Tuesday 25 February 2014

Di Kelas Biostat Dasar, A201

Setiap angkatan, memang beda-beda kebiasaannya. Haha. Ini anak-anak FKM 2013 yang lagi mengerjakan tugas praktikum kelas Biostatistika Dasar. Mereka lebih suka mengerjakan tugas sambil lesehan. Yep! Selain faktor ruangan yang memang sempit, bisa jadi faktor kenyamanan juga membuat mereka lebih suka ngeleseh. Ini sedang mitinggal dosennya. Namun, meski dosen sedang di dalam kelas pun mereka tetap ngeleseh, haha.

Serba-serbi di tingkat akhir, sembari ngasdos, sembari refreshing dan mengenang masa maba. Haha.

Saturday 15 February 2014

Yeay!!!
Dia,
Memperoleh peran sebagai pengamat,  penurut dan pelaksana, bukan pengomentar dan pemberi keputusan.
Yeay!!!
Dia,
Menuliskan pun sebaiknya hanya tentang kesediaan dan ketepatan, bukan tentang keinginan atau kebebasan.
Yeay!!!
Mereka,
Dijatuhi peran sebagai penyuara dan pencipta suasana, bukan pemalu dan peragu: akankah melangkah maju atau mundur sekalian.
Yeay!!!
Mereka,
Dibiasakan oleh masa untuk menuliskan kabar bahagia dan (katanya) bermakna kepada dunia, tentang rencana yang niscaya diekori kebahagiaan semua kepala. 

Mengapa dia tergambarkan semacam penguin bisu tak bisa terbang yang kesepian dan terikat tali kekang, sedangkan mereka bak buruk merak jantan berekor pelangi pagi hari yang siap terbang dan menyapa para pemberi pujian?

Yeay!!!
Haruslah diingat dengan baik
Perjalanan ini,
Terporsi dengan baik dan pasti segera datang masa-masa di mana yang diam akan segera bersuara,
pun pasti akan segera hadir detik-detik di mana yang berisik akan bungkam (karena lelah bicara)
Yeay!!!
Perjuangan ini,
Terbayar dengan setimpal, oleh kejayaan atau peringatan, yang sama bagi keduanya, entah berkoar, entah berdiam.
Tergaransi-terasuransi tak habis, tak terbatas, hingga tercapai benar ci(n)ta di genggaman tangan keduanya, sama rela-sama percaya.

Lantas mengapa masih menggelungkan diri dalam kepulan kata-kata pembeda, peninggi satu sisi, perendah satu sisi lain yang seolah-olah korban kelaliman?

Iri dan dengki,
betapa terkadang dua api dingin ini membutakan pandangan, membebalkan otak dan pikiran, menyelewengkan pilihan kata pengucapan menjadi tak mengenal nilai kemanusiaan.

Tuesday 11 February 2014

Terima Kasih Mas Indra

Pada suatu malam di semester 3 gue, Mas Indrawan Puspa Negara bilang, "Jenengmu Anifatun? Koe? Anifatun? Deneng maen temen jenengmu? Ujarku Anifatun udu kayak koe wonge. Jebule koe sing jenenge Anifatun? Kemaenen jenenge."

Terima kasih mas Indra. Berkat Anda, gue jadi lebih menyukai nama gue sendiri. Kali ini, gue tidak akan menyertakan "meski" karena nanti dikira berpikir negatif. Namun, sungguh, gue jadi lebih bangga dengan nama gue ini. Memang, sebelumnya, gue rada kurang pede dengan nama gue. Hal ini dikarenakan kebanyakan orang merasakan kesulitan ketika menuliskan atau mengucapkan nama gue. Alhasil, nama gue sering diselewengkan menjadi nama lain. Beberapa nama selewengan yang gue ingat adalah "Animaltun oleh Fajar Adhi Hartanto", "Animonster oleh Ratna Prabawati Nopiutami", "Anikita Willy oleh Huge Djendra Yuningrat", "Anipacul MasyaAllah oleh Danang Swastiko", dan "Afinatun Maesaroh oleh (Alm) Bu Reni".

