Thursday 10 September 2015

Saya, Wanita Panggilan: Berawal dari Sebuah Panggilan

Demi sandal jepit Ard*les yang hilang ketika salat di musala di SPBU di Wonosobo, saya merupakan orang yang memiliki waktu yang sangat luang sampai-sampai saya kebingungan untuk menghabiskannya. Meski demikian, entah mengapa saya sangat malas sekali untuk meluangkan sedikit waktu untuk sekadar menulis post ringan di blog ini. Beberapa tahun lalu, saya membuat blog ini dengan dalih saya menyukai menulis, khususnya cerita fiksi. Namun, faktanya, selama hampir lima tahun sejak blog ini dibuat, hanya tulisan-tulisan reportase keseharian atau perasaan saya yang berhasil terjejal ke dalam kotak entry pos blog ini. Hehehe, semoga cita-cita saya menulis sebuah cerita panjang yang selesai bukanlah hanya sekadar cita-cita dusta belaka.

Well, beberapa bulan terakhir ini, saya hampir tidak pernah menulis di sini. Alasannya klasik, yaitu karena faktor kesibukan. Loh? Bukannya saya baru saja mengatakan bahwa saya memiliki waktu yang terlalu luang? Memang luang, hanya saja itu berlaku ketika luang. Beginilah kehidupan seorang freelancer, diwarnai dengan dinamika kesibukan yang tidak tetap di setiap waktunya. Terkadang dia terlampau luang, terkadang dia sibuknya keterlaluan hingga kelimpungan dan lupa makan. Semua itu tergantung pada amal ibadahnya, eh maksud saya, ada atau tidaknya proyek pekerjaan yang berhasil diperoleh atau dijalankannya. Saya yakin, inilah alasan yang membuat sebagian besar orang berusaha keras sekuat tenaga untuk dapat memperoleh pekerjaan tetap di tempat yang layak dengan upah yang besar dan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, bahkan keluarganya. 

Menjadi freelance sebetulnya bukanlah pekerjaan utama yang saya impikan saya setelah lulus kuliah. Yeah, siapa pula yang menjadikannya sebagai sebuah cita-cita utama? Mungkin ada, tetapi saya yakin persentasenya tidak banyak. Namun, entah mengapa, menurut saya, menjadi freelancer seperti ini bukanlah hal yang buruk untuk dijalani sebagai langkah pertama dalam proses pembelajaran menjadi pekerja profesional. Uhn, tunggu dulu, apakah saya sudah menyebutkan pekerjaan freelance macam apa yang pernah (dan mungkin sedang) saya jalani saat ini? Hahahai... Saya adalah seorang "wanita panggilan".

Semua cerita saya tentang profesi saya sebagai "wanita panggilan" ini berawal dari sebuah panggilan masuk di handphone saya, di suatu pagi, di salah satu Selasa di bulan Desember 2014. Sebetulnya, saat itu sudah tidak dapat dikatakan pagi lagi. Pukul sembilan lebih --jika tidak salah ingat, saya, yang selalu saja tertimpa musibah insomnia di setiap malam, terbangun oleh sebuah panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenal. Sedikit ragu, saya sengaja melama-lamakan diri dalam mengangkat panggilan tersebut hingga orang di seberang memutuskan untuk mematikan panggilan tersebut. Namun, di luar dugaan, sebuah panggilan yang lain kembali masuk, dan kali itu tanpa pikir panjang saya langsung mengangkat panggilan telepon tersebut. 

Dengan suara serak yang miskin akan semangat hidup khas orang bangun tidur, saya mengeluarkan sapa untuk menyambut sang pemanggil di seberang, "Halo, assalamu'alaykum?"

"Halo? Ani, ya?" jawab seseorang yang oleh saya terdeteksi sebagai seorang wanita dengan warna suara yang terdengar tidak asing.

"Iya, betul? Maaf ini siapa, ya?" tanya saya, masih tidak memiliki petunjuk akan pemilik suara tersebut.

