Hehe, kayaknya gara-gara aku, ada
beberapa orang yang jadi memanggilmu dengan sebutan ****** juga, ya? Maaf
yaaaa….
Namun, kayaknya lucu juga sih
kedengarannya… :P
Ngakak saya waktu pertama kali
lihat gambar di atas, :D
kepingankisahamarilis.blogspot.com
Kebumen-Depok
Entahlah
2009-Juli 2012
Satu
pada 28 Juni 2009 pukul 9:34
(Tahukah? Gara-gara pernah ngobrolin Tetralogi Laskar Pelangi di MXIT
denganmu, aku jadi makin suka dan suka sama novelnya Andrea Hirata. Hehe, aku
yakin kamu udah lupa kita pernah ngobrolinnya. Ini note pertama yang mana saat
menulisnya, aku sedikit ingat padamu, J)
Daratan ini
mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat
katalismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membumbung di
atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah
memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjera
pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan ultraviolet
menari-nari di atas permukaan laut yang biru bertapis minyak, jingga serupa
kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of
fire, lingkaran api. (Andrea Hirata: Sang Pemimpi, mozaik 1, "What a
Wonderful World", hal. 1)
Jika kita ditimpa buah nangka, itu artinya memang nasib kita harus ditimpa buah
nangka. Tak dapat, sedikit pun, dielakkan. Dulu, jauh sebelum kita lahir, Tuhan
telah mencatat dalam buku-Nya bahwa kita memang akan ditimpa buah nangka.
Perkara kita harus menghindari berada di bawah buah nangka matang sebab
tangkainya sudah rapuh adalah perkara lain. Tak apa-apa kita duduk pantai di
bawah buah nangka semacam itu karena umi Tuhan telah mencatat dalam buku-Nya
apakah kita akan ditimpa buah nangka atau tidak. (Andrea Hirata: Sang Pemimpi,
Mozaik 11, "Spiderman", hal. 127)
Orang yang disambar petir memiliki ekspresi
dan sikap tubuh yang aneh seolah tubuhnya dimasuki makhluk asing dan makhluk
asing itu mengambil alih jiwanya. Di atas fondasi kepercayaan seperti itulah
orang-orang Melayu tempo dulu meletakkan cara yang spektakuler untuk
menyelamatkan korban sambaran petir. Jika ada korban petir yang tak langsung
tewas, dukun Melayu, dalam hal ini dukun langit, segera menyalakan api di bawah
tungku yang panjang. Di tungku itu dijejer daun-daun kelapa yang masih hijau
lengkap dengan pelepahnya. Dan di atas daun kelapa itulah sang korbang
dipanggang, di-barbeque. Maksudnya, untuk mengusir dengu listrik dari dalam
tubuhnya. Percaya atau tidak, cara ini sering sukses. Penjelasan logisnya
barangkali ada pada seputar reaksi antara asap, panas api, listrik, sugesti,
dan tipu muslihat dunia gelap perdukunan. Adapun yang tak sempat tertolong,
seperti terakhir kulihat, seorang sembari nira disambar petir saat memanjat
pohon aren. Ia wafat di tempat, lekat di pohon itu, kedua tangannya tak dapat
diluruskan. Ia ****fani dan dikucurkan dengan sikap tangan seperti seorang
dirigen orkestra sedang mengarahkan lagu "Aku Seorang Kapiten".
(Andrea Hirata: Sang Pemimpi, mozaik 13, Pangeran Mustika Raja Bana, hal.
157-158.
Bakat tidak seperti alergi,dan ia tidak otomatis timbul seperti jerawat,tapi
dalam banyak kejadian ia harus ditemukan.
Yatta! Kamu ternyata mengomentarinya,
hehe…
Rajine..wis
ngrekam mbrang dicateti maning..jyan jyan
Dua
11 Juli 2009 pukul 20:44
(Ini note ke-2 tentang kamu. Sebenarnya, bukan menceritakan kamu. Aku
ingat sekali, kamu sering menggunakan kata rewel. Bagiku kata rewel itu kata
yang sangat jarang kudengar sehingga saat setiap aku membacanya dari
komentarmu, kata rewel ini terlihat lucu sekali. Kawaii, seperti ucapan seorang
kakak yang sedang memarahi adik kecilnya, tapi lembut. Rewel ini cikal bakal
sebuah cerpen. Namun berhenti dan belum sempat nerusin lagi. Terima kasih untuk
inspirasinya. J)
Rewel in the
Palace
Burung gereja berdasi bercicit ceria di dahan kering pohok ek yang dulu sengaja
ditanam dekat-dekat dengan kamar oleh Jase. Tujuannya adalah agar dia dapat
menggunakannya untuk turun dari kamarnya di lantai 2 rumahnya.
Hehe... inspired by nylelek pers0n!
Smangat!!!
Tiga
18 Juli 2009 pukul 23:12
(Maaf sekali. Aku juga nggak tahu
kenapa aku menuliskan ini untukmu. Gomenasai untuk memikirkan dan menantikanmu mengajak
ber-chatting via MXIT di malam hari.)
Di balik kilau
pepohonan cemara angin yang bernyanyi tanpa solmisasi...
Di antara dedahanan jambu mawar yang bunganya tengah ramai berebut untuk
mekar...
Dan di tiap sela
dedaunan rambutan yang selalu sibuk mengumpulkan karbondioksida...
.......
Aku tertunduk, mengerutkan dahi, menyeleksi dan menyusun serpihan-serpihan
puzzle istimewa untukmu...
Ku bisikkan 3
kata rahasia yang kuharapkan besedia terbang bersama semilir angin...menuju
kotak pos hatimu, hanya untukmu, tuk pertama dan terakhir kali...
Pertengahan Juli
yang kering dan dingin adalah pertanda awal musim bunga bersemi di kalender
hatiku...
Tiga kali
perjumpaan dalam lima menit perkiraan waktu, membuatku tiga kali jatuh ke dalam
lubang nan usil memainkan ilusi, memaksaku memamerkan senyum simpul mahalku
secara cuma-cuma kepada siapa saja... Tak tanggung-tanggung, satu lesung pipi
selalu kulemparkan tuk menyambutmu...
Hanya untukmu,
tiga kata rahasia... Tiga diksi termahal yang memang limited edition,
kutitipkan pada angin... Semoga hinggap di mimpimu. . . .
Nite. . .
Empat
19 Juli 2009 pukul
10:05
(Ini adalah kelanjutan note sebelumnya. Di sini, aku mulai merasa ada
yang salah dan benar-benar salah denganku. Aku yang terlalu memaksa dan
berpura-pura tidak tahu bahwa kau adalah kekasih orang lain. Nakal dan keras
kepala, ya? Oh iya, dalam beberapa bagian tulisanku, mungkin aku seperti
menyalahkanmu. Namun, sebenarnya tidak. Terima kasih justru ingin kuucapkan
selama ini padamu yang begitu baik dan mau mengobrol denganku, si kakak kelas
tua renta. Memang selalu terlintas pikiran, “Jika aku bukan kakak kelas, pasti
aku tidak akan bisa ngobrol denganmu seperti itu, hehe”. Aku sadar tapi tetap
memaksa. Maaaaaaf… L)
I've never felt
something like this before...
Mungkin suatu
kontraposisi sehari-hari bagi khalayak umum, tapi bagiku ini adalah suatu
invers yang jarang terjadi di 17 tahun keberadaanku di dunia...
Jika ditelaah
lebih lanjut, menilik memoriam-memoriam terdahulu yang hampir terkubur oleh
waktu, belum pernah kualami keberhasilan berarti dalam peristiwa ini.
Aku tergiur, terhipnotis oleh kilauan patah-patah katanya. Dia yang tak pernah
kehilangan cerlang, dan tak kan pernah menghilangkannya demi satu tujuan
menarik hati banyak orang...
Aku salah satu dari banyak orang itu, dan di sini aku sebagai korban dari
nikmat sekejap yang membawa kesengsaraan panjang dan sulit dilupakan...
Sem0ga aku akan
lebih jarang mengalami ini, dan kutemukan sekali lagi saja, untuk yang
terakhir...
Tiga kata
untuknya masih tersimpan, terjaga , hanya untuknya yang tak tahu siapa dan di
mana, serta entah kapan kedatangannya. . .Top of Form
Lima:
31 Juli 2009 pukul 18:50
(Iya. Aku sering menyebutkan kawan
bisu, ya? Itu adalah kamu. Maaf, aku agresif. Malu. Komentar monolog yang
ditulis di komentar-komentar di bawah note
ini adalah apa yang aku rasakan saat itu. Entahlah! Aku malu membacanya lagi.)
Setiap
melihatnya, bahkan mendengar namanya saja, aku jadi...begitu merasa aneh...
Aneeh banget!!!
Kata "the
virgin": Rasa ini sungguh tak wajar...hehe... Dan mungkin kurang lebih
maksudku sama dengan itu...
Setelah berpapasan dengannya, sedikitnya dua inspirasi timbul begitu saja tanpa
permisi. Wow! Aku heran...dan senang. Hehe...
Bahkan, aku begitu susah mendeskripsikan rasa tidak wajar itu. Begitu abstrak
dan mendalam. Begitu terpendam dan penuh rahasia. Begitu membuatku penasaran!
Hmm... Bukan cinta, hanya saja rindu menerus terhadap kata-kata bisunya yang
begitu menyihir dan menginspirasiku. Sungguh! Belum pernah satu huruf pun,
terucap dua arah. Hmm...
Namun, setiap
berbincang bisu, semangatku tumbuh! Inspirasi mengalir! Dan senyumku
tersungging, kecil.
Memang aku yang
over. Hehe...
Coz...sekarang,
aku pun tak pernah lagi terpaut sepatah kata pun dengannya. Gpp, asal masih
sekedar papasan kecil, aku tetap senang. Kau inspirasiku! Salah satu pot0ngan
puzzleku yang baru kutemukan di hamparan kebun inspirasi sempit dan
berpepohonan rimbun!
WoW kau orang yang ku maksud, semoga kau membaca ini, lalu bangkitkan
semangatku lagi dan lagi...
Ayo, kawan bincang bisuku....
Aku rindu
kata-kata ikhlasmu!
Top of Form
Komentar:Top of Form
Kereeen...
Apa,
b0ng??
Please,
tell me what must I do? fiugh...
Semakin
ditulis, semakin aku terobsesi. Namun, ini hanya obsesi kompulsif yang terus
memuncak tak tahu kapan akan mencapai si sumber obsesi...
Gila!
Sehari saja tak menulis, meski satu hal kecil tentangnya, rasanya ga enak, n
slalu pengen menceritakannya meski hanya pada hape soulmateku...
Kangen!
Hahae...
Kutulis di mana saja yang masih muat, dan mau menerima coretan tak pentingku
ini.
Mana
lagi ya?
Hmm...
Basa-basi!
Aku tak suka orang yang terlalu banyak basa-basi untuk menutupi kekurangannya!
Meski
itu adalah kau!
Enam
2 Agustus 2009 pukul 17:21
(Ini adalah cerpen yang kubuat
sebagai pemenuh tugas Bahasa Indonesia saat kelas 12. Percaya? Aku menulisnya
beberapa saat setelah chat denganmu
di MXIT. Aku buntu ide dan tidak tahu mau menulis apa lagi, maka aku memutuskan
menuliskan kisah tragis seekor kecebong. Terima kasih lagi karena secara tidak
langsung dan tanpa kamu sadari kamu telah menginspirasikan sebuah ide lagi.)
Di Ladang Tebu
Musim gugur hampir berlalu. Angin musim dingin mulai bertiup menggelitik bulu
kuduk dan hamparan ilalang di ladang tebu. Dari kejauhan terdengar suara
ratusan langkah kaki yang makin lama makin mendekat, menggemparkan kediaman
para makhluk pelompat yang sedang nyaman mendengkur di bawah terpaan cahaya
bulan malam ke-13 di sana.
Perlahan tapi pasti, satu per satu dari mereka terjaga lalu berteriak
seenaknya, "Wibik...wibik..." Sekarang, suara langkah kaki telah
digantikan oleh riuhnya konser yang dimeriahkan musisi-musisi amfibi,
membawakan theme song andalan mereka, "Wibik...wibik..." Mereka berlompatan
ke sana ke mari, padahal tak ada yang mendekati. Mungkin insting mereka jauh
lebih peka dari perkiraan para manusia ladang.
Sementara itu,
sekitar dua puluh meter dari ladang tebu tempat para katak itu bisaa
beraktivitas dan istirahat, ratusan pasang mata manusia mengintai mereka.
