Sunday 14 February 2016

Kurma Dua Kwintal

Tawanan. Itulah statusku.

Aku tinggal di desa jajahan. Seseorang bersorban dan bertopeng kain --yang hampir menutupi seluruh wajahnya-- tiba-tiba datang ke desa kami pada suatu siang yang terik dan mendeklarasikan sebuah penjajahan dengan bahasa asing yang belum pernah kudengar. Berkat kedatangannya, semua orang yang tinggal di desaku menanggalkan status kewargadesaan kami. Kami berubah status menjadi tawanan istana.

Aku tinggal di sebuah gubuk berdinding bilik tipis dari dedaunan pohon palm yang dianyam dengan indah dan kuat, hasil karya ayahku. Gubuk itu di tengah hutan, sangat jauh dari pemukiman dan berbatasan dengan persawahan yang kini sedang menguning oleh padi-padi berisi bahkan kegemukan. Ada satu danau kecil di dekat gubukku. Tidak seperti danau lainnya, "danau kami" ini tidak berbau amis. Airnya berkilat-kilat karena mentari berhasil menyinari beberapa permukaannya melewati celah-celah rerimbunan daun-daun pohon yang tak terhingga tingginya.

Di suatu senja, di danau ini, aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya lewat dalam sekelebat. Saban hari, sejak saat itu, aku sengaja mengulang aksi, memarkirkan diri di tepian danau yang sama, berharap dia juga mengulangi kemunculannya walaupun dalam satuan sekelebat yang sama seperti senja itu. Senja itu menjadi penanda pertama dan --masih-- terakhir kali aku melihatnya, lelaki bermata elang dengan jubah coklat kumal yang menyapu guguran daun-daun cemara angin.

Aku seolah-olah berubah menjadi orang yang berbeda semenjak melihatnya. Menurut adik-adikku, aku menjadi lebih bodoh dari biasanya. Aku tidak mengerti, tapi aku tidak terlalu memusingkannya. Hingga pada suatu hari, sebuah hal --paling tidak diinginkan dari setiap warga di desa ini-- menimpaku, yang tengah kehilangan perhatian dan hampir seluruh kesadaran karena terlalu asyik berkhayal tentang danau dan lelaki berjubah coklat kumal itu. 

Sudah menjadi kewajibanku --semenjak ayah kami menghilang-- untuk pergi melaporkan hasil panen, sumber pendapatan, kesehatan seluruh anggota keluarga, dan lain-lain, kepada petugas istana pada setiap awal bulan. Betul sekali, meskipun hanya sebuah desa kecil, di sini berdiri sebuah istana yang sama sekali tak dapat dikatakan kecil. Desa kami merupakan desa yang subur sekaligus tandus. Sebagian besar tanahnya mampu membuat setiap benih yang ditelannya tumbuh rimbun meski tanpa dipupuk sekali pun. Namun, tidak dengan daerah bagian Barat yang berpasir menyerupai gurun dan hampir tak pernah terhujani sekali pun. Dan hutan tempatku tinggal bertetangga dengan tanah kering berpasir itu karena batas bagian Barat adalah tepat di balik danau yang ada di dekat gubukku. Mungkin alasan tanah subur inilah yang membuat Tuan Muda Archantan, orang bersorban dan bertopeng yang kini menjajah desaku, lalu mendirikan istana indahnya di desaku, tepat di jantung desa yang sudah pasti sangat jauh dari tempat tinggalku.

"Berapa berat badan dan tinggi mereka?" sayup-sayup, aku mendengar seorang petugas wanita menanyaiku. Namun, entah mengapa aku tak menjawabnya. Sebuah ingatan tentang sosok lelaki yang menyeberangi danau dengan secepat kilat terputar di dalam kepalaku, memenjarakanku dalam dunia khayal yang penuh perandaian. Aku dapat mendengar suara sang penjaga yang mulai meninggi, tapi aku masih malas untuk menyadarkan diri.

Brak! Si petugas istana akhirnya menggebrak meja pelaporan dan menyodorkan wajahnya ke depan wajahku. Sangat dekat hingga aku baru menyadari bahwa wajahnya sedikit mirip dengan katak. Bukan! Bukan sedikit mirip lagi, melainkan sangat mirip. Aku hanya dapat menelan ludah ketika aku sudah sepenuhnya tersadar akan kemungkinan buruk yang bisa jadi segera menimpaku.

"Apa kau bodoh, bocah tukang tidur!" hardiknya keras. Aku sedikit tidak terima karena aku sama sekali tidak tertidur ketika menghadapinya. "Kau bodoh atau tuli, sih?" kali ini dia bertanya, tentu saja tidak untuk dijawab karena berani menjawab orang-orang istana sama dengan menentang mereka dan menentang mereka merupakan istilah lain dari menggali kuburan sendiri. Begitulah kata orang-orang.

"Aku hanya sedang berpikir, Nyonya..." dan sepertinya aku memang benar-benar bodoh karena tanpa mau dikendalikan lidahku bergerak dengan sendirinya. Aku dapat melihat matanya menggelap dan menatapku tajam. Tuhan, mengapa tak Kau biarkan saja lebah lewat itu menggigit lidahku tadi pagi?

"Tahu apa kau tentang statusku? Berani-beraninya kau memanggilku NYONYA, hah?" katanya lambat-lambat tetapi dengan menekan setiap suku katanya. Dia terlihat geram. Aku tidak tahu, apa yang salah dengan sapaanku. Aku merasa aku sudah sangat menghormatinya dengan tidak memanggilnya 'Bu Katak'. Apakah dia berharap aku memanggilnya nona?

Selama bermenit-menit dia mengataiku bodoh dan semacamnya. Dan selama bermenit-menit itu pula, aku tertunduk diam sembari memilin --setengah memeras-- ujung bajuku yang kini mengusut. Di sela-sela umpatannya, sesekali dia menanyakan hal yang harus kulaporkan tentang kondisi keluargaku kepadanya .

"Dasar bocah hutan! Sekarang jawab dengan baik, berapa berat badan terakhir ayahmu? Hoah! Demi kepala troll, untuk apa aku menanyakan hal-hal membuang waktu seperti ini kepadamu," tanya sekaligus keluhnya.

"Dia sudah ditangkap. Aku tidak mengukur beratnya lagi sejak tiga bulan lalu," jawabku membuatnya terdiam. Entah bersimpati, entah... Oh, dia menyeringai. Sepertinya dia senang dengan penangkapan ayahku.

"Hmm! Jadi, begitu rupanya? Cih! Pantas saja kau ada di sini. Apa kau menggantikannya? Apa kau mengabaikanku sang petugas istana yang terhormat karena memikirkannya? Sepertinya kau sangat menikmati apa yang terjadi setelah tertangkapnya ayahmu, ya? Hahahahaha. Sudah berapa..." 

