Wednesday 28 May 2014

Ini tentang Betapa Buruknya Kemampuan Navigasi Kau dan Aku

"Hey! Ayo, cepat tebengers!" teriakmu. Orang yang kau panggil tebengers itu tak lain, tak bukan adalah aku yang tengah bercakap-cakap dengan beberapa orang yang akan pulang juga ke asrama mereka masing-masing. Ah, mungkin kau lupa. Bukan aku yang meminta tolong padamu untuk memboncengkan dan mengantarkanku sampai ke rumah, melainkan kau sendiri yang menawariku, "Mau membonceng?"

Jadi, saat itu aku merasa tidak sreg dan tidak pantas dipanggil "tebengers" karena aku tidak meminta dibonceng, kecuali ditawarimu. Lagi pula, aku sudah bertekad: tidak akan lagi meminta tolong padam untuk mengantarkanku kecuali kau yang menawarkan sendiri atau sedang dalam kondisi tertentu, sejak kau diam ketika aku memintamu lewat pesan tulisan saat itu.

Sebenarnya, aku memiliki dugaan mengenai alasanmu menawariku tumpangan. Ini karena aku cukup sedikit tahu cara berpikirmu. Bisa jadi, alasanmu menawariku tumpangan adalah untuk menghindari permintaan nebeng dari orang lain yang letak asramanya lebih jauh dibandingkan asramaku. Kau lebih memilih untuk mengantarkanku hingga asramaku yang arahnya berlawanan dengan arah asramamu karena, bagaimanapun juga, jaraknya lebih dekat dan cepat jika dibandingkan mengantarkan orang lain. Betul, kan? Alasanmu berkata "Hey! Ayo, cepat tebengers!" adalah untuk mempercepat percakapanku dengan mereka agar mereka tidak memintamu, kan?

Padahal, ketika kau mengeluarkan motor, mereka sangat gembira, dengan mata berbinar-binar, mengiramu akan mengantarkan salah satu dari mereka. Namun, kau menjawab kau akan mengantarkanku dan hal itu membuat mereka terlihat kecewa. Ah! Kau tidak tahu betapa aku merasa tidak enak pada mereka karena telah egois tak menolak tawaranmu. Akan tetapi, aku juga tidak enak padamu karena dengan mengantarkannya kau akan menunda lebih banyak waktu belajarmu untuk persiapan ujian keesokan harinya.

Ah! Sudahlah! Ini tidak penting!

Apa kau ingat? Ketika kita berdua berputar-putar di sekitar asrama lamaku, hanya untuk menemukan tempat makan yang sama seperti pada saat pertama kali kita makan di sekitar sana. Dua atau tiga kali, kita memutari tempat yang sama. Masuk gang ini keluarnya di gang itu. Memutar ke sana, memutar ke sini dan pada akhirnya kita berdua makan di tempat yang hanya berjarak 100 meter dari asramaku karena di sana ada dia yang juga ingin kau ajak bicara. Krik. Betapa ketersesatan tersebut tak berbuah apa pun karena pada akhirnya kita tidak mendatangi tempat yang ingin didatangi.

Mengapa kita sama-sama memiliki kemampuan navigasi yang buruk? Cukup tidak aman memang menjadi penumpangmu. Namun, entah kenapa ada kenyamanan tersendiri, meskipun pada akhirnya kita tersesat dan sibuk mencari-cari.

Thursday 15 May 2014

Parfum Sekre

Sejujurnya, awalnya saya tidak tahu siapa yang bertanggung jawab atas aroma khas di dalam ruang kesekretariatan kepanitiaan rutin yang durasinya superpanjang itu. Aroma yang

Wednesday 7 May 2014

Sore Hari di Margonda Raya

Aku memutuskan untuk melewati jalan yang berbeda pada perjalanan pulang ke kost kali ini. Rutinitas kampus yang selalu saja seperti itu, sejak dua tahun lalu, akhirnya berhasil membuatku jenuh. Terlebih lagi, hari ini banyak sekali kejadian tidak menyenangkan yang terjadi, baik yang berhubungan dengan kegiatan kampus, maupun yang tidak berhubungan dengan apa pun sama sekali. Sepertinya, hari ini aku sedang di puncak periode sensitifku. Setelah sudah berbulan-bulan lamanya aku dapat memanajemen tingkat stresku sendiri, akhirnya kesalku meledak juga karena merasa diperlakukan tidak adil oleh beberapa teman dan orang di kampus: ditinggalkan dan tidak diajak mengerjakan tugas akhir semester bersama oleh teman-teman yang lain.

Ini adalah siang menjelang sore yang begitu gerah. Entah memang karena cuaca hari ini atau karena sulutan suasana hatiku yang tengah berkecamuk oleh kekesalan, tapi aku tidak menyukai hari yang seperti hari ini. Sepanjang perjalanan, kuhabiskan langkahku untuk mengumpati sekian banyak nama orang yang kuanggap telah berkhianat dan terlanjur pelit untuk berbagi ilmu denganku. Kupandangi langit di sebelah Selatan. Perlahan tapi tampak pasti, gumpalan awan mendung terlihat mendekat, memperluas area abu-abunya, menelan awan putih cerah yang baru saja berbagi panas menggigit kepada bumi Kota Depok.

