikiranku saja. Inilah modal utama keegoisanku.
****
Aku mulai membanting barang-barang di dekatku. Sebuah botol parfum dengan suksesnya menghantam sebuah foto yang terpajang miring dinding. Tatanannya yang memang kubuat miring, sekarang semakin miring karena hanya tinggal satu pengait saja yang masih bertahan. Aku mendekati bingkai foto yang tampak kasihan itu itu. Kacanya pecah dan aku yakin salah satu kepingan kecilnya telah menusuk daging di telapak kaki kananku. Aku tidak peduli dengan sakit itu, aku lebih tertarik memandang apa yang ada di dalam foto. Dia tersenyum manis dengan seorang bayi perempuan kecil yang manis dan sipit di gendongannya.
Ya Tuhan, dia sangat menyayangi Lintang.
****
Aku tahu dia adalah orang yang sangat tepat menjadi objek pelarianku. Terkadang aku jenuh menulis cerita anak-anak yang ceria dan menyenangkan. Meskipun itu profesiku, tapi aku tidak menyukainya. Aku tidak bisa terus berpura-pura ceria sambil terus menulis kalimat-kalimat yang menghibur anak-anak itu. Sandiwara bagiku. Saat aku mulai menjadi seorang anarkis dan menjejalkan muatan-muatan horor ke dalam cerita-ceritaku, aku akan menghubungi dia. Sekedar hubungan jarak jauh lewat telepon, chatting atau e-mail. Dia selalu membangkitkan jiwa kanak-kanakku. Dia memperlakukanku seperti seseorang yang sebaya. Padahal usiaku jauh di atasnya. Gurauan segar mengalir dengan spontan dan menyenangkan sekali berbicara dengannya.

Seminggu setelah aku melihatnya di tribun penenton saat pertandingan voli, aku mulai menyapanya dan menceritakan identitasku yang sebenarnya. Aku terus menceritakan diriku tanpa membiarkannya berbicara sepatah kata pun. Aku sangat suka menceritakan akui dan tidak akan berhenti sebelum aku kehabisan akal untuk mendeskripsikan siapa aku. Aku memang egois dan aku sudah mengatakan hal itu ratusan kali kepadanya. Namun, dia hanya tersenyum bijak. Kilatan pelangi di matanya sungguh menyejukkan. Benarkah dia lebih muda dariku? Dia seperti kakakku... Kakak yang tidak pernah kupunya karena aku memang anak perytama. 
Baru sekali ini aku kehabisan kata saat berbincang dengan seseorang. Orang lain akan pergi karena bosan mendengarkan ocehanku yang mempunyai panjang dan lebar yang tidak proposional. Namun, dia tidak. Dia tetap mendengarkan dan tersenyum. Aku tidak tahu apakah dia paham sepenuhnya omonganku atau tidak. Yang pasti aku mulai merasakan canggung yang tidak biasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Ya Tuhan... 
Dia sangat berbeda dengan dia yang kukenal sebelum ini. Dia adalah sahabat penaku. Aku mendapatkan surat pertama darinya di kebun belakang sekolah saat aku sedang membolos mata pelajaran sejarah yang membosankan. Aku duduk di kelas 2 SMA saat itu. Akulah yang pertama meletakkan sepucuk kertas di pagar kebun belakang berisi umpatanku tentang seorang guru. Seminggu kemudian di tempat yang sama dengan aku meletakkan suratku, kutemukan balasan suratku. Penasaran, aku membacanya dan aku langsung menyukai caranya berbicara dan berpikir. Hal itu berlanjut hingga kami sering chatting lewat messenger.
Dia selalu punya penyelesaian untuk masalah-masalahku. Mottonya saja "menyelesaikan masalah tanpa masalah" dan aku curiga dia mendapatkan motto itu karena sering menggadaikan perhiasan ibunya mengingat tingkah lakunya yang bandel. Namun, Ya Tuhaan... aku jatuh cinta kepadanya...