"Diam, Nyonya!" tukasku dengan suara keras, tapi bergetar. Aku marah dan malu. Marah, karena dia berburuk sangka kepadaku tentang ayahku. Malu, karena beberapa menit yang lalu, aku kehilangan konsentrasiku demi memikirkan orang selain ayahku. Aku merasa seperti anak durhaka karena telah melupakan ayahnya yang hilang ditangkap, bahkan menggantikannya dengan orang lain yang bahkan aku tak mengenalnya sama sekali.

"KAU-SUDAH-KETERLALUAN! BOCAH-TIDAK-TAHU-DIRI!!! Kau dihukum! Kau harus membayar denda ke istana! KURMA! Ya! Kau harus membawa kurma untuk diberikan ke istana. DUA KWINTAL. Tidak boleh kurang dan harus kau serahkan hari ini juga! Jika kau tidak memenuhinya, ayahmu taruhannya!" Dia marah bukan main. Aku dapat merasakan hawa membunuhnya. Kali ini dia tidak main-main. Tidak mungkin main-main karena semua orang yang sekarang memandangiku di halaman alun-alun istana ini tengah menjadi saksi atas kesalahan dan denda besar yang harus kubayar. 

"B..baik," jawabku singkat, terbata. Aku sangat ingin mengutuki Tuan Muda Archantan yang telah membawa segala malapetaka di desa ini. Mengapa dia harus datang? Mengapa dia membuat semua peraturan tidak adil ini: wajib melapor, penangkapan tanpa alasan, membuatku membayar denda untuk kesalahan yang tidak kualamatkan kepadanya. Namun, aku tak punya cukup tenaga untuk merapalkan satu kutukan pun. Aku hanya bisa diam, seperti kerbau yang menurut kepada petani yang mengikatnya siang dan malam.

"Gadis baik! Cepat bawakan kurma itu! Sekarang!" usirnya tanpa perasaan.

*****

Aku mundur, pergi menjauhi meja pelaporan. Aku menangis seperti gerimis, membasahi setiap tanah yang kupijak. Aku memang bodoh, tak menawar. Aku sudah pasti tidak mampu memenuhi hukuman itu. Bahkan, selama ini kami tidak pernah memiliki kurma lebih dari setengah kilogram. Aku tidak mungkin berjalan kaki ke negeri lain menyeberangi daerah Barat dalam satu hari untuk mendapatkan kurma-kurma itu. Sekali pun aku berhasil mencapai tempatnya, aku tak punya banyak uang untuk membeli ratusan kilogram sisanya. 

Aku berjalan tanpa arah. Kakiku, yang hanya beralaskan sandal bambu, membentur batu besar dan membuatku terjatuh. 'Jatuhlah!' pikirku. Ternyata, aku tidak lagi sekadar bodoh, tetapi buta juga hingga tidak dapat melihat batu sebesar itu dan akhirnya aku tidak terjatuh. Tunggu! Aku tidak jatuh? Bagaimana bisa aku tak menyentuh tanah ketika aku yakin aku terhuyung ke depan ketika tersandung batu besar tadi?

Hm? Ada seseorang di depanku. Dia menangkapku dengan punggungnya. Dahiku mengantuk punggungnya yang lebar dan sedikit berkeringat. Si-siapa dia? Aku sama sekali tidak mengenalinya. Aku tidak dapat melihat wajahya. Dia... bertopeng dan bersorban? 

Oh Tuhan! Apa yang kulakukan? Dia Tuan Muda itu? Kali ini aku pasti dipenggal. Tuhan! Cabut saja nyawaku saat ini juga. Aku tidak peduli. Aku tidak ingin kebodohanku membuat lebih banyak masalah lagi. Jika aku mati, mungkin denda dua kwintal kurma itu akan dibatalkan. Mungkin Nyonya Katak itu akan setidaknya bersimpati atau sekadar senang --karena tak lagi dapat melihatku--dan membebaskanku dari semua utang.

"Kau seharusnya tidak menyerah semudah itu, Shadrina," ucap lelaki berpakaian menyerupai Tuan Muda Archantan seperti yang dikatakan orang-orang, "...dan aku bukan Archantan, jika kau sempat mengira aku adalah dia," imbuhnya.

Aku terkejut. Bukan karena dia seperti dapat membaca pikiranku, melainkan karena dia adalah si lelaki bermata elang itu. Aku dapat mengenalinya, meski dia menutupi setengah wajahnya seperti ini. Aku dapat melihat jubah coklat kumalnya, yang kini tampak sedikit robekan di sekitar jahitan bagian bawahnya. Aku yakin ini bukan mimpi karena dahiku masih mengingat bagaimana rasanya ketika membentur punggungnya. Aku tak mampu berkata karena berpikir pun sedikit sulit. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain terisak sembari memandanginya.

"Kukira kau akan senang karena akhirnya kita dapat bertemu, Shadrina. Aku sedikit kecewa karena kau justru menangis," katanya lagi. Matanya mengisyaratkan kesedihan yang aku tak mampu mengartikannya sebagai sebuah ketulusan atau justru ejekan. 

Namu, dia betul. Seharusnya aku senang. Dia muncul tanpa kuminta dan ini merupakan hal yang melebihi semua harapanku selama ini...karena dia berbicara dan MENGETAHUI NAMAKU? Entah mengapa kenyataan ini justru membuat tangisanku semakin deras dan isakanku semakin keras.

"Eh? Se-sepertinya kau memang tidak ingin bertemu denganku. Mmm-mungkin lebih baik aku per..." 

"JANGAN, Tuan, jangan! Anda tidak boleh pergi. Maaf, maaf. Saya tidak punya hak untuk melarang Anda..." lelaki yang kucintai fan kutunggu setiap hari, "...untuk melarang Anda pergi. Namun, tolong tetaplah di sini. Cukup berdiri saja, sebentar saja, uhmm... Bagaimana ini? Saya... saya bingung. Saya... Mengapa Anda datang ketika saya dalam kondisi menyedihkan seperti ini? Saya harap Anda datang di saat saya mengharapkan Anda datang, seperti di danau atau... tapi... Ya Tuhan. Maafkan saya, Tuan. Saya tidak berhak berkata seperti ini," dan aku pun jatuh terduduk di depannya. Aku tidak pernah berkata secepat dan sepanjang ini sebelumnya. Tidak kepada adik-adikku, bahkan kepada ayahku. 

Alih-alih pergi, di luar dugaan, dia justru berjongkok di hadapanku. Perlahan, dia membuka topeng hitamnya yang terbuat dari kain. Aku dapat melihat senyum menghiasi wajahnya yang luar biasa meneduhkan dan membuatku tenang. Detik itu juga, aku kembali jatuh cinta, untuk kedua kalinya, kepada orang yang sama, yang kedatangannya bukan karena pengharapan yang dibumbui nafsu. 

