Tuesday 18 November 2014

Note FB Tua: Refleksi di Tingkat Sebelas

Bukan apa-apa. Sungguh! Ini note isinya cuma tugas dulu jaman kelas XI.
Dianjurkan tidak usah dibaca karena tidak layak baca.
Tujuan di-upload-nya ehn....coretan ini adalah biar aku ngga suka mengeluh lagi seperti dulu (mungkin sampai sekarang) dan ngga terlalu membanggakan diri sendiri.
Sekali lagi dianjurkan tidak usah dibaca.

Refleksi dimulai
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Selesai.





1 Juni 2009
Bismillahirrahmanirrahiim....

Setahun Berlalu
“Pencarianku Belum Jua Berujung”
Anifatun Mu’asyaroh



Akhir tahun ajaran 2008. Cukup berat hatiku meninggalkan kelas pertamaku di SMA, Brownies X.1. Meninggalkan keceriannya, kegokilannya, kehangatannya dan teman-teman yang telah setahun lamanya berjuang bersama dalam mengusir remidi dan menciptakan kegaduhan. Apalagi, setelah tahu ada beberapa teman dekat yang tak kan mungkin bersama lagi dalam satu kelas. Seperti ada satu potongan puzzle yang hilang dalam hidup. ‘Ah…individualis sekali, masa mau sekelas terus, gimana bisa punya teman banyak kalau teman-teman kita itu-itu saja. Semangat!!!’, pikirku. 

Pagi hari di pertengahan Juli, hari pertamaku di kelas XI, masih terbayang nilai-nilaiku --yang terjun bebas di akhir semester 2-- ketika roda depan sepedaku melintasi gerbang depan sekolah. Tiba-tiba, seorang karib datang menyambutku dan menyetop laju sepedaku, lalu berkata sambil melonjak-lonjak, “An, kita di IPA 1. Aku duduk sama kamu lagi, ya!”

Tak percaya. Aku mengangguk dalam senyuman, meskipun sebenarnya aku dilanda kebingungan. Berkali-kali muncul kalimat tanya yang sama di kepalaku “kenapa aku masuk di kelas itu?”. Bahkan, sampai saat aku sudah memasuki ruang kelas sementara itu (saat itu ruang kelas XI IPA 1 yang sebenarnya dipakai untuk MOS), aku masih tak percaya. Aku takut terpuruk di kelas itu. Kusalami satu per satu orang-orang yang akan setahun bersamaku itu. Sejak kecil aku mempunyai kebiasaan memperhatikan tingkah laku orang, dan kebiasaan itu pula yang kuterapkan di hari itu. Kupandangi mereka (selain anak-anak X.1) dengan seksama, tentu tanpa sepengetahuan mereka. Mereka bergaul dengan anak-anak dari kelas asal yang sama. ‘Ah itu wajar,Ani! Ayo semangat!!! Dekati mereka dan jadikan teman!’, bisikku dalam hati yang mulai bosan melihat kekakuan itu. Jujur, aku tidak suka dengan orang-orang yang ngeblok. 

Seminggu pertama, baru kusadari ternyata tidak semua dari mereka seperti itu. Beberapa di antara mereka langsung akrab denganku dan bahagia aku. Alhasil untuk sementara waktu, hilanglah pandanganku tentang anak-anak IPA 1 yang pilih-pilih teman. Sementara!

Namun, aku masih tetap saja merasa tidak nyaman. Entah kenapa, aku merasa belum bisa mengikuti irama kelas yang masih sangat baru bagiku. Sebagian dari mereka begitu tergila-gila pada nilai. Setiap aku memasuki ruang kelas, suasana yang tampak adalah kawanan orang-orang yang tengah sibuk memelototi buku. Entah saat itu ada tugas atau tidak. Hal ini sungguh tidak biasa di awal-awal tahun pelajaran seperti ini. ‘Wah benar-benar manusia pilihan yang masuk kelas ini’.


