Friday 28 November 2014

Mencabut

Puluhan tahun hidupku kuhabiskan dengan mendengarkan banyak suara serupa ocehan, membaca banyak opini yang belum tentu berteori, dan menyimak gerak-gerik para orang sunyi juga berisik. Apa yang kudapat dari ketiganya bukanlah hal yang kasat terlihat. Terkadang aku mendapat paket kejutan berupa ilusi dan mimpi, yang sudah pasti tidak dapat dilacak siapa pengirimnya. Terkadang, aku mendapatkan tiket gratis untuk mengunjungi taman imaji, yang sebetulnya tidak boleh dimasuki oleh orang sehat pada umumnya. Terkadang, aku mendapatkan kesempatan untuk meniti di atas titian bambu setebal kertas tisu, lalu aksiku disaksikan oleh punggung-punggung orang-orang, yang tak berwajah. Terkadang, aku mendapatkan surat kaleng yang sengaja dikirimkan ke alamat yang salah, agar sampai ke tanganku ratusan hari kemudian. Terkadang, aku mendapatkan pelajaran yang menurut orang lain tak cukup berharga untuk dinobatkan sebagai sebuah pelajaran. Terkadang, aku mendapatkan cinta dan kasih dari orang-orang yang tak diduga akan memberikannya kepadaku. Terkadang, aku mendapatkan serangan jatuh cinta lebih dari dua kali dalam sehari pada mereka yang sangat sunyi dalam beraksi. Terkadang, aku mendapatkan petunjuk agar aku berhenti melakukan ketiga aksi itu: dengar, baca, dan simak.
Barangkali aku terlalu asyik, hingga sepertinya melupakan sebuah kunci juga ciri-ciri diri, sebanyak berkali-kali, bahkan lebih sering dari terkadang itu sendiri. Barangkali, aku harus mulai percaya pada angin, bahwa ia tak pernah bermaksud membunuh sebatang pohon meski terus menerus menggugurkan dedaunannya. Barangkali, aku harus merelai kemestian mengusirku dari lingkaran usia, yang seharusnya telah kutinggalkan sedasawarsa lalu. Bagaimana pun, meneruskan ketiga aksi tersebut hanya akan menjagal langkah sendiri. Tak membuatku cepat mati memang, hanya saja kemungkinan membusuk pelan-pelan tak terelakkan. Oleh karena itu, aku berterima kasih kepada para pemberi petunjuk. Secara pahit, mereka membuatku ingin mencabut diri dan menanamnya ke lahan baru dengan lingkaran usia yang lebih padu. Satu harapku, semoga mereka juga bersedia menyirami dan memupukku suatu saat nanti. Ya, lebih dari sekadar menebarkan unjuk, tunjuk, dan petunjuk.

Thursday 27 November 2014

Sayang Mereka

Yosh. Setelah di pos sebelumnya, "Sayang", saya menyampaikan perasaan saya secara diam-diam, maksud saya tanpa menyebutkan nama sasaran sayang tersebut, akhirnya saya dapat menyampaikannya juga di tempat dan ke orang-orang yang tepat.

"Great.
Kekanca, gimanapun aturan, pasal, atau definisine, sing penting aku sayang kaliaaaaan, nggak pake boong, nggak pake pura-pura. Mumumuuu...
Btw, mohon doanya, semoga ini jadi semester pungkasan bagi yang belum pungkas, ya.
Doa terbaik juga untuk kalian yang tengah atau dalam tahap menapaki dunia karier.
Plus semangat untuk yang sedang rajin-rajinnya kembali belajar di strata 2 atau mengejar mimpi dengan lompat ke jurusan lain.
Kyaaaa.... "

Yeah, tentu saja tak berbalas. Namun, saya sayaaaang mereka. Btw, sekarang saya sedang left hampir semua grup WA. Hanya grup kosan, grup angkatan kampus, dan grup mantan divisi LDF yang masih say ikuti. Tidak ada alasan khusus untuk melakukan ini, sih. Ahahai.

Sayang

Aku paham kita masih belum dekat. Bahkan, mungkin aku hanya sekadar angin lewat. Namun, sampai kapan pun, aku sayang. Setidaknya, hatiku berkata demikian, meskipun otakku berteriak tidak karuan. Aku paham jika tanyaku terjawab dengan bungkam dan senyumku terhadiahi sebuah lengosan. Karena, besar kemungkinan, auraku masih sewarna aura orang asing yang berantakan, aku mafhum jika kedatanganku terdefinisikan sebagai kelabu yang harus segera melenyap tanpa jejak. Tenanglah, aku sudah tak mampu bersedih semenjak festival kembang api awal tahun kala itu. Pun lama-lama ragu dan malu meletup hilang bersamaan dengan bungkamnya teriakan setiap percikan api. Aku tak memiliki ketiganya sekarang. Bukan main berbedanya hawa yang mengasapi ruang hatiku, beberapa waktu belakangan. Tetap saja, sayangku tak akan seluruhnya hilang. Bagaimana pun, sayangku ini bagaikan pokok yang terhunjam kokoh, meski topan mengembusnya dan mengobrak-abrik seluruh penghuni lainnya. Aku cukup keras kepala dalam hal ini, tak kubantah. Namun, aku juga cukup keras dalam menyampaikannya, tak dapat kutolong. Hanya sedikit yang berhasil paham, itu pun dengan sedikit paksaan. Namun, jika suatu saat aku menghambur dengan terlalu gampang, lalu sekejap pergi tanpa berbasa-basi atau meninggalkan pesan kepergian, ini karena aku sayang. Sayangku tak butuh bantuan verba apa pun untuk mengartikannya. Sayangku, sayang yang melayang tanpa batasan tempat dan waktu, selagi otakku masih mampu bekerja, selagi hatiku masih mau merasa.

Sunday 23 November 2014

Hati, Patah

Sepertinya aku kembali patah hati
Karena terlalu memaksa menyimpan cinta
Untuk benda hidup yang tak ingin dicintai

Aku kira kami hampir mendekati dekat
Ternyata aku hanya orang lewat
Aku kira sayangku terkirim dengan tepat
Ternyata dia tersesat, pun salah alamat

Lagi-lagi aku salah paham
Aku kira kami cukup mungkin untuk bermain peran
Ternyata, sandiwara tak pernah menang dari hakikinya kenyataan
Formalitas tak 'kan pernah meleleh menjadi fleksibilitas
Kami tetap bagai dua kutub yang saling aku, tapi tak sudi duduk berdampingan

Aku tak menuntut koneksi
Aku tahu, ini arena sebelah sisi
Namun, tak kukira, adaku begitu asing
Di saat aku tengah girang, aku dapat berkisah dengan sering

Ini bukan tentang kisah cinta
Namun, ini patah hati dan aku memaksa
Rasanya sama seperti ketika dipatahkan oleh cinta
Rasa kosong yang mencabik, karena menjadi kepingan tak berhawa secara tiba-tiba

Dari awal aku salah
Mengira menaklukan macan yang belum pernah kukenal
Dan kini dinding kamar pun tak lagi mampu berpura-pura
Menertawai lambanku, menyadari kami, sesama sebatas pengguna jasa

Aku memang patah hati
Karena kukira satu-satunya yang tersisa
Telah menguap menjadi mendung yang tak akan menghujan turun
Namun, aku pemercaya lahirnya hal baik dari matinya hal, baik tak baik, yang lain

Hatiku masih luas
Patah satu teras, tak kan mati seluruh badan
Aku mengaku, lama-lama ia kebas
Mati rasa, tuna akan kepekaan
Namun, bagaimana pun, aku masih bersisa
Tak adil jika harus berhenti karena alasan sisa

Baik, mungkin harus lebih berhati-hati memberi hati

Saturday 22 November 2014

Salah Satu Rindu

Tentu saja, ada orang-orang yang merindu, tapi tak mau mengaku. Bisa jadi, bukan karena mereka tak rela malu, melainkan karena mereka percaya bahwa rindu bukanlah paket yang wajib dikirim ke penerima rindu, tepat alamat dan tepat waktu. Perindu terkadang memilih jalanan sunyi, melangkah pelan melompati biang berisik, sembari menanti sebuah perjumpaan di perpotongan jalan yang pasti. 'Cukuplah Tuhan yang Tahu,' batin mereka meyakini kepastian-Nya. Hanya saja, terkadang luput menggantung di kelopak mata, memaksanya tertutup barang sekejap, membuat mereka tak melihat apa yang berhasil dilihat oleh para pencuri lihat benda-benda rahasia orang-orang lewat. Mereka tahu, tapi banyak yang memutuskan tak mau tahu. Mereka tahu, lalu beberapa di antaranya diam menunggu. Mereka tahu, dan seperempatnya berkasak-kusuk mengembuskan berita busuk. Beberapa perindu mengaku memiliki strategi untuk menghadapi para pencuri. Sedangkan sisanya menggumam, 'Mungkin ini saatnya membunuh diri,' dalam geming. Namun, bagaimana pun, sampai kapan pun, rindu tak pantas dikambinghitamkan sebagai penyebab mati. Dia rasa yang terkadang berkawan dengan imaji, bukan benda tajam atau alat mematikan diri. Dan pemiliknya pun bukan narapidana yang harus diinterogasi apalagi dihakimi. Sebab Tuhan pun tak pernah bilang bahwa rindu dan merindu adalah benda ilegal atau kejahatan yang merugikan. Kukira keduanya merupakan hadiah dari-Nya untuk para makhluk yang dicintai-Nya.

Friday 21 November 2014

Wa Favorit

Barangkali, saya tidak akan pernah sampai di sini, di titik ini, jika saya memutuskan untuk tidak mau mengenalnya. Bagi saya, dia merupakan salah satu orang paling berpengaruh dalam perjalanan hidup saya. Dia bukan ayah saya, tetapi memori masa kecil saya dengan dan tentangnya jauh lebih banyak dan menyenangkan, jika dibandingkan dengan kerabat saya yang lain, bahkan mungkin dibandingkan dengan ketika dengan ayah saya sendiri. Saya memang tinggal bersama Romo, sapaan saya kepada ayah saya, tetapi ketika saya masih kecil, dia lah orang yang lebih sering menyengajakan diri untuk datang ke rumah kami dan bermain dengan saya. Romo memang lebih betah beraktivitas di luar rumah dibandingkan berdiam diri lama-lama di dalam rumah. Tidak hanya berkunjung, dia selalu membawakan saya hal baru yang membuat saya kegirangan. Tidak hanya berupa barang, tetapi juga pelajaran atau sekadar pengalaman. Dia adalah wa favorit saya. Wa nomor 1 di dunia.

Namanya Sidik. Saya memanggilnya Wa Sidik. Dalam bahasa jawa, wa merupakan sebutan untuk kakak dari ayah atau ibu. Semacam Pak Dhe atau Bu Dhe. Dia adalah anak ke-6 kakek dan nenek saya, dari pihak ibu. Dengan kata lain, dia adalah kakak termuda Mama, sapaan saya kepada ibu saya, karena dia lahir tepat sebelum Mama. Meskipun dia lebih tua dari Mama, tetapi dia tidak menikah lebih dulu dari Mama. Mama memang "melangkahi"-nya dalam urusan pernikahan, hanya dalam hal pernikahan. Menurut pengamatan saya, Wa Sidik merupakan kerabat yang paling dekat dengan Mama. Tidak hanya dalam hal jarak umur, tetapi juga dalam ikatan persaudaraan. Dia adalah orang pertama yang dicari oleh mama untuk dimintai tolong, orang yang sangat dapat kami, saya dan mama, andalkan dan percayai.

Dulu, ketika dia masih menjadi satu-satunya orang yang belum menikah di keluarga mama, dia merasa memiliki tanggung jawab paling besar terhadap kaki dan nini, kakek dan nenek saya. Meskipun dia sudah memiliki cukup uang untuk membeli atau membangun rumahnya sendiri, dia memutuskan untuk tetap tinggal bersama kaki dan nini, di rumah kelahirannya --juga saudaranya yang lain, di tengah desa Karangsari. Rumah itu juga merupakan kantor baginya. Di sana lah dia bekerja sepanjang hari, sepanjang waktu, dengan profesinya sebagai penjahit seragam sekolah.

Wa sebetulnya orang yang pandai. Dibandingkan dengan saudaranya yang lain, dia memiliki riwayat pendidikan paling baik. Dia merupakan lulusan STM Kebumen. Ya, lulus, di saat wa-wa yang lain hanya tertarik bersekolah hingga tingkat SD atau SMP. Mama sendiri hanya tamat MTS. Mama memutuskan untuk berhenti sekolah, ketika dia duduk di kelas 2 Madrasah Aliah. Kurang jelas apa alasan yang membuatnya berhenti. Namun dari apa yang saya tangkap dari ceritanya bertahun-tahun yang lalu, pada zamannya, banyak sekali anak perempuan yang lebih memilih untuk ngode (bekerja) atau menikah dini dibandingkan bersekolah hingga tingkat SMA. Berbeda dengan Mama, Wa merupakan orang yang konsisten dan sangat tertarik pada hal-hal yang sarat pengetahuan. Dia juga suka mempelajari hal baru. Dia terlihat sangat bahagia ketika menonton berita, untuk kemudian mendiskusikan isi berita tersebut dengan orang-orang yang menurutnya asyik diajak berdiskusi. Ketika saya belum kuliah dan masih tinggal di Kebumen, salah satu partner diskusinya adalah saya. Kami terkadang membangun dugaan-dugaan motif atau modus operandi dari sebuah kasus kriminal atau sekadar melontarkan opini ringan tentang kabar yang tak kalah ringan.