Akhirnya, aku memutuskan untuk beringsut kepadanya, menyandarkan dahiku ke bahunya yang ternyata lebih tinggi dari kepalaku. Dia diam, tak sedikit pun bereaksi atau pun bergeser. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya, apa pula yang dipikirkan orang-orang lain yang melihat kami berdua dengan posisi tidak layak dilihat umum. Aku sesenggukan sambil tertunduk menatap kakiku sendiri, sambil terus bersandar di bahu si lelaki.

Aku akhirnya memiliki keberanian untuk bertanya, "Mengapa Tuan..." 

"Uhm, kau dapat bertanya lebih banyak nanti. Untuk sekarang, apa kau setuju bahwa ada hal lain, yang lebih penting, yang harus kita urus dulu?" potongnya. Dia membuatku tersadar bahwa aku tengah terlilit masalah utang denda dan serangkain permasalahan lain yang akan mengekoriku jika aku tidak membayar denda tersebut.

"Ya Tuhan! Aku hampir lupa! Maaf, Tuan... saya harus pulang dan mengambil sesuatu. Namun, apakah Anda bersedia menunggu saya di sini? Jika Anda tidak keberatan tentunya," pintaku dengan penuh harap.

Dia terlihat sedikit berpikir, lalu memberiku sebuah senyuman. Aku menganggapnya sebagai sebuah persetujuan. Aku segera berlari secepat mungkin menuju ke Barat, ke tempat tinggalku, untuk mengambil setengah kilogram kurma yang kami punya sudah pasti.

"Shadrina, aku tidak menjamin aku masih berdiri di sini ketika kau kembali," aku berhenti seketika. Sayup-sayup, aku mendengar suaranya yang lebih mirip bisikan itu. Namun, aku menolak untuk mempercayai pendengaranku dan kembali berlari menuju hutan. Aku tak boleh menyia-nyiakan waktu. Aku harus menghemat dan memanfaatkannya untuk meminjam ratusan kilogram kurma dari warga di semua penjuru desa agar dapat aku dapat memenuhi angka dua kwintal tersebut. Dan aku tidak ingin membuat lelaki...uhm Tuan itu lelah menunggu. Setidaknya, aku pikir aku sudah membuatnya bersedia untuk menunggu. Dia pasti menungguku.

*****

Tepat tengah hari, aku sudah berhasil mengambil setengah kilogram kurma kami. Aku berlari seperti orang gila, menerobos, menabrak segala hal di depanku, tanpa peduli, tanpa hati-hati. Aku dapat merasakan pergelangan kakiku mulai sakit karena sempat terpeleset ketika menyeberangi area persawahan. Kain rokku tampak campang-camping karena menyapu ilalang dan rumput liar yang bersekongkol untuk tidak bersahabat denganku di hari yang gila seperti ini. Kurma! Ayah! Tuan Entah Siapa Namanya! Tiga hal itu berputar-putar di kepalaku, membuatku pusing. 

Sesampainya di alun-alun, aku tidak mendapati si Tuan itu. Tak dapat kutemukan dirinya meski hanya sekadar jejak sandal kulit bertalinya. Aku sedikit menyesal karena pergi terlalu lama, tapi aku pasti akan lebih menyesal jika aku tidak pulang mengambil kurma. Meskipun saat ini aku tidak tahu apakah ayahku betul-betul masih hidup semenjak ditangkap, tapi mau tidak mau aku harus menaruh keyakinan terbaikku. Barangkali petugas istana itu hanya berpura-pura? Siapa tahu, sebenarnya dia ingin membantuku membebaskan ayahku dari istana dengan imbalan kurma-kurma tersebut? 

Belum semenit aku sampai, aku sudah dapat mendengar suara si petugas istana berteriak-teriak menanyai setiap orang yang melewatinya, "Apakah ada yang melihat seorang gadis aneh dari hutan bagian Barat? Cih. Dia bisa membuatku menunggunya selamanya. Awas saja jika dia tidak datang!"

Aku pun meragu, sepertinya petugas istana itu tidak sedang berpura-pura mendenda. Aku tak boleh bertenang-tenang diri. Napasku masih tersengal, ketika si petugas kembali berteriak. Aku yakin, dia sudah menemukanku. "Bocah hutan! Mana dua kwintal kurma yang kuminta?" teriaknya bak dibantu alat pengeras. Akhirnya, semua orang di sana tahu bahwa aku lah biang keributan yang membuat si petugas istana bermuka katak murka seharian. Dengan ragu dan setengah takut, aku menemuinya sambil membawa setengah kilogram kurma yang aku punya. Aku menaruh kurma tersebut dengan tangan gemetar ke atas timbangan besar di atas meja pelaporan.

"Setengah kilogram? Hanya setengah kilogram ini saja?" teriaknya sangat keras, menusuk telinga setiap orang yang mendengarnya. "Aku meminta dua kwintal dan kau hanya membawakan sebanyak, bahkan, tidak ada satu persen dari yang kuminta? Hah?" aku dapat melihat urat-urat keunguan menegang di leher penjaga wanita yang bertubuh kecil tapi menyeramkan itu.

Aku tertunduk. Tak berani menjawab pun memang tak punya jawaban. Dia terus saja mengumpat, meneriaki, dan memakiku dengan keras dan tanpa henti seolah-olah aku bodoh dan tuli. Jika dia terus melakukannya, sepertinya aku akan benar-benar menjadi bodoh dan tuli keesokan harinya. Tentu saja, jika masih ada esok hari untukku.

Ketika aku mulai terbiasa --bahkan bosan-- dengan caciannya, tiba-tiba seseorang dari arah kanan datang dengan tertatih-tatih ke tempatku berdiri. Dia hampir menyenggolku, jika aku tak bergeser beberapa senti. Dia orang yang asing bagiku, tapi aku yakin dia adalah warga desa ini. 

Setelah menghela nafas beratnya --karena lelah-- selama beberapa detik, dia pun tersenyum kepadaku,. Tangan-tangan kekarnya lantas menurunkan sebuah keranjang bambu besar dari gendongan punggungnya dan meletakkannya ke atas timbangan.

"I-in-ini?" hanya itu kata yang meluncur keluar dari hasil pergerakan lidahku yang kaku. Lagi-lagi, dia hanya tersenyum untuk menjawabku.

"Hm? Tujuh kilogram? Tidak buruk! Baik, kuterima! Mundur kau, lelaki tua!" teriak si penjaga. Wajahnya yang semula mirip katak lapar, berangsur berubah menjadi mirip katak kasmaran.

Dan orang itu pun pergi setengah berlari, meninggalkanku yang belum siap mengucapkan terima kasih.

Aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Aku tak mengenalnya. Selama ini, aku menjauhkan diri dari keramaian bahkan warga desa lain. Namun, dia, yang sudah pasti tidak mengenaliku, datang menyumbangkan kurmanya dalam jumlah banyak secara cuma-cuma. Terlebih, penjaga istana menerimanya tanpa mengumpat seperti biasanya? Apakah ini keajaiban yang tengah dihadiahkan oleh Tuhan?

Tak lama setelahnya, berbondong-bondong orang datang membawa dan menyerahkan kurma-kurma mereka ke penjaga istana. Puluhan orang datang, tapi dia tidak ada. Di mana dia? Apakah dia sudah pergi ke desa atau bahkan negeri seberang? Satu, tiga, setengah, seperempat, sepersepuluh, satu setengah, dan sedikit demi sedikit warga desa berdatangan menyumbangkan kurma-kurmanya, hingga akhirnya terkumpul sebanyak 127 kilogram. 

Si Tuan itu... Mungkin, sebetulnya aku tidak betul-betul bertemunya tadi pagi. Mungkin, aku telah berhalusinasi karena terlalu mengharapkannya secara berlebihan selama ini. Namun, aku yakin dahiku ini tidak menabrak tanah ketika aku tersandung batu. Aku yakin telingaku mendengarnya menyebut namaku. Aku yakin hidungku menghirup aroma tubuhnya yang maskulin ketika aku bersandar di bahunya. Aku juga yakin mataku melihat wajahnya yang terbebas tanpa topeng penghalang, memamerkan wajahnya yang sarat akan keteguhan. Dan aku yakin mata elang itu menatapku sayu. Namun, aku juga cukup yakin, dia tidak muncul bersamaan dengan kerumunan orang-orang desa yang berdatangan ke meja pelaporan di depanku ini.

Aku masih di depan meja pelaporan. Memandangi setiap orang yang datang, mendelik bulat dan menghitung dengan kewalahan setiap angka yang muncul dari timbangan. Sepertinya, kurma-kurma itu sudah berhenti berdatangan dan...

"Hm, 163 kilogram, bocah! Apa kau punya 37 kilogram sisanya?" ucap si penjaga dengan tatapan sinis. "Kau tak ingin diseret ke hadapan Tuan Muda Archantan dan dihadiahi hukuman menyedihkan bukan, bocah hutan tolol sialan tak tahu diri?"

Aku tak tahu harus menjawab apa, maka aku hanya memperdalam tundukan kepalaku.

Braaakkk!

Dari belakang petugas katak itu, muncul seseorang berkulit tan, mengenakan baju seragam yang sama dengan petugas yang sekarang terkesan tengah menjarah ini.

"Hoi! Zabrintan! Apa kau sedang menjarah kurma warga?" tanya orang yang baru datang itu dengan wajah kesal.

"Apa masalahmu, Khais? Ini bukan urusanmu!" jawab si petugas wanita berwajah katak yang ternyata bernama Zabrintan itu.

"Justru karena ini bukan urusanku! Seharusnya kau tidak membuatku kerepotan dan terlibat dalam urusan penjarahanmu! Katak sialan!" jawab penjaga Khais.

Aku tidak mengerti, sama sekali, apa yang sedang mereka bicarakan. Aku sangat ingin melarikan diri dan berlari ke arah jam 4 di mana di sanalah si lelaki "Tuan Entah Siapa Namanya" berjanji menungguku tadi pagi. Aku pun mulai merasakan kegetiran yang lain, ketika aku teringat bahwa lelaki itu sudah pergi dan mungkin sudah digantikan oleh orang-orang lain yang sedari tadi menonton upacara penimbangan kurma untuk kasusku. 

Aku tahu tempat arah jam 4 itu tidak kosong, mungkin sejak aku baru mulai mendekati meja pelaporan untuk menyerahkan setengah kilogram kurmaku. Aku mulai penasaran siapa gerangan orang yang memiliki sangat banyak waktu untuk bergeming sepanjang waktu memandangi punggungku dari kejauhan dari tempat itu. Ketika aku menoleh sempurna ke arah jam 4, aku menemukan dia.

Dia? Tuan itu? Lelaki yang kucinta, yang pendiam dan bermata elang itu? Namun, aku yakin, bahkan sangat yakin, aku tidak menemukannya ketika aku sampai di sini dari mengambil kurma. Apakah dia baru datang lagi? Namun, ekor mataku menangkap bayangannya sedari tadi. Dia sepertinya di sana sepanjang waktu. Jadi, mungkinkah dia betul-betul tidak ada selama beberapa saat, lalu ada lagi dengan tiba-tiba? Atau aku yang tadi tidak melihatnya? Aku mulai bingung. 

Aku tidak tertarik lagi mendengarkan dua orang petugas istana yang tengah bersitegang di depanku. Aku hanya tertarik pada lelaki itu. Aku memandanginya, nyaris tidak berkedip. Dia berdiri di sana, di tempat yang sama, sejak aku jatuh di punggungnya berjam-jam yang lalu. Jubah coklat kumalnya, berkibar-kibar sesekali menyapu tanah berpasir yang mulai basah karena ternyata gerimis mulai menghadir. Mataku mulai pedas, mungkin karena gerimis, mungkin karena lelah menangis, atau mungkin karena lupa berkedip.

"Bisa kau perjelas, Khais?" tanya Zabrintan.

"Puluhan warga mendatangi mejaku! Membawa satu dua butir kurma, yah walaupun ada beberapa orang yang membawa satu karung. Ini sangat menjengkelkan, Zabrint. Kau harus mengurus 50 kilogram kurma di mejaku itu! Sekarang juga!" ucap Khais cepat dan tanpa jeda.

Apa artinya ini? Apakah orang-orang yang lain juga datang --ke meja pelaporan yang salah-- menyumbangkan kurma untukku? Aku melirik ke arah jam 4. Dia tersenyum. Lelaki yang sedari tadi diam di sana, tersenyum kepadaku. Apa semua itu ulahnya? Namun, dia tidak beranjak sedikit pun. Mungkin. Aku sangat yakin. Mungkin. 

Zabrintan cukup tercengang mendengar ucapan Khais. Matanya terbelalak sempurna, dia berkali-kali memandangiku berganti ke Khais, ke 163 kilogram kurma di meja pelaporan, ke Khais lagi, lalu ke aku, dan begitu seterusnya. Hingga akhirnya dia angkat bicara, "Baiklah, baiklah. Kau boleh pergi, bocah! Dan kau Khais, bawa kurma-kurma itu ke sini!" 

Mata Zabrintan berbinar-binar. Aku tidak tahu ada petugas istana sangat menyukai kurma hingga seperti itu. Tunggu dulu... Bukankah dia membebaskanku? BEBAS? 