Dulu, gue menganggap sapaan mereka sebagai nama ejekan atau bully-an, kecuali R.P. Nopiutami yang memanggil Animonster karena gue dulu suka anime dan adanya majalah Animonster, juga (alm) Bu Reni yang memanggil gue Afinatun karena murni faktor kesulitan pengejaan. Namun, setelah malam itu, setelah mas Indra bilang itu, gue tidak lagi merasa "gimana gitu" dengan segala nama julukan yang diberikan ke gue. Gue malah merasa, gue dianggap dekat dan spesial oleh mereka yang memanggil gue dengan "nama spesial". Misalnya "Ani-chan oleh Fauziah Nurmala Sari", "Aniooo oleh Ayu Sya'bani Wulandari MD", "Anyeong Haseo oleh Imam Ahmadi", atau "Anichun oleh Hari Purwito".

Terima kasih, untuk membuat saya tersadarkan tentang keindahan nama saya, mas Indra.
Semoga kehidupan Anda senantiasa selalu menyenangkan dan membuat orang lain seneng.

Friday 7 February 2014

Tentang Bersyukur

Kata Junaidi Sidiq, ada kalanya sesuatu harus hilang dan pergi agar kau tahu lagi bagaimana caranya berusaha mendapat sesuatu yang sama baiknya atau yang lebih baik.
Kata Maghfirotun, sering kali kita menyadari betapa indahnya nikmat, justru ketika nikmat itu sudah (akan) pergi.
Kata mas Wiyogo Prio Wicaksono, marilah kita bersyukur dengan perbuatan...

Alhamdulillahirobbil'alamin.
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Astaghfirullohal'adziim,
Berpuluh tahun kehidupan ini selayaknya diisi dengan berterima kasih dan berbagi kebaikan, alih-alih berolah kata dan meronce alasan. Perjalanan Tafakur Alam di hari Senin (3 Februari 2014) lalu dan post Indra Darmawan di blognya yang berjudul (Syukur vs Kufur), pun dari cerita Maghfi di acara tersebut betul-betul menyentil batin.
Mengapa harus mengeluh ketika fakta tidak sejalan dengan rencana? Mengapa harus menanti diterpa coba agar kita teringat akan-Nya? Mengapa menangis berlebihan, ketika kehilangan suatu hal yang sebetulnya pasti akan diganti dengan hal yang lebih baik dan dipersiapkan dengan tepat oleh-Nya untuk kebahagiaan kita?
Syukur, syukur, mari mensyukuri setiap kejadian Ani, sebab sesungguhnya nikmat-Nya tak pernah habis, mengalir sepanjang masa. Mengeluh, jika dibahasa kasarkan, memang seolah-olah seperti sebuah keberanian tak tepat dalam menyatakan kekecewaan atas skenario yang dibuat-Nya. Dan dari apa yang dikatakan Indra dalam post-nya, dapat diketahui bahwa mengeluh itu tergolong ke dalam tindakan kufur. Na'udzubillahi min dzalik :(
Seram. Seram. Seram.
Terkait dengan post gue sebelumnya, yang berjudul Update dan Cari Perhatian, yang meski muatannya lebih ditekankan pada sebuah pembelaan dari seorang miskin bicara, tetapi ternyata ini tak lain halnya juga sebuah keluhan. Respons akan kekurangsetujuan yang disementasikan dalam kata-kata yang tidak berani untuk disampaikan.
Seharusnya, gue mampu menyikapi opini teman-teman sebagai suatu hal positif, masukan untuk kebaikan diri para orang yang potensial mengeluh. Bukannya, ngeles, ngalor ngidul dan pada akhirnya tidak menemukan titik temu antara masalah dan alasan yang dibuat. Seharusnya gue bersyukur, berkesempatan dipertemukan dengan  orang-orang yang bersedia berbagi saran dan pengetahuan, juga mengingatkan. :)
Terkait segala hal yang diperoleh, terjadi dan dilimpahkan pada kita, sudah pasti seharusnya disyukuri, tak hanya di lisan tapi juga dalam perbuatan. Pun dalam bersyukur, berterima kasih baiknya tak mengenal lelah, tak diganduli rasa terpaksa dan mungkin amarah. Ikhlas. Meski pada hakikatnya, kata Nufiqurakhmah, keikhlasan kita hanya Allah yang dapat menilainya dengan teliti, tetapi sudah seharusnya syukur dan terima kasih dilakukan dari hati tanpa niat untuk dipuji.
Ani!!! Ayo meminimalisasi mengeluh dan merendahkan diri. Ayo memaksimalkan berbuat hal kebaikan yang tak diekori keluh kesah!!! :D
Ayo Ani!!! Bersyukur di setiap waktu. Ketika bahagia maupun berduka. Ketika lepas cobaan, ketika tengah dibanjiri tawa, atau ketika melakukan rutinitas biasa saja. Sebab, hal yang biasa saja tersebut, ketika tetiba kita tidak dapat melakukannya atau mendapatkannya lagi, barulah kita rasakan betapa yang biasa itu sesungguhnya sesuatu yang luar biasa, yang meski berulang-ulang tapi sangat pantas dirindu-disyukuri. :D