Dua Puluh Enam
29 Desember 2010 pukul 16:38
(Aku pernah berharap kamu membaca ini dan komentar, hehe)

Adakah di sini yang masih suka mainan Mxit?
Wah, Mxit itu penuh kenangan sekali bagi saya!
Walaupun sudah ngga zaman, walaupun sudah banyak yang ngga minat, saya masih menyimpan aplikasi ini lho...haha
Fungsi Mxit: sebagai sarana chatting (otomatis), sebagai media berkenalan, sebagai media mengerjakan tugas, sebagai media diskusi, sebagai wadah cari sensasi, sebagai taman hiburan, sebagai media pengganti sms (secara kalau dulu, online lebih murah daripada sms, i*3 gitu!), sebagai media mencari inspirasi, sebagai sarana caci-mencaci dan gosip-menggosip, banyaaak...
Namun, waktu terus berputar...kata Ipang, "Roda-roda terus berputaaaar...", perlahan Mxit ditinggalkan dan orang-orang beralih ke ... jeng-jeng! yaaa yang salah satu fiturnya sedang saya gunakan ini. Facebook alias muka buku.
Jadi, siapa yang masih ingat akun Mxitnya, cung??? (aku! aku! aku! haha)













Dua Puluh Tujuh
10 Januari 2011 pukul 21:09


Hai... Aku menulis

Sebuah mimpi di atas pasir pantai Ambal yang sepi
Beberapa lukisan hati yang peyot tak jelas dimensinya
Kata-kata aneh yang hanya dimengerti oleh akal jongkokku
Helai-helai perkamen palsu yang dihiasi ngengat rekayasa

Hai... Kau tahu?

Baru saja aku meninju angin
Seekor lalat terbang mencibir
Andai kupingku cukup mentolerir infrasonik
Mungkin bisa kudengar dia kentut sambil tertawa jahil

Hai... Aku menjajakan emosi

Penting ya?
Siapa yang mau beli?
Ada...
Setan dan malaikat?
Bahkan mereka pun mulai penat

Hei!!! Tak bisa diam? Ini pukul dua malam!

Aku tahu!
Aku punya arloji!
Tak henti berlari menggelitik 
Paksa aku berhenti bergulat dengan mimpi


Dorr!!! Selesai!!!

Kesempatan pertama lenyap senyap
Gurat kelelahan bertambah sepasang
Bukan! Bukan!
Tujuh pasang!

Hei... Belum selesai!

Jemariku masih kaku menari
Otakku belum jongkok
Akalku hanya sedang bermain
Sedang sial saja dia

Ini belum selesai sayang!

Ombak masih menari saman
Matahari tertawa cerlang
Rembulan masih berlukiskan kakek yang duduk di antara dua sujud
Gemintang masih centil bermain mata
Dan aku masih menulis

Oh iya... Mimpi itu masih ada

Menyapu aspal jalan Mayjen Sutoyo dengan kedipan
Memayungi dusun antah berantah dengan gelembung kegembiraan
Memecahkan gerabah kegalauan dengan batu apung
Menerbangkan helai-helai kertas berbubuhkan tanda tangan Amarilis...

Yeah...

Apa-apaan ini?
Tahu begini aku menunggu pesawat ke Nepal
Atau berlayar ke Eropa
Bisa kupeluk miniatur Everest
Atau sekedar mencicipi tulip yang enak menusuk mata

Gubrag...

Tiba-tiba aku terbangun
Mendapati diri memegang erat ranting bunga kelapa
Beberapa lukisan hati mulai tersamarkan oleh angin senja pantai Ambal
Perkamen-perkamen itu perlahan menghilang
Kereta, pesawat, bau aspal jalan Mayjen Sutoyo dan kedipan gemintang samar-samar melambai

Aku masih suka bermimpi ternyata...
mbaeee maen mba tulisane..isa diwaca..
****, yeyy...asyik, akhirnya koe bisa maca tulisanku.. :D (kok bisa nge-tag koe ya? padahal niate dila, hhe)
7 Juli 2011 pukul 8:06 · Suka
hahaha..payah..