Beberapa menit lagi, perburuan hewan amfibi ini resmi dibuka. Pesertanya tak
lain tak bukan adalah ratusan pengintai ladang tadi. Berbagai senjata seperti
cangkul, pisau, sapu jerami, hingga samurai telah mereka genggami. Bumerang
kecil pun tak luput dija****n benda pamungkas. Tatapan mereka --yang kebanyakan
adalah petani-- tajam, teliti dan terpusat pada ladang tebu.
Kini hanya
tinggal menunggu tanda, dan mereka telah siap melakukan penyerangan dan
mengayunkan benda-benda di genggamannya seasyik bermain yoyo. “Priiiit...” Lalu
seluruh manusia bersenjata berhamburan ke ladang melancarkan aksi.
*****
Dahinya berkerut, sehingga dapat menahan sebulir keringat yang meluncur lincah
dari kepala botaknya. Meski keringat bercucuran, tapi Profesor Keynes tetap
kekeuh menempelkan matanya pada lensa okuler mikroskop elektron. Objek
pengamatannya adalah gumpalan kecil berinti hitam dan diselimuti lendir bening
yang telah ia ja****n preparat. Entah spesies apa yang sedang ia teliti. Namun,
yang pasti ini adalah suatu proyek besar sebagai bentuk sumbangannya bagi
khazanah ilmu pengetahuan.
Sementara sang
profesor asyik bekerja, di ruangan yang sama, ada sesuatu yang mengawasi setiap
inci gerakan profesor di setiap detiknya. Jika profesor mengerutkan dahi, ia pun
akan semakin serius mengamati. Jika profesor tertawa, ia ikut menari berputar
di dalam kotak akuariumnya. Ia adalah seekor kecebong berumur tiga hari.
Sepanjang 3 hari
hidupnya ia tak pernah melihat danau, sawah, rawa, got atau tempat-tempat
semacam itu yang bisaanya merupakan tempat lahir, tanah air para kaumnya.
Kecebong ini lahir dan tumbuh di akuarium profesor Keynes bersama sekitar
seratus ekor saudaranya. Bahkan, ia tak punya nama. Menamai mereka satu per
satu bukanlah ide bagus. Apalagi profesor sendiri sedang sibuk meneliti seluk
beluk leluhur kecebong itu. Alhasil, ia pun menamai dirinya sendiri
"Nana", sebab ia suka bersenandung dalam air. Satu-satunya hobi Nana
adalah memperhatikan profesor. Hobi yang oleh saudara-saudaranya dianggap aneh
dan membuang-buang waktu.
Di film-film
kartun, anak burung yang baru menetas akan menganggap sosok pertama yang
dilihatnya sebagai induknya, meskipun sosok itu adalah seekor kucing.
Tampaknya, hal ini pula yang terjadi di pada Nana. Ia begitu menyayangi profesor
yang sering berada di dekatnya.
Suatu hari,
bertepatan dengan lima hari umur Nana, seorang wanita asing datang ke
laboratorium. Dia memakai baju safari coklat, bertopi lebar dan tampaknya
datang dari tempat jauh. Kedatanganya adalah untuk mendiskusikan satu hal
serius dengan profesor. Namanya Sandra.
"Bagaimana
perkembangan penelitianmu, Prof?" tanya Sandra kepada profesor yang sedang
menulis suatu kajian ilmiah. Profesor berhenti menulis. Dibetulkannya letak
kacamata perseginya yang melorot. Lalu ia menghirup nafas panjang, menahannya
beberapa detik sebelum kemudian ia hembuskan.
Hening sejenak dan akhirnya ia pun menjawab sambil membelai dagunya yang tak
berjenggot, "Hmm... Sandra, setelah kuteliti lebih lanjut, kematian
buaya-buaya di rawa itu disebabkan oleh Cane toad."
Sandra diam.
Wajahnya tampak serius berpikir, "Begitu? Tapi, bagaimana mungkin? Mereka
sangat membantu para petani. Sejak tahun 1935, mereka sengaja diimpor dari
benua Amerika untuk membasmi hama kumbang yang menyerang tanaman tebu di Queensland.
Kini mereka telah beranak pinak di seantero
Australia. Bagaimana mungkin mereka bisa membunuh para buaya-buaya itu?"
Di dalam
akuarium, Nana mendengarkan percakapan itu dengan seksama. ‘Apa itu Cane toad?
Queensland? Amerika? Nama-nama apa itu?’ Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan
di kepala Nana. Ia pun semakin antusias memperhatikan dua makhluk besar yang
tidak hidup di air itu.
"Sandra.
Katak-katak ini mempunyai sistem pertahanan diri yang kompleks. Satu bulan
penelitianku terhadap Cane toad, ternyata membuahkan fakta baru. Mereka berbeda
dengan katak-katak jenis lain, sebab ada semacam kantung beracun yang
tersembunyi di balik kaki depannya. Zat-zat mematikan yang kutemukan dalam
sampel buaya itu sama dengan racun yang ada di dalam kantung katak itu,"
jelas profesor panjang lebar.
Kenyataan itu
membuat Sandra tercengang. Tampaknya ia tak menyangka bahwa katak-katak yang
panjangnya bisa mencapai 20 cm itu adalah kunci penyebab ketidakstabilan
ekosistem di sekitar hutan dan ladang tebu. Perlahan-lahan ia mulai bicara
lagi, "Saya mengerti, Prof. Populasinya yang begitu pesat satu dekade
terakhir, bahkan hingga ke daerah rawa di hutan, memang cukup membuat saya
bertanya-tanya. Apakah tak ada predator yang mau menyantap katak-katak itu? Ternyata
mereka mati sebelum berhasil memangsanya. Lalu, Prof, apa mereka berbahaya bagi
manusia?"
Si kecebong masih
serius memperhatikan mereka. Meskipun ia mendengarkan tiap kalimat percakapan
itu, tapi tak sedikit pun ia memahami maknanya. Kapasitas memori pikirannya
kecil, sekecil tubuhnya.
*****
Esoknya, Nana berharap agar Sandra datang lagi dan mengatakan hal-hal lain yang
lebih mudah untuk dipahami olehnya. Ia menyukai Sandra sejak awal melihatnya.
Sandra adalah orang pertama yang menyapanya --menyapa mereka tepatnya-- dengan
mengobok-obok akuarium. Padahal, saat itu Sandra hanya berniat merendam
kelingkingnya yang sedikit melepuh karena tercelup ke dalam secangkir kopi
panas.
Ckrrk... Pintu terbuka, lalu melangkah seorang anak laki-laki kecil memakai
seragam TK. Anak kecil itu mengendap-endap lirih di dalam laboratorium. Ia
berhenti tiba-tiba di depan akuarium lalu berteriak, "Mak... Emak! Ada
ikan kecil-kecil belenang, Mak! Banyak! Ada sejuta! Di sini mak!" Suaranya
yang cempreng mengagetkan Nana dan membuat gaduh seisi rumah.
"Wah, suara itu menggetarkan dunia!" kata Nana kepada seekor ikan koi
bersirip kuning yang berada di dekatnya. Akuarium adalah dunia baginya.
"Iya. Aku
takut suaranya menimbulkan polusi di dunia kita," jawab ikan mas itu.
"Apa itu polusi?"
tanya Nana dengan penuh penasaran.
Si ikan tampak bingung saat ditanya balik, lalu dia pun menjawab, "Hmm...
Profesor berkata seperti itu 7 hari yang lalu saat memandang kotak kaca
itu." Mata bulatnya melotot ke arah televisi.
"Aku hanya
mengutip kata-katanya. Hehe..." imbuh si ikan.
"Tujuh hari lalu? Umurku saja baru enam hari. Kalau begitu kau lebih tua
dariku. Berapa umurmu?"
Si ikan berenang
berputar di tempat sebanyak tiga kali yang menandakan ia sedang berpikir. Lalu
ia menjawab, "Aha... biar kutanyakan pada emakku."
"Emak? Apa
itu emak? Manusia kecil itu juga menyebutkan emak tadi," tanya Nana
membabi buta.
"Emak itu
orang yang lebih tua darimu. Dia tahu segala hal yang tak kau ketahui,"
jawab si ikan.
"Kalau
begitu kau emakku?"
"Aku? Entahlah.
Sepertinya tampang kita berdua berbeda. Kau
begitu hitam legam dan mulus. Sedangkan aku, indah, berkilau tapi bersisik.
Ah... sudahlah biar kutanya emakku yang ada di dunia seberang!" jawab
ikan.
Lalu ia
meninggalkan Nana menuju sebuah akuarium lebih besar yang berada di samping
akuarium mereka. Nana terus mengawasinya hingga si ikan sampai di perbatasan
"dunia" dan bertatap muka dengan seekor ikan mas koi super besar. Si
ikan menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi dengan ikan besar itu. Tak
lama kemudian, si ikan koi kecil bersirip kuning pun berbalik dan menemui Nana.
"Sudah
kudapatkan jawaban. Kata emakku, aku menetas saat bulan bulat sempurna dan
nanti malam adalah bulan bulat sempurna keduaku. Jadi umurku adalah satu bulan.
Hahaha!"
"Oh... Lalu kau siapa?" tanya Nana.
"Aku? Namaku
Sybil kau Nana bukan? Dan satu lagi, aku bukanlah emakmu. Kata emakku, emakmu
adalah orang yang melahirkanmu. Eit... Jangan bertanya soal emakmu lagi
padaku!" kata ikan itu yang ternyata bernama Sybil seolah-olah bisa
membaca pikiran Nana.
"Oh...Baiklah,
Sybil. Lalu, mengapa emakmu ada di dunia yang lain?"
"Entahlah.
Profesor memisahkan kami sesaat setelah aku menetas."
"Lalu..." kata-kata Nana terhenti setelah terdengar suara berisik
menuju laboratorium. Pintu terbuka, lalu muncul profesor dan seorang manusia
bertutup kepala panjang hingga terjuntai menutupi dada.
"Aduh... Elu
ya, Dul! Udah emak bilangin ratusan kali tetep aje nakal! Jangan masuk ruangan
Mister Propesor! Bagimane kalo ntu barang-barang pade pecah? Pan bisa berabe
ntu urusanye! Maapin, anak aye yah, Mister!" kata manusia bertutup kepala
itu sambil menaboki anaknya dengan lembut.
"Hahaha...
Tidak apa-apa. Saya suka dengan anak kecil yang rasa ingin tahunya besar.
Apalagi setiap melihat Abdul, saya jadi ingat anak saya" kata Profesor
Keynes.
"Terime
kasih, Mister. Mister kagak marah same ni Bedul yang bandel. Oh iye, aye do'ain
semoge Mister bisa cepet ketemu anaknye di Australie. Amin... Ya udeh, kami ke
dapur dulu, Mister, mau masak makan siang. Ayo, Dul!"
“Mpok, bagaimana
kalau Abdul di sini saja dulu?" pinta profesor.
"Kagak
ape-ape nih? Ntar kalo ganggu Mister bagimana?"
"Kagak
ape-ape, Mpok! Haha..." jawab Profesor menirukan logat Mpok Ijah.
"Ah! Mister
bise-bise aje! Ya udeh, aye turun. Permisi!"
Mpok Ijah keluar dari laboratorium. Pintu tertutup. Profesor mendekati Abdul,
lalu berkata, "Dul, binatang ini namanya kecebong atau berudu, bukan
ikan."
Abdul tampak
mengerti, lalu ia bertanya, "Meleka saudalanya ikan, ya, Mistel?"
"Hahaha...
No, son! Mereka adalah anak-anak katak. Kau tahu katak bukan?"
"Waaah...
Kelen! Kok meleka tidak punya kaki?"
"Tentu saja mereka punya. Hanya saja belum tumbuh. Suatu saat nanti mereka
akan bermetamorfosis menjadi katak dan hidup di darat. Kau mengerti, Nak?"
tanya profesor.
Abdul mengangguk pelan. Tak jelas apakah ia mengerti atau tidak, tetapi yang
pasti Nana lah yang sedang bergembira saat ini. Ia tahu siapa dirinya sekarang.
Ia tahu leluhurnya. Ia adalah Putra sang Katak!
"Kau tahu
Sybil? Aku adalah Putra Katak! Seperti apa katak itu, Sybil?" tanyanya.
Belum sempat dijawab, dia sudah berkata lagi, "Eh... Katak? Hah?? Katak?
Aku..." tiba-tiba ia berhenti bicara.
Kegembiraannya
meluntur seiring semakin pelan suaranya.
"Ada apa, Na?" tanya Sybil tampak heran.