"Ini, C. Anif dulu pernah ikut survei filariasis, kan, ya? Masih ingat, Nif?" tanyanya, yang akhirnya saya dapat mengenalinya dan dulu pernah memanggilnya dengan sapaan Mba C.

"Oh iya, Mba, ingat kok ingat. E... Ada apa, ya? Ada yang salah, ya, Mba?" tanya saya, gugup. Jujur, otak saya langsung berpikir tentang berbagai kemungkinan buruk yang akan terjadi di masa depan (bisa jadi) karena kebodohan saya di masa lalu, hampir satu tahun sebelum saya menerima panggilan tersebut. Ceritanya, pada bulan Januari 2014, saya ikut menjadi seorang enumerator dalam sebuah survei kesehatan, survei tentang filariasis, seperti yang disebutkan oleh Mba C. Survei ini diadakan oleh salah satu lembaga di kampus, yang cukup saya tahu namanya dari teman-teman satu departemen. Posisi saya sebagai enumerator dalam survei ini, mengharuskan saya untuk melaksanakan tugas mewawancarai sejumlah responden mengenai perilaku dan pengetahuan mereka terkait filariasis. Nah, ketika menerima telepon dari Mba C, saya takut saya melakukan kesalahan pada saat turun lapangan mencari responden ataupun pada saat mengisi kuesioner. Terlebih, responden-responden yang saya wawancarai pada saat itu bukan merupakan warga biasa, melainkan orang-orang yang berperan penting dalam pelaksanaan pembagian obat massal (POMP) filariasis. Dalam sekejap, saya bangun sempurna dan memusatkan perhatian dengan serius terhadap setiap patah kata yang akan dikatakan oleh Mba C.

"Nggak, kok. Nggak. Aniiif. Anif lagi sibuk apa?" tanya Mba C lagi.

"Nggak sibuk, sih, mba. Kenapa memangnya, Mba?" ada sedikit kelegaan setelah mendengar jawabannya dan juga muncul rasa penasaran akibat pertanyaannya. Oke, tentu saja saya sangat tidak memiliki kesibukan. Meskipun pada saat itu saya sedang di tengah perjalanan pengerjaan skripsi saya yang tidak pernah saya kerjakan sejak bulan Juli 2014, entah mengapa dengan ringannya, saya menjawab bahwa saya tidak sedang sibuk. 

"Nggak sibuk, ya? Jadi, begini, Nif. Filariasis kan mau jalan lagi, nih. Kalau Anif lagi nggak sibuk, Anif bisa bantuin nggak? Jadi admin. Tugasnya itu mengurus persuratan, perizinan, dan lain-lain. Pokoknya mengurus persiapan sebelum survei. Bisa, Nif?" jelas Mba C.

"Oh... Bisa sih, Mba. Itu kapan, ya, Mba, kalau boleh tahu?" tanya saya.

"Kalau mulainya sih dalam minggu ini. Anif bisa hari Kamis? Itu nggak harus ke kantor setiap hari kok. Paling, seminggu satu atau dua kali kalau lagi ada pekerjaan saja. Jadi, hari Kamis, Anif bisa?" Mba C kembali memastikan.

"InsyaAllah bisa, Mba," jawab saya, singkat.

"Oke, Nif. Nanti kita kontak-kontakkan lagi, ya, Nif? Makasih banyak, Aniiif," dan panggilan itu pun berakhir.

'Apa itu tadi?' batin saya setelah panggilan tersebut terputus. Setengah otak saya kebingungan, tetapi setengahnya lagi kegirangan. Saya menganggap ini merupakan pertanda bagi saya, untuk kembali menjalani hidup dengan serius. Saya harus kembali fokus mengerjakan skripsi saya karena jika tidak mulai mengerjakannya, saya tidak akan dapat melakukan tugas baru itu dengan baik. Atau kemungkinan lain, jika saya sudah keasyikan dalam mengerjakan hal baru, bisa jadi saya tidak mengerjakan saya dengan baik dan lagi-lagi saya akan menunggak satu semester dengan beban malu yang semakin besar.