Wa cukup lama melajang. Entah karena tanggung jawabnya mengurusi kaki nini dan usaha keluarga (usaha jahit), entah susah menemukan wanita idaman, atau entah memang suka berlama-lama melajang. Dia menikah ketika saya duduk di kelas 3 SD, atau sekitar 11 - 12 tahun setelah Mama menikah. Saya sangat ingat hari itu, hari pernikahannya, di suatu Jumat yang cerah.


Hari Bersejarah Wa
Saya sedang belajar di dalam ruangan kelas 3 SDN 1 Karangsari, ketika tiba-tiba wali kelas saya memanggil saya. Beliau bilang saya harus pulang karena Mama menjemput saya. Saya deg-degan, penasaran, dan kegirangan. Itu adalah kali pertamanya saya dijemput dan diizinkan pulang di saat jam pelajaran tengah berlangsung. Saya tidak peduli apa alasan Mama menjemput saya lebih awal, yang penting akhirnya saya dapat mengalami dan merasakan bagaimana rasanya pulang cepat. Dari dulu, saya memang menantikan saat-saat seperti ini. Rasanya dijemput dan tidak mengikuti pelajaran seperti itu merupakan hal yang keren dan dapat membuat orang-orang penasaran, hingga membuat si anak yang pulang cepat menjadi pusat perhatian. Rasanya seperti menjadi orang penting yang dibutuhkan oleh dunia dan dinantikan kedatangannya di tempat lain selain sekolah. Setidaknya, itu yang saya pikirkan ketika saya melihat teman saya dijemput dan pulang di tengah pelajaran. Dengan cekatan, juga kepala yang memanas dan serasa menjadi lebih besar dari biasanya, saya segera mengemas buku-buku dan alat tulis saya, memasukkannya ke dalam tas yang besarnya melebihi besar tubuh bagian atas saya. Saya melenggang pergi, dengan dagu terangkat, meninggalkan teman-teman di kelas yang memandang saya penasaran hingga keluar kelas.Saya merasa menjadi orang spesial saat itu.

Di luar kelas, Mama sudah menunggu. Dia terlihat sedang terburu-buru, kemudian segera mencidukku, meletakkan saya di atas boncengan. Tidak ada banyak percakapan yang terjadi saat itu. Saya hanya diam dan manut (menurut), ke mana pun dia membawa saya pergi. Saya masih merasa keren karena dapat skip kelas. 

Akhirnya, saya tiba ke sebuah tempat yang saya kenal. Rumah Mba Sri. Di sana banyak sekali orang berkumpul. Mereka berbaju rapi. Beberapa wanita memakai make up tipis. Para orang laki-laki memakai baju batik dan kopiah atau peci. Saya masih tidak punya petunjuk tentang alasan di balik "penculikan" ini. 

Thursday 20 November 2014

Sajak

Sajakku berisi sekawanan kisah tragis yang manis. Mereka tumbuh bergantian, sudi berkenalan, tapi tak bersedia bertalian. Bermuara di tepi pantai berpasir kelam, tetapi tak cukup kasihan untuk melulu dihujani asinnya tangisan. Alih-alih tangis, aku ingin menganugerahi mereka, senyuman yang sedikit nakal. Suatu ketika, aku hampir mati bosan, mereka datang tanpa membawa kebahagiaan. Inginku menjual bosan, barangkali laku dan menghasilkan banyak uang. Namun, sekejap aku berpikir, mereka hanya milikku, dinikmati hanya boleh olehku. Maka aku menyimpan mereka ke dalam guci sewarna emerald yang kedap waktu, mencegah mereka termakan detik yang berlari terburu-buru. Tentu saja, aku punya rencana untuk mereka. Bukan rencana besar tentang aksi penyelamatan semesta. Bukan pula rencana dahsyat untuk menghancurkannya. Aku berlepas dari hiruk pikuk urusan manusia, setidaknya dari mereka yang tak kukenal, atau kupilih untuk tidak kukenal. Hanya saja, rencana ini akan membuatku hidup lebih lama. Tidak abadi, karena hanya Tuhanlah yang memiliki hak milik atas keabadian itu sendiri. Lantas, apa yang kuinginkan jika aku beserta mereka berhasil hidup lebih lama? Hanya secuil sejarah, dengan aku, sebagai tokoh utama, dan monolog-monolog yang selurus horizon senja di dalamnya.

Tuesday 18 November 2014

RCG (4)

Setelah dua atau tiga hari lamanya miskin sinyal internet, akhirnya saya dapat kembali ke dunia maya. Hahahai, senangnya kembali meranodm. 

Uhn, pos ini dibuat dengan maksud menyelesaikan apa yang sudah saya mulai, melalui tiga pos bertopik sama, sebelumnya. Tidak harus diselesaikan, sebetulnya. Pos ini tidak berisi manfaat, mungkin malah justru sebaliknya. Anda yang tidak menyukai hal-hal tidak lazim, iidak dianjurkan untuk membacanya.

Tujuh
Pertama kali saya memiliki handphone yang dapat digunakan untuk mengakses internet dan men-download aplikasi adalah pada saat kelas X SMA. Romo membelikan saya Nokia 3110C, tepat ketika saya akan menghadapi ujian akhir semester 2, kelas X. Saya tidak akan membahas spesifikasi dari handphone ini karena saya memang bukan akan bercerita tentang handphone tersebut. Namun, berkat benda elektronik berbasis java inilah saya berkenalan dengan seseorang. Seseorang, yang merupakan salah satu orang yang (tanpa dia sadari) telah berpengaruh dan terselip dalam beberapa episode hidup saya. Ya, dia adalah seorang lelaki, satu sekolah dengan saya. Sebetulnya, lebih dari sekadar pernah, saya menyebutnya dalam pos-pos saya di blog ini, baik secara langsung, maupun secara implisit. Mungkin, jika ada pengunjung tetap yang membaca blog ini, dia akan tahu siapa orang tersebut, tanpa harus membaca pos ini.

Uhn, mulai dari mana, ya? 

Saya sudah hampir kehabisan kata dan rasa untuk menggambarkannya. Sepertinya, kemarin-kemarin saya terlalu sering membicarakan setiap hal tentangnya yang saya tahu, sampai-sampai saya tidak punya bahan lagi untuk dituliskan di sini sekarang. Jike begitu, mungkin saya akan memulai dengan menuliskan data dirinya, yang saya ingat dan tahu.

Dia seorang laki-laki. Apa lagi, ya?

Dia. Saya sering menggunakan kata ganti dia ketika menulis pos tentangnya di blog ini. Dia tinggal di kabupaten yang sama dengan saya, tetapi berbeda kecamatan. Rumah saya di pusat daerah sedangkan rumahnya di daerah Barat. Namun, ketika SMA, dia mengekos di sebuah gang yang cukup dekat dengan sekolah. Kami berasal dari sekolah yang sama, tetapi tidak pernah satu kelas. Kami sama-sama menekuni jurusan IPA ketika duduk di kelas XI dan XII. Kami berasal dari SMP yang berbeda. Saya bersekolah di SMP yang dekat dengan rumah saya, begitu pula dia. Saat ini, dia tengah menjalani studi akhirnya di sebuah universitas di Yogyakarta. Jurusannya? Hmm. Jika saya menyebutkannya, semua akan tahu siapa dia, dan selesai lah teka-teki tidak penting ini.

Kami lahir di tanggal dan bulan berbeda, bisa jadi tahunnya juga. Dia merupakan anak bungsu, tetapi memiliki seorang adik. Tidak seperti saya, dia menyukai kucing atau setidaknya pernah beberapa kali mengepos foto-foto kucing yang dimilikinya di salah satu akun media sosialnya. Sepertinya, itu saja yang saya tahu tentang dia. Saya tidak tahu apa saja hal yang disukainya, juga bagaimana prestasi atau keahliannya.

Dia adalah orang pertama yang saya kepo-i melalui jejaring sosial. Alasan saya melakukannya, sebetulnya saya tidak tahu. Mungkin penasaran karena sejak pertama berkenalan, saya tidak pernah bertemu atau bersapa dengannya. Proses perkenalan dengannya memang tidak terjadi di dunia nyata, melainkan dunia maya. Oleh karena itu, saya berterima kasih kepada Nokia 3110C yang telah hadir sebagai media perkenalan saya dengan dia. 

Saya pertama kali mengenalnya ketika duduk di kelas XI SMA melalui salah satu aplikasi online chatting via handphone yang cukup populer di daerah saya, pada zaman itu, sekitar 2009. Awalnya, saya tidak tertarik untuk melakukan percakapan di dunia maya dengannya karena dia adalah seorang laki-laki. Sebab berbagai alasan, saya memang tidak terbiasa --jika perlu menghindari-- berbincang tanpa tujuan jelas dengan kaum laki-laki. Begitu pula kepadanya. Apalagi, dia orang asing yang sama sekali belum pernah saya dengar namanya selama hampir dua tahun saya bersekolah di SMA tersebut. 

Sebagai orang yang pertama meng-inviteakhirnya dia pun menyapa saya dan memperkenalkan diri. Dia memiliki username yang sangat alay, dengan menggunakan karakter-karakter nonalfabet untuk membentuk nama panggilan aslinya, seperti tanda kurung buka, tanda seru, dan sebagainya. Saya pun membalas seperlunya, sebatas memperkenalkan biodata singkat. Ketika saya menyebutkan asal kelas saya, dengan cepat dia pun mengatakan "ledekan" yang oleh orang lain pun cukup sering dialamatkan kepada saya. Bukan ledekan buruk sebetulnya, hanya saja ini membuat saya merasa bosan dan tidak enak ketika menerimanya. 

"Cieee. Ada anak rajin dan pinter dari kelas IPA 1, loh," katanya, kurang lebih seperti itu.

Saya sebal seketika kepadanya. 'Ajeg. Kenapa harus ter-mindset seperti itu? Ini menyebalkan. Pasti dia sama seperti anak-anak itu: anak-anak laki-laki di SMP atau anak-anak kelas lain yang berpikiran bahwa kelas saya agak berbeda dengan kelas mereka. Padahal, saya sebelas dua belas dengan mereka. Saya sebelas, mereka dua belas' batin saya, kurang lebih, meskipun pada waktu itu belum ada istilah sebelas dua belas untuk mewakili perbandingan. 

Setelah sedikit sekali bercakap tentang "ini" dan "itu", kami pun mengakhiri obrolan. Dia offline terlebih dahulu, sedangkan saya masih asyik bermain dengan aplikasi yang terbilang masih baru bagi saya itu.

Di lain waktu, tak lama setelah malam berkenalan itu, kami mengobrol lagi. Tidak cukup jelas topik yang kami perbincangkan. Namun, saya mulai mengurangi judging negatif saya tentang dia. Dia tidak seburuk yang saya duga. Dia tidak lagi membawa nama-nama kelas. Lalu, selayaknya user lain, kami pun mulai bertukar informasi atau membahas topik yang sedang hangat di televisi. 

Suatu hari, dia salah menuliskan nama sapaan saya. Saya sebal karena typo tersebut cukup fatal, menurut saya saat itu. Ketika saya komplain ke dia, dia pun tidak merasa bersalah. Akhirnya, saya menyengajakan diri, memanggilnya dengan sebuah nama sapaan aneh, nama seekor binatang mungil sebetulnya. Dia terpancing, membalas menyebut saya dengan nama sapaan yang tulis dengan salah. Rasa sebal saya berangsur lenyap dan digantikan perasaan gemas dan geli, ketika kami mulai saling ejek dengan nama sapaan aneh. Mulai hari itu, di dunia maya, kami lebih sering saling sapa dengan nama jadi-jadian tersebut dibandingkan dengan nama diri kami masing-masing.

Obrolan kami tidak banyak dan tidak sering. Isinya tidak bermanfaat dan tidak untuk diingat-ingat. Kami tidak dekat, tidak saling kenal, tidak juga pernah punya urusan. Kami hanya teman mengobrol ketika kebetulan sama-sama sedang online. 

Namun, entah mengapa, lama-lama saya merasa senang mengobrol dengannya, meski hanya melalui kata, meski saya belum pernah berjumpa muka dengannya, meski seringkali berakhir dengan saling ejek atau hening tanpa kata, lalu pergi tanpa mengucapkan salam sama sekali. 