"Aku anak
seorang pembunuh!
*****
"Sudahlah. Tak usah kau pikirkan. Wajahmu sama sekali tak menakutkan.
Bahkan, kau tak memiliki sirip duri seperti yang kumiliki," kata Sybil
pada suatu hari.
Nana sudah
menceritakan tragedi kematian buaya di ladang tebu. Sejak ia tahu bahwa ia
adalah anak seekor katak yang merupakan hewan pembunuh hewan lain, semangatnya
mulai menurun. Profesor dan Sandra tak lagi penting baginya. Sybil yang telah
mende****sikan dirinya sendiri sebagai sahabat Nana lah yang selalu menghiburnya.
Hubungan antara keduanya memang semakin dekat akhir-akhir ini.
"Ah...
Sudahlah Sybil. Kata-katamu tak akan pernah membantu. Lebih baik kau pergi
sebelum terbunuh seperti buaya-buaya itu!" usir Nana.
Sybil hanya diam.
Bukan karena tak dengar atau tak mengerti, tapi karena ia melihat sesuatu.
Matanya memelototi satu bagian tubuh Nana. Mulutnya terbuka, sampai-sampai lupa
menutup.
"Na!Kau
punya kaki!" teriaknya tiba-tiba. Lalu ia mengitari Nana untuk memastikan.
"Yeah! Sepasang kaki belakang! Pantas saja beberapa hari ini kau bersikap
aneh. Ternyata memang karena hendak tumbuh kaki. Haha... Keren!" celetuk
Sybil setengah berteriak, sehingga membuat penghuni laboratorium kaget.
Kali ini Nana tak
bisa lagi menghindar. Ada satu dorongan dalam tubuhya yang memaksanya
tersenyum. Lalu ia berkata, "Dasar kau ikan! Hahaha... Tapi, apa itu
mungkin? Aku marah-marah gara-gara mau tumbuh kaki? Coba ada emakku di sini,
pasti dia sudah memberitahuku segala hal tentang kaumku."
Sybill tersadar
dari kesenangan sesaatnya --merayakan tumbuhnya kaki Nana--, lalu menghampiri
sahabat terkasihnya. "Sudahlah, Kawan. Kau tak butuh emakmu lagi. Ada aku
dan semua saudaramu di sini. Benar kan teman-teman?" hibur Sybil lalu
melirik pada penghuni akuariam lain memastikan apakah warga lain dalam akuarium
berpendapat sama dengannya.
Namun, hanya
beberapa ekor yang bilang "ya". Sedangkan yang lain menggumamkan kata-kata
semacam: "Dasar sinting!"; "O, ya?"; "Aku tak ingat
kalau aku bersaudara dengannya," atau "Siapa yang peduli? 'Cuz I
don't care!"
"Oh! Jangan
pedulikan mereka, Kawan. Kau pasti bisa hidup tanpa emakmu! Mereka hanya
makhluk-makhluk berotak udang, bahkan lebih kecil dari otak udang.
Hahaha...!" kata Sybil menanggapi keadaan.
"Sybil! Kau
pikir otakmu sebesar kelapa? Enak saja kau menghna kami seperti itu!"
bentak seekor ikan di belakangnya. Ternyata, tanpa ia sadari, ratusan makhluk
air di sekelilingnya sedang memandangnya dengan wajah geram. Dalam hitungan
detik seluruh makhluk air telah merubungnya dan mengeropoknya.
Nana hanya diam
pasrah menyaksikan. "Rasakan tuh, Bil! Hehe..." batin Nana. Ia sudah
hendak membantu Sybil, ketika pintu terbuka yang diikuti masuknya Profesor dan
Sandra. Sandra tampak berbeda kali ini. Ia tidak memakai baju safari, sepatu
boot hitam juga topi lebar bersimbol pohon seperti bisaanya. Baunya pun harum,
tidak lagi amis campuran bau ikan, asap, tanah liat dan keringat. Polisi hutan
ini telah berubah menjadi bidadari cantik yang memesona.
"Wah...wah...
Penampilanmu tak seperti bisaanya, San? Mau ke mana kau?" tanya profesor
kepada Sandra.
"Bisaa ke
Bali, Prof. Aku sudah penat berada di hutan Australia sebulan ini. Apalagi
dengan semakin banyaknya binatang yang mati. Mereka membuatku stres,"
jawab Sandra.
"Oh iya!
Sekarang aku sudah yakin mengenai katak beracun Cane toad itu. Mereka sangat
berbahaya bagi makhluk hidup, tak terkecuali manusia," kata profesor mulai
serius.
Sandra kaget. Tas
kecil yang ia selempangkan di bahunya melorot hingga ke siku. "Lalu,
bagaimana cara kita membunuh mereka agar bukan malah kita yang terbunuh,
Prof?" tanya Sandra. Suaranya meninggi. Wajahnya memerah. Suhu di
laboratorium serasa naik drastis. Padahal langit Bogor sedang mendung saat
itu.
"Seharusnya
hal ini sudah kita sadari sejak lama. Toh, katak-katak itu tak bisa melompat
setinggi batang tebu untuk menangkap kumbang yang justru sering hinggap di
ujung batang. Aku sungguh menyesalkan kelalaianku ini! BETAPA BODOHNYA
AKU!" kata Sandra. Kali ini ia tak lupa menggebrak meja kerja profesor.
Kertas-kertas berhamburan akibat ulah Sandra. Namun, profesor Keynes sama
sekali tidak berusaha mengambilinya. Ia hanya diam tanpa ekspresi.
Sedangkan Nana, ia tak berkedip menyaksikan peristiwa itu. Sampai-sampai ia tak
sadar bahwa Sybil sudah lolos dari lingkaran penghajaran dan sekarang berada di
sampingnya dengan tubuh babak belur. Beberapa sisiknya terkelupas.
Tampaknya ia tak
akan berani berbicara sembarangan lagi.
Sandra masih diliputi amarah. Namun, rona merah di wajahnya berangsur mulai
memudar sekarang. Tangannya kembalai santai dan ia membetulkan tas tangannya
yang melorot. “Maaf, Profesor!” katanya pelan.
Profesor tak lagi
diam saja. Ia malah tersenyum, lalu perlahan tertawa kepada Sandra. Sandra
justru bingung melihatnya. Ini bukanlah saat yang tepat untuk tertawa, pasti
kurang lebih seperti maksudnya.
“Ternyata kau
bisa marah juga, San? Hahahaha…” kata profesor.
“Apa maksudmu,
Prfof??! Jangan bercanda!” katanya setengah berteriak. Namun, jelas terlukis
sesimpul senyum kecil di sudut bibirnya. Ia malu pada profesor, sebab mukanya
kembali memerah.
Profesor mengerem
tawanya denan susah payah, lalu berkata, “Aku belum selesai bicara, San.
Hahaha… katak itu hanya berbahaya bagi manusia jika terjadi kontak fisik saja.
Tentu saja tak kan berakibat apa-apa jika kau membunuhnya dengan alat. Dasar,
Sandra! Dari dulu kau memang tak berubah.”
Bagai turun hujan di tengah gurun Sahara. Itulah yang melanda Sandra kini.
Kemarahan dan penyesalannya seperti terbawa arus sungai Nil dan tak
menyisakannya sedikit pun. Ia merangkul profesor seperti merangkul ayahnya
sendiri. Lalu ia pun berlari meninggalkan laboratorium dengan gembira tak lupa
disertai lambaian tangan untuk profesor.
“Hahaha… dasar
Kanguru mungil!” gumam profesor.
Baru beberapa
detik, Sandra kembali lagi ke dalam laboratorium. Ia ingin menyampaikan sesuatu
yang tadi terlupa karena saking shocknya.
“Prof, aku titip
tas ini di sini. Satu minggu lagi aku akan mengambilnya sepulang dari Bali. Aku
akan menghubungi pemerintah Australia mengenai penemuan itu. Oh iya, Prof, apa
kau punya usul tentang cara membunuh katak-katak itu?”
Profesor mengacungkan jempol berdiri, Lalu Sandra pergi dengan senyuman.Top of Form
*****
Mentari pagi
mengintip melalui lubang-lubang ventilasi laboratorium dan membagikan sinarnya
ke seluruh organisme di dalamnya. Tempat itu menghangat hampir satu jam setiap
harinya. Di saat seperti inilah para keluarga kaktus, ercis, aster, kumbang
kayu jati, ikan tak terkecuali kecebong dan makhluk
hidup lainnya asyik menjemur diri di dalam tempat hidup masing-masing.
Laboratorium itu sangat besar dan mungkin lebih terlihat seperti taman wisata
modern mini di dalam gedung.
Di setiap jengkal
hamparan lantainya pasti terdapat organisme hidup yang terawat dengan baik.
Pada sudut kanan ruangan, terdapat sekumpulan akuarium berbagai ukuran untuk
berbagai hewan air tawar. Di sanalah Nana dan Sybil berada.
“Kau tahu Sybil?
Setelah aku mendengarkan percakapan demi percakapan antara nona Sandra dan
profesor, aku semakin yakin bahwa tempat asalku adalah dari Aus… Ern... Australia yang berada entah di mana. Mereka
telah menyebutkan tempat itu sebanyak…. banyak sekali,” kata Nana. Ia tidak
bisa menghitung seperti halnya Sybil, kawannya.
“Apa kau yakin?
Memang aku tak pernah melihat katak dan anaknya. Dan kata emakku, memang baru
sekali ini profesor memelihara kecebong di laboratorium ini. Namun, bagaimana
kalau ternyata pendapatmu salah?” jawab Sybil ada sedikit rasa cemas dalam nada
suaranya. Sybil memang sudah sangat bosan menasehati Nana mengenai perkara ini.
“Kawan, do’akanlah
aku. Aku akan ke Australia, bagaimanapun caranya,” katanya dengan wajah penuh
semangat dan mata berapi-api.
“Ya…ya…ya…
terserah kau saja lah, Na! Do’aku merestuimu!”
*****
“Halo! Sandra? Ini
aku, Profesor Keynes. Aku sudah menemukan waktu pemberantasan Cane toad
yang tepat. Sebentar lagi bulan mati, di malam-malam seperti inilah mereka
membentuk semacam kumpulan katak jantan dan katak betina untuk kawin. Kurang lebih
lima hari lagi. Maka, lusa pulanglah ke Bogor untuk mempersiakan segala hal! Oh
iya, satu lagi, dibutuhkan banyak orang
untuk melakukannya. Jumlah mereka ribuan!” kata profesor kepada Sandra melalu
sambungan telepon.
“Lusa? Sempurna!
Lusa, aku sudah berubah menjadi seekor katak. Katak jantan yang gagah! Dan aku
akan ke Australia menemui emakku. Meski dia pembunuh sekali pun!” kata Nana
pada Sybil. Sybil hanya bisa menggelengkan kepala. Ia benar-benar sudah pasrah,
meski sebenarnya dia ingin sekali mencegah Nana demi keselamatan diri Nana
sendiri.
*****
Subuh hari, Nana
sudah bersiap melakukan rencana ekspedisi pencarian emaknya. Ia benar-benar
sudah berubah menjadi katak kecil --yang oleh Abdul dipanggil “Percil”—berwarna
hijau lumut dengan garis hitam. Nana berpamitan kepada seluruh kawan sejawatnya
selama hidup di laboratorium dan ia tak lagi bisa menahan air matanya saat
harus berpisah dari Sybil. ‘Namun, mau tak mau ia telah memilih takdir
hidupnya’\
begitulah yang diucapkan emak Sybil kapada
Sybil, sehingga membuat Sybil tegar melepas Nana.
Sandra sudah
sampai di laboratorium. Lalu, dengan cekatan Nana melompat keluar dari akuarium. Setelah
berhasil, ia langsung melompat menuju tas ransel Sandra yang dititipkannya
kepada profesor semingu lalu sebelum berangkat ke Bali. Ia menyelinap ke dalam
kantong paling luar yang biasanya digunakan sebagai tempat botol minum dan akan
terus bersembunyi di sana hingga sampai di Australia.
“Hai, Prof! Di
mana tas titipanku?” tanya Sandra.
“Oh iya, ambil
saja di situ,” jawab profesor sambil menunjuk sebuah rak barang. Sandra segera
mengambilnya lalu menggendongnya di punggung. ‘Wah! Hangat’ batin Nana.
Saking hanngat dan nyamannya suhu dalam tas
itu, Nana pun mengantuk lalu
tertidur dalam hitungan menit.
“Prof, bagaimana
rencananya?” tanya Sandra lagi.
“Jadi begini.