Saat itu juga, aku tidak dapat mencerna apa yang kurasakan. Aku hanya merasa tubuhku seringan kapas, lantas terbang dengan sendirinya menjauhi meja pelaporan yang auranya seperti kandang buaya. Aku seperti terbebas tanpa syarat dari vonis hukuman mati yang beberapa menit lalu masih mengancamku. Aku sebetulnya tidak tahu hukuman berat apa yang akan kuterima dari Tuan Muda Archantan ketika aku ditangkap ke dalam istana. Namun, rumor yang beredar mengatakan bahwa tidak pernah ada satu orang pun yang kembali lagi, seperti ayahku. Dan apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku harus meminta petugas istana Zabrintan atau Khais yang baru kulihat ini untuk membebaskan ayahku? Atau mungkin, pertama-tama, aku harus mendatangi semua warga desa untuk berterima kasih?

"Sepertinya kau sudah mengurusnya dengan baik, Shadrina?" suara seseorang dari belakang membuatku tersadar dari pikiran-pikiranku. Aku belum siap berbalik untuk menghadapinya, apalagi menginterogasinya. 

"Apa sekarang kau mengabaikanku, Shad?" tanyanya lagi. Aku terkejut karena tiba-tiba sekarang dia sudah berada di depanku.

"Bukan begitu, Tuan. Saya hanya bingung. Ini adalah hari yang sangat gila. Saya dihukum. Lalu Anda datang. Saya berlarian menembus belukar. Ketika kembali, Anda hilang. Orang-orang desa datang membantu saya. Anda muncul lagi dan sekarang memanggil saya dengan panggilan yang... yang sama dengan panggilan yang hanya diketahui oleh Ayah dan adik-adik saya. Saya pikir saya sedang tidur dan bermimpi yang sangat panjang," kataku. Aku tidak peduli bagaimana penampakan wajah kebingunganku saat ini. Aku hanya lelah dan ini semua membuatku lemas.

"Duduklah," lagi-lagi dia dapat membaca pikiranku. Dia menuntunku untuk duduk di sebuah bangku panjang, membuatku berteduh dari hujan gerimis yang mulai mereda. Tampaknya, langit pun ikut bergembira atas kebebasanku.

"Kau terlihat sangat berantakan, Shad. Dan dalam keadaan seperti ini, aku ragu kau dapat mendengarkan apa yang akan aku katakan dengan tenang. Apa kau mau beristirahat dulu?" tawarnya. Ada nada cemas dalam setiap kata yang diucapkannya.

"Tidak. Saya ingin Anda mengatakan apa yang ingin Anda katakan. Saya akan berusaha mendengarkannya dengan baik," tentu saja aku tidak mau menundanya lagi. Andaikan kelelahan mampu membunuh seseorang, aku yakin --untuk saat ini-- rasa penasaran lebih mampu membunuhku, karena demi Tuhan aku mulai merasa aku kehilangan kewarasan.

Dia menatapku, berpikir dalam, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Baiklah. Mulai dari mana?"

"Nama Anda," jawabku cepat.

"Namaku? Aku tidak yakin aku memiliki nama pasti, tetapi saudaraku memanggilku Sadid. Pertanyaan selanjutnya?" jawabnya cukup jelas. Namun, ini juga mengundangku untuk menanyakan hal lain kepadanya.

"Mengapa nama Anda tidak pasti?" tanyaku akhirnya, penasaran.

"Aku kira kau punya pertanyaan lain yang lebih ingin kau ketahui jawabannya tadi? Seperti bagaimana aku muncul? Atau... apa saja tadi hal-hal yang membuatmu bingung?" tanyanya setengah tertawa.

"Ah ya. Maaf," aku sedikit malu karena tetiba berbelok dari fokus pembicaraan. Lelaki ini memiliki rahasia? Namun, akhirnya aku kembali ke jalur kebingunganku dan bertanya, "Mengapa Anda tiba-tiba muncul? Lalu hilang? Lalu muncul? Lalu... yah..." aku sendiri bingung bagaimana merangkai pertanyaan ini.

Dia tersenyum, "Apakah aku seperti hantu? Oh ya, aku bukan Tuanmu dan aku tak memiliki ketertarikan dengan kehormamatan, jadi panggil aku Sadid, jika kau mau." Aku mengangguk. "Bagus, Shad. Baiklah, aku tiba-tiba muncul, ya? Apa kau kaget? Hahaha," dia terus saja mengatakan hal konyol dan ini membuatku jengkel.

"Baiklah, baiklah. Aku akan mengatakannya padamu. Aku sedang melaksanakan tugasku, mengamati seseorang. Ya, aku seorang mata-mata, Shad. Lalu, tiba-tiba kau datang beradu mulut dengannya atau tepatnya dia yang mengataimu habis-habisan dan mengajukan denda yang tidak masuk akal. Setelah itu kau melangkah dengan gerakan yang aneh dan tiba-tiba kau terjatuh begitu saja. Aku awalnya memang akan menangkapmu, tapi aku ragu dan akhirnya membalikkan badan. Ketika aku berbalik, kau menabrak punggungku. Seperti itu," jelasnya panjang.

Aku harus mencerna penjelasannya dengan cukup lama hingga akhirnya aku menyimpulkan, "Anda mengamati petugas Zabrintan? Anda... mata-mata? Oh Tuhan, pantas saja gerakan Anda sangat cepat seperti pendekar. Berupaya menolong seseorang lalu membatalkan keputusan itu dalam sekejap, saya kira tidak semua orang dapat melakukannya dengan lihai. Jangan-jangan Anda pembunuh bayaran?" jawabku. Aku sendiri terkaget dengan kesimpulan yang kudapat. Aku bergeser beberapa senti darinya, takut kalau-kalau tetiba dia membunuhku dalam satu tebasan. Walaupun aku tidak betul-betul yakin.

"Shad, aku tidak tahu, kehidupan semacam apa yang telah kau jalani selama ini hingga membuatmu seperti ini, tapi Demi Tuhan, kau harus mengurangi pemikiran bodoh itu dan aku bukan PEMBUNUH BAYARAN! Hahahaha," jawabnya diakhiri dengan tawa. Aku semakin tidak mengerti. Namun, aku bersyukur, aku tidak mencintai seorang pembunuh bayaran. Dia menambahkan, "Tapi, kau benar tentang petugas Zabrintan. Aku sedang mencari bukti atas tindak kejahatan pemerasan yang dilakukannya selama beberapa bulan ini. Aku sangat beruntung, tidak hanya barang bukti, hari ini sepertinya aku akan mendapatkan saksi mata juga."

"Jadi? Aku tak mengerti, Sadid. Bukankah dia hanya menjalankan perintah dan peraturan istana? Dan jangan katakan akulah yang kau bilang sebagai saksi mata!" timpalku.