Saya bahagia ketika kami mengobrolkan film atau buku. Saya terkesan ketika dia mengucapkan opini spontannya tentang sesuatu. Saya tertawa ketika dia bercerita bahwa dia baru ditegur oleh seorang guru. Saya tersanjung ketika dia berkata bahwa saya dapat melakukan sesuatu dengan baik. Saya bersemangat ketika dia, mungkin tanpa dia sadari, telah memberi semangat atau inspirasi untuk saya yang gemar memurukkan diri. Saya berdebar ketika melihat namanya bertengger di notifikasi. Saya penasaran ketika berhari-hari dia tidak memunculkan diri di media itu atau ini. Saya lega ketika tahu dia dapat mempertahankan prestasi. Saya salah tingkah ketika melihat dia melewati kantin, perpustakaan, atau lapangan, yang tanpa dia sadari, ternyata teramati. Saya merasa dihujani bebungaan, ketika dia mengirimi saya ucapan semangat menghadapi ujian. Saya merasa bangga, ketika dia menceritakan sedikit sekali tentang rencananya di masa depan. Saya... Saya lama-lama mengerti apa dan bagaimana rasanya harap-harap cemas karena lama-kelamaan saya memaksakan diri untuk menanti. Saya, pada akhirnya, mengerti bahwa sepertinya saya telah kembali merasakan jatuh hati.

Mungkin, saya terlalu cepat menyimpulkan dan mengambil keputusan. Suatu ketika, saya ingin bertobat dan menobatkan rasa itu sebaai perasaan sesaat. Namun, nyatanya, hingga ratusan hari berlalu, saya belum juga mampu berhenti merasakan sensasi naik roller coaster yang saya alami setiap terlintas pikiran atau terbaca kabar tentangnya. Ini memang hanya rasa berlebihan yang saya rasakan oleh perlakuan biasa darinya. Perlakuan yang bahkan mungkin olehnya tidak terartikan sebagai sebuah perlakuan, alih-alih basa-basi kepada orang yang pernah dia kenal. 

Yeah, dia itu, mungkin tidak pernah tahu akan berbagai tindak investigasi tidak masuk akal terhadapnya yang pernah saya tahu. Orang itu mungkin tidak pernah menyangka, saya sedikit tahu riwayat percintaannya. Orang itu mungkin tidak akan pernah percaya, saya pernah diteror oleh salah satu orang yang "mengenalnya". Orang itu mungkin tidak ambil pusing, bagaimana perasaan saya ketika saya menyadari bahwa saya bukanlah orang-orang yang diperlakukan dengan baik olehnya. Orang itu mungkin tidak pernah ingat, topik apa yang pernah kita obrolkan, karena saya sendiri juga sekarang sudah tidak ingat. Orang itu, mungkin tidak berusaha mengingat informasi yang saya ceritakan, sekeras usaha saya mengingat apa pun yang dia tuliskan. Orang itu memang tidak tahu, tidak memiliki petunjuk, kecuali jika dia menemukan pos ini, dan saya yakin pasti tertawa membaca tulisan absurd ini. Namun, orang itu mungkin sebetulnya tahu, hanya saja pura-pura tidak tahu.

Dengan berbagai pertimbangan, khususnya tentang akan datangnya hal buruk yang lebih banyak daripada hal baik dari aksi ini, akhirnya dua tahun lalu saya memutus segala akses dengannya, demi mendukung misi: berhenti jatuh hati. Tindakan ini aneh memang. Sangat aneh. Namun, ternyata cara ini efektif. Jika saya tidak melakukan ini, mungkin saya masih melakukan hal-hal nista dan cari-curi perhatian terhadapnya. Sifat saya memang seburuk itu. Saya sendiri sebetulnya malu pada Tuhan.

Note FB Tua: Refleksi di Tingkat Sebelas

Bukan apa-apa. Sungguh! Ini note isinya cuma tugas dulu jaman kelas XI.
Dianjurkan tidak usah dibaca karena tidak layak baca.
Tujuan di-upload-nya ehn....coretan ini adalah biar aku ngga suka mengeluh lagi seperti dulu (mungkin sampai sekarang) dan ngga terlalu membanggakan diri sendiri.
Sekali lagi dianjurkan tidak usah dibaca.

Refleksi dimulai
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Selesai.





1 Juni 2009
Bismillahirrahmanirrahiim....

Setahun Berlalu
“Pencarianku Belum Jua Berujung”
Anifatun Mu’asyaroh



Akhir tahun ajaran 2008. Cukup berat hatiku meninggalkan kelas pertamaku di SMA, Brownies X.1. Meninggalkan keceriannya, kegokilannya, kehangatannya dan teman-teman yang telah setahun lamanya berjuang bersama dalam mengusir remidi dan menciptakan kegaduhan. Apalagi, setelah tahu ada beberapa teman dekat yang tak kan mungkin bersama lagi dalam satu kelas. Seperti ada satu potongan puzzle yang hilang dalam hidup. ‘Ah…individualis sekali, masa mau sekelas terus, gimana bisa punya teman banyak kalau teman-teman kita itu-itu saja. Semangat!!!’, pikirku. 

Pagi hari di pertengahan Juli, hari pertamaku di kelas XI, masih terbayang nilai-nilaiku --yang terjun bebas di akhir semester 2-- ketika roda depan sepedaku melintasi gerbang depan sekolah. Tiba-tiba, seorang karib datang menyambutku dan menyetop laju sepedaku, lalu berkata sambil melonjak-lonjak, “An, kita di IPA 1. Aku duduk sama kamu lagi, ya!”

Tak percaya. Aku mengangguk dalam senyuman, meskipun sebenarnya aku dilanda kebingungan. Berkali-kali muncul kalimat tanya yang sama di kepalaku “kenapa aku masuk di kelas itu?”. Bahkan, sampai saat aku sudah memasuki ruang kelas sementara itu (saat itu ruang kelas XI IPA 1 yang sebenarnya dipakai untuk MOS), aku masih tak percaya. Aku takut terpuruk di kelas itu. Kusalami satu per satu orang-orang yang akan setahun bersamaku itu. Sejak kecil aku mempunyai kebiasaan memperhatikan tingkah laku orang, dan kebiasaan itu pula yang kuterapkan di hari itu. Kupandangi mereka (selain anak-anak X.1) dengan seksama, tentu tanpa sepengetahuan mereka. Mereka bergaul dengan anak-anak dari kelas asal yang sama. ‘Ah itu wajar,Ani! Ayo semangat!!! Dekati mereka dan jadikan teman!’, bisikku dalam hati yang mulai bosan melihat kekakuan itu. Jujur, aku tidak suka dengan orang-orang yang ngeblok. 

Seminggu pertama, baru kusadari ternyata tidak semua dari mereka seperti itu. Beberapa di antara mereka langsung akrab denganku dan bahagia aku. Alhasil untuk sementara waktu, hilanglah pandanganku tentang anak-anak IPA 1 yang pilih-pilih teman. Sementara!

Namun, aku masih tetap saja merasa tidak nyaman. Entah kenapa, aku merasa belum bisa mengikuti irama kelas yang masih sangat baru bagiku. Sebagian dari mereka begitu tergila-gila pada nilai. Setiap aku memasuki ruang kelas, suasana yang tampak adalah kawanan orang-orang yang tengah sibuk memelototi buku. Entah saat itu ada tugas atau tidak. Hal ini sungguh tidak biasa di awal-awal tahun pelajaran seperti ini. ‘Wah benar-benar manusia pilihan yang masuk kelas ini’.


Aku semakin berusaha untuk mengimbangi kehebatan mereka. Jika mood sedang baik aku akan lebih rajin mengerjakan berbagai soal-soal latihan, terutama matematika dan kimia. Namun, hal itu hanya bertahan di bab pertama matematika saja, “TRIGONOMETRI”. Aku tidak lulus pada bab tersebut, sehingga membuatku agak bosak pada mapel ini. Matematika yang sejak SMP sangat kugemari, berangsur-angsur hilang kharismanya di mataku, hingga membuatku mual dan mulai menyepelekan kehadirannya. Kini, aku menyejajarkannya dengan mapel fisika yang sangat tidak aku kuasai.  

Semakin bertambah hari aku semakin merasa aneh di kelas METANA ini. Suatu kelas yang amat sulit ku mengerti, terlalu dalam untuk diselami. Keadaan kelasnya tidak sesuai dengan kepanjangan namanya yang megah. Entah apa kepanjangannya. Namun, yang aku ingat di dalam patah-patah hurufnya terkandung arti yang kurang lebih “komunitas penghuni suatu kelas eksakta yang megah”. Nama itu sendiri ditentukan dengan terburu-buru dan semoga tidak  terkesan asal-asalan. 

Awalnya, kelas itu bakal dinamai “SEPATU” singkatan dari Sebelas IPA Satu. Namun, tidak direstui oleh wali kelas kami, Bu TL (nama panggilan para siswa kepada salah satu guru kimia kami, Ibu Tri Lestari) dengan alasan,”Sepatu itu,  letaknya di bawah, diinjak-injak. Memangnya kalian mau jadi kelas terbawah dan diinjak-injak?”. Lantas kami menetapkan nama baru yang lebih terkesan artistik, ”MAGENTA”. Hampir seluruh anak menyetujui nama tersebut, dan dimulailah penyusunan tema dan konsep kelas. Saat kami hampir memulai pembelian alat-alat dekorasi, terdengar kabar kalau kelas tetangga mempunyai konsep warna serupa, yaitu ungu. Akhirnya, kami pun mengalah dan mulai mencari nama lain bagi kelahiran kelas XI IPA 1 yang baru ini. Setelah beberapa petinggi kelas bermusyawarah dan berkonsultasi dengan Bu TL, terciptalah sebuah nama yang disadur dari salah satu senyawa kimia, Metana, hanya dalam hitungan menit. 

Aku begitu bersemangat pada saat pendekorasian –setiap awal tahun ajaran baru di SMANSA diadakan lomba menghias kelas dalam rangka merayakan HUT SMANSA yang jatuh pada tanggal 1 Agustus-- itu. Aku berpikir saat-saat seperti itu adalah saat yang tepat untuk beradaptasi, dan saling dekat satu sama lain. Meski hari Minggu pun, kami datang dan mulai mendekor. Namun, hal yang terjadi tidak seperti yang kupikirkan. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Sibuk dengan kerumunan masing-masing. Sehingga, mereka tidak akan mulai berbuat sebelum diuprak-uprak. Alhasil, bukan “mari bekerja sama dalam gembira” yang terjadi, tetapi “mari bekerja agar selesai”. Hasilnya, kelas yang rapuh lah yang terjadi. Para penghuninya kurang bersatu sama lain, seperti yang pernah dikatakan oleh Bu Tuti, tapi tepatnya seperti apa, aku tidak ingat.  Menurutku, mereka kurang mengamalkan ilmu pendidikan kewarganegaraan.


Di semester awal seperti saat itu, semangat belajar dan stok percaya diriku masih penuh. Aku berani berekspresi dan berpendapat dengan ribuan pikiran positif yang masih tergantung rapi di kail-kail pikiranku. Hingga sementara waktu, aku lupa dan tidak peduli dengan keadaan kelas yang seperti itu. Lalu aku nikmati satu penemuan baruku yang aku kira sudah sempurna kala itu, yaitu arti persahabatan. Aneh memang. Tadi kusebutkan bahwa orang-orang di Metana ini sulit ku mengerti, tetapi entah mengapa di sini aku malah menjadi paham kenikmatan bersahabat itu seperti apa. Berteman tidak harus sama dalam segala hal. Sahabat bukan orang yang selalu mengikuti dan selalu berada dekat serta nempel seperti perangko padaku. Perbedaan dalam suatu pertemanan bagaikan putih telur dalam martabak, yaitu sebagai perekat dan penghubung.

Tak terasa waktu telah mendekatkan seleksi LMP ke depan mata. Aku yang dari SMP sangat menyukai mapel biologi –di samping matematika—mencoba mencari mujur lewat seleksi itu. Siapa tahu aku lolos, hehehe… Aku tahu, sudah ada ahli biologi yang tidak lain tidak bukan juga sahabatku sendiri.  Tapi tak salah kan kalau aku mencoba mencari potensi diriku. Apalagi aku ingin menjadi seseorang yang jago dalam bidang farmasi, yaaa… paling tidak seorang apoteker lah... Dan di sinilah kumulai pencarianku……

Sabtu siang di bulan tak tahu, aku memasuki ruang kelas XII IPS 3 dan menerima 3 lembar soal seleksi LMP Kimia, melangkah ke  pojok kanan ruangan, lalu duduk di atas satu-satunya kursi yang tersisa. Ya… aku berubah pikiran tentang biologi. Kutinggalkan seleksi biologi yang juga berlangsung di hari itu. Entah kenapa aku terbujuk –padahal tidak ada yang membujuk-- untuk megikuti seleksi mapel kimia yang sebelumya tak terpikir sama sekali. Namun, kimia lah modal utamaku untuk menjadi seorang ahli farmasi, Akhirnya, kuputuskan untuk mengikutinya. Di luar dugaan, aku hampir tidak dapat mengerjakan soal-soal yang sebenarnya tidak terlalu susah itu. Di tengah kebingungan, kuterima sms dari sahabatku yang jago biologi yang isinya….. 

”An, bio yg ikt slksi cm 5 org.dah mst km msk lh. cptan k lab bio!dtggu!”