Menit berikutnya, saya mendapati tubuh saya sudah berdiri tegak, dengan jemari terkepal setengah kuat, mata menajam dan menatap ke awang-awang, rambut acak-acakan (oke ini tidak penting), dan tekad yang bulat serta hati yang bersungguh-sungguh, saya berteriak dalam hati, "SAYA AKAN MENGERJAKAN SKRIPSI TAK JELAS INI HINGGA AKHIR! APAPUN HASILNYA, INI HARUS SELESAI BULAN JANUARI. TAK BOLEH TERLAMBAT LAGI, KARENA INI SUDAH LEBIH DARI TERLAMBAT!"


Di hari yang sama itu, saya mulai kembali mengerjakan skripsi. 'Hari Kamis, saya akan ke kampus untuk urusan filariasis itu. Jadi, sebelum hari Kamis, saya harus sudah menyiapkan bahan konsultasi saya ke pembimbing,' pikir saya saat itu. Saya memang begitu mah, kalau sudah keluar kamar, inginnya melakukan semua pekerjaan yang dapat dilakukan dengan sekaligus agar efektif dan selesai semua. Namun, yah... untuk memulai langkah pertama itu yang, subhanallah, sulit sekali dilakukan. Alhasil, semester 9 kemarin, sebagian besar hidup saya, saya habiskan di dalam kamar kos. Tidak ada pekerjaan berguna yang saya kerjakan, bahkan tidak ada keinginan untuk melakukan hal yang berguna. Oleh sebab itu, panggilan telepon dari Mba C itu sangat membuat saya senang dan menumbuhkan motivasi atau semangat saya. Saya merasa, saya masih dapat berguna untuk orang lain dan baru memikirkannya pun saya sudah merasa senang. 

Awalnya, saya ragu, Apakah Mba C tidak salah pilih? Apakah saya tidak salah dengar? Dari sekian banyak orang yang ada di muka bumi, mengapa Mba C menelepon saya? Dan bagaimana mungkin Mba C masih ingat? Proyek survei filariasis itu kan hanya berlangsung lima hari, uhn... tujuh hari jika ditambah dengan pelatihan. Kami pun bertemu hanya pada saat pelatihan dan hari terakhir turun lapangan, di mana Mba C selaku supervisor ikut turun lapangan untuk membantu mewawancarai responden. Beliau memang sosok yang seperti itu. Saya sudah mengaguminya, sejak pertama kali diajar sebuah mata kuliah. Hanya satu pertemuan dengannya dan saya masih ingat bagaimana saya terkesan dengan cara presentasinya.


Oke, itu adalah awal mula saya menjadi wanita panggilan. Hingga saat ini, entah mengapa saya masih menikmati pekerjaan ini. Mengapa? Karena saya dapat mengerjakan tugas yang diberikan di mana saja yang saya suka, tidak harus datang ke kantor. Sebagian besar kepentingan tugas dilakukan via email. Sebetulnya, tugas saya bukanlah tugas yang sulit dan berat. Saya pun tidak selalu mendapatkan pekerjaan atau tugas sesuatu. Meski demikian, saya merasa ini adalah awal yang bagus. Sedikit demi sedikit, kan? Jika saya sudah mulai bosan menjalani pekerjaan yang ritmenya fluktuatif semacam ini, mungkin saya akan lebih siap untuk mencari pekerjaan tetap, sesuatu yang lebih jelas dan bersifat rutinitas.

Ah iya, saya tidak pernah mengatakan bahwa menjadi seorang freelancer tidak baik atau tidak menyenangkan. Justru, banyak sekali pengalaman berharga yang saya peroleh dari berbagai pekerjaan berbeda yang saya lakukan. Baru kali ini saya melakukan hal-hal yang selama ini hanya ada di textbook perkuliahan. Belum semuanya memang, tetapi bukankah sebuah proses mengharuskan kita mempertaruhkan waktu sebagai modal untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan?