hahaha mungkin krena namaku slaluterngiang di pikiran anda.hehe
 hahaha... *duwe kresek ora?*
Dua Puluh Delapan
23 Januari 2011 pukul 23:39
(Gara-gara kamu nge-like catatan ini, aku sukses galau selama semingguan. Shock!!! Aku sudah merasa bebas karena kamu nggak pernah lagi komentar ke catatanku yang artinya kemungkinan besar sekali kamu sudah tidak pernah baca catatanku. Catatan ini secara gamblang bercerita tentangmu saat KCF 2011 dan aku…malu. Mulai saat ini, aku yakin bahwa kamu sangat mungkin sudah tahu bagaimana perasaanku dan kamu…diam. Aku sebal.)

Sekarang masih hari Minggu? Sepertinya bukan
Hari Senin?
Baru saja, kuinjak hari ini
Bluk! Kaki kiriku menginjak lantai dingin rumah gelapku
Awal yang buruk untuk awal minggu di akhir bulan paling awal

Kuhabiskan malam ini meneguk kopi pahit yang kubuat karena "kecelakaan"
Menilik balik pesona pelangi palingtidak indah yang terjadi setahun sekali
Warna-warna mati yang amat menarik bagi orang
Mengapa tidak bagiku?
Aku bukan orang?
Enak saja
Ibuku bilang aku orang, dan aku selalu percaya kata-kata ibuku

Hn... aku berada di tengah warna itu, 
melambai-lambaikan selendang yang menyilaukan mata
cerlang, seperti mentari yang membakar warna kulit Bunga kalau tidak pakai cream ber-SPF

di tengah keramaian,
di antara insiden jambak-menjambak
aku menerbangkan selendangku tanpa pikir dua kali, sekali pun tidak
aih... apa aku baru bilang kalau aku punya selendang juga meski tak suka?

yah, lalu menghamburkan diri di tengah orang haus dan lapar
bukan menjadi umpan
tapi menjilat
ada yang tahu aku ini penjilat?
ahaha... cukup aku saja yang tahu

oh iya, aku sempat menusuk beberapa mahkota bunga "setan"
dia tak bergeming
pasrah
hingga aku melihat kepala makhluk spesial itu, 
lalu aku menusuk lebih dalam mahkota bunga "setan" yang dulu sempat menggodaku dulu

pura-pura puas, 
aku bekunjung ke bunga bangkai
masih tanpa selendang dan aku merasa seperti keracunan kopi lusa kemarin
bunga bangkai ini aneh, dikelilingi kupu-kupu
aku takjub, si bunga bangkai tidak melahapnya
lalu aku tidak merasakan getaran yang kurasakan saat melihat makhluk spesial di samping bunga "setan"
maka aku berlari ke rumah gelapku

di sana...
secara ajaib, si makhluk spesial membulatkan tangan seperti bentuk hati
bukankah aku bergidik?
aku teringat si betina yang sedang menunggunya di sarang


dan aku tersadar dari harapan-harapan semu
menggantungkan cinta pada benda-benda abstrak di tepi pintu 
kini sudah tak mahu

kemarin malam, hari ini, dan malam ini 
kuambil resiko menyeruput kopi
kopi hitam pekat tanpa gula dan krim
lalu mulai keracunan seperti biasanya besok pagi...

aku mendapatkan kembali selendangku, entah bagaimana
lalu aku pulang dengan beban
lalu tidak bisa tidur tenang 
dengan secangkir kopi hitam pekat
siap di meja...

dan kumulai cerita seperti hari-hari sebelumnya....
pahit
Kenapa kamu nge-like ******????Bottom of Form





Dua Puluh Sembilan
24 Januari 2011 pukul 16:37
(Ini akibat dari catatan sebelumnya yang kamu like)

Tolong!
Aku sesak napas!
dan tidak bisa mencari kata lain selain hapus! hapus! dan hapus!
Selama ini terlalu eksplisit
Ternyata membunuh diriku sendiri
Sesak sesak sesak!Galau dahsyat

Aku kira belum tepat satu tahun
Saat aku melakukan kesalahan yang sama
FebruariIni Januari
Please, God!Ini lebih cepat enam belas hari
Haduh!Galau galau galau!!! 