Maka dari itu aku nekat mengikuti seleksi itu. Apalagi yang ikut saat itu hanya 6 orang, termasuk aku. ‘Wah peluangku untuk masuk akan semakin besar,’ anganku. Lalu, kuselesaikan soal-soal kimia itu secepat mungkin agar dapat segera melanjutkan mengerjakan soal-soal biologi. Setelah sampai di lab, kuambil satu bendel soal yang ternyata, ‘Innalillahi… angel banget!’ Akhirnya, kukerjakan soal-sol itu semampuku, dengan harapan lolos limit mendekati nol. Waaaaaah… parah. Inilah akibat dari sifat plin-planku. ‘Huft….. Coba kumantapkan pilihan pada biologi saja atau kimia saja, dan kupelajari salah satunya dengan serius, pasti hasilnya tak kan seburuk ini,’ sesalku. Apalagi bagaimana tanggapan guru-guru yang mengoreksi jawaban-jawabanku, mungkin mereka akan melotot atau menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan kebodohanku ini.


Beberapa hari kemudian, aku sudah mulai melupakan tentang seleksi itu. Aku pun mulai melakukan pencarian selanjutnya….”mencari bakat-bakatku yang lain”. Ketika majalah Karisma sekolah menempelkan iklan tentang pencarian karya-karya dalam bentuk tulisan, hatiku merasa tercolek. Belum pernah semangat menulisku mengebu-gebu seperti saat itu. Aku kumpulkan informasi mengenai persyaratan-persyaratan untuk mengirimkan karya –meski di iklan sudah ada, tetapi aku begitu suka bertanya-- pada temanku, salah satu redaktur Karisma, sampa ke detail terkecil. Sebab begitu antusiasnya aku saat itu. Lalu, kutulis sebuah cerpen berjudul “My Real Superhero is…” dan sudah selesai kuketik.

Namun, tak dinyana-nyana tugas-tugas yang lain berdatangan mengharuskanku mengerjakannya. Sedangkan ulangan semester 1 semakin dekat. Hingga deadline pengumpulan tiba, cerpenku belum sempat menyentuh printer. Hyaaah…kali ini aku gagal lagi mengirimkan karyaku. Dulu aku tak jadi ikut seleksi anggota Karisma karena takut gagal. Namun, sekarang aku sudah gagal sebelum aku takut. ‘Semangat!!! Masih ada semester 2. Jangan takut pada kegagalan!’ hiburku. Sejak saat itu frekuensi menulisku kembali jarang. Entah kerena bosan, entah tidak sempat, atau entah lupa. Dan kulanjutkan kehidupan yang biasa-biasa lagi….


‘Aku semakin paham bahwa tidak semua orang tahu apa yang aku mau, so aku harus mengungkapkannya. Dan apa yang masing-masing orang bisa, aku tak harus terlalu berusaha untuk sama bisanya dengan mereka karena setiap orang mempunyai kelebihannya masing-masing. Yang aku harus lakukan adalah mengembangkan apa yang sudah aku bisa dan punyai, jangan mau yang muluk-muluk. Namun, toh tak salah jika aku terus mencari!’ Aku masih terus melakukan pencarianku. Pencarian akan teman, bakat, potensi, dan bagaimana rasanya menjadi orang penting. 

Kegiatan yang masih terus kulakukan dari awal semester 1 hingga kini adalah menggambar arsiran. Cukup banyak gambar yang telah kuhasilkan, meskipun dari hasil mencontoh gambar yang sudah jadi. Namun, tak apa hal itu baik untuk menyeimbangkan otak kanan dan otak kiriku. Semakin lama aku semakin berpikir, ‘Apakah ini bakatku yang sebenarnya? Menggambar atau melukis? Waaahh…alangkah indahnya kalau benar. Aku bisa sekolah seni kalau lulus besok,’ ujarku dalam hati. Sejenak, terlupa tujuan utamaku menjadi seorang apoteker yang hebat. 

Aku terlalu banyak berkeinginan, sehingga hal itu membuatku sering diliputi kebingungan sepanjang waktu. Aku terkadang diam menyendiri memikirkan sesuatu, mencari inspirasi, atau menyanyi dalam hati –tapi aku tak pernah ingin menjadi penyanyi--. Diamku yang tiba-tiba itu terkadang membuat kawan-kawan atau keluargaku memandang aneh diriku. ‘Ah… whatever!’ 

Setelah sembuh dari kediaman, seringkali aku lupa tentang apa yang aku renungkan baru saja. Mungkin hal itu dipengaruhi oleh penyakit pikunku yang sudah akut. Saking akutnya sampai-sampai sudah 8 kali hpku ketinggalan di wilayah sekolah. dan seanyak 8 kali itu pula aku menambah jarak perjalananku ke sekolah karena harus mengambil hp yang tertinggal itu. Pikunku semakin parah di semester 2 kelas XI ini. Resolusiku untuk tahun ajaran depan, ‘Aku berharap tidak pelupa lagi’. Amiin.


Semester 2 di kelas ini adalah semester terburuk sepanjang hidupku. Dalam hal sekolah, nilai-nilaiku bukan main hancurnya. Sekarang nilaiku bukan lagi terjun bebas seperti saat kelas X semester 2 dulu, melainkan sudah jatuh ke dalam sumur tak berdasar dan tak tahu kapan akan mencapai nol. Sungguh ironi. Cita-citaku menjadi seorang apoteker seakan kandas di tengah laut karena nilaiku hancur di mapel fisika dan pas-pasan di mapel kimia dan biologi. Nyaliku semakin ciut. Dan aku jadi lebih sering merenung….

Note FB Tua: DI BALIK KESUKSESAN SANG “PENYIHIR WANITA”

“Penyihir Wanita” modern mungkin adalah salah satu julukan yang tepat untuk disandang oleh wanita kelahiran  31 Juli 1965 ini. Joanne Kathleen Rowling atau lebih dikenal sebagai J.K. Rowling adalah seorang novelis yang terkenal dengan karya panjangnya, Harry Potter yang telah berhasil menyihir jutaan pasang mata para pembacanya melalui 7 buku sekuel Harry Potter itu. Dia dilahirkan di Chipping Sodburry, sebuah kota kecil di dekat Bristol, Inggris. Sebelumnya ia adalah seorang single parent (orang tua tunggal) yang tinggal di Edinburgh, Skotlandia, setelah bercerai dengan suaminya yang berprofesi sebagai wartawan.

Rowling menjadi sorotan kesusasteraan internasional pada tahun 1999 saat tiga seri pertama novel remaja Harry Potter mengambil alih tiga tempat teratas dalam daftar New York Times best-seller setelah memperoleh kemenangan yang sama di Britania Raya. Kekayaan Rowling semakin bertambah saat seri ke-4, Harry Potter dan Piala Api diterbitkan pada bulan Juli tahun 2000. Seri ini menjadi buku paling laris penjualannya dalam sejarah. 

Saat ini, terhitung sudah tujuh novel Harry Potter. Jo menjadi sangat beruntung, setelah keseluruhan edisi bukunya diproduksi dalam bentuk layar lebar. Dan keseluruhannya merengkuh kesuksesan yang luar biasa. Ia juga sudah menulis buku baru berjudul “The Tales of Beedle the Bard”.



Bagaimana Riwayat Hidup dan Periwtiwa yang dialami si Rowling?
“Jo”, begitulah nama panggilan akrabnya, adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ia mempunyai seorang adik perempuan bernama Di, yang lahir sekitar dua tahun setelah ia. Mereka berdua bagai sahabat karib dan selalu bermain bersama di sela-sela kesibukan orangtua mereka.

Kedua orangtua Jo adalah orang Inggris. Mereka gemar membaca buku dan rumah mereka di Cheptow selalu penuh buku. Tak khayal kalau Jo sangat suka membaca dan mengarang. Dia sangat ingin menjadi pengarang sejak dia mengetahui apa itu pengarang dan mengarang. 

Jo kecil sangat suka berkhayal dan bercerita. Di, adiknya, adalah pendengar setianya. Mereka sering bermain drama bersama dengan Jo sebagai pengatur jalan cerita. Jo selalu menceritakan apa pun cerita dalam imajinasinya, bahkan kadang-kadang dia sampai menduduki Di agar dia tidak pergi dan mau mendengarkan cerita-cerita khayalannya.

Kegemaran menulis Jo semakin menjadi, terutama saat ia berusia 6 tahun. Pada usia itu, dia telah berhasil menulis buku anak-anak berjudul “Rabbit” yang menceritakan tentang seekor kelinci kecil yang bernama Rabbit. Selain mengarang Jo juga memiliki kegemaran tanpa malu-malu menunjukan karyanya kepada teman-teman dan orangtuanya. Kebiasaan ini terus dipelihara hingga ia dewasa.

Jo ternyata cukup sering mengalami pindah rumah selama kecil. Pada usia 4 tahun, ia dan keluarganya pindah dari Bungalow ke Winterbourne yang terletak di luar Bristol dan tinggal di rumah berlantai lebih dari satu. Di sanalah ia bertemu dengan kakak adik dari keluarga Potter, tetangga barunya di sana. Jo sangat menyukai nama Potter itu, meski anak laki-laki yang mempunyai nama itu sangat nakal kepadanya. Itulah sebabnya dia menamai tokoh penyihir cilik dalam novelnya “Harry Potter”.

Ketika menginjak usia 9 tahun, lagi-lagi orangtuanya mengajaknya pindah rumah ke Tutshill, sebuah desa kecil di luar Cheptown.  Kepindahannya itu hanya beberapa lama sebelum kematian orang tua asuh—pengasuh—nya yang bernama Kathleen yang sangat membuatnya terpukul. Dulu saat ia membutuhkan nama ekstra untuk inisial nama penanya, ia mengambilnya dari nama pengasuhnya itu sebgai nama tengahnya. Pada saat itu, pengarang wanita kurang begitu diminati dibanding pengarang pria.

Saat SMP, ia bertemu dengan Sean Harris untuk pertama kali. Sean mempunyai sebuah mobil Anglia Ford yang selalu ia gunakan ke sekolah. Sejak pertemuannya dengan Sean lah, terlintas ide tentang cerita “Harry Potter and the Chamber of Secret”, sekuel kedua Harry Potter. Memori yang paling Jo ingat saat remaja adalah ketika dia bercerita kepada orang lain untuk pertama kali tentang keinginan besarnya menjadi sorang penulis. Orang itu  adalah Sean. 

Hal terburuk yang terjadi saat ia remaja adalah saat ia mendengar bahwa ibunya divonis penyakit pada pusat sistem syaraf yang tak tersembuhkan. Dia sangat terpukul meskipun saat itu ia belum tahu apa arti penyakit itu. Ibunya meninggal pada tanggal 30 Desember 1990.

Setelah lulus kuliah, dia memutuskan untuk pergi ke London dan bekerja di sana. Kontrak kerja terpanjangnya adalah dengan Amnesty International, yang memiliki semboyan “melawan segala jenis pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di seluruh dunia". Namun, di tahun 1990 dia memutuskan untuk pindah ke Manchaster, bersama kekasih barunya.

Di tahun yang sama, ketika ia naik kereta api dari Manchaster untuk pulang ke London, keretanya mogok selama 4 jam. Jo lalu memandangi sapi-sapi desa yang sedang merumput dari luar jendela yang memberinya inspirasi brilian. Sesampai di stasiun King’s Cross sosok penyihir cilik bertubuh kurus kering, berambut hitam dan berkacamata bundar tergambar jelas di benaknya dan dia mulai bermain-main imajinasi mengenai penyihir itu yang akhirnya diberi nama Harry Potter.

Meski ia sudah mulai menulis sejak umur 6 tahun, tapi dia tidak pernah merasa sesenang saat memperoleh ide tentang Harry Potter ini. Yang menjadi permasalahan, dia terllu miskin dan tak punya pulpen yang pas atau berfungsi baik. Nemun, dia terlalu malu untuk bilang ke orang lain mengenai ini. Hingga ia memutuskan untuk menyimpan ide-ide briliannya dalam otaknya saja. 

Sembilan bulan kemudian dia pindah ke Portugal dan memperoleh pekerjaan untuk mengajar bahasa Inggris di suatu Institut Bahasa. Jo juga tak lupa membawa serta manuskrip cerita yang ditulisnya sejak di Manchaster dan berharap dapat menyelesaikannya saat dia di sana. Jo mangajar siang dan malam, sehingga semakin jarang waktunya untuk meneruskan ceritanya. Di sana Jo bertemu dengan wartawan Portugis dan menikah. Namun, akhirnya bercerai karena suaminya tak pernah bekerja. Hal terindah yang ia dapat darinya adalah Jessica, anak perempun mereka yang lahir tahun 1993. Jo berpindah ke Edinburgh bersama-sama dengan anaknya tinggal berdekatan dengan rumah adiknya, Di, pada tahun 1995.

Akan tetapi, Jo seperti tak henti didera masalah. Keadaan yang miskin, yang bahkan membuat ia masuk dalam kategori pihak yang berhak memperoleh santunan orang miskin dari pemerintah Inggris, itu masih ia alami ketika Rowling menulis seri Harry Potter yang pertama. Kondisi yang serba sulit itu justru semakin memacu dirinya untuk segera menulis dan menuntaskan kisah penyihir cilik ini. Tahun 1995, dengan susah payah, karena tak memiliki uang untuk memfotocopy naskahnya, Rowling terpaksa menyalin naskahnya itu dengan mengetik ulang menggunakan sebuah mesin ketik manual.