Adakanlah sebuah festival
perburuan katak beracun di ladang tebu. Aha! Namanya…. “Toad Day Out”. Cool bukan? Lalu,
sediakan imbalan yang menggiurkan bagi mereka yang berhasil menangkap katak
terbanyak dan terberat, baik hidup maupun mati. Sehingga akan banyak orang yang
tertarik mengikuti perburuan ini. Jangan lupa ingatkan mereka agar tidak
menyentuh bagian tubuh katak tersebut sedikit pun! Apa kau paham?” jelas
profesor.
“Rencana brilian!
Tentu aku paham, Prof! Kalau begitu aku pergi dulu. Dua malam lagi, ladang dan
hutan akan bebas bencana. Thank’s God! Bye, Prof. Tunggulah kabar
baik dari kami,” kata Sandra begitu ceria lalu ia pun bergegas pergi menuju
bandara untuk segera terbang ke Queensland.
Tanpa ada yang sadar, di dalam air ada makhluk lain yang
mengetahui rencana itu. Ia kini sedang manangis sendu, memikirkan nasib
sahabatnya yang sedang mendatangi pertempuran mautnya. Ialah Sybil.
*****
“Oh
aku sampai di ladang tebu Australia! Luas! Luas sekali! Tidak seperti duniaku
di laboratorium. Sempit dan berair! Aku datang, Emak!” teriak Nana sesampainya
di ladang.
Ia melompat ke sana ke
mari berusaha mencari spesiesnya dengan hati bahagia. Baru satu menit ia
mencari, ia sudah bertemu dengan seeokor katak berwarna coklat gelap dan
bergaris merah. Ia begitu tampak lucu. Lalu Nana pun bertanya kepadanya, “Hai,
kau pasti saudaraku! Apa kau Cane toad? Aku juga! Aku terpisah dari
kalian saat aku masih telur.”
Katak itu tampak heran
sekali, lalu berkata, “Apa kau bercanda, Nak? Kau hanya seekor katak sawah! Kau
berbeda dengan kami! Pulang sana ke Ibumu!”
*****
Serbuan
para manusia ladang itu benar-benar dahsyat. Satu per satu katak dilibas,
dihantam dan ditebas dengan senjata mereka. Dalam waktu sebentar mereka sudah
mengisi kantung-kantung dengan bangkai-bangakai katak beracun. Ladang tebu
adalah saksi bisu pertempuran ratusan ribu katak melawan ratusan manusia
pemburu.
Nana
berada di waktu dan tempat yang benar-benar tidak tepat. Sebuah bumerang
mendarat di kepalanya dan membuatnya tersungkur. Malam terang berhias bintang
kerlap dan bulan malam ke-27
perlahan berputar, lalu makin
gelap, sangat gelap dan “pett!!!”
Komentar:Top of Form
Mksdny??
Kq kecebong bnyiny wibik-wibik??
Pye
to thok?Hehe..
Iku
drg rampung mas, ceb0ng y adekmu,hehe...
Kn
ceb0ngE drg gede, aq bkinE akhire sit...
(Aku salah nge-tag. Mau ngetag kamu, malah yang
ke-tag masmu, Mas Ajun. Pas dia komentar, aku kaget banget. Maaf lagi, aku juga
komentar aneh-aneh di bawah ini.)
Tujuh
8 Agustus 2009 pukul 23:29
(Maaf, tidak bermaksud berkata
kasar padamu.)
Sepucuk surat
tertulis untukmu...
Simpang getaran hati ini telah mencapai besar maksimal
Gelombang itu,
gelombang yang tak mengalami polarisasi itu, mewarnai duyun-duyun semangatku...
Mendobrag
adrenalin, memperberat kerja cerebrum dan membekukan papilia saat satu radius
denganmu...
Harimau bukan
lagi hewan bertaring mengerikan, melainkan ia adalah seekor kucing persia
berbulu halus dan berwajah lucu
Bekicot bukan lagi sebagai gastropod yang menggelikan dan membuat mual...
Namun, ia laksana
mutiara berjalan yang memesona dan menarik hati
Integral bukanlah
dilema, tapi cerita cinta yang membahana merdu di telinga...
Ah kau
betul-betul biang segala sakit gila!
Sebab kau, orang
rela mati...
Sebab kau, orang
mau melepas mimpi...
Sebab kau, orang
ikhlas dicaci maki...
Sebab kau, orang
senang dibodohi...
Dahsyat dan
menghancurkan!
Hangat dan
memilukan!
Kompleks dan
menyingkat!
Andai kau baca sepucuk surat ini, kau akan tahu kehadiranmu tak selalu bersemi
indah... Tapi juga membuat gersang dan menggugurkan harapan...
Nggilani lah koe!
Nek ngerti
ng0m0ng ae!
Nek rikuh ya
tak0n disit!
Aku pancen the
real loser!
Delapan
13 Agustus 2009 pukul 21:08
(Terkadang aku heran. Kenapa kamu
hampir selalu datang dan menanggalkan torehan komentar tepat di catatan yang
memang benar-benar tertuju untuk kamu. Kamu tahukah dan hanya diam?)
Akhir-akhir ini
catatan Ani ngga genah. Sebenernya dari dulu juga ga ada yang genah sih. Namun,
sungguh 15 catatan terakhir tidak dari hati, tidak murni dan sarat pemaksaan
kehendak. Ya, entah kehendak siapa, bisa Ani, bisa juga orang lain. Ani ga tahu
ada ato tidakkah orang yang baca. Hehe... Tapi Ani berharap ga usah ada.
Awalnya, Ani
nulis karena Ani pengen. Pengen berlatih, pengen nuangin perasaan, pengen
menyimpan segala peristiwa atau ide-ide ke dalam memori selain otak. Karena Ani
pelupa. Hehe...
Namun, kemarin
ini Ani menulis untuk menarik perhatian seseorang. Dan Ani tau, itu ga baik
alias buruk dan rendah! Hal ini bisa menghancurkan image Ani sendiri yang
sebelumnya tenang seperti ikan laut dalam yang tak pernah muncul di permukaan.
Dan Ani ingin tetap seperti itu... Tenang, tenteram dan fokus.
Bebas dan jauh
dari rasa cemas di tengah penantian...
Mulai saat ini, Ani akan lebih berhati-hati dan selektif di segala hal...
Sebenarnya ada satu dambaan akan perubahan...
Di suatu lahan
lapang, tanpa tirai ilalang yang menghalang...
Kemilaunya menghampar dan mencerahkan sudut impian...
Tak gersang, tak berfatamorgana dan tak bermajas... Kondusif, efektif dan
imaginatif!
Satu perubahan
kuharapkan lahir di sana...
Top of Form
Komentar:Top of Form
Apalah
kwe??
Dng
ana sg maca, y? Ya d0'aku tk trkabul. Melas je sg maca ddi bgg... He...
Sembilan:
17 Agustus 2009 pukul 6:05
(Di tulisan ini, aku sudah
benar-benar sadar bahwa aku memang sudah keterlaluan dan tidak tahu diri. Aku
terlalu memaksakan kehendak dan harapan untuk dapat ngobrol dan mengenalmu
lebih dekat dengan segala keterbatasanku yang pecundang ini. Aku pernah bercerita
dengan sahabat, dia bijak dan menyuruhku melupakan harapan impulsive itu.
Namun, ternyata itu…sulit. L)
Sebuah nama,
sebuah cerita
Sepatah
panggilan, secuil kenangan...
Sudah timbul niat
tuk menghilang,
Sudah muncul
energi untuk melupakan
Namun, begitu
susah mengaplikasikan rancangan rapuh yang telah direncanakan dari jauh-jauh
hari itu...
Sehari tersakiti,
tetapi lebih banyak hari dapati bahagia...
Seorang Kawan
berkata, "Hapuslah satu titik kecil sebelum lubang besar tercipta
karenanya!"
Mengerti...
Tetapi, tetap saja kebimbangan lebih mendominasi tiap milimeter persegi ruang
akal dan hati...
Hmm...
Detik demi detik terisi kata-kata imajiner menilai gambaran abstrak tak
bertema...
Terus begitu
hingga datang pagi dan lepas malam...
Membayangkan yang
tak penting, memicu otak untuk menyingkirkan prioritas...
Untunglah
kenyataan lambat laun menghampiri, sehingga gerbang kesadaran terbuka mengganti
mimpi fana tak ada guna...
Terjaga...
Di persimpangan kini aku berdiri, disuguhi dua pilihan tak terdefinisi...
Baru terbangun aku...
Belum sempat ku
berprinsip, belum teguh keyakinanku dan belum tertata betul hidup nyataku...
Namun, aku sudah
harus memilih...
Aku pilih tuk
menghilangkan, tuk melupakan atau setidaknya menghapus terlebih dahulu sebagai permulaan...
Bismillahirrahmanirrahim...
Sepuluh
21 Agustus 2009 pukul 17:14
(Sebenarnya aku sadar bahwa
kemampuan menulisku masih kurang dan terbatas pada fiksi dan tulisan nonilmiah.
Namun, aku suka untuk menulis catatan tidak jelas karena pada beberapa catatan
aku dapat memperoleh komentarmu dan itu artinya menyenangkan. Parahnya,
lama-lama aku tidak puny aide untuk menulisa hal lain selain tentang rasa dan
rasa. Tulisanku semakin akuan dan idealis, semakin bermuatan curhatan dan
harapan memaksakan. Aku pun menulis ini berharap kamu datang.)
Ani kehabisan
kata!
Sejak tidak lagi
mengikuti kata hati dalam menuangkan imajinasi, ia seolah-olah menderita
disleksia bertahap. Nggilani lah pkokmen!
Ada yang jual isi
ulang perbendaharaan kata? Atau rangkaian kata pembangkit semangat? Atau apa
saja yang bisa bikin hidup imajinasi dan inspirasi??? Atau apa pun lah yang
bisa bikin senyum?
Dibutuhkan cepat!
Kirim ke wall, komen catatan, atau ke email anny_smarties@yahoo.com, dapatkan
marchandise menarik berupa ucapan terima kasih.
Komentar:Top of Form
Top of Form
****** Hahahaha mba ayoh jyan...
Hahaha,
dng mlh guyu? Endi kata"ne? Ora due mesti y?
Sebelas
25 Agustus 2009 pukul 18:25
(Aku mengaku bahwa aku sangat
sering memperhatikanmu via facebook dan MXIT. Aku kepo, tak dapat kusangkal.
Berkat kebiasaan itu, aku punya twitter dan flicker. Berkat itu pula aku rajin
menulis di blog. Sebenarnya memalukan sekali menulis dan membagikan perasaan
ini kepadamu. Mengakui bahwa aku terlalu tergantung dan ingin ngobrol denganmu.
Maaf ya, aku agresif. Pasti kau terganggu. Aku takut tak ada kesmpatan lagi,
maka aku nekat. Jika kau luang bukalah kepingankisahamarilis.blogspot.com.
Di sana akan banyak namamu disebut sebagai tokoh dia. Hnn… Tulisan ini, cara nulisnya ikut-ikutan kamu, hehe)
Mst ef m n0tes r
unimprtnt. I thnk thse r d wrds tht pple oftn thght aftr ræd m n0ts. Bt, fr m,
thy'r vry imprtnt. Thy'r like b gtherd in a csste cnsst ef m mmries, m ideas, m
wnts, m sspects, m imgntns, n evrytg in m head. Its a vry cmplx compiltn csste.
Komentar:Top of Form
Wt
waaw?
D
u lke m nts?
Hhe
Y,
i d....
Wew,
thx...
(cttn
wgu dsnengi?)
Keren
mbe....maen...
I
cnt find d angle ef "keren" ef ths nts. GrmmrE b slh... Wkwk
eh,wilang kmenmu lwh kt 1,hhe
Dua Belas
28 Agustus 2009 pukul 18:09
(Mungkin note ini terlihat tidak
ada hubungannya dan tidak ada muatannya tentang kamu. Namun, ketahuilah bahwa
“tak tahan sedetik pun tanpa hp” itu berarti bahwa aku bahwa “tak tahan sedetik
pun tanpa melihat komentarmu atau mengetahui kabarmu via tulisan internet”.
Yeah… Menyedihkannya aku tak pernah bisa ngobrol denganmu tanpa on line. Hahai…
Aku tidak tahu cara meminta nomor hp. Toh, aku tak punya urusan, maka aku tak
punya alasan selain soal perasaan.)
Tak tahan sedetik
pun tanpa hp,
Tak tahan satu
jam pun tanpa membuka opera mini,
Tak tahan, meski
hanya tilik pun, untuk tidak membuka mxit,
Tak tahan, alias penasaran, meski hanya seminggu sekali, tanpa membuka
friendster...
