Aku
memutuskan untuk melewati jalan yang berbeda pada perjalanan pulang ke kost kali
ini. Rutinitas kampus yang selalu saja seperti itu, sejak dua tahun lalu, akhirnya
berhasil membuatku jenuh. Terlebih lagi, hari ini banyak sekali kejadian tidak
menyenangkan yang terjadi, baik yang berhubungan dengan kegiatan kampus, maupun
yang tidak berhubungan dengan apa pun sama sekali. Sepertinya, hari ini aku
sedang di puncak periode sensitifku. Setelah sudah berbulan-bulan lamanya aku
dapat memanajemen tingkat stresku sendiri, akhirnya kesalku meledak juga karena
merasa diperlakukan tidak adil oleh beberapa teman dan orang di kampus: ditinggalkan
dan tidak diajak mengerjakan tugas akhir semester bersama oleh teman-teman yang
lain.
Ini
adalah siang menjelang sore yang begitu gerah. Entah memang karena cuaca hari
ini atau karena sulutan suasana hatiku yang tengah berkecamuk oleh kekesalan,
tapi aku tidak menyukai hari yang seperti hari ini. Sepanjang perjalanan,
kuhabiskan langkahku untuk mengumpati sekian banyak nama orang yang kuanggap
telah berkhianat dan terlanjur pelit untuk berbagi ilmu denganku. Kupandangi langit
di sebelah Selatan. Perlahan tapi tampak pasti, gumpalan awan mendung terlihat
mendekat, memperluas area abu-abunya, menelan awan putih cerah yang baru saja
berbagi panas menggigit kepada bumi Kota Depok.
“Oh,
jadi mau turun hujan? Mau hujan aja repot! Panas-panas, gerah-gerahan dulu!” gumamku pada diriku sendiri. Aku
melihat ke sepanjang tepian jalan Margonda Raya, beberapa pedagang kaki lima, pedagang
asongan, penjual koran dan pekerja serabutan lainnya, mulai mencemaskan dagangannya.
Seorang pedagang es krim bantal keliling mengerutkan dahi, menengadah, menerawang
ke arah langit yang menggelap, lalu mengalihkan pandangannya ke arah
dagangannya, tampak menghitung sisa dagangan esnya. Aku menyeringaikan senyum
sinis sembari membatin, ‘Aku tahu apa
yang kau rasakan, Pak Tua, karena aku juga tengah merasakan kekesalan itu saat
ini, terkhianati keadaan.’
Aku
memilih untuk mengabaikan orang-orang itu dan kembali menekuni perjalananku
yang terasa lebih panjang daripada bisanya. Ah iya! Aku sepertinya salah pilih
rute karena sepertinya jarak yang kutempuh kali ini memang lebih jauh daripada
jalan biasanya. Alhasil, di sepanjang jalan, aku kembali mengeluh dan
melontarkan sesal karena aku memilih rute perjalanan: Gang Senggol – Depok Town
Square - Fly Over dan berakhir di Jalan Margonda Raya, yang notabene justru
memperjauh jarak pulang ke kost. 'Ah!
Mengapa tadi tidak naik bis kuning dan turun di halte Pondok Cina saja? Capek!
Bodoh sekali memang aku ini!' batinku
Aku
berjalan di sebelah kanan jalan dan tidak peduli jika itu melawan arus, baik
kendaraan maupun pejalan kaki lain. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai kamar
dan merebahkan tubuh lelahku. Di tengah langkah kakiku yang kian memalas,
tiba-tiba, dari arah berlawanan aku melihat dua sosok yang sontak menyedot
perhatian mataku. Mereka berjalan bergandengan: seorang bapak bertopi kusam dan
seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar 6 tahun di gandengan lengan
kirinya. Mereka tidak tampak seperti bapak-anak yang baru saja pulang berjalan-jalan
dari mall dan akan segera menaiki
mobil pribadi atau menghadang angkot.
Si
anak kecil berbaju dekil, beralaskan sandal compang-camping yang tidak saling
berpasangan karena berbeda warna dan bentuk, sandal kanan dan kiri itu. Dia merangkul
erat lengan kiri orang di sisi kanannya, menuntun dengan sabar sosok yang
terlihat memiliki kemiripan rupa dengannya, sang bapak yang ternyata telah
kehilangan kaki kanannya.
“Hah?”
teriakku pelan tanpa sadar. Benar sekali. Kaki kanan sang bapak tidak lagi
sempurna. Aku menebak, kaki itu pernah diamputasi hingga hanya menyisakan
bagian paha saja.
‘Masya Allah. Betapa si anak begitu menyayangi
sang bapak yang terlihat tetap sangat bersemangat, meski tangannya harus
bertumpu pada tongkat penyangga buatan tangan, yang terlihat tua dan merapuh,
untuk menahan berat badan bagian kanannya,” batinku.
Mereka
berjalan perlahan. Sesekali si anak tergoda oleh jajaran benda-benda yang
terdapat di dalam pertokoan dan jajanan yang berjajar rapi di tepi jalanan.
Namun, tak pernah sampai dia melepas pegangannya dari sang bapak. Ketika mulai
mengendur pegangan tangannya, dengan cepat si anak akan kembali mempererat dan
memperhatikan langkah sang bapak. Meski penampilan mereka terlihat memperihatinkan,
aku tak berani menyimpulkan bahwa mereka tengah meminta-minta, seperti
kebanyakan orang yang sering aku temui di tepi kali di samping universitas
ungu, tetangga kampusku. Aku pun ragu untuk menyodorkan receh, yang sebenarnya telah
cukup lama aku genggam di dalam saku jaket, kepada mereka.