Wednesday 5 February 2014

KLB

Gue baru membajak akun seseorang. Uhn... mungkin bukan membajak karena apa yang gue lakukan tidak melalui serangkaian prosesi hacking dan tanpa menyalahgunakan kesempatan gue untuk menulis-mengirimkan hal yang tidak-tidak. Gue hanya berhasil menebak password akunnya. Di sini pun, gue murni hanya melihat-lihat apa saja yang dilakukan oleh orang itu di akunnya. Oleh karena itu, gue menyebut ini sebagai suatu tindakan Kepo di Luar Batas (KLB)

Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya gue melakukan KLB terhadap orang tersebut, melainkan sudah sejak berbulan-bulan yang lalu. Meski demikian, gue tidak rutin melakukan KLB ini karena kata Roland, kepo itu harus sesuai aturan. Awalnya, hal yang membuat gue tertarik melakukan KLB ini adalah iseng. Iseng ingin mengetahui bagaimana sikap orang tersebut terhadap orang lain. Apakah dia sosok yang adil dalam membagikan perhatian? Apakah dia begini, begitu seperti yang dibicarakan orang?

Namun, bukannya membuat rasa ingin tahu gue terpuaskan, KLB ini justru memunculkan perasaan bersalah yang entah kenapa baru sekarang kemunculannya semakin terasa. Gue memperoleh fakta lebih dari apa yang gue ingin tahu. Gue menjadi tahu bahwa gue bukanlah siapa-siapa dibandingkan siapa-siapa yang dia curahkan kelebihan perhatian kepadanya. Gue mengetahui sedikit problema yang seharusnya tidak diketahui dan dibagikan ke orang-orang, kecuali muncul sendiri dari pengakuannya. 

Gue merasa bersalah sekali, tetapi gue tercerahkan karena pertanyaan gue tentang dia yang misterius hampir seluruhnya terjawab. Gue yang tidak mampu memprediksi arah pemikiran dan tindakannya, kini sedikit mengerti latar belakan setiap keputusan yang diambilnya. Gue mampu memahami bahwa dia begitu memikirkan setiap detail tanggung jawab yang dipegangnya. Gue pun mengerti bahwa tidak seharusnya gue melanjutkan KLB ini untuk ke depannya karena ini benar-benar tidak manusiawi mencuri lihat apa yang seharusnya tidak dilihat.

Atas segala kesalahan mendaratkan perhatian dan kekhilafan saya, saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya kepada korban. Maaf, ya.... :(


Tuesday 4 February 2014

Update dan Cari Perhatian

Kata Umam, orang yang sering meng-update setiap hal yang dialaminya ke dalam jejaring sosial mungkin karena mereka ingin memperoleh perhatian. Pernyataan tersebut membuat gue bertanya-tanya, "Jangan-jangan gue termasuk ke dalam orang-orang yang (terkesan) suka mencari perhatian?"