“Oh, jadi mau turun hujan? Mau hujan aja repot! Panas-panas, gerah-gerahan dulu!” gumamku pada diriku sendiri. Aku melihat ke sepanjang tepian jalan Margonda Raya, beberapa pedagang kaki lima, pedagang asongan, penjual koran dan pekerja serabutan lainnya, mulai mencemaskan dagangannya. Seorang pedagang es krim bantal keliling mengerutkan dahi, menengadah, menerawang ke arah langit yang menggelap, lalu mengalihkan pandangannya ke arah dagangannya, tampak menghitung sisa dagangan esnya. Aku menyeringaikan senyum sinis sembari membatin, ‘Aku tahu apa yang kau rasakan, Pak Tua, karena aku juga tengah merasakan kekesalan itu saat ini, terkhianati keadaan.’
Aku memilih untuk mengabaikan orang-orang itu dan kembali menekuni perjalananku yang terasa lebih panjang daripada bisanya. Ah iya! Aku sepertinya salah pilih rute karena sepertinya jarak yang kutempuh kali ini memang lebih jauh daripada jalan biasanya. Alhasil, di sepanjang jalan, aku kembali mengeluh dan melontarkan sesal karena aku memilih rute perjalanan: Gang Senggol – Depok Town Square - Fly Over dan berakhir di Jalan Margonda Raya, yang notabene justru memperjauh jarak pulang ke kost. 'Ah! Mengapa tadi tidak naik bis kuning dan turun di halte Pondok Cina saja? Capek! Bodoh sekali memang aku ini!' batinku

Aku berjalan di sebelah kanan jalan dan tidak peduli jika itu melawan arus, baik kendaraan maupun pejalan kaki lain. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai kamar dan merebahkan tubuh lelahku. Di tengah langkah kakiku yang kian memalas, tiba-tiba, dari arah berlawanan aku melihat dua sosok yang sontak menyedot perhatian mataku. Mereka berjalan bergandengan: seorang bapak bertopi kusam dan seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar 6 tahun di gandengan lengan kirinya. Mereka tidak tampak seperti bapak-anak yang baru saja pulang berjalan-jalan dari mall dan akan segera menaiki mobil pribadi atau menghadang angkot.

Si anak kecil berbaju dekil, beralaskan sandal compang-camping yang tidak saling berpasangan karena berbeda warna dan bentuk, sandal kanan dan kiri itu. Dia merangkul erat lengan kiri orang di sisi kanannya, menuntun dengan sabar sosok yang terlihat memiliki kemiripan rupa dengannya, sang bapak yang ternyata telah kehilangan kaki kanannya.

“Hah?” teriakku pelan tanpa sadar. Benar sekali. Kaki kanan sang bapak tidak lagi sempurna. Aku menebak, kaki itu pernah diamputasi hingga hanya menyisakan bagian paha saja.

‘Masya Allah. Betapa si anak begitu menyayangi sang bapak yang terlihat tetap sangat bersemangat, meski tangannya harus bertumpu pada tongkat penyangga buatan tangan, yang terlihat tua dan merapuh, untuk menahan berat badan bagian kanannya,” batinku.

Mereka berjalan perlahan. Sesekali si anak tergoda oleh jajaran benda-benda yang terdapat di dalam pertokoan dan jajanan yang berjajar rapi di tepi jalanan. Namun, tak pernah sampai dia melepas pegangannya dari sang bapak. Ketika mulai mengendur pegangan tangannya, dengan cepat si anak akan kembali mempererat dan memperhatikan langkah sang bapak. Meski penampilan mereka terlihat memperihatinkan, aku tak berani menyimpulkan bahwa mereka tengah meminta-minta, seperti kebanyakan orang yang sering aku temui di tepi kali di samping universitas ungu, tetangga kampusku. Aku pun ragu untuk menyodorkan receh, yang sebenarnya telah cukup lama aku genggam di dalam saku jaket, kepada mereka.

Pada saat mereka berada dalam jarak sekitar sepuluh meter di depanku, tiba-tiba dari belakangku, muncul seorang bapak lain, dengan suara lonceng yang cukup nyaring dan berkelinting menyertainya. Beliau adalah sang bapak penjual es krim bantal yang kutemui sebelumnya. Dalam waktu sekejarp, dia telah mendahuluiku. Dengan gesitnya, beliau menarik gerobak mungil yang tampak seperti bekas troli beras yang digunakan di pasar-pasar tradisional ini. Tiba-tiba, tanpa sebab yang pasti, aku ingin mengejar si bapak es krim bantal. Aku hanya ingin tahu apa yang membuatnya melangkahkan kaki secepat itu. Namun, pada akhirnya, aku mengurungkan niat itu dan lantas kembali berjalan dengan kecepatan malas seperti semula. Aku putuskan untuk mengalihkan pandangan pada sebuah toko hijab di sebelah kananku.