I love my
cellphone as deep as my love for my friends. 'Cuz it's bel0ng to them. My
soulmate...
Mad!!!
Haha...
Kapan-kapan akan aku belikan rantai spesial untuk kau, lengkap dengan gembok imajinernya yang
barcode nya hanya aku yang tahu. Agar kau selalu di sampingku!
Waw, mad!!!
Stress yo koyo iki,
haha…Top of Form
Tiga Belas:
21 September 2009
pukul 14:38
(Maaf jika ini menyudutkanmu. Padahal kamu tidak tahu apa-apa. Padahal
kita sama sekali tidak saling mengenal. Namun, aku bertindak seolah-olah aku
sudah sangat mengenalmu dan dekat denganmu. Maaf yaa… Tulisan ini dibuat
setelah kamu turut komentar di sebuah status, di mana dalam status itu,
orang-orang yang berkomentar adalah teman-teman sebayaku.)
Hey
kau!
Muncul...
Menyelinap...
Dari sudut tak mungkin, ke dunia lain tak bergenre sama denganmu...
Ikut serta kegiatan bisu, tanpa dalang pelaku, tanpa otak yang membantu...
Kau menari-nari dalam gemulai asap yang mengepung duniaku...
Kau berpidato kepada khalayak berbeda, seolah-olah ingin membuncahkan satu ide
maksud tertentu tapi tak kunjung dimengerti. Abstrak sangat kata-katamu, tinggi
nian dalil teorimu.
Namun, anehnya aku temukan satu sistem kesengajaan di dalamnya. Apa agar mereka
tahu, jadi kau ulangi ide maksudmu itu di mana saja?
Kalau
begitu faktanya, aku mafhum... Dan aku akan coba tuk mengerti... Tak usah kau
gemborkan, sengajakan, karena nanti hal itu akan menusukku. Okeh?
Empat Belas
6 Oktober 2009 pukul
23:45
(Hehe. Catatan yang ini gokil. Jadi, pada suatu hari, kekasih kamu yang
anak IPS SMANSA pernah nge-wall.
Namun, kayak ada nada sindirian gitu. Sebenarnya, mungkin sama sekali tidak ada
niat menyindir, tapi akunya saja yang sedang buruk emosinya. Akhirnya, aku
bikin note ini karena dari kemarin-kemarin juga sedang banyak orang yang
menyindir dengan tidak jelasnya. Nb: menyindir= meneror bagiku, hehe.
Gomenasaiii… Jika aku pernah mengusik kamu hingga kekasih-kekasih kamu turut
terganggu. Tiga orang berinisial I? Hehe…)
"Jangan
dikira saya suka diteror! Baik secara halus, apalagi kasar. Tak segan-segan
saya mengambil tindakan tegas khusus bagi Anda yang melakukan hal tersebut.
Please dech jangan lebay... Saya sedang berusaha fokus dan tolong sekali jangan
ganggu saya. Terima kasih..."Top of Form
Lima Belas
20 Oktober 2009 pukul
5:37
(Komentar di bawah tulisan ini betul-betul menggambarkan bagaimana
perasaanku saat itu. Memalukan hanya mampu berkoar terlalu keras lewat tulisan
tanpa mau mengungkapkan. Aku kira ini catatan terakhir tentang kamu, tapi
ternyata…)
Limbung...
Diterpa beliung yang hanya lewat
Gontai...
Diimpit tekanan sepoi angin yang tak tahu apa-apa
Teriris
galau, dicekam terka dan sesak oleh hipotesa tak berkesimpulan
***
Langkah itu...
Menepi
di pelamunan, menggoreskan kecut senyuman di pasuryan
Memerah pipi basa
Menyublim
angkuh raga
Tergoda
kalimat "bijak bestari"
Jenaka
membuana perempat bulan kemudian
Madu...
Madu mengisi kendi tiba-tiba
Manis
memenuhi luasan gundu berbunga
Harum
kesturi merebak paksa dari sela-sela bunga venus, kembang suring, dan mimosa
pudica yang enggan tersenyum
Sempurna...
***
Sepenat penantian, segeram tarikan nafas beruang, selemah bunyi yang didengar
kelelawar... Aku berteriak sejadi-jadinya di balik persembunyian
Komentar:
Top of Form
Waw!
Ini tulisan terakhir tentang dia. Dra. Yes!
Huah,
orang dalam tulisan ini betul-betul sudah tak kenal saya. Sekali lagi, saya
mencintai orang asing.
Enam Belas
9 November 2009 pukul
17:12
(Aku sudah bilang, kan, kalau aku suka kepo dan lihatin FB kamu? Pernah
suatu hari aku melihat profil facebookmu. Saat itu, ada komentar, wall atau semacamnya dari kekasihmu yang
anak IPS SMANSA. Dia manggil kamu, mas, kan? Hehe… Terus, terus, terus… Ya gitu
deh!)
Panggilan
khusus itu membuat mata dan telinga panas...
Menghidupkan hipotesa minus dan mereaksikan praduga dengan ilusi menghasilkan
fitnah sepihak. Parah!
Tujuh Belas
11 November 2009
pukul 11:25
(Ini adalah saat aku sudah sangat frustasi dan hampir menangis karena
semakin jarang berkomunikasi denganmu, hehe. Childish? Yeah, that’s the real me!)
Manusia
boleh merencanakan, tapi Tuhan lah yang menentukan.
Saya
kira ini sudah sangat jelas.Top of Form
Delapan Belas
9 Januari 2010 pukul
18:11
(Sebab kau memanggilku mbee di MXIT, aku sebal di awal, tapi terbiasa
sesudahnya. Tahukah? Temperamenku berkurang setelah mengenalmu, tapi prestasiku
menurun drastis. Hehe. Aku tidak sedang menyalahkanmu. Meski aku menjadi siswi
yang tidak terlalu pandai sejak kelas 12, tapi aku bahagia karena aku menjadi
lebih banyak menulis. Meski memalukan untuk mengakuinya, aku akan berkata jujur
bahwa aku banyak menulis setalah kamu sering mengomentari catatan fb-ku. Terima
kasih.)
Sebuah
peristiwa masa lampau mempertemukan seorang wanita muda biasa dengan sebuah
nama biasa yang berangsur menjadi tak biasa baginya, bahkan luar biasa. Hal itu
mengakibatkan hal-hal lain yang tidak biasa juga. Hingga lama-lama membuatnya menjadi
orang tak biasa dan terlalu terobsesi pada hal wagu.
Ck..ck..ck.. Obsesi kompulsif yang keterlaluan!
Sembilan Belas
4 Februari 2010 pukul
18:48
(Aku tulis catatan ini beberapa hari setelah aku melihat kamu dan Firman
lewat saat aku absen di fingerprint
itu. Aku yakin kamu tak lihat karena hanya Firman yang senyum. Yah! Aku lupa,
mungkin kamu tak mengenalku ding, ya? Hehehehe… Jadi malu. Asing banget ya
ternyata? Hehe. Oh iya, jadi setelah aku melihat kalian berdua, aku
membayangkan kamu dan Firman bercakap-cakap seperti di dalam catatan ini. Aku
Inten, kamu si kacamata kuda, sedangkan Firman itu temenmu. Oh iya, selebihnya
kisah nyata, hehe. Happy Reading! *kalau kamu memutuskan untuk membacanya
hingga sejauh ini, :P*)
Di
pojok ruangan yang sesak dan panas, Inten dihidangi salah satu menu ujian
nasional beraroma agak hangus dan bikin mumet, bernama Fisika. Sementara satu
jam yang lalu, ia baru saja menyelesaikan makanan pembuka, Biologi.
Acara
makan-makan kali ini sungguh tak biasa. Tiga puluh sembilan teman sekelasnya
tampak menikmati seluruh menu, tapi berbeda dengan Inten, ia hanya bingung dan
terus melamun. Sampai-sampai Mister Sugeng Riyadi menegurnya karena ia belum
meninggalkan sidik jari di finger print tadi pagi. Parahnya lagi, Inten tak
mendengar namanya dipanggil-panggil: "Juminten! Juminten!". Alhasil
kultum selama 17 menit pun ia terima dari Mister, karena berani melamun tanpa
alasan (tau darimana si Mister kalo ia ga punya alasan?? Intinya di sini pak
mister Sugeng Riyadi mandan sotoy gitu).
Bonar yang duduk tepat di depan Inten, tampak terkekeh-kekeh menyaksikan Inten
diceramahi. Sedangkan, Harjo si mata bundar yang duduk di samping Bonar hanya
sok-sokkan menyipit-nyipitkan matanya biar keliatan kayak orang Korea. Ulah
Harjo membuat Inten makin mual bukannya malah ketawa (orang Harjo juga ngga
ngelawak ding, lali aku). Kultum dari Mister Sugeng Riyadi diakhiri dengan bel
panjang tanda istirahat kedua.
'Slamet!
Slamet!' batin Inten.
Bagi
Inten hari itu berlalu sangat lambat kayak siput keseleo. Namun, dia juga tetap
saja bingung dan bingung. Dia sendiri bingung kenapa dia bingung. Apa yang
sedang ia pikirkan, dia pun tak tahu. Istirahat kedua ini, dia memutuskan
menuju ke pojokkan dekat ruang inap tamu sekolah (sekolah mahal bin modern, ada
kamar khusus tamu penting) untuk absen. Dua orang adik kelas, yang satu
berkacamata kuda dan yang satu berjaket belang-belang memandangi Inten dengan
heran.
Lalu
si bocah kacamata kuda berkomentar, "Ihvi, ivikivi kavakavak kevelavas
niviavat sevekovolavah ovorava yava? Avayavawevene nevembeve avabseven.
Javan!"
Bocah
berjakat belang ungu dan kuning menanggapi, "Oh mungkin mau esuk jarine
ketinggalan mbok, nembe diterna bapake saiki, dadi nembe absen. Aja su'udhon
dipit lah koe lah!"
Si
kacamata kuda menjawab,"Ih koe bodo temen sih! Aku ngomonge anggo sandi
koe njawabe serune ora pacul, nek wonge krungu prewe? Lagian sing su'udhon koe,
masa ana driji ketinggalan! Dasar bocah pinter!"
"HAHAHA,
maturnuwun, aku pancen pinter, kemarin juga rangking 0, lebih tinggi dari
Supari yang rangking 1. Haha!" jawab si jaket belang-belang.
Inten
yang memang bertampang datar-datar saja, ternyata ada di samping mereka berdua.
Ikut nguping dan meng-iyakan kata-kata mereka. Setelah dua adik kelas Inten itu
selesai berbincang, Inten pun tiba-tiba berkomentar yang mengagetkan kedua
bocah itu, "Iya iki, adek-adek kelas. Absennya salah waktu. Biasanya sih
ngga jam segini. Tapi gara-gara hari ini aku lagi bingung, jadi aku ya begini.
Hmm... Biasanya aku sih check in nya dua detik sebelum check out. Ya pulang
sekolahan lah. Tapi gara-gara Mister Sugeng Riyadi nyuruh aku check in sesegera
mungkin, ya udah lah gasik. Pisan-pisan."
Di dalam hati si kacamata kuda berkata, "OH PANCEN BOCAH BINGUNG!".
Sedangkan si jaket belang-belang berkata, "MBA, keren! Aku bahkan belum
pernah absen telat, aku mau ikut-ikutan kamu ah!"
****
Inten masih bingung. Dia belum menemukan penyebab kebingungannya. Akhirnya, ia
memutuskan kembali ke kelas dan meneruskan aktivitasnya yang masih bersambung, melamun.
Ia tak juga menemukan penyebabnya bingung. Akhirnya ia bertanya pada teman
sebangkunya, "Stephanie, kenapa aku bingung ya?"
Stephanie
menjawab, "Mbok kamu panceng bingungan, Inten?"
Jebred! Bumi gonjang-ganjing, badai datang tiba-tiba, langit menggelap dan
hujan turun tiba-tiba (lebai!). Lalu tiga detik kemudian, bumi kembali normal
bahkan jauh lebih normal: ozon kembali tak berlubang; polusi air, tanah, udara
dan angin tersedot oleh sesuatu misterius; pepohonan tumbuh menghijaukan hutan;
lautan membiru; langit cerah dan burung jalak berterbangan lincah di atap ruang
guru (lebai banget! Ora nyambung maning!)
"Oh
iya ya!" kata Inten begitu bersemangat dan tampaknya sudah hilang mutlak
bencana kebingungannya dan semuanya membaik.