Bagaimana? Terimalah pembalasanmu, Ani!


Tiga Puluh
15 April 2011

Aku tak mampu membagi diriku untukmu, untuknya dan untuk mereka
Aku tak mampu mencurahkan kasih sayangku hanya untukmu, untuknya atau untuk mereka
Kalian menyatu memiliki semua rasaku
Kalian memiliki cinta, kasih, sayang, dan pengorbananku...

Ini surat cintaku untuk kalian yang kusayang
Untuk semua hal berbagai rasa dan warna yang telah kalian sumbangkan
Untuk setiap detik yang tak pernah berlalu tanpa kemunculan kalian...
Ini surat cintaku untuk kalian 
karena aku tidak tahu cara membagi waktu untuk menyejahterakan kalian...

Sabar ya...
Bumi ini berputar
Tak hanya henti di satu titik
Bumi itu bak bola
Menggelinding menuju gawang yang benar jika kita, manusia, mampu mnggiringnya ke arah yang benar

Pokoknya harus semangat!















Tiga Puluh Satu
17 Mei 2011 pukul 12:17

Di saat-saat seperti ini, aku tiba-tiba selalu ingat kawan bincang bisuku. Hai kawan! Masih kawanmu kah aku? Hahai... Aku ingat warnamu, hijau menyala seperti kertas jadwal yang tertempel di tembok utara kamarku. Aku juga masih ingat guyonanmu yang entah kenapa selalu aku nantikan saat aku bosan, haha. Kau benar-benar jadi tempat pelarian. Saat bosan carilah kau sampai ketemu. Sudah berapa puluh kali aku menulis tentang kau di jejaring sosial ini? Dan mungkin kau sempat membacanya. Anehnya kau hanya diam.

Hai, kawan... Perkataanku terlalu abstrak kah, hingga kau tak pernah mengerti artinya? Aduh! Aku selalu punya masalah dengan kemampuan verbal. Pfiuh...fiuh... 

Oia, kawan... Kudengar kau akan segera menempuh hidup baru? Selamat ya? Melihatmu mengenakan kostum itu adalah salah satu hal yang menyenangkan dalam daftarku. Uhn... Itu, itu lho.. Sebenarnya, kamu itu siapa sih?
Aku udah ngomong panjang lebar tinggi, kok ternyata kita ngga saling kenal dan ngga pernah saling sapa? Aku ingin suatu saat nanti, entah kapan, entah saat aku sudah menua renta tak punya daya dan kau juga sama saja hanya saja masih berlari bermain voli, atau entah kapan yang lain, aku ingin kita saling bertegur sapa. Waduh! Aku lupa! Sepertinya itu susah. Sepertinya kita sudah mulai pikun tentang ini ya?

Namun... aku sangat berharap, suatu saat nanti kita mengobrol walaupun hanya untuk melemparkan julukan abnormal kita yang saling tertuju satu sama lain. Dan satu lagi harapanku, kau mau menulis. Aku ingin sekali membaca tulisanmu selain tulisan-tulisan konyol yang mampu membuatku tertawa terguling-guling, tapi tulisan lain, tulisan yang dengan aku membacanya, aku mampu menerka seperti apa kau sebenarnya. Menulislah, kawan! Please, menulislah... Dan undang aku turut serta ke dalamnya....




Tiga Puluh Dua
17 juni 2011

Sempat teringat tahun-tahun lalu
Saat semangatku menjadi orang pintar (tanpa dengan minum tolak angin) melonjak-lonjak
Saat rumus-rumus kimia dan matematika bukanlah bahan hafalan melainkan mainan
Atau saat aku sangat menyukai melukiskan bentuk atau kalimat
Dan saat aku memang sangat suka melihat pekerjaanku dikritik dan diberi imbuhan saran

Itu dulu!
Sebelum beberapa orang mempengaruhi
Sebelum seorang tak dikenal masuk menyusupi lubang otak dan hati
Mengubah pikiranku menjadi pemburu sesuatu yang abstrak dan susah dimengerti
Ahahai...

