Monday 31 August 2015

Patah Hati

Aku tak mungkin dapat memberitahumu, bahwa kau lah yang membuatku patah hati. Bahwa aku semakin tak leluasa bercakap denganmu. Bahwa mulai sekarang aku harus meminta izin jika ingin berada di dekatmu. Bahwa aku salah sangka, menganggapmu orang yang merasakan hal yang sama denganku, karena hingga kini pun memang hanya aku yang membutuhkanmu untuk mengobati kesepianku, keantisosialanku.
Kukira, kita memiliki hubungan lebih dari sekadar saling mengenal. Kukira, kita seperti anggota tim yang saling mengandalkan. Namun, ternyata kita terhubung hanya karena satu topik. Aku tentang itu dan kau tentangnya. Aku yang terus-menerus memaksa bahwa kau adalah sahabat, bahkan setelah aku tersadar bahwa kau tak pernah mengingatku ketika kau bersedih apalagi berbahagia. Aku tak pernah mendapat kabarmu, dan aku tak mampu terus-menerus menjadi pencari kabarmu. Kau kira aku tak punya rasa malu dan tahu diri?
Aku ingin kita membahas lebih dari satu topik. Namun, tampaknya kau tak pernah percaya dan mengingat bahwa aku juga ada untuk mendengarkanmu. Kupikir kau memang tak pernah menganggapku lebih dari orang biasa yang sesekali lewat di depan jendela untuk sekadar disapa. Bahkan mungkin aku lebih tidak spesial dibandingkan orang lewat itu, bukan?
Ah, pokoknya aku patah hati. Kau kini dengan duniamu sendiri, dengan duniamu yang penuh cinta dan interaksi intens yang tak mampu kucolek barang sedetik. Karena aku bukan siapa-siapa, sangat bukan siapa-siapa. Hanya seonggok manusia biasa yang merindukan seorang sahabat, mengira telah menemukan satu, tapi ternyata hanya bertepuk sebelah tangan. Bukankah ini menggelikan?

Thursday 27 August 2015

Jatuh Sayang

Jatuh tetaplah jatuh, apa pun bentuk dan sebabnya. Dia lebih banyak menyakitkan, alih-alih menyenangkan. Meskipun itu sebuah jatuh sayang, meskipun itu sebuah jatuh cinta, tetapi pada akhirnya yang mengalami sayang dan cinta itu pasti jatuh pada waktu yang telah ditentukan. Kapan jatuh? Kapan sakit? Kapan tak terobati? Ada saatnya. Tuhan tak akan pernah membiarkan kita lulus ujian tanpa adanya sebuah ujian bukan? 

Aku pernah jatuh cinta. Aku tidak menyangkal, karena mencari-cari alasan bukanlah keahlianku. Aku pernah terjatuh dari sebuah rasa cinta impulsif imajinatif. Jatuh ke dalam lubang kebahagian tak berdasar yang ternyata, jika kau berlama-lama di dalamya,  dapat membuatmu merasakan sebuah kejatuhan yang gelap dan sepi yang dapat membuatmu bosan akan sebuah ketidakberujungan atau malah mati akibat rasa bosan yang timbul dari ketidakberujungan tersebut.

Untuk itu, aku semakin berhati-hati dalam berjatuh cinta atau mengaku bahwa aku jatuh cinta. Aku tak ingin mengalami kepedihan yang berlarut-larut karena entah mengapa, selalu saja ada ketidakbahagiaan setiap kali aku meyakinkan diri bahwa aku sedang jatuh cinta. Bukanlah kata orang-orang cinta itu menyenangkan? Maka jika aku tidak merasakan kesenangan dan kebahagiaan, bukankah itu berarti bahwa aku sebetulnya tidak sedang jatuh cinta? Cinta tidak membuatmu terkapar dalam kesedihan, kata mereka?