Pernyataan itu muncul pada saat Amel bertanya, "Apa yang harus aku lakukan ketika menghadapi orang yang begitu suka mengeluh?"

Apakah saat ini, sering update status identik dengan suka mengeluh? Pasalnya, gue memang sering sekali update dan men-tweet. Setelah dipikir-pikir, muatannya memang terkadang berupa kritikan atau rangkuman kejadian selama sehari. Samakah dengan mengeluh?

Tidak hanya status dan tweet, blog pun disebut-sebut sebagai wahana lain untuk curhat atau mengeluh oleh seorang adik kelas, Juned. Dia mengatakannya lewat twitter. Nah! Bukankah hobinya juga mengritik di jejaring sosial?

Selain itu, di dunia nyata, ketika gue bercerita, muatan cerita gue dibilang terlalu pesimis. Gue melakukannya tanpa sadar sebenarnya. Kata mereka, gue terlalu terbiasa memprediksi hal terburuk dari suatu rencana di samping memikirkan hal baik yang akan dicapai. Pemikiran realistis gue menurut mereka bergeser ke arah pemikiran negatif yang diwarnai pesimis dan rasa sensitif berlebih sehingga berakibat buruk pada suasana obrolan atau parahnya pada suasana hati dan semangat orang lain.

Gue memang sangat terlalu mendengarkan dan mempertimbangkan apa kata orang lain. Oleh karena itu, gue parno jangan-jangan apa yang gue lakukan selama ini begitu mengganggu mereka sampai-sampai banyak yang kurang suka dengan sifat gue?

Roland pernah bilang, jangan terlalu mendengarkan apa kata orang. Kalau Tiara lebih menekankan untuk menjadi diri gue sendiri, temukan hidup gue dan jangan cari perhatian. Hal ini membuktikan bahwa gue terlalu menuruti dan ingin menjadi apa yang seharusnya, seperti yang orang lain katakan.

Bukankah ini yang sebaiknya dilakukan? Atau selama ini gue salah mengartikan? Haha! Lihat? Gue masih sangat seperti bocah.

Setelah gue menyelami diri gue selama beberapa saat, memang inilah gue. Gue yang terbiasa karena dibiasakan untuk mengabulkan permintaan orang lain. Gue yang sejak mampu membaca dan menulis lebih terbiasa dan berani meminta, berbicara, memecahkan masalah, meminta maaf dan berterima kasih melalui kata-kata tertulis, entah SMS, surat kecil, gambar dan alur, chatting hingga status dan tweet.

Gue memang sulit menyuarakan pikiran. Pilihan kata gue di dunia pelafalan lebih sedikit dibandingkan di dunia penulisan. Ini yang membuat gue lebih sering menyampah di jejaring sosial, yang justru terbaca sebagai keluhan, kritikan, opini salah paham atau perlawanan yang tidak tersampaikan lewat ucapan.

Sebenarnya, jujur gue tidak terlalu suka eksis dan pamer atau semacam mencari perhatian. Hanya saja memang metode "berpikir dan menuliskannya yang terlalu sering seperti itu" lebih terkesan bersifat atau bertujuan demikian. Sebab ia tercetak, lebih mendetail, tidak mungkin salah dengar kata, dan tidak memiliki intonasi pengucapan. Artinya, setiap pembacanya bebas memaknai dan menciptakan intonasinya sendiri. Namun, sekali lagi saya katakan, sebagai salah satu orang yang sering update status, gue menulis sering kali dengan tanpa ada niat untuk melulu mengeluh, eksis dan mencari perhatian, melainkan begitulah cara ternyaman gue dalam berpendapat.

Jadi malu deh -,-
Sudah tua, tapi cara berpikir gue dan topik pikiran gue masih berkutat pada ini-ini saja.

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...