Dua Puluh
6 April 2010 pukul
19:42
(Sebelum mengenalmu, aku sama sekali tidak bisa menulis hal-hal berbau romance. Meski begitu…aku hanya mampu
menjajarkanmu dengan Fisika saat itu. Menyiksa. *mulai ngga jelas*)
Haduh!
Rasa ini sungguh tak wajar, kambuh lagi!
Saat
di mana pengennya buang muka melulu saat bertemu!
Saat
waktu terasa menjadi begitu lama sembari menungguimu!
Saat
otak seolah beku dan suara tertahan di ujung lidah apabila berhadapan langsung
denganmu!
Sungguh
mata tak bisa jauh dari sosokmu!
Benar
adanya jika lutut kakiku tak bisa berhenti berguncang menantimu, was-was.
Tak
bisa dipungkiri saat otot jantung bekerja lebih keras ketika menangkap sinyal
kemunculanmu
Jangankan
melihat rupamu, mendengar suaramu saja sudah berantakan akal sehatku...
Ya
ampun, syndrome **** dan Fisika!
Dua Puluh Satu
19 April 2010 pukul
20:17
(Hnn… sudah jelas kah?)
Deg!
Diam!
Deg
deg deg
Dag
dig dug
Datar!
Durasi
memanjang
Dedaun
melambat jatuh
Datang langkah tak dinyana
Diri
kaku
Dagu
menjatuh
Do'a
me-nyata
Duka
pun sirna
Dag
dag dug
Dua,
tidak!
Dua
lebih, iya!
Dua
kali, berharap lebih...
Dua
kali seunthel-unthel, mauuu...
Dug dig dag...
Dia
menjauh...
Diri
melega...
Dua Puluh Dua
30 April 2010 pukul
23:09
(Yang ini nggak terlalu penting. Hanya sebuah kesadaran yang muncul saat
membaca ulang riwayat chat denganmu.)
Beberapa jam lalu, huruf "n" tampak
di mataku sebagai huruf "h". Tentu saja kesalahan itu sangat mengubah
makna kata, makna kalimat dan makna sakkabehane. Apalagi hal itu terjadi dalam
sebuah per-chatting-an. Fatal banget lah akibatnya, terlebih karena aku baru
sadar sekarang. Parah! Payah! Parah!
Percakapan itu sudah panjang dan aku baru nyadar kesalahanku itu setelah sangat
lama *maaf diulangi lagi, biar lebai*
Hwah! Apa sih penyebab pikunku itu? Faktor
lingkungan saat kejadian kah? Atau emang gawan bayi? Tapi, kata teman itu
karena kebiasaan yang hampir ingin mendarah daging *maaf, sedikit lebai*
Contoh salah lihat yang mengubah makna:
tambani jadi tambahi, jauh banget kan
maknanya? Fatal lah!
Tapi saat itu, menurutku ucapanku nyambung-nyambung aja karena memang
keahlianku menyambung-nyambungkan sesuatu meski tampak muskil sekali pun (Dan
hasilnya? Ya, tetap aja wagu di bagian sambungannya itu) *maaf membingungkan,
saya juga bingung*.
Balik lagi ke kalimat jawabanku yang salah
sambung. Saat diingat, dibaca dan dipahami lagi ternyata aku baru sadar bahwa
aku salah sambung pada satu kata yang berakibat sangat fatal. Apalagi ya...
Sekali lagi... Apalagi ya... Orang yang diajak ngomong itu juga nyambung aja
njawabnya alias ngga protes atau merasa bingung dengan jawabanku yang tidak
nyambung tadi. Bukankah sambungan ini menjadi salah sambung yang wagu?
Hingga aku sadari baru-baru ini, salah
sambung itu justru, ehm... hehehe. Keduanya memang ora nyambungan.
Misinterpreted!
Akhirnya, saya hanya bisa berharap semoga
dia, yang tadi diajak bicara, tidak menyadari kesalahsambungan yang seperti
bolah mbrundhet ini. Amiin.
Hehe
Dua Puluh Tiga
18 Juli 2010 pukul 23:09
(Ini pas pertama kali ke Detos, tiba-tiba lihat tas mirip tas
punggungmu. Hnn… Aku nggak sengaja hafal lho. Itu karena aku sering lihat
tasnya saja pas lagi dipakai. Serius nggak sengaja, misal pas mau TUC, absen di
lobi SMANSA, dll.)
Wajahnya terbayang sampai ITC. ITC coba! Dari
Kebumen jauh-jauh ke Depok! Ngapain jal? *yambuhya deneng takon?*
Tas punggungnya pun, tergeletak di kursi panjang
di sampingku... Apa maksudnya coba? Masa nyusul ke Depok? Setelah beberapa lama
berpikir tanpa ujung, seorang senior mengambilnya dari sisiku. Owh tasnya
senior... *kasian deh gue*
Lalu... Lalu... Kacamata itu? Apa maksudnya?? Kok
bisa ada di meja makan??? Beberapa detik kemudian seorang pelayan warung makan
mengambilnya dan memakainya... *apa jal maksude?*
Dua
Puluh Empat
18 Oktober 2012 pukul 20.22
Memang kenapa? Jika aku mencintainya dengan hati,
bukan mata?
Aku menemukannya dengan jerih payahku sendiri. Dia
mengukir huruf kuno di atas pualam sambil berlindung di bawah rerindangan pohon
kipas yang jenaka dan menari melambai indah, mengibaskan angin musim panas.
Pohon kipas ini tidak segagah oak atau segarang pohon asam yang tinggi besar.
Dia indah. Dia jenaka. Dia tidak menahan angin, tapi dia membuat angin menari
menyejukkan. Itulah hebatnya pohon kipas yang dibuatnya untuk bernaung.
Orang itu, selalu membuatkan puisi indah untukku.
Mungkin bagimu, puisi itu hanya seonggok kata-kata lawak. Bahkan, mungkin
baginya, puisi itu adalah sebuah introduksi penghormatan padaku yang lebih dulu
terhormat dibanding dirinya. Dan aku bisa saja menganggap puisi itu basa-basi
tanpa makna. Namun, aku tidak berpikir seperti itu.
Kau tahu? Puisi yang ditulis dengan tinta penanya
yang berwarna hijau mentimun itu lebih indah dari kitab-kitab berisi kisah
pahlawan di pewayangan dunia. Puisi itu mampu membuatku lupa bahwa aku alergi
pada antalgin. Dan puisi itu selalu mewarnai otakku dengan pelangi dua puluh
tujuh warna yang didominasi warna ungu dan hijau.
Dia adalah orang yang membuatku menjadi gila. Tergila-gila
pada meronce huruf. Huruf-huruf itu tercipta bukan tanpa sebab. Mereka ada,
terlebih agar mereka mampu menyebabkan dia memberiku lebih banyak puisi lagi.
Lihat? Dia seperti opium yang menyeretku dalam ketergantungan.
Aku menyalahkannya? Tidak! Justru aku
mensyukurinya.Ini adalah anugrah dan anugrah adalah kenikmatan. Aku merasakan
sebuah saat di mana jiwa terbakar godaan syaitan, pun aku merasakan beberapa
kali saat bandang menghanyutkan sisa-sisa bahagia dan emosi. Aku pun tidak
bilang tidak saat aku menjadi seorang egois yang hebat dan sekaligus penyihir
yang penuh tipu muslihat. Aku mengalaminya di sebuah masa suram yang diliputi
oleh puisi-puisi darinya. Masa suram itu sebenarnya aku buat sendiri. Namun,
dia cenderung menjadi bumbu utama menunya yang tidak bisa dianggap tidak ada.
Tanpanya tidak ada yang spesial di dlam sajian masa suram ini.
Aku tersadar, lantas aku menanamkan dalam-dalam
sebuah harapan dalam do'aku agar aku bisa mencintainya dengan hati bukan mata.
Dengan mata hati, bukan mata kaki atau mata-mata dadakan tak terlihat yang
tiba-tiba diciptakan otak untuk mencari sisi puitisnya...
Aku ingin pergi dari masa suram itu... Ingin
sekali, bantu saya Tuhan.
Dua Puluh Lima
7 November 2010 pukul 21:40
(Baca paragraf pertama dan kedua aja! Selain itu Cuma pendeskripsian sebuah
mimpi yang pernah aku alami. Oh iya, ini cerpen semi faktual.)
Aku melihat dia duduk di
tepi tiang voli. Sesekali bertepuk tangan, tapi lebih jarang tidaknya. Mungkin
dia menjagokan tim yang salah atau kalah atau belum waktunya menang atau
sinonimnya. Seorang teman memberitahuku bahwa dia adalah dia. Aku kaget awalnya
karena ternyata dia sangat berbeda dengan dia yang ada di imajinasiku. Kawanku
berkata dia pendiam dan pelajar yang berbudi baik. Aku menganggapnya sebagai
orang aneh yang tidak bisa mengatakan hal yang serius, tidak bisa diam dan
penuh dengan pikiran lawak.
Aku mengamati wajahnya
dari radius terlalu jauh yang tidak dapat ditolerir mata minusku. Aku hanya
mampu menangkap sepasang benda hitam menghiasi daerah kapalanya. Aku bersyukur
menonton pertandingan voli sore itu karena setidaknya aku berhasil menemukan
dia, orang aneh yang selalu bersembunyi di balik kata-kata sihir.
Sore itu, kemeriahan
suporter dari kedua kubu tidak mampu menandingi kerasnya degup jantungku.
Mustahil memang, tapi aku memang selalu mendengarkan kata hatiku atau pikiranku
saja. Inilah modal utama keegoisanku.
****
Aku mulai membanting
barang-barang di dekatku. Sebuah botol parfum dengan suksesnya menghantam
sebuah foto yang terpajang miring dinding. Tatanannya yang memang kubuat
miring, sekarang semakin miring karena hanya tinggal satu pengait saja yang
masih bertahan. Aku mendekati bingkai foto yang tampak kasihan itu itu. Kacanya
pecah dan aku yakin salah satu kepingan kecilnya telah menusuk daging di
telapak kaki kananku. Aku tidak peduli dengan sakit itu, aku lebih tertarik
memandang apa yang ada di dalam foto. Dia tersenyum manis dengan seorang bayi
perempuan kecil yang manis dan sipit di gendongannya.
Ya Tuhan, dia sangat
menyayangi Lintang.
****
Aku tahu dia adalah orang
yang sangat tepat menjadi objek pelarianku. Terkadang aku jenuh menulis cerita
anak-anak yang ceria dan menyenangkan. Meskipun itu profesiku, tapi aku tidak
menyukainya. Aku tidak bisa terus berpura-pura ceria sambil terus menulis
kalimat-kalimat yang menghibur anak-anak itu. Sandiwara bagiku. Saat aku mulai
menjadi seorang anarkis dan menjejalkan muatan-muatan horor ke dalam
cerita-ceritaku, aku akan menghubungi dia. Sekedar hubungan jarak jauh lewat
telepon, chatting atau e-mail. Dia selalu membangkitkan jiwa kanak-kanakku. Dia
memperlakukanku seperti seseorang yang sebaya. Padahal usiaku jauh di atasnya.
Gurauan segar mengalir dengan spontan dan menyenangkan sekali berbicara
dengannya.
Seminggu setelah aku
melihatnya di tribun penenton saat pertandingan voli, aku mulai menyapanya dan
menceritakan identitasku yang sebenarnya. Aku terus menceritakan diriku tanpa
membiarkannya berbicara sepatah kata pun. Aku sangat suka menceritakan akui dan
tidak akan berhenti sebelum aku kehabisan akal untuk mendeskripsikan siapa aku.
Aku memang egois dan aku sudah mengatakan hal itu ratusan kali kepadanya.
Namun, dia hanya tersenyum bijak. Kilatan pelangi di matanya sungguh
menyejukkan. Benarkah dia lebih muda dariku? Dia seperti kakakku... Kakak yang
tidak pernah kupunya karena aku memang anak perytama.
Baru sekali ini aku
kehabisan kata saat berbincang dengan seseorang. Orang lain akan pergi karena
bosan mendengarkan ocehanku yang mempunyai panjang dan lebar yang tidak
proposional. Namun, dia tidak. Dia tetap mendengarkan dan tersenyum. Aku tidak
tahu apakah dia paham sepenuhnya omonganku atau tidak. Yang pasti aku mulai
merasakan canggung yang tidak biasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Ya Tuhan...