Aku semakin berusaha untuk mengimbangi kehebatan mereka. Jika mood sedang baik aku akan lebih rajin mengerjakan berbagai soal-soal latihan, terutama matematika dan kimia. Namun, hal itu hanya bertahan di bab pertama matematika saja, “TRIGONOMETRI”. Aku tidak lulus pada bab tersebut, sehingga membuatku agak bosak pada mapel ini. Matematika yang sejak SMP sangat kugemari, berangsur-angsur hilang kharismanya di mataku, hingga membuatku mual dan mulai menyepelekan kehadirannya. Kini, aku menyejajarkannya dengan mapel fisika yang sangat tidak aku kuasai.  

Semakin bertambah hari aku semakin merasa aneh di kelas METANA ini. Suatu kelas yang amat sulit ku mengerti, terlalu dalam untuk diselami. Keadaan kelasnya tidak sesuai dengan kepanjangan namanya yang megah. Entah apa kepanjangannya. Namun, yang aku ingat di dalam patah-patah hurufnya terkandung arti yang kurang lebih “komunitas penghuni suatu kelas eksakta yang megah”. Nama itu sendiri ditentukan dengan terburu-buru dan semoga tidak  terkesan asal-asalan. 

Awalnya, kelas itu bakal dinamai “SEPATU” singkatan dari Sebelas IPA Satu. Namun, tidak direstui oleh wali kelas kami, Bu TL (nama panggilan para siswa kepada salah satu guru kimia kami, Ibu Tri Lestari) dengan alasan,”Sepatu itu,  letaknya di bawah, diinjak-injak. Memangnya kalian mau jadi kelas terbawah dan diinjak-injak?”. Lantas kami menetapkan nama baru yang lebih terkesan artistik, ”MAGENTA”. Hampir seluruh anak menyetujui nama tersebut, dan dimulailah penyusunan tema dan konsep kelas. Saat kami hampir memulai pembelian alat-alat dekorasi, terdengar kabar kalau kelas tetangga mempunyai konsep warna serupa, yaitu ungu. Akhirnya, kami pun mengalah dan mulai mencari nama lain bagi kelahiran kelas XI IPA 1 yang baru ini. Setelah beberapa petinggi kelas bermusyawarah dan berkonsultasi dengan Bu TL, terciptalah sebuah nama yang disadur dari salah satu senyawa kimia, Metana, hanya dalam hitungan menit. 

Aku begitu bersemangat pada saat pendekorasian –setiap awal tahun ajaran baru di SMANSA diadakan lomba menghias kelas dalam rangka merayakan HUT SMANSA yang jatuh pada tanggal 1 Agustus-- itu. Aku berpikir saat-saat seperti itu adalah saat yang tepat untuk beradaptasi, dan saling dekat satu sama lain. Meski hari Minggu pun, kami datang dan mulai mendekor. Namun, hal yang terjadi tidak seperti yang kupikirkan. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Sibuk dengan kerumunan masing-masing. Sehingga, mereka tidak akan mulai berbuat sebelum diuprak-uprak. Alhasil, bukan “mari bekerja sama dalam gembira” yang terjadi, tetapi “mari bekerja agar selesai”. Hasilnya, kelas yang rapuh lah yang terjadi. Para penghuninya kurang bersatu sama lain, seperti yang pernah dikatakan oleh Bu Tuti, tapi tepatnya seperti apa, aku tidak ingat.  Menurutku, mereka kurang mengamalkan ilmu pendidikan kewarganegaraan.