"Akhirnya, kau memanggilku dengan namaku, Shad. Hahaha. Zabrintan? Taat peraturan? Dia membuat citra istana menjadi buruk dan tentu saja ini membuat Archantan terlihat seperti orang jahat. Kau tampak terkejut. Apa kau akan menolak menjadi saksi mata untuk membantuku menghukum tindakan buruknya?" tanyanya yakin. Matanya yang tajam seolah tengah meminta persetujuan dan sepertinya dia tidak menerima penolakan.

Ini memang terlalu mengejutkan. Ada dua cerita berbeda yang kudengar tentang Tuan Muda Archantan. Yang satunya mengatakan bahwa dia otak dari penjajahan di desa kami memiliki kegemaran menangkap orang-orang, tepatnya para kepala keluarga di desa kami. Namun, Sadid berpikir Archantan adalah orang yang dirugikan karena menjadi korban dari bawahannya sendiri. "Bukan seperti itu. Kukira, Tuan Muda Archantan adalah orang yang menyeramkan. Dia mengambil tanah kami, menjajah kami, membawa pergi kepala keluarga, menangkap ayahku dan masih banyak lagi. Aku semakin bingung, Sadid," akhirnya aku dapat mengatakan hal yang mengganjal di pikiranku selama ini. 

Sadid tercengang. 

"Aku tak menyangka, salah seorang warga desanya menyebutnya seorang penjajah. Archantan yang malang. Ck. Ck. Ck." Sadid menggeleng-gelengkan kepalanya lalu, "Bltak!" dia menjitak kepalaku. 

"Aw! Apa yang kau lakukan!" teriakku sembari mengusap ubun-ubunku yang sakit. Dia betul-betul mengerahkan seluruh tenaganya dalam jitakan itu. Aku sampai meringis menahan sakit hingga sedikit air mata terbentuk di mata kiriku. Apa yang salah dari kata-kataku? Aku hanya berkata jujur. Aku juga ingin tahu apa yang terjadi pada ayahku. 

"Sepertinya, aku butuh waktu seharian untuk menjelaskan semua kesalahpahaman ini padamu. Archantan, dia adalah putra dari kerajaan yang menaungi desamu. Dengan kata lain dia adalah pangeran, uhn, putra mahkota lebih tepatnya," kata-katanya sukses membuatku tercengang. "Boleh kulanjutkan?" tanyanya dan aku hanya mengangguk, lalu tertunduk. Aku terserang malu. 

"Sebenarnya, sudah waktunya dia naik takhta. Namun, suatu hari ketika dia sedang melakukan perjalanan, ya dia memang suka jalan-jalan, dia sampai di desa ini. Dia terkejut karena ini adalah satu-satunya desa yang tak memiliki kepala pemerintahan. Tak ada aturan, bahkan tidak ada persatuan dari para warganya. Mereka sangat tertutup dan menganggap setiap orang yang datang ke desa ini sebagai musuh. Salah satu contohnya adalah orang yang sedang di hadapanku sekarang," jelas Sadid. Aku celingak-celinguk dan sudah dipastikan tidak ada orang lain selain aku di depannya. Entah mengapa aku tidak menolak tuduhan itu.

Sadid kembali melanjutkan ceritanya, "Beruntung, Archantan tidak terbunuh waktu itu. Dia hampir saja terkena panah beracun dari salah satu warga. Kau tahu? Panah dari jarum kecil yang sudah dibubuhi racun lalu dimasukkan ke dalam senjata dari bambu, kemudian diarahkan dan ditiup ke target agar..." 

"Ya! Aku tahu! Aku juga menggunakannya untuk berburu! Dan lebih baik kau melanjutkan ceritamu yang penting saja, kukira, Sadid!" perintahku. Aku tidak tahu sejak kapan kami menjadi akrab seperti ini.

"Baiklah, jika kau memaksa, Shad. Archantan membujuk raja untuk menunda upacara kenaikan takhtanya. Dia ingin memperbaiki desa ini, ingin meningkatkan kesejahteraan warganya. Dia melihat potensi luar biasa dari desa ini. Kau tahu sendiri, bagaimana suburnya tanah dan ladang di sini. Bagaimana pandai dan terampilnya warga-warga di sini, walaupun aku agak ragu denganmu, Shad," perkataannya yang awalnya membuatku bangga akan desaku dan mulai membuatku berubah pikiran tentang Tuan Muda Archantan mendadak membuatku mendelik jengkel. Apakah dia menganggapku aku sebodoh itu karena aku hidup di hutan?

"Hahaha, aku bercanda, Shad. Maafkan aku. Singkatnya, Archantan berhasil membuat warga percaya kepadanya dan lambat laun semua permasalahan di desa dapat teratasi. Mereka tidak lagi menutup diri dan hubungan sosial mereka semakin baik. Kau dapat melihat mereka yang berdatangan untuk menyumbangkan kurma-kurma yang mereka miliki kepadamu bukan?" aku mengangguk kecil. Kini, aku sedikit terbebeni karena belum sempat berterima kasih kepada mereka.

"Selain itu kesejahteraan warga berkembang pesat. Archantan memiliki cara yang bagus untuk mengetahui kondisi setiap warga desa, yaitu dengan mewajibkan warga desa melapor tentang kondisi keluarganya. Namun, ada orang-orang seperti Zabrintan yang memanfaatkan kegiatan ini untuk menguntungkan dirinya sendiri. Kau sebagai salah satu korban, lebih tahu bagaimana detailnya. Hal inila yang membuat nama Archantan menjadi buruk di mata beberapa warga. Mungkin kau mendengar desas-desus buruk itu dari orang-orang yang menjadi korban Zabrintan. Kau masih ingat siapa yang mengatakannya padamu?" dia bicara dengan sangat panjang. Aku hampir tak dapat menangkap beberapa kata.

"Aku tidak ingat. Aku hanya dengar ketika melewati ladang. Lalu bagaimana kau menjelaskan penangkapan ayahku dan kepala keluarga lainnya?" inilah pertanyaan yang sedari tadi kunantikan jawabannya. 

Dia mulai diam dan menunduk. Aku sadar, dia mungkin sudah cukup lelah menjawab pertanyaanku. Namun, kali ini dia diam terlalu lama dan ini membuatku khawatir. Apakah dia akan menyampaikan kabar duka?

Setelah sebuah awan berganti bentuk dari seekor kelinci menjadi seekor katak --ini membuatku muak karena mengingatkanku pada petugas istana jahat yang memerasku, akhirnya Sadid mulai bicara lagi, "Kepala keluarga itu, mereka sebetulnya merupakan orang-orang yang berpenghasilan kurang sehingga dipekerjakan di istana. Archantan memberikan upah kepada mereka sehingga mereka dapat membiayai keluarga mereka. Dan..."