Seseorang yang sering membuatku tertawa geli, sendiri
Sendiri, hingga ibuku menyangkaku tengah berkicau sambil tidur
Hingga kawanku mulai tak mengerti dengan kegilaanku
Yang parahnya terjadi sejak dua tiga tahun lalu
Dan hal itu mengendap seperti foraminifera yang terperangkap lumpur lautan
Mengendap membentuk batuan yang mengerak di permukaan hati
Menginfeksi sel-sel otak ini hingga lupa cara menentukan kecepatan berlari siput telanjang

Aku...
Aku tak menyalahkanmu...
Kau membuatku tahu kegilaan apa yang dirasakan oleh mereka, pemabuk kepayang
Namun, sungguh aku mulai takut merasakannya lagi
Kenapa?
Perlahan tapi pasti, energimu merontokkan potensiku...
Kau tahu?
Aku terpuruk dalam senyuman
Dan kau tahu aku tak tahu harus kepada siapa aku minta pertanggungjawaban...
Ahahai...

SEMANGAT ANI!!!!

Hope, I'll never feel the same feeling again....








Tiga Puluh Tiga
Juni 2011 pukul 1:57

kau yang selalu memperhatikanku dengan caramu, terima kasih...

Hai!
Untuk ke-sekian kalinya aku menyapa tembok kosong sambil berharap ia tiba-tiba berubah menjadi kau. 
Aku tidak tahu mengapa aku selalu memperoleh jawaban tanpa jawaban. Apakah aku mesti menjejalkan perangko ke dalam surat ini? 
Saat seperti ini, aku betul-betul mau. Mau membaca banyolanmu. Aku rindu. Rindu kehijauanmu. 
Kau menjadi pertama. Pertama yang membuatku sukses begadang tempo malam. Kau yang tanpa kau rencanakan telah mencolek perhatianku lebih besar. 
Ah... Aku bosan membicarakanmu... Dan memang hanya kau yang mengalihkanku. 
Sebelum aku pergi lebih jauh, inginku bertemu dan berbincang. Sekali saja... Sekali saja... Meski aku tak berani berjanji. 
Tiga Puluh Empat
24 November 2011 pukul 15:06

Lama dan lama sekali jari ini tak bermain, bertemu bahkan bercolekan dengan kerumunan tombol nan lembut... 

Tiba-tiba, saat teringat sebuah pertanyaan tentang enam bintang, tiba-tiba pula memoriku terlempar kepada sesuatu atau mungkin seseorang. Seseorang yang tentu saja abstrak dan buras, senantiasa sama dengan kemunculan dan kepergiannya. 
Namun, hal yang aneh dan nyata terjadi adalah bahwa aku tak pernah menemukan sesuatu pun cara yang mampu menghilangkannya dari memoriku. Aku mempunyai daya ingat terlampau tinggi untuk hal-hal tertentu. Hal sesepele buah mangga muda jatuh menimpa seekor tupai pun dapat kuingat bahkan setelah bertahun-tahun aku tak mengunjungi tempat kejadian. 
Aku terlalu ingat terhadap hal unik yang dilakukan seseorang unik, pada saat yang unik, di suatu tempat yang unik atau dengan bantuan bumbu-bumbu unik lainnya. 
Hal yang mampu membuatku tertawa nyaris terbahak, membuatku tersenyum barangkali tersedu, menarik ulur tangisku dalam linangan keharuan, atau membangkitkan amarah di tengah kesunyian ekspresi. 
Kuakui beberapa ingatan itu tersketsa dengan indah, dengan menyeramkan, dengan menyenangkan, dengan penuh bunga-bunga bermekaran atau dengan biasa saja... 
Namun, aku ingat...