Naskah yang akhirnya selesai dengan perjuangan susah payah itu tidak lantas langsung diterima dan meledak di pasaran. Berbagai penolakan dari pihak penerbit harus ia alami terlebih dahulu. Diantaranya, adalah karena semula ia mengirim naskah dengan memakai nama aslinya, Joanne Rowling. Pandangan meremehkan penulis wanita yang masih kuat membelenggu para penerbit dan kalangan perbukuan menyebabkan ia menyiasati dengan menyamarkan namanya menjadi JK Rowling. Memakai dua huruf konsonan dengan harapan ia akan sama sukses dengan penulis cerita anak favoritnya CS Lewis.

Akhirnya keberhasilan pun tiba. Harry Potter luar biasa meledak dipasaran. Semua itu tentu saja adalah hasil dari sikap pantang menyerah dan kerja keras yang luar biasa. tak ada kesuksesan yang dibayar dengan harga murah.



Di mana dan Bagaimana Jo Belajar Mengarang?

Jo menempuh jenjang pendidikan yang berwarna-warni. Hal itu dikarenakan keseringannya berpindah-pindah rumah semasa kecil. Di tingkat Sekolah Dasar saja, dia pernah menjajal 2 sekolah. Sekolah pertamanya di Witerbourne. Dia sangat senang sekolah di sana, dia belajar membuat puisi, menggambar dan yang paling disukainya adalah saat ada tugas mengarang cerita. Kesemuanya itulah yang semakin sempurna membutnya jatuh cinta dengan dunia kesusastraan.

Berpindah dari Winterbourne, dia melanjutkan sekolah di Tutshill. Di sana ia mempunyai kenangan tentang bangku tempat duduknya di san pertama kali. Bangku itu mempunyai lubang dari jangka yang sengaja dibuat oleh kakak kelasnya. Jo sangat suka meneruskan pekerjaan kakak kelasnya, yaitu dengan membuat lubang itu bertambah besar hingga sebesar jempol. Kenangannya saat kecil itulah yang ia tuangkan dalam buku-bukunya, seperti suasana sekolah Harry Potter di Hogwarts of Witchcraft and Wizardery.

Setelah lulus SMA pada tahun 1983, Jo melanjutkan Kuliah di Universitas Exeter yang terletak di pantai selatan Inggris. Dia mengambil jurusan Bahasa Perancis. Kemudian disadarinya sebagai suatu kesalahan besar dalam pemilihan jurusan. Sebab ia dan keluarganya adalah benar-benar pecinta Inggris. Namun, ada sisi positif untuk Jo. Berkat ia kuliah jurusan itu, ia jadi berkesempatan untuk tinggal di Paris, Perancis selama satu tahun untuk kursus bahasa perancis. Keuntungan lainnya adalah menambah pengetahuannya menganai Perancis yang kemudian sangat berharga dan tertulis menghiasi buku-bukunya.
 
Jo menulis sekitar 10 menit sampai 10 jam dalam sehari. Hal itu tergantung suasana hati dan situasi serta kondisinya saat menulis. Dia sangat suka menulis pada malam hari, di bawah terangnya lampu dan seorang diri dalam kamar pribadinya. Ia selalu suka menulis, menulis dan menulis, sejak sesaat setelah ia mengetahui apa arti dari penulis atau pengarang pada saat ia kecil dulu.



Apa Saja Karya-karyanya dan Penghargaan yang Diporelehnya?
Keberhasilan yang luar biasa diraihnya sejak novelnya laris manis bahkan sampai diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa di seluruh dunia. Harry Potter and the Sorcerer’s Stone (Harry Potter dan Batu Bertuah) adalah judul buku pertamanya yang diterbitkan oleh “Bloomsburry” pada tahun 1997 (di Indonesia diterbitkan oleh PT Gramedia Jakarta pada tahun 2000). Sedangkan novel-novel yang lain beserta penghargaanya, yaitu:
Rabbit Stories, yang ditulisnya saat berumur 6 tahun

  1. Sebuah novel tentang tujuh berlian kutukan dan para pemiliknya, yang belum sempat ia beri judul, ditulisnya saat berumur 11 tahun.
  2. Harry Potter and the Chamber of Secret (Harry Potter dan Kamar Rahasia). Penghargaan yang diperoleh:
    - Nestle Smarties Book Price Gold Medal 9-11 yrs
    - FCBG Children’s Book Award (overall winner)
    - Young Telegraph Paperback of the Year
    - British Book Award’s (Nibbles) Children’s Book of the Year
    - Sheffield Fiction Award (shortlisted), dan berbagai penghargaan lain.
  3. Harry Potter and the Prisoner of Azkaban (Harry Potter dan Tawanan Azkaban), dengan penghargaan:
    - Guardian Fiction Prise (shortlisted)
    - Whitbread Children’s Book Award (shorlisted), dan berbagai penghargaan lain serupa dengan yang didapat buku sebelumnya.
    - Harry Potter and the Goblet of Fire (Harry Potter dan Piala Api)
    - Nestle Smarties Book Price Gold Medal 9-11 yrs
    - Whitbread Children’s Book Award (shorlisted), dan berbagai penghargaan lain serupa dengan yang didapat buku sebelumnya.
  4. Harry Potter and the Order of the Phoenix (Harry Potter dan Orde Phoenix). Buku ini hanya memperoleh satu penghargaan yaitu: WH Smith Children’s Book of the yuear winner.
  5. Harry Potter and the Half Blood Prince (Harry Potter dan Pangeran Berdarah Campuran). Penghargaan yand didapat antara lain:
    - British Book Award’s (Nibbles) Children’s Book 2005
    - Carnegie Medal 2005 (longlisted)
    - Royal Mail Scottish Children’s Book Awards 8-12 category winner
  6. Harry Potter and the The Deathly Hallows (Harry Potter dan Relikuli Kamatian)
  7. The Tales of Beedle the Bard, buku terbarunya yang baru saja terbit 2008.


Bagaimana Kehidupan Rowling saat ini?
Pada penghujung Desember 2001, Rowling menikah dengan Dr. Neil Murray di rumah mereka di Skotlandia. Anak kedua dan anak lelaki pertama mereka, David Gordon Rowling Murray, dilahirkan pada 24 Maret 2003, di Royal Infirmary, Edinburgh. Untuk menjaga anaknya itu, Jo mengatakan dia akan jarang muncul di depan orang banyak dan menandatangani buku kelima yang pada saat itu baru dilancarkan. Tak berapa lama selepas mengumumkan yang buku keenam seri Harry Potter telah sempurna dikarang, Rowling melahirkan anak perempuan pada 23 Januari 2005 dan dinamai Mackenzie Jean Rowling Murray.

Setelah merauk pendapatan yang sangat tak terduga seperti saat ini, Jo mempunyai keinginan untuk mempunyai sebuah rumah yang damai di selatan Skotlandia yang dibeli dengan pendapatannya saat ini. Dia berharap rumah itu akan selalu tenteram dan penuh canda dari keluarga dan teman-temannya.

Alih-alih dari itu, Jo juga semakin getul untuk menulis dan berharap menerbitkan karya-karya lain dengan genre yang berbada dengan karya-karya sebelumnya. 



Alasan Aku Memilih J.K. Rowling sebagai Tokoh yang Kutulis Biografinya
Aku pertama kali membaca buku Harry Potter saat duduk di bangku SMP. Sejak saat itu aku semakin jatuh cinta pada kisah Harry Potter yang imajinatif. Gaya bahasa yang dikenakan dalam kalimat-kalimatnya sangat tinggi untuk seukurun anak SMP sepertiku saat itu. Namun, oh aku sangat suka mambacanya.

Ketertarikan berlebihan pada novel Harry Potter kala itu, membuatku penasaran dengan siapa ”penyihir” sebenarnya di balik pencipta tokoh penyihir cilik ini. Kemudian aku mulai berburu informasi tentang J.K Rowling. Aku sangat mengaguminya sejak aku mulai membaca Harry Potter dan semakin bertambah saat aku mengetahui bagaimana lika-liku kehidupannya sembari menulis karya spektakuler Harry Potter-nya ini.

Jo adalah penulis yang sangat memberi aku inspirasi. Aku mempunyai ambisi untuk menjadi seorang penulis atau pengarang sejak aku membaca karyanya. Hal itu mungkin membuat gaya bahasaku terkesan sedikit mirip dengannya, seperi yang telah diungkapakan teman-temanku saat membaca cerpenku. Namun, sebenarnya aku ingin menjadi diriku sendiri. 

Ketekunan dan sikap tak pernah putus asa Jo juga sangat membuatku  sangat terkesan kepadaya. Hidupnya yang kini mapan, berawal dari kerja keras gigihnya sejak kecil. Ia juga memiliki pengalaman yang tak boleh diremehkan. Pernah menetap  di berbagai negara seperti Inggris, Perancis dan Portugal membuatnya kaya pengetahuan yang belum tentu dimiliki setiap orang. Apalagi pengetahuan itu dia masukkan dalam buku-bukunya yang pastinya akan bermanfaat begi orang lain. Pengetahuanya yang sangat luas itu adalah salah satu penyebab tumbuhnya bibit ketertarikanku kepadanya.




DAFTAR PUSTAKA
  • Rowling, Joanne Kathleen. 2007. Harry Potter and the Deathly Hallows. Jakarta: Gramedia.
  • 2007. J.K. Rowling (Bagian 4), (online), (www.feminaonline.com, diakses Kamis, 29 Januari 2009, pukul 14.30 WIB).
  • 2007. J.K. Rowling, (online), (www.wikipedia.org.id, diakses Kamis, 29 Januari 2009, pukul 14.40 WIB).
  • 2008. ‘Penyihir Wanita’ dibalik suksesnya Harry Potter,(Online), (www.peperonity.blogspot.com, diakses Kamis, 29 Januari 2009, pukul 14.40 WIB).

Note FB Tua: Saya

  • Nama: Anifatun Mu'asyaroh
  • Nama panggilan: Ani
  • TTL: Kebumen, 15 Maret 1992
  • Status: Belum Kawin, Tidak (pernah) Pacaran
  • Minat: Tidur, Tidak pikun
  • Keahlian: Menulis tulisan ngga jelas, hanya bisa menulis paragraf deskripsi dan nyaris selalu tidak bisa menulis paragraf eksposisi, narasi, argumentasi apalagi persuasi.
  • Pen-name: Auriga Amarilis
  • Hobi: Tidur, Ngetik hal apapun yang tidak penting
  • Pekerjaan: Mahasiswa FKM UI 2010 semester 2, karena masih mahasiswa, maka saya tidak punya kerjaan selain tidur, kuliah, berpura-pura belajar di dalam kamar, lalu mencanangkan SKS saat akan ujian.
  • Cita-cita: Bisa merampungkan setidaknya satu saja cerpen! hahaha,,, parah
  • Makanan favorit: Mie Ayam, Ayam bakar, dan apa pun yang tidak terlalu amis
  • Minuman favorit: Apa pun yang bisa diminum, halal, dimasak
  • Warna favorit: ungu, hitam, putih, coklat, cream, ungu, biru, ungu
  • Kebiasaan favorit: Tidur
  • Pendidikan: RA Perwanida Karangsari, SD Negeri 1 Karangsari, SMP NEgeri 1 Kebumen, SMA Negeri 1 Kebumen, Universitas Indonesia lulus Agustus 2014 (amiin, kalau bisa sih Februari 2014, hehe)
  • Buku favorit: ngga ada
  • Film favorit: ngga ada
  • Penulis favorit: JK Rowling, Andrea Hirata, Fandita Tonyka Maharani dan Yuridista Putri Pratiwi, Pipiet Senja, Azzimatinur Siregar, Auriga Amarilis, hahaha...
  • Hal yang paling dibenci: dicuekin, melihat ketidakadilan, diaggap remeh, ditinggalkan, dikritik yanng tidak sesuai kenyataan
  • Hal yang paling disukai: tidak menjadi pusat perhatian, dikenal, tidur
  • Target Hidup (Jangka Pendek)
  • Lulus tepat waktu
  • Berani dan konsisten dalam menulis, setidaknya berani mengirimkan naskah ke penerbit di awal tahun depan
  • No pacaran sampai menikah
  • Khatam Qur'an minimal 2x tahun ini
  • Menulis setidaknya 1 cerpen seminggu
  • Mengurangi jam terbang program SKS
  • Tidur maksimal pukul 12
  • Bangun tidur paling telat pukul 5
  • Konsisten di MB, dan jadi pasukan yang tangguh dan indah pukulannya
  • Kerja di Dinkes Kabupaten Kebumen
  • Bisa membahagiakan orang tua dengan menaikkan haji (amin amin amin)
  • Hemat, nabung sebulan minimal *piiip*
  • Bisa menahan "rasa itu" walau susah
  • Punya publisher sendiri
  • Aaaaa... ini sangat susah untuk bisa konsisten dalam berbagai hal, terutama belajar dan menulis
  • Dateng ke akad nikah-nya teman-teman baik, agak baik, kurang baik dan kuanggap baik walaupun tidak baik padaku, kalau diundang
  • Menamatkan novel pesanannya Syifa tepat waktu!!! (tidak nyaris terlupa, maaf Syifa)
  • Banyak makan sayur
  • Senyum kepada setiap orang walaupun harus dikira orang gila
  • Jangan gampang terpancing emosi
  • Cum laude di semester 4 dan bertahan hingga tamat
  • Tidak caper
  • Lebih berani bicara
  • Tidak mudah down
  • Berani megambil keputusan
  • Semangaaaaaaaaaaaaaaat...
  • Tidak ngeksis, tapi kenal semua warga Perhimak
  • Dapat terbebas dari dengki
  • Puasa Senin-Kamis minimal 2 hari dalam sebulan untuk tahun ini, 3 untuk tahun depan, 5 untuk lusa tahun depan, dan terbiasa hingga selanjutnya... (oh, sepertinyaaa... ini...)
  • menyusul.....
 