Pada
saat mereka berada dalam jarak sekitar sepuluh meter di depanku, tiba-tiba dari
belakangku, muncul seorang bapak lain, dengan suara lonceng yang cukup nyaring
dan berkelinting menyertainya. Beliau adalah sang bapak penjual es krim bantal
yang kutemui sebelumnya. Dalam waktu sekejarp, dia telah mendahuluiku. Dengan gesitnya,
beliau menarik gerobak mungil yang tampak seperti bekas troli beras yang
digunakan di pasar-pasar tradisional ini. Tiba-tiba, tanpa sebab yang pasti, aku
ingin mengejar si bapak es krim bantal. Aku hanya ingin tahu apa yang
membuatnya melangkahkan kaki secepat itu. Namun, pada akhirnya, aku mengurungkan
niat itu dan lantas kembali berjalan dengan kecepatan malas seperti semula. Aku
putuskan untuk mengalihkan pandangan pada sebuah toko hijab di sebelah kananku.
Sesaat
kemudian, tepat sekali ketika aku meluruskan kembali pandangan aku ke depan, aku
tersentak dengan sebuah pemandangan yang sangat indah. Sang bapak penjual es
krim tiba-tiba berhenti, setelah melewati si anak kecil bersandal
compang-camping dan bapak bertopi kusam. Beliau menarik balik gerobak troli
mininya ke arah mereka berdua dan memanggil si anak kecil dengan lambaian yang
hangat.
Si
anak kecil hanya menengok, tanpa menghentikan langakahnya. Tidak menyerah, si
bapak penjual es krim bantal memanggilnya lagi. Kali kedua ini, si anak kecil
merespon lantas berbalik menemui sang bapak penjual es krim, melepaskan
pegangan tangannya dari bapaknya.
“Ada
apa, Kek?” tanya si anak kecil.
“Kamu
haus nggak, nak?” tanya balik si
bapak penjual es krim bantal.
Anak
kecil itu hanya terdiam. Wajahnya mengisyaratkan kebingungan dan prediksi akan kemungkinan-kemungkinan.
Dia melihat si bapak penjual es krim bantal, dari ujung topi hingga ujung
sandal jepitnya. Matanya berkeliling ke setiap inchi benda yang melekat pada
tubuh si bapak, hingga akhirnya tatapannya berhenti ke arah sebuah box yang
terpasang rapi di atas troli.
Akhirnya
si anak kecil mengerti apa maksud pertanyaan si bapak penjual es krim. Dengan
penuh semangat dia berteriak sambil lompat-lompat di tempat, “Iya! Haus! Haus! Haus!”
Si
bapak penjual es krim tersenyum. Ditariknya troli mendekat kepadanya dan dari
dalam box pendingin, yang tak kalah compang-camping dan dipenuhi bekas tempelan
stiker nama dagangan esnya, dikeluarkannya dua bungkus es krim bantal. Beliau
berikan es krim-es krim itu kepada si anak dan sang bapak bertopi. Si anak
memilih es yang berwarna pink sedangkan sang bapak bertopi menerima es yang
berwarna putih dari si bapak penjual es krim.
Lalu
dengan sebuah isyarat kecil --mengayunkan tangannya yang memegang es krim ke
arah bepak penjual es krim, mereka berdua pun berlalu, kembali menyusuri
jejalanan Margonda Raya. Si bapak penjual es krim membalasnya dengan lambaian
singkat dan senyuman serupa pisang, lantas kembali menarik gerobak trolinya.
Aku
berhenti sekitar dua atau tiga detik untuk menyaksikan bagaimana interaksi dan
sosialiasi antarmanusia ini terjadi. Mereka, dua pihak tidak saling mengenal
satu sama lain, tetap mampu berbagi satu sama lain, bersemangat di tengah
terikn panas dan mendungnya Depok Raya. Aku? Baru berjalan dari FKM UI ke
tempat kost saja sudah mengeluh. Jangankan dengan sambil berbagi dan membantu
orang lain, sempat terlintas pikiran untuk berbagi pun terkadang tidak.
Bapak-bapak
dan anak ini jauh lebih mengerti cara memaknai hidup dibandingkan aku. Mereka
yang kemungkinan sama-sama diliputi keterbatasan dan kekurangberadaan, mereka
yang berjuang dari pagi hingga senja untuk mampu bertahan hidup, mereka yang
masih tetap mau menyapa dan membantu orang lain meski sedang dalam ketergesaan
mengejar pekerjaan, mereka yang benar-benar tahu arti hidup dan mensyukuri
nikmat dari-Nya, Masya Allah.
Pasca
menyaksikan peristiwa indah itu, aku pun merenung, ‘Andai aku mampu untuk lebih menundukkan kepala dan hati sedikit saja,
memahami keramaian di sekitar yang lebih problematik, aku pasti akan berpikir
puluhan kali untuk berkeluh kesah, untuk mudah menyerah, untuk berkata bahwa aku
tidak bisa, untuk menyalahkan orang lain alih-alih memperbaiki diri sendiri dan
untuk lelah menyapa manusia. Aku manusia beruntung, memiliki apa yang aku
miliki saat ini hingga mengenyam bangku kuliah pun bukan sebuah kemustahilan.
Namun, aku masih kurang tahu diuntung, kurang menyadari dan mensyukuri apa yang
telah kumiliki dan kudapati, bahkan terkadang tak puas hati lah yang aku
curahkan untuk nikmat-nikmat yang telah hadir ini.’
Secara
ajaib, hilanglah semua kekesalan yang kudapatkan dari kampus. Pada akhirnya,
aku memutuskan untuk menyelesaikan sendiri tugas akhir semesterku dengan
meminimalisasi kebergantunganku pada teman-temanku yang lain. Berbagi dalam hal
kebaikan, tidak sebaiknya melibatkan keterpaksaan dan kekesalan.