Di semester awal seperti saat itu, semangat belajar dan stok percaya diriku masih penuh. Aku berani berekspresi dan berpendapat dengan ribuan pikiran positif yang masih tergantung rapi di kail-kail pikiranku. Hingga sementara waktu, aku lupa dan tidak peduli dengan keadaan kelas yang seperti itu. Lalu aku nikmati satu penemuan baruku yang aku kira sudah sempurna kala itu, yaitu arti persahabatan. Aneh memang. Tadi kusebutkan bahwa orang-orang di Metana ini sulit ku mengerti, tetapi entah mengapa di sini aku malah menjadi paham kenikmatan bersahabat itu seperti apa. Berteman tidak harus sama dalam segala hal. Sahabat bukan orang yang selalu mengikuti dan selalu berada dekat serta nempel seperti perangko padaku. Perbedaan dalam suatu pertemanan bagaikan putih telur dalam martabak, yaitu sebagai perekat dan penghubung.

Tak terasa waktu telah mendekatkan seleksi LMP ke depan mata. Aku yang dari SMP sangat menyukai mapel biologi –di samping matematika—mencoba mencari mujur lewat seleksi itu. Siapa tahu aku lolos, hehehe… Aku tahu, sudah ada ahli biologi yang tidak lain tidak bukan juga sahabatku sendiri.  Tapi tak salah kan kalau aku mencoba mencari potensi diriku. Apalagi aku ingin menjadi seseorang yang jago dalam bidang farmasi, yaaa… paling tidak seorang apoteker lah... Dan di sinilah kumulai pencarianku……

Sabtu siang di bulan tak tahu, aku memasuki ruang kelas XII IPS 3 dan menerima 3 lembar soal seleksi LMP Kimia, melangkah ke  pojok kanan ruangan, lalu duduk di atas satu-satunya kursi yang tersisa. Ya… aku berubah pikiran tentang biologi. Kutinggalkan seleksi biologi yang juga berlangsung di hari itu. Entah kenapa aku terbujuk –padahal tidak ada yang membujuk-- untuk megikuti seleksi mapel kimia yang sebelumya tak terpikir sama sekali. Namun, kimia lah modal utamaku untuk menjadi seorang ahli farmasi, Akhirnya, kuputuskan untuk mengikutinya. Di luar dugaan, aku hampir tidak dapat mengerjakan soal-soal yang sebenarnya tidak terlalu susah itu. Di tengah kebingungan, kuterima sms dari sahabatku yang jago biologi yang isinya….. 

”An, bio yg ikt slksi cm 5 org.dah mst km msk lh. cptan k lab bio!dtggu!”

Maka dari itu aku nekat mengikuti seleksi itu. Apalagi yang ikut saat itu hanya 6 orang, termasuk aku. ‘Wah peluangku untuk masuk akan semakin besar,’ anganku. Lalu, kuselesaikan soal-soal kimia itu secepat mungkin agar dapat segera melanjutkan mengerjakan soal-soal biologi. Setelah sampai di lab, kuambil satu bendel soal yang ternyata, ‘Innalillahi… angel banget!’ Akhirnya, kukerjakan soal-sol itu semampuku, dengan harapan lolos limit mendekati nol. Waaaaaah… parah. Inilah akibat dari sifat plin-planku. ‘Huft….. Coba kumantapkan pilihan pada biologi saja atau kimia saja, dan kupelajari salah satunya dengan serius, pasti hasilnya tak kan seburuk ini,’ sesalku. Apalagi bagaimana tanggapan guru-guru yang mengoreksi jawaban-jawabanku, mungkin mereka akan melotot atau menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan kebodohanku ini.


Beberapa hari kemudian, aku sudah mulai melupakan tentang seleksi itu. Aku pun mulai melakukan pencarian selanjutnya….”mencari bakat-bakatku yang lain”. Ketika majalah Karisma sekolah menempelkan iklan tentang pencarian karya-karya dalam bentuk tulisan, hatiku merasa tercolek. Belum pernah semangat menulisku mengebu-gebu seperti saat itu. Aku kumpulkan informasi mengenai persyaratan-persyaratan untuk mengirimkan karya –meski di iklan sudah ada, tetapi aku begitu suka bertanya-- pada temanku, salah satu redaktur Karisma, sampa ke detail terkecil. Sebab begitu antusiasnya aku saat itu. Lalu, kutulis sebuah cerpen berjudul “My Real Superhero is…” dan sudah selesai kuketik.