Baiklah. Suatu hari, aku menyederhanakan definisi jatuh cinta itu, menurunkan kadar cinta berlebih di dalamnya, mengubah namanya menjadi jatuh sayang. Aku sayang kepada beberapa orang karena mereka membuatku sayang kepada mereka, tanpa alasan, tanpa penjelasan. Hnn. Sebetulnya, tentu saja tak ada hal yang tercipta tiba-tiba. Tak ada, melainkan karena adanya sebuah alasan. Namun, berapa kali pun aku mencoba mencari alasan itu, sebanyak kali itu pula aku gagal menemukan alasan yang tepat untuk mendukung jatuh sayangku itu.

Jauh di dasar perasaanku, sayangku pada diriku sendiri, jelas sekali lebih besar dari pada rasa sayang kepada siapapun di dunia ini. Betul sekali, rasa sayang berlebihan yang menimbulkan keegoisan dan kesombongan hati ini, mengendap lekat hingga alam bawah sadarku, hingga lama-lama tak mampu dikikis, hingga lama-lama sengaja dibiarkan mengerak tanpa disertai inisiatif akan sebuah perlawanan. Dengan ini, mungkin kau menangkap satu hal, bahwa terlalu sulit bagiku untuk merasakan sebuah rasa sayang kepada orang lain. Jika aku sayang, aku akan menyayanginya dengan sepenuh hati, dengan tak perlu bermodalkan nyali, dengan tak perlu dekat-dekat mengamati, dengan tak perlu meminta mereka menyayangiku kembali. Sekali saja aku mengunyah rasa sayang itu, aku akan mengulumnya dengan hati-hati. Dengan tanpa kekerasan meniupnya hingga menggembung menyerupai gelembung karet yang tampak tipis, tetapi kuat dan nyaris sulit untuk melenyap. Aku tak akan membuangnya, seperti sisa permen karet yang kutempelkan ke dalam saku celanaku, menyimpannya dengan cara jorok, tetapi aku tidak akan pernah kehilangannya, kecuali aku berniat untuk membersihkannya.

Namun, semakin tua umurku di dunia, semakin aku menyadari bahwa perwujudan rasa jatuh sayang yang aku lakukan terlalu berlebihan. Mungkin sebaiknya aku tidak perlu mengalami jatuh sayang. Mungkin lebih baik aku memeriksa ratusan kali alamat di mana aku menjatuhkan sayang. Mungkin aku tidak seharusnya memilih satu atau dua orang untuk dijatuhi sayang karena mereka tidak akan mampu menerima atau merasakan rasa sayangku yang sewarna angin, semanis air, dan seharum melati yang gugur. 

Aku pernah memiliki satu alamat yang kukira tepat untuk kukirimi salam. Pemiliknya bukan orang yang biasanya dapat aku dekati. Dia bukan orang yang dapat kujangkau, tapi entah mengapa dia membiarkanku berupaya menjangkaunya. Menyodorkan diri, tapi tak sudi membiarkan jemariku untuk sekedar menyentuh bayangannya. Bukankah ini hal yang tidak dapat kau mengerti dengan akal sehat, maupun akal sakit? Aku pun demikian. Aku tidak mengerti dan tidak memiliki keinginan untuk mengerti. Aku hanya ingin menjatuhkan sayangku. Aku hanya ingin menyentuh bayanganmu. Aku hanya ingin mencoba memaksakan diri hingga tetes terakhir keringatku dapat mengucur. Namun, lagi-lagi aku tersadar dengan cara yang tidak lembut sama sekali. Sebuah tamparan panas dan cepat dihadiahkan oleh waktu, disaksikan oleh pembukti takdir Tuhan, untukku yang terlalu sibuk berkelana dalam dunia tanpa udara, hanya untukku yang tak bisa membedakan antara rasa sayang dan obsesi yang terencana.

Aku sebaiknya menceramahi diriku sendiri dengan materi butir-butir hukum Tuhan dan alam. Tidak untuk waktu cepat, tidak untuk waktu yang lambat, tidak untuk tidak dilakukan.

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...