Tiga Puluh Lima
30 Desember 2011 pukul 13:33

Luapan emosi tak sempat mencapai ujung
Lava membanjir di lambung
Terkungkung
Bingung

Lambada lambaian bunga, sayup-sayup menderu haru
Bangkitkan regu-regu bayu, meniup tirta terbias biru
Gemertak gigi berlumut kambing laut
Memburu ombak berdebur
Degup degup rancu penghuni raksasa biru

Desiran kerikil palung tergelincir
Membentur, beradu, beriak, tajam bagai tombak
Bunga karang tercengang
Terumbu menari, rerumputan bergoyang sendiri

Ini puncak toleransi
Sang waktu lelah menanti

Bah berkunjung
Serentet gunung terhuyung
Limbung

Lava membeku
Membeku syahdu tanpa sempat membara

Padam
Selesai begitu saja



Tiga Puluh Enam
24 April 2012 pukul 4:22

Rerindangan pohon, dinginnya bangku semen dan kotak-kotak kayu pengap yang ragu bergeming... Di antara celah mereka, kulihat seorang anak berjalan, akan menghampiri. Hampir-hampir hilang nafasku, henti nadiku dan hangus akal sehatku dalam setengah detik kala itu. Bukan! Bukan karena serangan jantung atau stroke, melainkan karena terkaget pikiran warasku. 

Kuikuti sepasang kaki. Dari balikku, muncul langkah kaki, tapi lain. Dia karibnya. Kami berpapasan, aku berdebar, dia tak ubah raut muka. Kami bertiga saling diam. Kawannya melirik muka, aku terdiam sejenak. Berharap, milirik pula mata manusia di sampingnya. Namun tidak. Seekor kupu-kupu hampir mati di sudut lemari kayu.

Aku malu, lantas beringsut ke dalam gudang buku. Ibu garang memoles muka. Ibu sayu mengukur pengunjung. Jemariku mencari buku tentang penari, sedang mata melirik ke sana dan ke sini. Aman untuk menjadi diri sendiri kataku dalam hati.

Berhenti menoleh, kuperoleh sebuah manuskrip tua. Dia coklat, berbau khas dan tampak megah. Kubuka lembar pertama, dadaku tertinju kagum. Kubuka halaman terakhir, air mata tanpa permisi berlari mengalir. Aku dan perasaanku, dibolak-balikkan lembaran tua tak punya judul diri.

Aku jatuh hati untuk kesejuta kali. Kumantapkan hati menulis tentang ini. Secarik kartu terlampau buruk kutarik dari saku dada. Sehelai kertas nota bekas kugelar di atas meja kusam. Pensil menari, otak bersalto liar tanpa kendali. 'Guruku akan bahagia dengan ini!' teriakku tanpa berbunyi.

Aku selesai dan bersiap mengunjungi para ibu. Pintu tiba-tiba sesak dan sinar mentari terhalang benda berbayang tidak normal. Dia menyeruak. Kepala lebih dulu, lantas tangan menyusul melambai tanpa gaya. Karibnya muncul, meninggalkannya, tertawa tanpa bahasa. Aku kaku. Hatiku ingin meraih, tapi otak tak jua memberi izin. Jiwaku ingin menghambur, tapi raga tak mampu bergerak barang seinci.
Keheningan terpecah sebaris bibir seruapa bulan sabit. Tanganku tak tahu cara berdusta, lantas melambai segirang Amelia. Tersadar, terbaca rasa tak biasa, aku mencoba bertingkah luar biasa. Tak ada daya upaya, kakiku melangkah menyamping persis seekor kepiting dikejar burung ceking. Menuju tikus elektronik, menjaring informasi palsu tetang kupu-kupu hitam putih. Nafas berlari, tempat duduk pun seakan tak mau kompromi. Dia masih menatap, aku pura-pura tak lihat.

Dalam hati aku meminta bantuan. "Oh tolong, kau karibnya, cepatlah datang. Bawa dia pulang. Masukkan dia dalam lubang di mana kalian biasa berkubang, di mana di depannya aku terbiasa berpura-pura lalu lalang."