Namun, tak dinyana-nyana tugas-tugas yang lain berdatangan mengharuskanku mengerjakannya. Sedangkan ulangan semester 1 semakin dekat. Hingga deadline pengumpulan tiba, cerpenku belum sempat menyentuh printer. Hyaaah…kali ini aku gagal lagi mengirimkan karyaku. Dulu aku tak jadi ikut seleksi anggota Karisma karena takut gagal. Namun, sekarang aku sudah gagal sebelum aku takut. ‘Semangat!!! Masih ada semester 2. Jangan takut pada kegagalan!’ hiburku. Sejak saat itu frekuensi menulisku kembali jarang. Entah kerena bosan, entah tidak sempat, atau entah lupa. Dan kulanjutkan kehidupan yang biasa-biasa lagi….


‘Aku semakin paham bahwa tidak semua orang tahu apa yang aku mau, so aku harus mengungkapkannya. Dan apa yang masing-masing orang bisa, aku tak harus terlalu berusaha untuk sama bisanya dengan mereka karena setiap orang mempunyai kelebihannya masing-masing. Yang aku harus lakukan adalah mengembangkan apa yang sudah aku bisa dan punyai, jangan mau yang muluk-muluk. Namun, toh tak salah jika aku terus mencari!’ Aku masih terus melakukan pencarianku. Pencarian akan teman, bakat, potensi, dan bagaimana rasanya menjadi orang penting. 

Kegiatan yang masih terus kulakukan dari awal semester 1 hingga kini adalah menggambar arsiran. Cukup banyak gambar yang telah kuhasilkan, meskipun dari hasil mencontoh gambar yang sudah jadi. Namun, tak apa hal itu baik untuk menyeimbangkan otak kanan dan otak kiriku. Semakin lama aku semakin berpikir, ‘Apakah ini bakatku yang sebenarnya? Menggambar atau melukis? Waaahh…alangkah indahnya kalau benar. Aku bisa sekolah seni kalau lulus besok,’ ujarku dalam hati. Sejenak, terlupa tujuan utamaku menjadi seorang apoteker yang hebat. 

Aku terlalu banyak berkeinginan, sehingga hal itu membuatku sering diliputi kebingungan sepanjang waktu. Aku terkadang diam menyendiri memikirkan sesuatu, mencari inspirasi, atau menyanyi dalam hati –tapi aku tak pernah ingin menjadi penyanyi--. Diamku yang tiba-tiba itu terkadang membuat kawan-kawan atau keluargaku memandang aneh diriku. ‘Ah… whatever!’ 

Setelah sembuh dari kediaman, seringkali aku lupa tentang apa yang aku renungkan baru saja. Mungkin hal itu dipengaruhi oleh penyakit pikunku yang sudah akut. Saking akutnya sampai-sampai sudah 8 kali hpku ketinggalan di wilayah sekolah. dan seanyak 8 kali itu pula aku menambah jarak perjalananku ke sekolah karena harus mengambil hp yang tertinggal itu. Pikunku semakin parah di semester 2 kelas XI ini. Resolusiku untuk tahun ajaran depan, ‘Aku berharap tidak pelupa lagi’. Amiin.


Semester 2 di kelas ini adalah semester terburuk sepanjang hidupku. Dalam hal sekolah, nilai-nilaiku bukan main hancurnya. Sekarang nilaiku bukan lagi terjun bebas seperti saat kelas X semester 2 dulu, melainkan sudah jatuh ke dalam sumur tak berdasar dan tak tahu kapan akan mencapai nol. Sungguh ironi. Cita-citaku menjadi seorang apoteker seakan kandas di tengah laut karena nilaiku hancur di mapel fisika dan pas-pasan di mapel kimia dan biologi. Nyaliku semakin ciut. Dan aku jadi lebih sering merenung….

No comments:

Post a Comment

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...