Dia sangat berbeda dengan
dia yang kukenal sebelum ini. Dia adalah sahabat penaku. Aku mendapatkan surat
pertama darinya di kebun belakang sekolah saat aku sedang membolos mata
pelajaran sejarah yang membosankan. Aku duduk di kelas 2 SMA saat itu. Akulah
yang pertama meletakkan sepucuk kertas di pagar kebun belakang berisi umpatanku
tentang seorang guru. Seminggu kemudian di tempat yang sama dengan aku
meletakkan suratku, kutemukan balasan suratku. Penasaran, aku membacanya dan
aku langsung menyukai caranya berbicara dan berpikir. Hal itu berlanjut hingga
kami sering chatting lewat messenger.
Dia selalu punya
penyelesaian untuk masalah-masalahku. Mottonya saja "menyelesaikan masalah
tanpa masalah" dan aku curiga dia mendapatkan motto itu karena sering
menggadaikan perhiasan ibunya mengingat tingkah lakunya yang bandel. Namun, Ya
Tuhaan... aku jatuh cinta kepadanya...
Dua Puluh Enam
29 Desember 2010 pukul 16:38
(Aku pernah
berharap kamu membaca ini dan komentar, hehe)
Adakah di
sini yang masih suka mainan Mxit?
Wah, Mxit
itu penuh kenangan sekali bagi saya!
Walaupun
sudah ngga zaman, walaupun sudah banyak yang ngga minat, saya masih menyimpan
aplikasi ini lho...haha
Fungsi Mxit:
sebagai sarana chatting (otomatis), sebagai media berkenalan, sebagai media mengerjakan
tugas, sebagai media diskusi, sebagai wadah cari sensasi, sebagai taman
hiburan, sebagai media pengganti sms (secara kalau dulu, online lebih murah
daripada sms, i*3 gitu!), sebagai media mencari inspirasi, sebagai sarana
caci-mencaci dan gosip-menggosip, banyaaak...
Namun, waktu
terus berputar...kata Ipang, "Roda-roda terus berputaaaar...",
perlahan Mxit ditinggalkan dan orang-orang beralih ke ... jeng-jeng! yaaa yang
salah satu fiturnya sedang saya gunakan ini. Facebook alias muka buku.
Jadi, siapa
yang masih ingat akun Mxitnya, cung??? (aku! aku! aku! haha)
Dua Puluh Tujuh
10 Januari 2011 pukul 21:09
Hai... Aku
menulis
Sebuah mimpi
di atas pasir pantai Ambal yang sepi
Beberapa
lukisan hati yang peyot tak jelas dimensinya
Kata-kata
aneh yang hanya dimengerti oleh akal jongkokku
Helai-helai
perkamen palsu yang dihiasi ngengat rekayasa
Hai... Kau
tahu?
Baru saja
aku meninju angin
Seekor lalat
terbang mencibir
Andai
kupingku cukup mentolerir infrasonik
Mungkin bisa
kudengar dia kentut sambil tertawa jahil
Hai... Aku
menjajakan emosi
Penting ya?
Siapa yang
mau beli?
Ada...
Setan dan
malaikat?
Bahkan
mereka pun mulai penat
Hei!!! Tak
bisa diam? Ini pukul dua malam!
Aku tahu!
Aku punya
arloji!
Tak henti
berlari menggelitik
Paksa aku
berhenti bergulat dengan mimpi
Dorr!!!
Selesai!!!
Kesempatan
pertama lenyap senyap
Gurat
kelelahan bertambah sepasang
Bukan!
Bukan!
Tujuh
pasang!
Hei... Belum
selesai!
Jemariku
masih kaku menari
Otakku belum
jongkok
Akalku hanya
sedang bermain
Sedang sial
saja dia
Ini belum
selesai sayang!
Ombak masih
menari saman
Matahari
tertawa cerlang
Rembulan
masih berlukiskan kakek yang duduk di antara dua sujud
Gemintang
masih centil bermain mata
Dan aku
masih menulis
Oh iya...
Mimpi itu masih ada
Menyapu
aspal jalan Mayjen Sutoyo dengan kedipan
Memayungi
dusun antah berantah dengan gelembung kegembiraan
Memecahkan
gerabah kegalauan dengan batu apung
Menerbangkan
helai-helai kertas berbubuhkan tanda tangan Amarilis...
Yeah...
Apa-apaan
ini?
Tahu begini
aku menunggu pesawat ke Nepal
Atau
berlayar ke Eropa
Bisa kupeluk
miniatur Everest
Atau sekedar
mencicipi tulip yang enak menusuk mata
Gubrag...
Tiba-tiba
aku terbangun
Mendapati
diri memegang erat ranting bunga kelapa
Beberapa
lukisan hati mulai tersamarkan oleh angin senja pantai Ambal
Perkamen-perkamen
itu perlahan menghilang
Kereta,
pesawat, bau aspal jalan Mayjen Sutoyo dan kedipan gemintang samar-samar
melambai
Aku masih suka bermimpi ternyata...
mbaeee maen mba tulisane..isa diwaca..
****, yeyy...asyik, akhirnya koe bisa maca tulisanku.. :D (kok bisa nge-tag koe
ya? padahal niate dila, hhe)
7 Juli 2011 pukul 8:06 · Suka
hahaha..payah..
hahaha mungkin krena namaku slaluterngiang di pikiran anda.hehe
hahaha... *duwe kresek ora?*
Dua Puluh Delapan
23 Januari 2011 pukul 23:39
(Gara-gara kamu
nge-like catatan ini, aku sukses galau selama semingguan. Shock!!! Aku sudah
merasa bebas karena kamu nggak pernah lagi komentar ke catatanku yang artinya
kemungkinan besar sekali kamu sudah tidak pernah baca catatanku. Catatan ini
secara gamblang bercerita tentangmu saat KCF 2011 dan aku…malu. Mulai saat ini,
aku yakin bahwa kamu sangat mungkin sudah tahu bagaimana perasaanku dan
kamu…diam. Aku sebal.)
Sekarang
masih hari Minggu? Sepertinya bukan
Hari Senin?
Baru saja, kuinjak hari
ini
Bluk! Kaki kiriku
menginjak lantai dingin rumah gelapku
Awal yang buruk untuk awal
minggu di akhir bulan paling awal
Kuhabiskan malam ini
meneguk kopi pahit yang kubuat karena "kecelakaan"
Menilik balik pesona
pelangi palingtidak indah yang terjadi setahun sekali
Warna-warna mati yang amat
menarik bagi orang
Mengapa tidak bagiku?
Aku bukan orang?
Enak saja
Ibuku bilang aku orang,
dan aku selalu percaya kata-kata ibuku
Hn... aku berada di tengah
warna itu,
melambai-lambaikan
selendang yang menyilaukan mata
cerlang, seperti mentari
yang membakar warna kulit Bunga kalau tidak pakai cream ber-SPF
di tengah keramaian,
di antara insiden
jambak-menjambak
aku menerbangkan
selendangku tanpa pikir dua kali, sekali pun tidak
aih... apa aku baru bilang
kalau aku punya selendang juga meski tak suka?
yah, lalu menghamburkan
diri di tengah orang haus dan lapar
bukan menjadi umpan
tapi menjilat
ada yang tahu aku ini
penjilat?
ahaha... cukup aku saja
yang tahu
oh iya, aku sempat menusuk
beberapa mahkota bunga "setan"
dia tak bergeming
pasrah
hingga aku melihat kepala
makhluk spesial itu,
lalu aku menusuk lebih
dalam mahkota bunga "setan" yang dulu sempat menggodaku dulu
pura-pura puas,
aku bekunjung ke bunga
bangkai
masih tanpa selendang dan
aku merasa seperti keracunan kopi lusa kemarin
bunga bangkai ini aneh,
dikelilingi kupu-kupu
aku takjub, si bunga
bangkai tidak melahapnya
lalu aku tidak merasakan
getaran yang kurasakan saat melihat makhluk spesial di samping bunga
"setan"
maka aku berlari ke rumah
gelapku
di sana...
secara ajaib, si makhluk
spesial membulatkan tangan seperti bentuk hati
bukankah aku bergidik?
aku teringat si betina
yang sedang menunggunya di sarang
dan aku tersadar dari
harapan-harapan semu
menggantungkan cinta pada
benda-benda abstrak di tepi pintu
kini sudah tak mahu
kemarin malam, hari ini,
dan malam ini
kuambil resiko menyeruput
kopi
kopi hitam pekat tanpa
gula dan krim
lalu mulai keracunan
seperti biasanya besok pagi...
aku mendapatkan kembali
selendangku, entah bagaimana
lalu aku pulang dengan
beban
lalu tidak bisa tidur
tenang
dengan secangkir kopi
hitam pekat
siap di meja...
dan kumulai cerita seperti
hari-hari sebelumnya....
pahit
Kenapa kamu nge-like ******????Bottom of Form
Dua Puluh Sembilan
24 Januari 2011 pukul 16:37
(Ini akibat dari catatan sebelumnya yang kamu
like)
Tolong!
Aku sesak napas!
dan tidak bisa mencari
kata lain selain hapus! hapus! dan hapus!
Selama ini terlalu
eksplisit
Ternyata membunuh diriku
sendiri
Sesak sesak sesak!Galau
dahsyat
Aku kira belum tepat satu
tahun
Saat aku melakukan
kesalahan yang sama
FebruariIni Januari
Please, God!Ini lebih
cepat enam belas hari
Haduh!Galau galau
galau!!!
Bagaimana? Terimalah
pembalasanmu, Ani!
Tiga Puluh
15 April 2011
Aku
tak mampu membagi diriku untukmu, untuknya dan untuk mereka
Aku
tak mampu mencurahkan kasih sayangku hanya untukmu, untuknya atau untuk mereka
Kalian
menyatu memiliki semua rasaku
Kalian
memiliki cinta, kasih, sayang, dan pengorbananku...
Ini
surat cintaku untuk kalian yang kusayang
Untuk
semua hal berbagai rasa dan warna yang telah kalian sumbangkan
Untuk
setiap detik yang tak pernah berlalu tanpa kemunculan kalian...
Ini
surat cintaku untuk kalian
karena
aku tidak tahu cara membagi waktu untuk menyejahterakan kalian...
Sabar
ya...
Bumi
ini berputar
Tak
hanya henti di satu titik
Bumi
itu bak bola
Menggelinding
menuju gawang yang benar jika kita, manusia, mampu mnggiringnya ke arah yang
benar
Pokoknya
harus semangat!
Tiga Puluh Satu
17 Mei 2011 pukul 12:17
Di
saat-saat seperti ini, aku tiba-tiba selalu ingat kawan bincang bisuku. Hai
kawan! Masih kawanmu kah aku? Hahai... Aku ingat warnamu, hijau menyala seperti
kertas jadwal yang tertempel di tembok utara kamarku. Aku juga masih ingat
guyonanmu yang entah kenapa selalu aku nantikan saat aku bosan, haha. Kau
benar-benar jadi tempat pelarian. Saat bosan carilah kau sampai ketemu. Sudah
berapa puluh kali aku menulis tentang kau di jejaring sosial ini? Dan mungkin
kau sempat membacanya. Anehnya kau hanya diam.
Hai,
kawan... Perkataanku terlalu abstrak kah, hingga kau tak pernah mengerti
artinya? Aduh! Aku selalu punya masalah dengan kemampuan verbal.
Pfiuh...fiuh...
Oia,
kawan... Kudengar kau akan segera menempuh hidup baru? Selamat ya? Melihatmu
mengenakan kostum itu adalah salah satu hal yang menyenangkan dalam daftarku.
Uhn... Itu, itu lho.. Sebenarnya, kamu itu siapa sih?
Aku udah
ngomong panjang lebar tinggi, kok ternyata kita ngga saling kenal dan ngga
pernah saling sapa? Aku ingin suatu saat nanti, entah kapan, entah saat aku
sudah menua renta tak punya daya dan kau juga sama saja hanya saja masih
berlari bermain voli, atau entah kapan yang lain, aku ingin kita saling
bertegur sapa. Waduh! Aku lupa! Sepertinya itu susah. Sepertinya kita sudah
mulai pikun tentang ini ya?
Namun...
aku sangat berharap, suatu saat nanti kita mengobrol walaupun hanya untuk
melemparkan julukan abnormal kita yang saling tertuju satu sama lain. Dan satu
lagi harapanku, kau mau menulis. Aku ingin sekali membaca tulisanmu selain
tulisan-tulisan konyol yang mampu membuatku tertawa terguling-guling, tapi
tulisan lain, tulisan yang dengan aku membacanya, aku mampu menerka seperti apa
kau sebenarnya. Menulislah, kawan! Please, menulislah... Dan undang aku turut
serta ke dalamnya....