Sesaat kemudian, tepat sekali ketika aku meluruskan kembali pandangan aku ke depan, aku tersentak dengan sebuah pemandangan yang sangat indah. Sang bapak penjual es krim tiba-tiba berhenti, setelah melewati si anak kecil bersandal compang-camping dan bapak bertopi kusam. Beliau menarik balik gerobak troli mininya ke arah mereka berdua dan memanggil si anak kecil dengan lambaian yang hangat.

Si anak kecil hanya menengok, tanpa menghentikan langakahnya. Tidak menyerah, si bapak penjual es krim bantal memanggilnya lagi. Kali kedua ini, si anak kecil merespon lantas berbalik menemui sang bapak penjual es krim, melepaskan pegangan tangannya dari bapaknya.

“Ada apa, Kek?” tanya si anak kecil.

“Kamu haus nggak, nak?” tanya balik si bapak penjual es krim bantal.

Anak kecil itu hanya terdiam. Wajahnya mengisyaratkan kebingungan dan prediksi akan kemungkinan-kemungkinan. Dia melihat si bapak penjual es krim bantal, dari ujung topi hingga ujung sandal jepitnya. Matanya berkeliling ke setiap inchi benda yang melekat pada tubuh si bapak, hingga akhirnya tatapannya berhenti ke arah sebuah box yang terpasang rapi di atas troli.

Akhirnya si anak kecil mengerti apa maksud pertanyaan si bapak penjual es krim. Dengan penuh semangat dia berteriak sambil lompat-lompat di tempat, “Iya! Haus! Haus! Haus!”

Si bapak penjual es krim tersenyum. Ditariknya troli mendekat kepadanya dan dari dalam box pendingin, yang tak kalah compang-camping dan dipenuhi bekas tempelan stiker nama dagangan esnya, dikeluarkannya dua bungkus es krim bantal. Beliau berikan es krim-es krim itu kepada si anak dan sang bapak bertopi. Si anak memilih es yang berwarna pink sedangkan sang bapak bertopi menerima es yang berwarna putih dari si bapak penjual es krim.

Lalu dengan sebuah isyarat kecil --mengayunkan tangannya yang memegang es krim ke arah bepak penjual es krim, mereka berdua pun berlalu, kembali menyusuri jejalanan Margonda Raya. Si bapak penjual es krim membalasnya dengan lambaian singkat dan senyuman serupa pisang, lantas kembali menarik gerobak trolinya.

Aku berhenti sekitar dua atau tiga detik untuk menyaksikan bagaimana interaksi dan sosialiasi antarmanusia ini terjadi. Mereka, dua pihak tidak saling mengenal satu sama lain, tetap mampu berbagi satu sama lain, bersemangat di tengah terikn panas dan mendungnya Depok Raya. Aku? Baru berjalan dari FKM UI ke tempat kost saja sudah mengeluh. Jangankan dengan sambil berbagi dan membantu orang lain, sempat terlintas pikiran untuk berbagi pun terkadang tidak.

Bapak-bapak dan anak ini jauh lebih mengerti cara memaknai hidup dibandingkan aku. Mereka yang kemungkinan sama-sama diliputi keterbatasan dan kekurangberadaan, mereka yang berjuang dari pagi hingga senja untuk mampu bertahan hidup, mereka yang masih tetap mau menyapa dan membantu orang lain meski sedang dalam ketergesaan mengejar pekerjaan, mereka yang benar-benar tahu arti hidup dan mensyukuri nikmat dari-Nya, Masya Allah.

*****
Pasca menyaksikan peristiwa indah itu, aku pun merenung, ‘Andai aku mampu untuk lebih menundukkan kepala dan hati sedikit saja, memahami keramaian di sekitar yang lebih problematik, aku pasti akan berpikir puluhan kali untuk berkeluh kesah, untuk mudah menyerah, untuk berkata bahwa aku tidak bisa, untuk menyalahkan orang lain alih-alih memperbaiki diri sendiri dan untuk lelah menyapa manusia. Aku manusia beruntung, memiliki apa yang aku miliki saat ini hingga mengenyam bangku kuliah pun bukan sebuah kemustahilan. Namun, aku masih kurang tahu diuntung, kurang menyadari dan mensyukuri apa yang telah kumiliki dan kudapati, bahkan terkadang tak puas hati lah yang aku curahkan untuk nikmat-nikmat yang telah hadir ini.’

Secara ajaib, hilanglah semua kekesalan yang kudapatkan dari kampus. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk menyelesaikan sendiri tugas akhir semesterku dengan meminimalisasi kebergantunganku pada teman-temanku yang lain. Berbagi dalam hal kebaikan, tidak sebaiknya melibatkan keterpaksaan dan kekesalan. 

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...