Depok, 20 Februari 2011
 
 
saya

Saturday 15 November 2014

Nama

Alinda, antar-lintas-daerah.

Aldilah, alhamdulillah dia lahir.

Badura, bahagia dunia akhirat.

Dude, dua Desember.

Muktia, Muktisari.

Rianti, ....ri dan ...ti.

Riansyah, ...ri dan ...sah.

Nama-nama di atas merupakan beberapa nama orang yang terbentuk dari hasil menyingkat frasa, doa, atau nama-nama kedua orang tuanya. Saya pikir, ini ide yang kreatif. Mungkin, jika suatu saat nanti saya memiliki seorang anak, saya akan mencarikan ia nama dengan metode ini.

Ngomong-ngomong soal nama, sebenarnya saya mempunyai beberapa nama, yang saya temukan dari hasil comot sana, comot sini. Mungkin, beberapa tahun lagi, saya akan menggunakannya untuk menamai beberapa bayi atau justru melupakannya karena mereka tidak memiliki prioritas tinggi untuk saya ingat.

Auri. Bukan Auriga, bukan. Meskipun saya akui, saya memang memungutnya dari kata itu. Auri berarti udara, juga merupakan bentuk jamak dari emas. Di bidang militer AURI sendiri merupakan kependekkan dari Angkatan Udara Republik Indonesia. Ini juga pemlesetan dari kata aurora. Nama aurora sepertinya terlalu bagus dan sulit diucapkan karena memiliki dua huruf R di dalamnya. Jadi, mungkin akan lebih ideal jika saya memendekkannya. Tidak jelas mau dan maksudnya, memang.

Aria/Ariana. Saya memang sangat suka nama yang berawalan huruf A. Orang tua saya menamai saya dengan huruf awal A dan ini membuat saya selalu memiliki nomor absen di awal-awal. Saya ingin anak saya juga merasakan apa yang rasakan, sebagai pemilik nomor absen awal. Kata Aria atau Ariana saya ambil dari Arya. Semoga orang yang menyandang nama ini memiliki tekad dan semangat tinggi, juga kreatif dan pandai mempelajari dan menemukan hal-hal baru.

Arif/Arifia. Di kampung halaman, saya memiliki seorang tetangga yang berumur lebih tua bernama Arif. Ia kawan main saya, ketika masih kecil. Ia memiliki tingkah yang lucu, sifat yang terpuji, dan track record pendidikan yang baik. Saya percaya bahwa sebuah nama dapat mempengaruhi watak pemilik namanya, setelah saya mengamati perilaku si mas Arif ini. Selain itu, saya masih suka huruf A.

Lily. Ini adalah nama bunga. Bunga Lily dapat mekar di musim apa pun, di tempat seperti apa pun. Meski demikian, mereka bukan bunga yang pasaran seperti pacar air. Mereka kokoh, tegar, dan besar. Ada keanggunan juga kecantikan yang melekat pada nama dan penampakannya. Lily merupakan saudara Amarilis, nama kesukaan saya. Karena Amarilis terlalu aneh jika digunakan sebagai nama orang, sepertinya Lily bukanlah alternatif buruk untuk menggantikannya. Yah, lain cerita jika anak saya kembar. Mungkin, saya akan menamai mereka Lily dan Amari, meskipun saya tidak tahu akan memanggil apa si anak yang bernasib mendapatkan nama Amari.

Paramitria. Ini diambil dari istilah dalam statistik, parametrik. Parametrik sendiri berasal dari kata parameter. Yah, semoga orang yang manyandang nama tersebut dapat menjadi parameter yang bagus bagi apa pun di sekitarnya atau yang membutuhkan. Iya, ini juga tidak jelas. Saya hanya suka dengan kata ini, terlihat lucu. Selera saya memag agak aneh.

Raditya. Semua orang (mungkin) tahu bahwa raditya artinya adalah matahari. Sejak SD saya sangat suka dengan nama ini, bahkan sering kali menuliskannya tanpa sadar di buku corat-coret sambil mendengarkan penjelasan guru atau dosen. Namun, saya tidak ingat asal muasal saya mengenal namanya dan apa alasan yang membuat saya menyukainya. Nama Raditya, menurut saya, terlihat sangat indah dan megah. Mungkin jika seseorang memiliki nama hanya Raditya saja, tanpa embel-embel lain, sepertinya ini sudah sangat cukup baginya. Semoga orang yang memiliki nama Raditya dapat menjadi sosok yang bermanfaat dan menjadi cahaya yang menginspirasi bagi makhluk hidup di sekelilingnya.

Thursday 13 November 2014

Senja Bersama, Merkurius dan Venus (2a)

*Saya mengadaptasi judul cerita ini dari judul cerpen seorang adik angkatan, tentu saja dengan isi cerita yang berbeda.*
*Alur cerita lambat dan mudah ditebak. Jika tidak suka, jangan coba-coba membacanya.*
*Ber-genre drama keluarga. Bukan penyuka cerita drama tidak dianjurkan untuk membacanya.*
*Ini bagian ke-2. Bagian ke-1 dapat dibaca di sini*

Selamat membaca! :D
________________________________________________________________________________________________

Kepingan 2a: Takdir yang Tertukar

Deng. Deng. Deng.

Itu suara jam kayu yang kesepian, berdiri seorang diri di ruang baca. Ia menabuh lonceng, yang menggantung malas di badannya, sebanyak tiga kali. Oh. Sudah pukul tiga sore rupanya. Artinya, sudah satu jam lamanya aku duduk bermalasan di atas kursi lesehan berlengan sambil menonton televisi. Satu menit lagi. Oh tidak. Tiga menit lagi. Aku yakin tiga menit lagi, FTV dengan cerita picisan tentang seorang casanova yang jatuh cinta pada asisten rumah tangganya ini akan segera berakhir. Merasa tertantang oleh diri sendiri, aku mencari-cari pengukur waktu untuk membuktikan dugaanku. Aku menemukan selulerku, kemudian menyalakan aplikasi stopwatch yang ada di dalamnya.

Klik. Menit kosong kosong. Sang casanova kini sedang mengendarai motor besar berwarna merah dengan kecepatan tinggi. Wajahnya hampir seluruhnya tertutup oleh helm full face yang dikenakanya. Hanya matanya yang tampak, menajamkan fokus, tetapi juga mengisyaratkan kegelisahan. Ia sedang terlibat dalam aksi pengejaran, mengejar si asisten rumah tangga yang sudah lebih dulu bertolak dari rumahnya, menuju terminal bus ibukota. Pria ini, dikisahkan baru saja lolos dari pergolakan batinnya sendiri. Akhirnya, ia sadar bahwa ia memang menyayangi si asisten, jatuh cinta tepatnya. Jatuh cinta pada kemampuannya dalam meracik jamu tradisional. Namun, ternyata ia terlambat. Sang asisten rumah tangga terlanjur mengundurkan diri karena berbagai uji, salah satunya patah hati karena sang majikan menuduhnya mencuri. Tertebak sekali.

Menit kosong tiga puluh tiga. Sang majikan casanova berlarian di terminal, mencari sosok asisten yang membuatnya gila hingga mengejarnya ke terminal yang tak ia kenal. Ia tampak berlari dari satu sudut ke sudut lain. Butir-butir keringat bermunculan di keningnya, mengalir hingga ke pipi menyerupai air mata yang memilukan. Ketika ia hampir menyerah dan memutuskan untuk menyeret badannya kembali menuju motor besar, yang entah mengapa diperbolehkan terparkir bebas bukan di tempar parkir seharusnya, si gadis asisten rumah tangga itu muncul dari balik dinding.

Menit satu kosong satu. Mereka bertatapan. Kamera di-setting berputar, mengitari mereka, persis seperti adegan di film india. Tampak, mereka yang tengah berdiri berhadapan terpisah jarak hanya sekitar dua setengah meter. Background  musik ala pop melayu mengalun meliuk, mengiringi prosesi saling pandang mereka yang memakan waktu lebih lama daripada lama pencarian terhadap si asisten rumah tangga tersebut.

Menit dua kosong tujuh. Cklik!

Aku bosan. Aku matikan televisi, yang tengah menampakkan dua orang tengah berdialog panjang, saling mengutarakan penjelasan dan mematahkannya sendiri, itu. Aku menghabiskan satu jam yang berharga untuk menonton kisah cinta klise para anak muda yang alur dan akhirnya sangat mudah ditebak. Aku sendiri pun bertanya-tanya, mengapa aku tetap bertahan mengikuti jalan ceritanya, padahal aku sudah tahu akhir dari kisah cinta pasaran mereka berdua. Mungkin, aku terlalu baik. Seharusnya stasiun televisi swasta itu membayarku atau memberiku bingkisan menarik atas jasaku, setia menonton hasil kerja mereka yang setengah payah, setiap hari.

Drrrrt. "Permisi! Paket! Paket!"

Eh? Apakah mereka betul-betul mengirimkan bingkisan menarik sebagai hadiah untuk para pemirsa baik hati sepertiku? Plak. Aku tampar mukaku dengan halus, berniat menyadarkanku dari kantuk yang mulai membuatku berhalusinasi, hingga tak mampu membedakan dunia drama dan nyata.

"Ya, Mas. Tunggu sebentar," teriakku dari dalam ruang keluarga, tempat yang sama dengan tempatku menonton televisi. Sayup kudengar jawaban "oke" dari teras depan.

Aku berjalan ke arah pintu dengan cepat. Kemudian bergegas membukanya dan tampaklah seorang kurir dengan seragam dan topi bercorak oranye cerah, membawa sebuah kardus kecil di tangannya. Mataku tertuju pada sebuah bentuk familiar yang ada di muka topinya. Eh? Bukankah itu logo sebuah toko online yang sangat rajin beriklan di televisi, youtube, bahkan halte bus sekolah Keke dan Dede? Heee? Siapa yang berbelanja online?

"Ibu, ini paketnya silahkan diterima," kata mas kurir sambil menyodorkan kardus berbentuk kubus, berukuran sekitar 15 cm.

Aku menerimanya dengan ragu. Namun, ini aneh karena si mas kurir tidak langsung pergi. Ia merogoh tas pinggangnya mencari-cari benda yang sepertinya penting. Bonkah? Aku curiga, jangan-jangan paket atau pesanan ini belum dibayar. Ah, orang itu memang keterlaluan. Mentang-mentang aku memotong uang jajan bulan ini, ia ingin membalasku dengan menyuruhku membayar barang belanjaannya yang tidak jelas ini. Betul juga. Ia tidak pernah bilang ia akan membeli suatu barang. Ya ampun. Awas saja, kalau nanti ia pulang.

"Mmm... Maaf, mas..." panggilku. Si mas kurir mendongak ke arahku, kebingungan, karena aku menyodorkan kembali paket, yang baru saja kuterima, kepadanya.

"Kenapa, Bu? Salah alamat, ya?" tanyanya tampak resah. Kepalanya celingak-celinguk untuk memastikan, sepertinya mencari plat alamat, RT/RW, atau nomor rumah, yang mungkin terpaku di salah satu dinding rumahku.

"Hmmm.... Jadi..." jawabku terpotong oleh ia yang tiba-tiba menyambar berbicara dengan cepat.

"Jadi, ini bukan rumah ibu Rindah K. Ihsani? Ini jalan Kenanga Nomor 9A, KAN? RT 2, KAN? RW 3, KAN?" tanyanya membabi buta dengan disertai penekanan pada setiap pengucapan kata 'kan'.

"Hoo... Betul, betul, BETUL," sanggahku tak ingin kalah dengan sedikit menaikkan volume suara. 'Cuma, saya nggak pesan apa-apa di toko online mas, loh. Suami saya juga nggak bilang lagi nunggu paket sesuatu. Jangan-jangan, masnya oknum, ya? Mau menipu dengan modus cash on delivery pesanan toko online? Saya bisa laporin mas ke polisi loh!' dalam hati aku ingin mengatakan hal itu.

Namun, entah mengapa kata-kata yang keluar hanya, "Pesanan ini udah dibayar, mas?" dan ditambah dengan bonus senyuman setengah paksa yang pasti sangat aneh dilihat.

Si mas kurir pun tertawa, lalu menjawab, "Yaelah, si Ibu. Cemas amat. Kirain aye salah alamat. Udah kok, udah dibayar. Toko kami sekarang tidak melayani pembayaran di tempat alias semua transaksi dilakukan melalui transfer. Tenang aja deh, Bu. Ini, ibu tinggal tanda tangan di sini dan aye akan segera pergi."