"Lalu, mengapa ayahku tak pernah pulang atau sekadar memberi kabar kepada kami?" aku semakin khawatir. Aku hampir menutup telinga. Aku takut dengan jawaban yang akan kudengat darinya dan aku memutuskan untuk menutup mata.

"Ayahmu. Dia... Aku minta maaf padamu karena tidak memberitahumu tentang ayahmu... Aduh. Bagaimana mengatakannya, ya?" Sadid terlihat bingung dan salah tingkah.

"Cukup. Aku belum siap mendengar berita buruk tentangnya," timpalku.

"Hm?" matanya yang tajam menyipit seiring dengan dahinya yang mengerut karena berpikir. "Aku tidak yakin ini kabar buruk atau baik, tapi..."

"Mana mungkin kematian ayahku sebuah kabar baik! Kau keterlaluan, Sadid!" tukasku. Aku mulai kesal. Aku tidak tahu jika lelaki yang kucintai ini tak memiliki hati seperti ini. Dia sama sekali bagaimana perasaan orang lain yang kehilangan orang tua dan menganggap hal besar seperti itu sebagai sesuatu yang tak penting.

"Astaga! Buruk sekali pikiranmu tentang orang tuamu, Shad! Ya Tuhan! Ayahmu masih hidup. Archantan sangat menyukai ayahmu dan menjadikannya sebagai informan tentang desa. Aku tidak habis pikir mengapa kau bisa begitu berbeda dengan ayahmu yang tenang dan berpikir panjang," jawabnya dengan keras. Sekarang, dia yang terlihat kesal denganku. 

Ya Tuhan! Aku betul-betul anak tidak tahu diri. Ayah maafkan aku. Terlepas dari rasa bersalah itu, aku sangat lega karena ayahku masih hidup. Aku tak mampu berkata lebih banyak. Hanya lelehan air mata yang dapat kutumpahkan sebagai rasa syukur dan bahagia. Samar-samar, aku melihat semburat senyuman di wajah lelaki di depanku. Dia terlihat semakin tampan.

"Apa kau sangat senang? Atau kau sedih karena ayahmu..."

"Tentu saja aku sangat senang, bodoh!" potongku. Aku tanpa sadar mengatai Sadid dengan kata tidak sopan dan aku terlalu sibuk dengan rasa bahagiaku sehingga aku tidak sempat untuk merasa malu apalagi meminta maaf kepadanya.

"Dan sekarang aku dikatai bodoh. Aku sepertinya akan marah dan pergi saja. Ini keterlaluan!" ancamnya, setengah serius.

"Tunggu dulu, Sadid! Aku masih punya satu pertanyaan!" cegahku sembari menarik jubah coklat kumalnya.

"Dan sekarang dia masih saja menanyai orang yang dibilangnya bodoh ini. Aku tidak habis pikir!" jawabnya. Aku yakin dia hanya menggoda.

"Baiklah aku minta maaf, Sadid."

"Kau tidak memanggilku Tuan Muda dan menangis-nangis lagi seperti tadi pagi, ya? Itu lucu loh," timpalnya.

Dan kali ini aku yang tidak habis pikir, lelaki bermata elang yang telah membuatku jatuh cinta sejak pandangan pertama ini, tetiba sangat jauh dari kesan mengagumkan dan meneduhkan seperti yang aku kira pagi tadi. Namun, aku menikmati obrolan santai ini. Dia tidak sedingin yang aku kira. Ini menyenangkan.

"Diamlah dan jawab saja pertanyaanku..." 

"Kau tidak bisa menyuruhku diam dan menjawab secara bersamaan. Pilih salah satu, Shad!" Oh, dia sangat cerewet.

"Baiklah, tolong jawab saja pertanyaanku. Bagaimana kau tahu namaku?"

"Ayahmu yang memberitahuku tentu saja, siapa lagi? Kau lucu, hahaha."

"Lalu bagaimana kau dapat mengenali wajahku ketika kita baru saja bertemu di alun-alun ini?" tanyaku semakin introgatif.

"Tentu saja aku mengenali wajahmu. Terus mengawasimu selama di hutan membuatku hafal wajah polosmu dan..." tiba-tiba dia terdiam. Matanya melotot menganalisis reaksi wajahku yang terkaget mendengar jawabannya. Sedetik kemudian, dia sudah memalingkan wajahnya yang memerah. Aku tidak tahu seorang lelaki juga dapat merasa malu dan salah tingkah seperti itu. Hah? Dia salah tingkah? Bukankah seharusnya aku yang malu dan salah tingkah?

"Dan apa? Sadid?"

"Dan sudah itu saja." 

"Kau curang, Sadid!"

"Jangan memaksaku untuk mengatakannya, Shad. Aku tidak akan mengatakannya, meskipun tiba-tiba bulan jatuh sekalipun."

Ketika kami mulai menghadapi kekakuan seketika dalam perbincangan ini, tetiba datang beberapa orang petugas ke arah kami. Namun, mereka melewati kami hingga sampai ke meja pelaporan di mana Zabrintan sedang sibuk mengepak kurma-kurma. Aku dan Sadid saling pandang, sepertinya kami memikirkan hal yang sama, 'Menyerahlah kau Zabrintan!'

*****

"Sadid," panggilku.

"Hn?" jawabnya singkat sambil menyesap teh yang kuhidangkan untuknya. Kami berdua memutuskan untuk kembali ke hutan dan mengistirahatkan diri di gubuk karena sore sudah mulai datang dan aku harus menyiapkan makan untuk adik-adikku. 

"Jika dipikir-pikir, kau memanfaatkanku untuk menangkap Zabrintan, ya?" sontak Sadid terbatuk, tersedak oleh air seduhan teh yang belum sempat meluncur melewati kerongkongannya. Aku menganggapnya sebagai sebuah jawaban 'ya'. "Jadi, kau sengaja membiarkanku diperlakukan seperti itu? Kau tahu dan diam saja? Jangan-jangan, kau sudah merencanakannya?" tanyaku membabi buta.

Dia masih terbatuk-batuk sembari memukul-mukul dadanya. Aku sedikit kasihan, tapi aku juga ingin sedikit menjailinya. Maka aku tak mengubah tampang marahku untuk membuatnya terintimidasi.

"K-kau salah paham, Shadrina! Aku terus mengawasimu! Tentu saja," jawabnya sambil mengalihkan pandangannya ke kiri, menatap awang-awang atau sarang laba-laba yang awut-awutan di sudut gubuk?

"Kau bohong!" timpalku. Dia selalu mengalihkan pandangannya dariku ketika dia berbohong. Aku sudah dapat menandai dan menafsirkan kebiasaannya. "Kau meninggalkanku entah berapa lama, ketika aku baru saja mengambil kurma!"