Aku heran kepada jaring yang berlubang besar. Kupu-kupu hitam putih lolos dari tangkapan. Aku kehabisan akal, lantas aku hilang tingkah. Dia masih di samping para ibu. Aku tak bernyali untuk mendekat. Gudang buku tiba-tiba berlalat. Oleh aku yang ternyata mulai membusuk, kehabisan waktu menghimpun nyali, kehabisan energi karena kaki tak henti bergetar penuh ekspresi.
Aku tak bisa pergi. Lantas pura-pura membuka diary. Ibu garang melempar perhatian. Ibu sayu masih sibuk mengukur. Dia hilang! Aku terlonjak senang. Berdiri tanpa hati-hati dan menyenggol tubuh lemari. Bruk! Suara lemari teraniaya manusia terlepas manisnya mara bahaya.  Ibu garang makin penasaran. Berhenti menebar bedak dan membulatkan mata di balik kacamata segiempat. Aku tersenyum tanpa makna.

Aku mendekat dan menyiapkan manuskrip tua. Secarik kartu tehidang di atasnya. Pulpen masuk saku, nota bekas terselip di pengaitnya. Aku harus bergegas sebelum dia muncul dan membuatku lupa bernafas. 

Perkiraanku tak sering salah, akan kucapai si ibu dalam lima langkah. Aku melayang, ringan nian dalam ketergesaan. Namun sial! Jidatku menghantam punggung yang lebar! Aku memeluk lantai dan dia memutar badan. Alangkah kesialan ini begitu penuh bintang-bintang, sang pemilik tubuh mengulurkan tangan. Mataku terbuka dan seketika inginku hilang ingatan. Dia! Dia lagi dengan wajah gelisah dan penuh rasa bersalah.

Aku berdiri tanpa menjbat tangan. Lantas tanpa sadar bertingkah tidak wajar. Si manuskrip tanpa alasan ingin kujejalkan dalam tas tangan. Si ibu tahu lantas menyetop laju tanganku. Aku malu dia melihatku. Aku bertingkah salah tingkah, si ibu mengira aku kleptomania. Sedangkan dia tertawa menahan tawa. Aku memerah dan dia menjadi salah tingkah.

Aku berbalik. Membuka lemari berjudul sastra dan melempar si manuskrip. Aku lupa si guru dan lupa tujuan kunjunganku. Dia bermuka heran, si ibu sayu berhenti mengukur. Karibnya datang dari pojok ruang. Dia meminta maaf, aku bersiap angkat bicara. 

Karibnya ingin berucap dan dia telah siap mendengar pernyataan. Aku tak rela, maku dengan kecepatan kereta kuda, aku mengambil alih percakapan, "Hai! Namaku Amarilis. Bukankah kau mengenalku sejak lama, Antaresta?"



Tiga Puluh Tujuh
3 Juni 2012 pukul 22:24
(Ini kutulis saat aku lihat status-statusmu setelah kuliah, kayaknya jadii gimanaaa dan kamu yang kelihatan kurusan, hehe)

Hai, Kawanku sesama Pemimpi
Rupamu semakin kisut
Masih mampukah diinjak coba dan ujian?
Masih mampukah ditebari debu rintangan?

Detik masih berlari,
misteri masih menyilang kaki,
haruskah kau tetap diam menyaksikan?

Kau bilang kau dokter segala penyakit hati manusia,
kau bilang kau detektif pemecah kasus ketidakwajaran tingkah laku,
dan kau pun bilang kau mampu menjadi hakim penegak keadilan tanpa  pandang jabatan

Lantas mengapa kau meringkuk bak ular lapar?
Mengapa kau menyerah di tengah takdir Tuhan sedang berjalan sebagian?
Bangkit, Kawan...




















PANJANG YAAAAAAAAAAAAAA…??? Hehe
NOTES FB

 (Gomenasai! Saya Lebay dan Sangat Sering Menganggumu. Gomen, gomen, gomen…)

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...