Melongo. Aku masih mencerna keadaan. Pelan-pelan kutorehkan tanda tangan di atas kertas kuning yang disodorkannya.  Lagi-lagi aku berpikir yang tidak baik, tentang si kurir, tentang si toko online, juga tentangnya, suamiku sendiri. Ya Tuhan. Aku hanya berharap Tuhan memaafkan segala pikiran burukku beberapa saat lalu. Inilah aku, ibu rumah tangga dengan pemikiran setara pemikiran bocah ABG labil. Parahnya lagi, si ABG labil ini terperangkap dalam tubuh dan wajah orang dewasa, berusia tiga puluh satu tahun, dengan dua anak.

Eh? Parah? Ralat. Bukan parah, ini anugerah.

Sebentar, aku potong dulu kisah tentangku. Aku ingin mengantarkan si mas kurir sampai pagar sebagai pengganti rasa bersalahku, menuduhnya melakukan hal yang tidak-tidak.

"Yap! Ini pulpennya, mas. Terima kasih, ya," ucapku sopan kepada si mas kurir.

"Oke, Bu. Lain kali, santai aje ye, Bu, kalau dapet kiriman paket, apalagi dari aye. Sayang loh, gara-gara kebanyakkan mikir, ibu nggak menyadari kegantengan muka aye." balasnya, panjang lebar, dengan logat betawi yang kental.

Aku kembali tersenyum setengah terpaksa. Si mas kurir melangkah pergi, keluar dari pagar. Sendirian, karena aku membatalkan niatku untuk mengantarnya hingga ke pagar, setelah mendengar guyonan tidak lucu darinya. Entah mengapa, timbul sedikit rasa sebal akibat perkataannya. Bukan karena ia mengucapkan kata-kata sedikit tidak sopan, melainkan karena ia menerkaku, menyebutku sebagai orang yang terlalu banyak berpikir.

Namun, jika dipikir-pikir, ia tidak salah. Ia mengatakan fakta. Aku memang memiliki kebiasaan berpikir kejauhan. Payahnya, wajahku tidak pandai berekspresi dan aku pun tidak mampu bersembunyi di balik ekspresi palsu ketika aku sedang berpikir. Akuarium. Teman-teman lamaku memanggilku akuarium karena kebiasaanku ini. Orang lewat pun dapat mengetahuiku sedang berpikir bahkan menebak isi pikiranku dengan hanya melihat ekspresi wajahku.

Setelah memastikan si mas kurir telah betul-betul pergi, aku menutup pintu depan dan melangkah ke dalam rumah, membawa serta paket tersebut. Aku memilih kembali mendudukan diri di ruang keluarga. Keke dan Dede tengar tidur siang dengan beralaskan kasur lantai, di sampingku.

Kulirik selulerku, ternyata baru jam tiga lewat tujuh. Mereka baru tidur selama lima puluh menit. Aku bisa membuat mereka terbangun, jika aku membuka paket ini di sini.

Akhirnya, aku meninggalkan mereka yang masih tidur dengan lelapnya, meski terkadang tanpa sadar aksi saling tendang terjadi di antara keduanya. Langkahku berhenti di sebuah ruangan berukuran 4x4 meter, berbingkai rak-rak buku di tiga sisi, yang baru setengahnya terisi. Di tengahnya, ada dua meja: satu meja besar yang lebar dan satu meja kecil nan pendek. Di kedua sisi masing-masing meja, tersembunyi sepasang dudukan kursi berlengan.

Ini adalah ruang baca kami. Tempat favoritku ketika sedang ingin berkarya, tempat belajar paling disukai anak-anak, juga tempat yang paling sering dikunjungi olehnya setiap harinya. Jika kata orang rumah adalah sebuah istana, maka ruangan ini adalah istana dalam istana itu sendiri, baginya.

Ruang baca. Ini tempat yang cocok dan nyaman untuk melakukan aksi penggeledahan terhadap paket ini. Namun, sepertinya aku tidak perlu menggeledahnya karena paket ini memang dialamatkan untukku. Ada nama lengkapku, bahkan nama belakang suamiku dalam catatan penerimanya.

Kutarik penyangga salah satu kursi besar dan segera kududuki tanpa pelan-pelan. Tiba-tiba aku menjadi tidak sabar, terlalu ingin tahu benda apa, yang kemungkinan besar pengirimnya adalah ia. Aku melepas bungkus paket itu dengan sangat hati-hati, tidak ingin membuatnya terkoyak dan tampak tidak rapi. Jika bungkus paket ini berantakan dan rusak, aku tidak dapat membungkusnya lagi. Hanya berjaga-jaga.

Jantungku tetiba berdebar, ketika aku mulai menarik selotip yang menyatukan kedua penutup mulut kardus. Apakah ini sesuatu yang sangat indah atau mahal? Mengapa kardusnya terlihat lucu? Apakah toko online itu juga menjual berlian? Apakah hari ini ulang tahunku? Ulang tahun pernikahan? Satu per satu pertanyaan kekanak-kanakan muncul dalam pikiranku.

Kejutan. Ini adalah kejutan. Sekarang aku yakin, paket ini pasti darinya. Ia tahu bahwa aku sangat menyukai kejutan dan apa ini? Sebuah benda berbentuk balok terhidang di dalam kardus. Aku memungutnya, memperhatikan detail di setiap sisinya, dan aku pun terlonjak.

Ini seperti pernah terjadi. Ia pernah memberiku benda ini, dulu. Dulu sekali. Tidak betul-betul memberikan benda itu untukku sebetulnya. Di lihat dari sisi mana pun, benda ini sangat mirip dengan yang dulu. Merk, desain, motif, bahkan warnanya.

Apa maksud ia memberiku ini?

Apakah ia ingin aku mengingat sesuatu? Ia betul-betul lucu. Aku tidak perlu mengingat apa pun karena aku tidak akan pernah melupakan apa pun. Tidak, kecuali aku mengalaminya tidak dengan bersamanya.

*****
Akhir Desember, 1998. 
Ini adalah malam Minggu yang paling membahagiakan bagiku karena lusa adalah tahun baru. Libur dua hari berturut-turut seperti ini adalah hal langka yang diidam-idamkan oleh banyak orang, tak terkecuali aku. Terlebih, karena aku tidak perlu berjumpa dengan Senin yang menjengkelkan di mana ada pelajaran olah raga di hari itu.

Aku sudah menyusun segunung rencana yang akan kulakukan untuk menghabiskan libur dua hari ini dan tentu saja tidak sabar menanti datangnya esok pagi. Mataku sampai-sampai tak mau terpejam. Keduanya menerawang ke langit-langit kamar, samar-samar membayangkan apa saja yang akan aku lakukan besok. Siluet abu-abu dan putih tergambar jelas dalam bayanganku, menari-nari di atas hamparan pasir yang tersapu ombak kemilau. Aku sangat merindukan pantai.

Aku sendirian di rumah. Dua hari ini ayah, bunda, Rindy, dan Namira akan menginap di rumah tante Sherry, yang baru saja melahirkan anak laki-laki keempatnya. Mereka tidak curiga kepadaku, ketika aku menolak untuk ikut dengan alasan lutut kiriku, yang dioperasi tahun lalu, terasa lebih lelah dari biasanya. Tentu saja aku mengarangnya karena sebetulnya, selepas operasi itu, kakiku sama sekali tidak pernah bermasalah. Aku terpaksa berbohong kepada mereka karena hanya itulah satu-satunya cara agar aku dapat bermain dengan tenang.

"Riiindaaah! Hey, apa kau di rumah?"

Siapa? Sepertinya aku tidak mengundang siapa pun untuk datang ke acara selamatan. Tunggu, sepertinya selamatan itu diadakan di rumah Tante Sherry, bukan di sini. Lagipula, mengapa ia berteriak-teriak memanggil namaku seperti itu? Aneh. Aku seperti mengenali suaranya, jika saja tanpa serak.

"Hey! Rindah! Aku tahu kau di rumah. Tadi sore aku melihat semua anggota keluargamu pergi dengan carry coklat ayahmu. Mereka pasti akan pergi ke rumah Tante Sherry, paling tidak untuk tiga hari. Dan aku yakin pasti kau telah berbohong kepada mereka dengan berkata lututmu bermasalah agar kau diperbolehkan untuk tidak ikut, bukan?" teriak suara yang berasal dari halaman samping itu.

'Sial! Itu pasti Dewa!' batinku. Bagaimana mungkin aku tidak mengenali suaranya. Ada apa dengan suaranya? Aku harus segera membungkamnya sebelum mbak Uci menyadari makna teriakannnya dan melaporkannya kepada ayah.

"Hey, Rindah!" teriaknya lagi. "Lama sekali, apa kau tak takut kalau mbak Uci..."

Ckrkk. Suara pintu samping yang kubuka berhasil membuatnya diam. Aku memberinya pandangan kesal, meskipun dalam hati aku sebetulnya tengah terheran-heran karena ia selalu dapat menebak apa kupikirkan.

"Apa kau tidak bisa sedetik saja membuat mulutmu diam, Wa? Sepertinya lain kali aku harus menyumpalmu dengan kaus kaki Namira. Dan kau tahu Dewa apa akibatnya, jika mbak Uci tahu dan melaporkannya kepada Ayah. Aku tidak main-main dengan perkataanku saat itu. Mengerti???" jawabku sewot. 

Aku sangat sebal dengan sifat kekanak-kanakannya. Tahun ini, ia berumur 14 tahun, tapi tingkahnya masih sama seperti 5 tahun yang lalu, ketika kami pertama berkenalan. Kuduga, tingkah kekanak-kanakkan inilah yang membuatnya tak pernah sekali pun disukai seorang gadis di sekolah, meskipun ia sangat pintar. Ini membuatnya tampak memperihatinkan. Ah, aku melantur.

Dewa tak begitu mendengarkan perkataanku. Sesekali ia menguap lebar dan menggaruk-garuk kaki kirinya, yang kutebak tidak gatal sama sekali, dengan kakinya yang lain. Ia memang selalu seperti itu, menyebalkan. "Ya, Nyonya? Sudah selesai pidatonya, ibu negara?" lagi-lagi ia mengucapkannya. Ia memang selalu menjawabku dengan kata-kata itu. Dan aku hanya menjawabnya dengan mengangkat bahu atau memutar bola mataku. 

Aku akhirnya mempersilahkan ia masuk. Lebih tepatnya, ia sendiri yang memperilahkan diri masuk, dengan mendorongku ke samping pintu sehingga ia dapat melompat masuk dengan gerakan yang tidak terlihat lucu sama sekali.

"Hey, dengar! Kau sudah besar, bocah! Perhatikan perubahan suaramu. Kau tidak pantas bersikap seperti bocah lagi. Mengerti?" Entah mengapa tiba-tiba aku mewujudkan kekesalanku menjadi kenyataan.

Dia terbelalak dan berhenti melompat-lompat. 

Satu, dua, tiga detik, dan ia pun tertawa terbahak-bahak, "Buahahaha... Tentu saja aku bukan bocah lagi. Menurutmu siapa yang lebih bocah di sini? Aku atau kau, bocah?" jawabnya sambil tertawa mengejek. Sombongnya kambuh, ia mulai membanggakan suaranya yang kini memang terdengar lebih berat dibandingkan dua bulan lalu.

Aku dapat merasakan panasnya amarah merayapi pipiku. Memang untuk beberapa hal, aku lebih kekanak-kanakkan daripada dia. Namun, ini bukan berarti bahwa ia lebih dewasa dariku. "Tentu saja kau yang lebih bocah karena aku satu tahun lebih tua darimu, bocah!'

"Sepuluh bulan, dua puluh lima hari tepatnya! Itu belum genap satu tahun, Ndah!" jawabnya meralat kalkulasiku.

"Ya! Tapi sudah beda tahun lahir. Itu sama saja," tentu saja aku tak mau mengalah.

"Jelas berbeda, Rindah. Lagipula, bukankah kita berada di tingkat yang sama? Wah! Apa ini artinya? Jika bukan karena aku yang terlalu pintar, pasti karena kau begitu bodoh. Apa kau pernah me-ngu-lang kelasmu selama satu tahun, Ndah? Hahahaha..."

"STOP, Dewa! Kau mulai mengusik topik ini lagi. Aku tidak suka, INGAT?!! Bertingkahlah sesuai umurmu, Dewa!" akhirnya emosiku meledak. Sekarang aku yakin, aku dapat membuatnya merasa bersalah karena sekarang ia terlihat menundukkan kepalanya. Mungkin saja sekarang matanya berkaca-kaca atau malah mungkin sudah mulai basah? Ia memang jail, tapi juga sangat sensitif dan sangat benci dibentak. 

Tiba-tiba, seperti muncul suatu energi dari dalam diriku yang menonjok perasaanku. Apa aku sudah keterlaluan padanya?

Aku mendekatinya, merendahkan tubuhku agar dapat sedikit mengintip wajahnya dan tiba-tiba, ia berteriak dengan sangat keras "BRAAH!!! Ya, nyonya? Ada yang bisa saya bantu?" 

Ia melompat ke depan, ke arahku yang tengah memperhatikannya dengan cemas, membuatku terkaget dan terjengkang ke belakang. Tentu saja ia hanya tertawa terguling-guling di sofa menyaksikan posisi dan ekspresi wajahku yang tengah memancarkan aura marah, cemas sekaligus terkejut. 'Aku menyesal mengkhawatirkanmu, Wa!'