"Tentu saja aku tidak bohong! Aku tidak betul-betul meninggalkanmu saat itu, Shad. Kau pikir aku tidak bosan menunggumu mengambil kurma? Aku hanya pergi sebentar untuk memberi tahu warga... agar mereka membantu menyumbangkan kurmanya untukmu. Dan mana mungkin aku berani meninggalkan orang yang aku sayangi dalam bahaya!" jelasnya panjang, lebar, dan mengejutkan. Dia...dia menyebutku orang yang apa???

"Hehe. Aku tahu, kau tidak bohong, tapi aku baru tahu kalau kau mudah keceplosan juga, ya?" jawabku canggung.

Aku dapat melihat wajahnya mulai bereaksi, memerah lebih merah dari saat di alun-alun. Mungkin dia betul-betul keceplosan mengatakan perasaannya. Namun, tiba-tiba dia menjawab, "Tidak keceplosan, kok. Archantan memang orang yang sangat aku sayangi! Artinya, jika aku meninggalkanmu, aku mungkin membiarkannya dalam bahaya juga. Tidak langsung, tapi ya begitulah..."

"APA???" teriakku kaget. Aku ingin pingsan saja rasanya. Aku tidak menyangka. Aku tidak peduli betapa dia tergagap dalam menjawabku. Namun, aku cukup sedih dan kaget ketika dia menyebut Tuan Muda Archantan, laki-laki penjajah itu, sebagai orang yang disayanginya. Dia menyukai seorang laki-laki? Dunia serasa runtuh.

"Dia saudaraku," ucapnya sambil tersenyum lembut.

"Heh??? APA LAGI INI???" 

"Saudara kembar, tepatnya! Kau harus menyebutkannya dengan betul, adikku, Sadid." 

Kali ini bukan Sadid yang menjawab. Seseorang dengan suara yang hampir mirip dengan Sadid tiba-tiba muncul dari pintu depan. Dia mengenakan sorban dan topeng kain yang menutupi setengah wajahnya. Aku dapat melihat mata Sadid dari mata orang itu. Mata setajam mata elang yang sama, dengan mata Sadid, tapi cahayanya terlihat jauh lebih meneduhkan dibandingkan Sadid. 

"Ini pangeran Archantan, Shad," seseorang yang lain memasuki gubuk. Aku sangat mengenali suara dan irama langkah kaki orang ini. Seseorang yang sangat kurindukan kehadirannya setiap pagi dan malam selama tiga bulan lalu, ayah. Ayahku pulang. Ayah kami pulang! Terima kasih, Tuhan. Ini hari Minggu yang bersejarah. Aku dan para adikku pun berlari menghambur ke arahnya, memeluk setiap inchi tubuhnya yang dapat kami peluk.

"EHEM! EHEM! Aku masih ada di sini loh," Sadid berdehem memecahkan suasana suka cita kami.

Dan aku teringat satu hal, "Sadid! Kau berutang satu penjelasan!"

"Apa lagi?" tanyanya jengah.

"Mengapa kau bilang kau adalah seorang mata-mata untuk Tuan Muda Archantan? Kau bohong lagi!" tanyaku menyudutkannya. Sadid hanya meringis kebingungngan dan berjalan ke sana-ke mari hingga berhenti di ambang pintu.

"Aku bingung menjelaskannya, tapi kukira Archantan dapat menggantikanku menjelaskannya kepadamu. Kalau begitu, aku pergi dulu. Sampai jumpa, Shad. Aku akan kembali menemuimu lagi nanti!" dan dia menghilang dengan seketika dari pintu gubuk kami.

Apakah aku kehilangan dia? Apakah aku membuatnya pergi? Apakah aku menanyakan hal yang salah. Tanpa terasa, sebutir air mata meluncur di pipi kiriku. Baru saja aku merasakan kebahagiaan sempurna dengan kembalinya ayah dan mendengar pengakuan sayangnya, dalam sekejap aku harus segera kehilangan salah satunya dan itu karena pertanyaan bodohku. Aku belum memastikan satu hal, tentang pengakuan itu. Apakah rasa sayang itu memang hanya untuk saudara kembarnya? Namun, sepertinya dia tak akan dapat menjawabnya untukku. Dia sudah pergi.

Puk. 

Aku merasakan sebuah tepukan di bahu kananku. Ternyata Tuan Muda Archantan pelakunya. "Tenanglah, Shadrina. Sadid bukanlah orang yang tidak memenuhi kata-katanya. Dia pasti akan kembali jika dia telah berkata demikian. Lagipula, dia tidak mungkin meninggalkanmu semudah itu."

"Mengapa begitu, Tuan Muda," tanyaku lemah, tapi penasaran.

"Kau tahu, Shadrina? Hanya ada dua orang yang dia izinkan untuk menyita perhatiannya. Kau salah satunya. Dia tidak pernah menjaga seseorang hingga mempertaruhkan kebebasannya seperti itu, kecuali dia menginginkannya," jelas Tuan Muda Archantan. 

Setelah mendengar pertkataan Tuan Muda Archantan, aku merasa seperti ada kupu-kupu yang tiba-tiba terbang membuncah mengeliliku. Perutku terasa geli dan jantungku berdebar tidak karuan. Aku menjamin, aku terlihat seperti Majnun yang tergila-gila kepada Laila, lalu menjadi gila. Namun, kegembiraan itu sirna seketika ketika aku teringat Sadid telah pergi tanpa tahu kapan dia kembali.

"Tuan Muda, jika dia menganggapku orang yang sedemikian istimewa, mengapa dia pergi?"

Tuan Muda Archantan mendesah panjang, lalu berkata "Aku sudah bilang bukan? Dia orang yang sangat menyukai kebebasan dan tidak suka terlibat dalam urusan orang lain. Itulah yang menyebabkannya pergi dari istana dan memilih hidup melanglang buana ke seantero negeri. Sekarang dia pergi karena ada aku di sini. Hahaha."

"Bukankah dia sangat menyayangi Tuan Muda? Mengapa dia tidak ingin di samping Anda?"

"Karena dia berbeda. Dia menyayangiku dengan menjadi bayanganku, melindungiku dan mengawasiku dari kejauhan. Sama seperti saat dia menjagamu di dalam hutan selama ayahmu tinggal di istana. Dia tidak pernah memunculkan diri, tapi dia tidak akan pergi meninggalkan orang yang dia sayangi," jawaban Tuan Muda Archantan betul-betul membuatku merasa istimewa karena telah mencintai dan disayangi oleh lelaki seperti Sadid.

Satu lagi pertanyaan, "Lalu mengapa dia tidak pernah mengakuinya..me-mengakui..."

"Sayangnya kepadamu, Shadrina?" tebaknya. Aku mengangguk malu. "Hahaha. Itu karena dia..."

"SANGAT PEMALU!!!" teriak Tuan Muda Archantan dan ayahku bersamaan.


MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...