Tiga
Puluh Dua
17 juni 2011
Sempat
teringat tahun-tahun lalu
Saat
semangatku menjadi orang pintar (tanpa dengan minum tolak angin)
melonjak-lonjak
Saat
rumus-rumus kimia dan matematika bukanlah bahan hafalan melainkan mainan
Atau
saat aku sangat menyukai melukiskan bentuk atau kalimat
Dan
saat aku memang sangat suka melihat pekerjaanku dikritik dan diberi imbuhan
saran
Itu
dulu!
Sebelum
beberapa orang mempengaruhi
Sebelum
seorang tak dikenal masuk menyusupi lubang otak dan hati
Mengubah
pikiranku menjadi pemburu sesuatu yang abstrak dan susah dimengerti
Ahahai...
Seseorang
yang sering membuatku tertawa geli, sendiri
Sendiri,
hingga ibuku menyangkaku tengah berkicau sambil tidur
Hingga
kawanku mulai tak mengerti dengan kegilaanku
Yang
parahnya terjadi sejak dua tiga tahun lalu
Dan
hal itu mengendap seperti foraminifera yang terperangkap lumpur lautan
Mengendap
membentuk batuan yang mengerak di permukaan hati
Menginfeksi
sel-sel otak ini hingga lupa cara menentukan kecepatan berlari siput telanjang
Aku...
Aku
tak menyalahkanmu...
Kau
membuatku tahu kegilaan apa yang dirasakan oleh mereka, pemabuk kepayang
Namun,
sungguh aku mulai takut merasakannya lagi
Kenapa?
Perlahan
tapi pasti, energimu merontokkan potensiku...
Kau
tahu?
Aku
terpuruk dalam senyuman
Dan
kau tahu aku tak tahu harus kepada siapa aku minta pertanggungjawaban...
Ahahai...
SEMANGAT
ANI!!!!
Hope,
I'll never feel the same feeling again....
Tiga Puluh Tiga
Juni 2011 pukul 1:57
kau yang
selalu memperhatikanku dengan caramu, terima kasih...
Hai!
Untuk ke-sekian kalinya aku menyapa tembok kosong sambil berharap ia tiba-tiba
berubah menjadi kau.
Aku
tidak tahu mengapa aku selalu memperoleh jawaban tanpa jawaban. Apakah aku mesti
menjejalkan perangko ke dalam surat ini?
Saat
seperti ini, aku betul-betul mau. Mau membaca banyolanmu. Aku rindu. Rindu
kehijauanmu.
Kau
menjadi pertama. Pertama yang membuatku sukses begadang tempo malam. Kau yang
tanpa kau rencanakan telah mencolek perhatianku lebih besar.
Ah...
Aku bosan membicarakanmu... Dan memang hanya kau yang mengalihkanku.
Sebelum
aku pergi lebih jauh, inginku bertemu dan berbincang. Sekali saja... Sekali
saja... Meski aku tak berani berjanji.
Tiga Puluh Empat
24 November 2011 pukul 15:06
Lama dan
lama sekali jari ini tak bermain, bertemu bahkan bercolekan dengan kerumunan
tombol nan lembut...
Tiba-tiba, saat teringat sebuah pertanyaan tentang enam bintang, tiba-tiba pula
memoriku terlempar kepada sesuatu atau mungkin seseorang. Seseorang yang tentu
saja abstrak dan buras, senantiasa sama dengan kemunculan dan kepergiannya.
Namun,
hal yang aneh dan nyata terjadi adalah bahwa aku tak pernah menemukan sesuatu
pun cara yang mampu menghilangkannya dari memoriku. Aku mempunyai daya ingat
terlampau tinggi untuk hal-hal tertentu. Hal sesepele buah mangga muda jatuh
menimpa seekor tupai pun dapat kuingat bahkan setelah bertahun-tahun aku tak
mengunjungi tempat kejadian.
Aku
terlalu ingat terhadap hal unik yang dilakukan seseorang unik, pada saat yang
unik, di suatu tempat yang unik atau dengan bantuan bumbu-bumbu unik lainnya.
Hal yang
mampu membuatku tertawa nyaris terbahak, membuatku tersenyum barangkali
tersedu, menarik ulur tangisku dalam linangan keharuan, atau membangkitkan
amarah di tengah kesunyian ekspresi.
Kuakui
beberapa ingatan itu tersketsa dengan indah, dengan menyeramkan, dengan
menyenangkan, dengan penuh bunga-bunga bermekaran atau dengan biasa saja...
Namun,
aku ingat...
Tiga Puluh Lima
30 Desember 2011 pukul 13:33
Luapan
emosi tak sempat mencapai ujung
Lava
membanjir di lambung
Terkungkung
Bingung
Lambada
lambaian bunga, sayup-sayup menderu haru
Bangkitkan
regu-regu bayu, meniup tirta terbias biru
Gemertak
gigi berlumut kambing laut
Memburu
ombak berdebur
Degup
degup rancu penghuni raksasa biru
Desiran
kerikil palung tergelincir
Membentur,
beradu, beriak, tajam bagai tombak
Bunga
karang tercengang
Terumbu
menari, rerumputan bergoyang sendiri
Ini
puncak toleransi
Sang
waktu lelah menanti
Bah
berkunjung
Serentet
gunung terhuyung
Limbung
Lava
membeku
Membeku
syahdu tanpa sempat membara
Padam
Selesai
begitu saja
Tiga Puluh Enam
24 April 2012 pukul 4:22
Rerindangan
pohon, dinginnya bangku semen dan kotak-kotak kayu pengap yang ragu bergeming...
Di antara celah mereka, kulihat seorang anak berjalan, akan menghampiri.
Hampir-hampir hilang nafasku, henti nadiku dan hangus akal sehatku dalam
setengah detik kala itu. Bukan! Bukan karena serangan jantung atau stroke,
melainkan karena terkaget pikiran warasku.
Kuikuti
sepasang kaki. Dari balikku, muncul langkah kaki, tapi lain. Dia karibnya. Kami
berpapasan, aku berdebar, dia tak ubah raut muka. Kami bertiga saling diam.
Kawannya melirik muka, aku terdiam sejenak. Berharap, milirik pula mata manusia
di sampingnya. Namun tidak. Seekor kupu-kupu hampir mati di sudut lemari kayu.
Aku
malu, lantas beringsut ke dalam gudang buku. Ibu garang memoles muka. Ibu sayu
mengukur pengunjung. Jemariku mencari buku tentang penari, sedang mata melirik
ke sana dan ke sini. Aman untuk menjadi diri sendiri kataku dalam hati.
Berhenti
menoleh, kuperoleh sebuah manuskrip tua. Dia coklat, berbau khas dan tampak
megah. Kubuka lembar pertama, dadaku tertinju kagum. Kubuka halaman terakhir,
air mata tanpa permisi berlari mengalir. Aku dan perasaanku, dibolak-balikkan
lembaran tua tak punya judul diri.
Aku
jatuh hati untuk kesejuta kali. Kumantapkan hati menulis tentang ini. Secarik
kartu terlampau buruk kutarik dari saku dada. Sehelai kertas nota bekas kugelar
di atas meja kusam. Pensil menari, otak bersalto liar tanpa kendali. 'Guruku
akan bahagia dengan ini!' teriakku tanpa berbunyi.
Aku
selesai dan bersiap mengunjungi para ibu. Pintu tiba-tiba sesak dan sinar
mentari terhalang benda berbayang tidak normal. Dia menyeruak. Kepala lebih
dulu, lantas tangan menyusul melambai tanpa gaya. Karibnya muncul,
meninggalkannya, tertawa tanpa bahasa. Aku kaku. Hatiku ingin meraih, tapi otak
tak jua memberi izin. Jiwaku ingin menghambur, tapi raga tak mampu bergerak barang
seinci.
Keheningan
terpecah sebaris bibir seruapa bulan sabit. Tanganku tak tahu cara berdusta,
lantas melambai segirang Amelia. Tersadar, terbaca rasa tak biasa, aku mencoba
bertingkah luar biasa. Tak ada daya upaya, kakiku melangkah menyamping persis seekor
kepiting dikejar burung ceking. Menuju tikus elektronik, menjaring informasi
palsu tetang kupu-kupu hitam putih. Nafas berlari, tempat duduk pun seakan tak
mau kompromi. Dia masih menatap, aku pura-pura tak lihat.
Dalam
hati aku meminta bantuan. "Oh tolong, kau karibnya, cepatlah datang. Bawa
dia pulang. Masukkan dia dalam lubang di mana kalian biasa berkubang, di mana
di depannya aku terbiasa berpura-pura lalu lalang."
Aku
heran kepada jaring yang berlubang besar. Kupu-kupu hitam putih lolos dari
tangkapan. Aku kehabisan akal, lantas aku hilang tingkah. Dia masih di samping
para ibu. Aku tak bernyali untuk mendekat. Gudang buku tiba-tiba berlalat. Oleh
aku yang ternyata mulai membusuk, kehabisan waktu menghimpun nyali, kehabisan
energi karena kaki tak henti bergetar penuh ekspresi.
Aku tak
bisa pergi. Lantas pura-pura membuka diary. Ibu garang melempar
perhatian. Ibu sayu masih sibuk mengukur. Dia hilang! Aku terlonjak senang.
Berdiri tanpa hati-hati dan menyenggol tubuh lemari. Bruk! Suara lemari
teraniaya manusia terlepas manisnya mara bahaya. Ibu garang makin
penasaran. Berhenti menebar bedak dan membulatkan mata di balik kacamata
segiempat. Aku tersenyum tanpa makna.
Aku
mendekat dan menyiapkan manuskrip tua. Secarik kartu tehidang di atasnya.
Pulpen masuk saku, nota bekas terselip di pengaitnya. Aku harus bergegas
sebelum dia muncul dan membuatku lupa bernafas.
Perkiraanku
tak sering salah, akan kucapai si ibu dalam lima langkah. Aku melayang, ringan
nian dalam ketergesaan. Namun sial! Jidatku menghantam punggung yang lebar! Aku
memeluk lantai dan dia memutar badan. Alangkah kesialan ini begitu penuh
bintang-bintang, sang pemilik tubuh mengulurkan tangan. Mataku terbuka dan
seketika inginku hilang ingatan. Dia! Dia lagi dengan wajah gelisah dan penuh
rasa bersalah.
Aku
berdiri tanpa menjbat tangan. Lantas tanpa sadar bertingkah tidak
wajar. Si manuskrip tanpa alasan ingin kujejalkan dalam tas tangan. Si ibu
tahu lantas menyetop laju tanganku. Aku malu dia melihatku. Aku bertingkah
salah tingkah, si ibu mengira aku kleptomania. Sedangkan dia tertawa menahan
tawa. Aku memerah dan dia menjadi salah tingkah.
Aku
berbalik. Membuka lemari berjudul sastra dan melempar si manuskrip. Aku lupa si
guru dan lupa tujuan kunjunganku. Dia bermuka heran, si ibu sayu berhenti
mengukur. Karibnya datang dari pojok ruang. Dia meminta maaf, aku bersiap
angkat bicara.
Karibnya
ingin berucap dan dia telah siap mendengar pernyataan. Aku tak rela, maku
dengan kecepatan kereta kuda, aku mengambil alih percakapan, "Hai! Namaku
Amarilis. Bukankah kau mengenalku sejak lama, Antaresta?"
Tiga Puluh Tujuh
3 Juni 2012 pukul 22:24
(Ini kutulis saat aku lihat status-statusmu
setelah kuliah, kayaknya jadii gimanaaa dan kamu yang kelihatan kurusan, hehe)
Hai, Kawanku
sesama Pemimpi
Rupamu
semakin kisut
Masih
mampukah diinjak coba dan ujian?
Masih
mampukah ditebari debu rintangan?
Detik
masih berlari,
misteri
masih menyilang kaki,
haruskah
kau tetap diam menyaksikan?
Kau
bilang kau dokter segala penyakit hati manusia,
kau
bilang kau detektif pemecah kasus ketidakwajaran tingkah laku,
dan kau
pun bilang kau mampu menjadi hakim penegak keadilan tanpa pandang jabatan
Lantas
mengapa kau meringkuk bak ular lapar?
Mengapa
kau menyerah di tengah takdir Tuhan sedang berjalan
sebagian?
Bangkit, Kawan...
PANJANG
YAAAAAAAAAAAAAA…??? Hehe
NOTES
FB
(Gomenasai! Saya Lebay dan Sangat Sering
Menganggumu. Gomen, gomen, gomen…)