Oh, iya... tentang upah? Untuk seseorang yang lebih suka memperoleh kejutan pengalaman dibandingkan belanja, seperti saya, upah kerja yang saya terima masihlah cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Mungkin, saya dapat menyebut diri saya sebagai pemburu kesibukan, dibandingkan pemburu gaji. Asalkan saya diberi kesibukan atau tugas, meskipun tertekan, saya akan mengerjakannya, mungkin tidak dengan baik karena saya masih belajar, tapi saya akan bersungguh-sungguh dalam mengerjakannya,..


Thursday 3 September 2015

Happy New Live!

Selamat datang bulan September!!!

Saya harap ini adalah bulan yang dipenuhi dengan semangat dan senyuman. Semoga inspirasi dan motivasi senantiasa tercurah dengan melimpah kepada setiap orang, tak terkecuali saya, kau, dan kawan-kawan kita. 

Me-review beberapa September terakhir, tidak banyak kejadian berarti yang terjadi di setiap tahunnya. September selalu menjadi bulan yang kering karena hujan tidak kunjung datang hingga bulan Oktober atau November mendatang. September selalu menjadi bulan yang di dalamnya terdapat ulang tahun beberapa orang yang saya ingat tanpa syarat. September menjadi bulan di mana sebuah kepemimpinan berakhir dan dimulai dengan kepemimpinan baru yang digantungi harapan-harapan ratusan kepala akan keberlangsungan dan eksistensi wadah nauangan mereka. Mungkin, September adalah bulan yang polos dan lugu karena banyak sekali kelahiran dan permulaan yang terjadi di bulan ini pada setiap tahunnya. 

Ah, mungkin bukan ide yang buruk untuk turut lahir kembali seperti mereka, memulai kembali segalanya dari awal dengan mempertimbangkan pengalaman di masa lalu. Bukankah banyak sekali orang yang bilang bahwa "tidak ada kata terlambat bagi mereka yang memiliki kemauan untuk bertaubat"? Lantas, taubat dari kesesatan macam apa saya ini? Sesat pikir, sesat langkah, sesat hati, dan sesat-sesat yang lain sudah pastinya. Ini wajar bukan, jika saya tersesat? Saya yakin, setiap orang mengalami ketersesatan, barang satu kali, dalam hidupnya. 

Saya memang tidak berulang tahun di bulan September, tetapi saya ingin merayakan kelahiran saya. Kelahiran saya yang akan lebih cermat melihat peta dalam berjalan-jalan. Saya tidak bilang saya tidak menyukai menciptakan jalan baru, tetapi sepertinya terlalu sering menuruti diri untuk melewati jalan lain atau jalan pintas, justru membuat saya semakin tidak seperti orang kebanyakan.

Yah, apapun yang akan terjadi di bulan ini, mari menjalankan dan mendokumentasikannya dengan rapi dan senang hati!

Selamat datang September!!! Happy New Live!!!

Tuesday 1 September 2015

Mengapa menulis fiksi lebih mudah dibandingkan menulis reportase? Karena fiksi merupakan hasil kolaborasi antara manipulasi dan imajinasi yang di dalamnya tidak melibatkan manusia-manusia atau kejadian-kejadian nyata. Pengarang fiksi berhak menentukan jalan cerita dan takdir setiap karakter yang ia ciptakan. Ia berhak mematikan semua orang yang telah ia ciptakan, pun membangkitkan mereka kembali dari kematian, jika ia menghendaki demikian.

Namun, apakah hal ini berarti bahwa bercita-cita menjadi pengarang fiksi sama dengan mempersiapkan diri menjadi manusia yang memiliki dunia sendiri, miskin berinteraksi, dan cenderung menjadi individu yang egois yang tidak mudah dimengerti dan ingin memenangkan segala hal hanya untuk dirinya sendiri?

Beberapa pengarang fiksi misteri mati dengan cara tidak manis: menenggelamkan diri di dalam sungai di musim dingin, menjerat lehernya dengan tambang pengikat leher sapi, melubangi kepala mereka dengan timah panas yang ditembakkan dalam jarak setengah senti, atau... 

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...