"Ya! Ada! Tinggalkan aku sendiri, kecuali kau ada urusan penting denganku atau memberiku SESUATU MENARIK yang baru!" jawabku akhirnya, begitu acak. 

Namun, sepertinya, ini berhasil membungkamnya. Kulihat ekspresi wajahnya berubah. Ia sudah berhenti tertawa dan mengalihkan segala fokus perhatiannya pada tangannya yang tengah mengorek-orek satu per satu saku-saku celana longgarnya.

"Aha! Aku punya ini, Ndah!" sebuah benda tiga dimensi, berbentuk persegi panjang, tetiba muncul di depan mataku. Aku tak cepat mengenali benda itu. Terlebih karena benda ini terpoles warna silver jernih, memantulkan cahaya yang masuk melalui ventilasi pintu kamar Rindy yang setengah terbuka. Silau dan aku membutuhkan setidaknya lima detik untuk mengenalinya dengan baik.

"HARMONIKA!?" teriakku seketika. Kurebut benda itu. Kuputar-putar sembari mengamati setiap detailnya. Aku selalu tertarik dengan setiap alat musik yang dibawanya, begitu pula dengan harmonika ini. Ini pertama kalinya aku melihat dan menyentuh harmonika dengan indra perabaanku sendiri. Ia tampak begitu kaku, mengkilat dan misterius.

"Kau suka? Rindah?" tanya Dewa memotong aktivitasku yang tengah terbengong-bengong mengamati sebuah benda mungil di genggamanku.

"Lumayan," jawabku singkat dan datar. Tentu saja aku sangat menyukainya. Aku sangat menyukai setiap benda-benda yang bersuara, bahkan jika benda itu hanyalah atap teras belakang, yang bersuara ketika diterpa reruntuhan hujan. Atau sekadar suara teko teh Bunda, yang bersiul dengan nada tinggi di setiap pagi. Aku sangat menyukai mereka, meskipun Ayah sangat tidak suka ketika aku bilang aku menyukai musik.

Aku mengalihkan pandanganku dari harmonika itu kepada Dewa. Aku ingin sekali mengatakan terima kasih. Namun, aku tidak ingin membuatnya besar kepala dan mungkin... aku terlalu gengsi untuk mengapresiasi seseorang yang lebih muda dariku. Apalagi jika orang itu adalah Dewa.

"Sama-sama," kata Dewa tiba-tiba.

"Apa? Aku tidak mengatakan apa-apa," protesku.

"Yeah, tapi matamu mengatakan segalanya, Ndah!" jawabnya dengan cekikikan.

"Oke, baiklah. Terima kasih, Dewa!!!" ucapku datar, akhirnya, masih tanpa memandangnya. Seluruh perhatianku seolah hanya dapat tercurah untuk benda di tanganku ini.

"Oke, tak usah memaksakan. Ayo mulai rekaman!" katanya sambil mengeluarkan alat perekam.

"Ehh? Jadi, lagi-lagi ini bukan untukku?" jawabku, pura-pura kaget.

Entah mengapa, kali ini, justru Dewa yang sepertinya menampakkan keterkejutan. Alisnya mengendur, air mukanya menampakkan kesalahtingkahan. "Apa kau sangat mengingkannya, Ndah? Maaf. Aku tak bisa memberikanmu yang ini juga. Aku hanya, yeah... kau tahu, kan? Menerima apa yang diberikan oleh Papa... dan tentu saja meminta tolong padamu untuk memainkannya... dan aku akan merekamnya... dan menunjukkannya ke Papa ketika ia pulang... dan... "

"Hahaha, iya, boy! Aku hanya bercanda, tentu saja! Aku juga tidak mungkin menyimpannya untukku, di rumah ini. Jika Ayah menemukannya, ini bisa berbahaya. Kena kau, Dewa!" kataku. Geli sekali melihatnya bertingkah salah tingkah dan lucu seperti itu.

Semenjak kepindahan keluargaku ke kota belimbing ini, lima tahun lalu, aku telah berteman akrab dengan Dewa. Dari sinilah aku mengenal dan menyukai musik. Dewa sangat pandai dan tahu banyak tentang musik, tapi tidak untuk memainkannya. Ia pandai sekali mengulang apa yang diajarkan ayahnya, tapi tidak mampu mengaplikasikannya. 

"Terkadang aku penasaran, mengapa takdir kita seperti tertukar," katanya tiba-tiba.

Aku diam, tidak memiliki jawaban yang cukup baik untuk kuberikan padanya karena diam-diam aku pun sebetulnya sering menanyakan hal yang sama.

"Hey, ayolah! Kita sudah terlalu sering membicarakannya. Aku bosan. Sekarang, aku sudah tidak sabar untuk mencoba harmonika ini. Ini alat musik tiup pertama yang kau perlihatkan kepadaku, Dewa. Ayo kita ke tempat itu!" jawabku sembari menariknya ke sebuah tempat.

Ia hanya diam dan menurut. Aku tahu ia tengah memikirkan hal itu. Ia pasti akan bersedih setelah ini dan aku tidak suka melihatnya bersedih.

"Dewa. Kau mau ikut ke pantai denganku?" ajakku, spontan.

"Kapan?" tanyanya.

"Besok pagi. Kita langsung berangkat setelah subuh. Tidak boleh telat, karena ini akan menjadi perjalanan yang sangat panjang," jelasku.

"Oh begitu," jawabnya datar. Aku menoleh padanya, berharap memperoleh tambahan jawaban. "Baiklah, saya akan ikut, jika Nyonya memang memaksa," imbuhnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Tidak ada yang memaksamu untuk ikut, bocah!" timpalku ketus. Namun, sebetulnya aku lega. Ternyata, ia baik-baik saja.


*****
Lima belas tahun yang lalu, di tanggal yang sama, ia, suamiku, Dewa, memperlihatkan harmonika yang sama rupa dengan harmonika di hadapanku saat ini. Ternyata, paket dari toko online itu berisi harmonika ini. Kejutan darinya ini membuatku teringat pada hari itu. Kata-katanya di hari itu, kembali terngiang.

"Terkadang aku penasaran, mengapa takdir kita seperti tertukar."

Jika diingat-ingat, waktu itu ia memang tengah mengalami masa yang berat. Masih 14 tahun umurnya saat itu, tetapi ayahnya mulai menggantungkan harapan padanya. Ia, memiliki seorang ayah yang berprofesi sebagai seorang konduktor dan pemain musik, dengan spesialisasi piano. Beliau juga mengajar musik di sebuah universitas swasta di Jawa Barat, kalau aku tidak salah ingat. Selain itu, beliau adalah pendiri Four Seasons Orchestra. Sebuah orkestra yang secara rutin mengadakan pertunjukan di setiap tengah musim, di empat negara berbeda. 

Ayahnya, menginginkan atau lebih tepatnya menganggapnya memiliki bakat yang sama dengannya. Namun, ternyata bakat itu tidak diwariskan secara genetik kepada Dewa kecil. Ia sama sekali tidak mampu memainkan alat musik apa pun, bahkan terbilang sangat payah untuk sekadar membunyikan solmisasi dengan benar. 

Inilah yang membuatnya memintaku untuk memainkan alat-alat musik, yang diberikan oleh ayahnya sejak ia berumur 11 tahun. Alhasil, ia terbiasa "menggunakanku" untuk memainkan alat-alat musiknya itu. Awalnya, ia mengajariku bagaimana cara memainkan alat-alat musik tersebut, menuntunku hingga mampu memainkannya dengan mahir. Selanjutnya, ia akan merekam permainanku dan memperdengarkan hasil rekaman itu kepada ayahnya. 

Kami berdua sama-sama pembohong cerdik yang menikmati setiap kebohongan yang kami lakukan. Kami tahu, ini adalah dosa. Namun, kami juga masih belum bisa menerima takdir kami. Aku dengan larangan ayahku dan ia dengan tuntutan dari ayahnya. Kebohongan besar ini, justru membuatku begitu bahagia menerima "permintaan bantuannya", pun dengannya yang juga begitu bahagia dapat "menggunakanku".

Lalu mengapa ia nekad memintaku? 

Aku bukan orang seperti tokoh fiksi August Rush, yang sangat jenius dalam bidang musik, hingga mampu mengarang dan mengaransemen lagu tanpa mengikuti sekolah musik. Aku juga bukan orang yang terlahir dengan bakat musik, yang dapat memainkan setiap alat musik meski baru pertama kali menjumpainya. Namun, menurutnya aku dapat menerka nada dengan baik, setidaknya jika dibandingkan dengannya. 

Setelah bertemu dengannya, aku menyadari bahwa aku memiliki ketertarikan diam-diam terhadap musik. Sayangnya, aku memiliki seorang ayah yang sangat tidak menyukai musik. Bahkan untuk sekadar mengucapkan do-re-mi dengan nada flat di depannya, aku tak berani. Hingga saat ini, aku tidak tahu pasti alasan ayah begitu membenci musik dan aku tidak berani menanyakannya. 

Saat aku dan Rindy seusia Keke dan Dede, kami tidak pernah bernyanyi bersama ayah. Ayah pasti pergi, melenyap tanpa jejak ketika salah satu dari kami mulai bernyanyi. Beruntung, kami sudah besar ketika Namira, adikku, lahir. Ia tidak perlu kesepian ketika bernyanyi, karena ada aku dan Rindy yang menemaninya.

"Ibuuu!!! Huweee. Ibu di mana?" terdengar sebuah suara cempreng disertai rengekan tangis yang dibuat-buat membuatku terkaget. Aku terbangun dari lamunan tentang kenangan masa kecil, lima belas tahun lalu. Itu suara Dede. Ia pasti bangun karena terkaget. 

"Ibuuu, Dede berisik! Aku udah bilang ibu ada di rumah, tapi ia tetap nangis!" kata Keke yang sudah menemukanku di ruang baca dan segera berlari ke pangkuanku. Tangannya mengucek matanya yang terlihat merah. Sepertinya ia masih mengantuk.

"Ya. Dede di mana sekarang?"

"Nggak tahu, deh. Keke ngantuk, mau tidur lagi," jawabnya sekenanya, tak memberiku petunjuk. Ia berjalan ke pojok kanan ruang baca, ke arah sebuah karpet berbulu, berukuran satu setengah meteran yang memang sengaja kutata dan kuletakkan di sana.

"Keke, kok nggak sopan begitu jawabnya. Kebiasaan, deh. Jangan tidur di... Eh? Sudah tidur lagi? Telat," kataku, ternyata pada diriku sendiri. Sepertinya Keke memang belum betul-betul bangun ketika ia mendatangiku. Ia tidur seketika, begitu badannya menempel di karpet. Dasar bocah ini, persis sekali ayahnya.

Aku menggendong Keke dan memindahkannya ke kamar berdinding kuning pastel milik si kembar ini. Ternyata, Dede juga ada di dalam kamar itu. Ia meringkuk di atas kasurnya sendiri yang berada di pojok dalam. Posisinya membelakangi arah pintu. Namun, aku dapat melihatnya tengah memeluk boneka Naruto, tokoh animasi kesukaannya. Aku tidak mendengar suaranya dan dapat kulihat punggungnya bergerak pelan. Sepertinya Dede juga sudah kembali tertidur.

Keke tak terusik sedikit pun, ketika aku merebahkannya di atas kasurnya yang bernuanasa ungu lavender. Kurapikan posisi kaki dan kepalanya agar tidak kaku ketika bangun nanti.

Setelah selesai dengan Keke, aku berjalan ke arah Dede yang memang betul-betul sudah tertidur dengan mulut terbuka. Lelap.

Jadi, apa itu barusan? Mereka betul-betul bangunkah atau hanya mimpi sambil jalan? Dasar bocah. Jam dinding burung hantu di kamar mereka menunjukkan pukul 3.20.

Baru beberapa menit aku melamun di ruang baca. Namun, rasanya seperti baru saja melakukan penjelajahan waktu hingga belasan tahun. Mungkin, ini yang menyenangkan dari sebuah kenangan. Ia dapat membayar kerinduan, juga menyajikan kembali rasa dan sensasi yang sama seperti saat ketika mengukirnya.

Drrrrt. Drrrrt.

"Ada pesan?"

Belum sampai tanganku meraih selulerku, jendela pop up terhidang di layarnya, menghidangkan sebuah pesan, 'Ibu, sepuluh menit lagi ayah sampai. Jangan terlalu merindukanku, ya!'

Ish. Pesan macan apaan ini. Eh? Sepuluh menit? Gawat. Aku lupa. Ia bilang bahwa hari ini ia akan pulang cepat. Kupandangi seisi rumah. Kuingat-ingat beberapa hal dalam daftar pekerjaan soreku. Aku belum menyiapkan air dan menu makan malam. Rumah masih berantakan. Aku bahkan belum jadi belanja ke minimarket. Keke dan Dede tidur, aku tidak bisa meninggalkan mereka. Belum lagi paket di ruang baca masih berserakan.

Aduh. Aku sedang tidak siap dikomentari. Apakah aku harus meminta bantuan si kembar lagi? Baiklah. Sepertinya, aku akan berpura-pura ikut tertidur ketika menidurkan si kembar.



*****


(bersambung)

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...