Saturday 10 September 2011

Hari Terakhir di Kebumen

'Semoga esok hari, Sabtu, adalah hari terakhir di Kebumen yang menyenangkan dan bermanfaat! Aamiin,' begitulah yang harapan yang aku ucapkan saat aku akan memejamkan mata malam tadi. Namun, namanya juga harapan, apa yang terjadi benar-benar ngga sesuai dengannya.

Aku bangun sangat siang, makan pagi beberapa saat sebelum jam makan siang, tidur siang di jam tidur siang dan guling-guling di kasur seperti kucing cacingan. Huff! Kacau, hancur lebur agenda hari ini.

Entah! Sekali lagi, entah! Setiap aku pulang kampung pasti aku selalu ribut di detik-detik terakhir di kampung seperti ini. Hari ini aku kelabakan karena dalaman jilbabku tak mampu aku temukan di manapun. Dua! Dan keduanya itu pun hilang! Tak nampak batang hidungnya! (eh?? Sejak kapan mereka behidung?)

ish! Aku ingat sekali terakhir kali aku menaruhnya, yaitu di... Diii... Di mana ya? Namun, aku ingat sekali bahwa kemarin aku melihatnya di kamar. Entahlah untuk hari ini. Hadeeeh...

Selalu kacau saja di sehari sebelum berangkat ke depok. Dulu baju yang lupa dikecilin ke penjahit. Dulunya lagi tentang kupon acara skin yang kupa dijual yang membuat aku merepotkan ibuku untuk menemaniku berkeliling dan singgah ke rumah-rumah tetangga.

Dipikir-pikir, aku memang selalu merepotkannya. Sedikit hal yang kuperbuat untuk membantunya di setiap kepulanganku. Uhnn... Mama, maaf ya. Aku masih terlalu kekanak-kanakan dan malas. Aku masih saja ceroboh dan teledor seperti aku yang masih TK dulu. Malu sebenarnya, Ma...

Nasihatmu tiga jam lalu tak akan aku lupakan. Do'akan anakmu yang kurang pandai dan kurang pede ini agar bisa menaikkan kemampuan dan keimanannya di rantau orang ya, Ma...

Aku berangkat! Bye... Ma! :D

Friday 9 September 2011

Belajar dari Kenalan (1)

Gue ingat pada seorang teman seangkatan gue.

Entahlah! Nggak seperti biasanya, gue terlalu biasa dan datar saat pertama kali bertemu dengan dia. Biasanya, gue akan selalu tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang orang yang baru gue temui. Namun, entah karena dia terlampau biasa atau dia memang terlalu luar biasa, gue nggak ngerti, gue sangat-sangat tidak tertarik utuk mengenal dia. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya isu dan gosip yang mampir di telinga gue tentang dia.

Gue mendengar banyak sekali hal kurang positif mengenai dia. Dia yang gampang "lompat" dari batu loncatan yang satu hingga yang lainnya, tergantung pada secantik apa katak yang berada di atas batu tersebut. Dia yang katanya suka beropini tanpa aksi. Dia yang katanya terlalu mudah meringis dan mudah menekuk semangatnya saat dianugerahi tugas dan cobaan. Yeah! Kurang lebih seperti itulah tentang dia yang gue dengar dari teman-teman seangkatan gue yang lain.

Gue mulai penasaran terhadap dia sejak saat itu. Namun, terlalu malas untuk memulai perkenalan. Toh dia sendiri merupakan tipikal orang yang pemilih dalam mengajak berkenalan. Gue sadar diri, gue nggak mempunyai daya tarik fisik yang menarik perhatian orang-orang. Gue cuek dan nggak peduli.

Hingga suatu hari, keluhan tentang dia dari orang-orang pun berhasil membakar rasa penasaran gue. Suatu ketika, gue berhasil menyampaikan unek-unek orang mengenai dia, tepat di depan hidungnya, dengan blak-blakan, dengan berapi-api mungkin. Saat itu kami berempat, berdiskusi di meja persegi kantin. Mungkin seharusnya ada lima orang, tapi orang kelima itu sedang mencetak sebuah flyer acara besar kami. Teman cewek gue mengingatkan gue untuk tidak terlalu membeberkan keluhan orang tentang "dia" karena dikhawatirkan akan timbul perpecahan dan permasalahan baru, terlebih buat gue. Namun, gue tetap berceloteh. Gue berpikir kalau kejujuran adalah jalan keluar dari semua gosip, salah paham dan fitnah. Gue sangat nggak suka dengan yang namanya menggosip, mengobrol di belakang dan men-judge orang dengan seenak udel.

Gue berharap, dengan gue menyampaikan unek-unek orang tersebut, dia bakal mengerti dan mengintrospeksi dirinya sendiri. Gue nggak pernah bermaksud menjadi seorang pahlawan yang seolah-olah berhasil mengubah seorang anak nakal menjadi anak baik yang rajin menabung. Nggak! Gue cuma pengen tahu bagaimana sebenarnya dia menurut dia, dari sudut pandang dia. Bagaimana dia menyikapi apa yang dikatakan orang. Yeah! Mungkin gue yang terlalu memikirkan pendapat orang tentang gue ini bisa belajar dari metode menghadapi masalahnya. Namun, sepertinya dia OK OK saja, dia nggak terlalu berbuat banyak. Alhasil, dia tetap demikian hingga saat ini. Awalnya, dia sempat kaget sesaat setelah perkataanku, tapi ya tetap biasa saja. Dia lugu dan tulus, tapi memang ada satu sisi yang membuat kejengkelan gue mendarat di atas sisi itu. Dialah dia, memang itulah dia. Gue sama sekali nggak berhak memaksanya berubah menjadi orang dengan watak yang gue inginkan. Egois sekali! Gue tutup kuping tentang dia dan....

Malam itu, gue berhasil membuat dia mengingat nama gue: Anifatun. Dia nggak pernah memanggil gue dengan nama singkat gue: Ani. Ini progress yang cukup besar karena membuat seorang anak laki-laki mengingat nama gue adalah termasuk sebuah peristiwa besar bagi gue.

Suatu dini hari, dia mengajak gue chatting. Gue kaget, karena di mata gue dia itu mengidap penyakit "10% lelaki pemain". Gue udah curiga, kalau dia mempunyai maksud tertentu, astaghfirullohal'adziim... Meskipun gue udah bersusah payah untuk bepikir positif, gerak-gerik dan giringan arah percakapannya memang menjuruskan ke sebuah maksud. Dia memulai percakapan dengan banyaknya tugas UTS yang belum dia kerjakan karena terlalu sibuk memikirkan program dan penyusunan proposal kegiatan tertentu. Gue bilang bahwa kita nggak jauh beda, sebab gue juga belum seiap menghadapi UTS. Blablabla.... Tiba-tiba dia bertanya tentang sebuah nama anak cewek, seorang teman sengakatan kami juga. Cantik dan supel orangnya.

Gue bingung, meskipun hal ini udah gue tebak bakal terjadi sejak awal percakapan tadi. Gue pikir, dia berpikiran kalau gue tipe orang yang blak-blakan dan mudah dimintai keterangan atau info atau bocoran rahasia (mungkin?). Gue memang ingin selalu berkata mengenai kejujuran, kecuali mengenai diri gue sendiri, tapi gue bukanlah tipe orang yang suka membeberkan rahasia, informasi atau sejenisnya yang belum didahului penyelidikan, pernyataan atau kebenaran.

Dia bertanya kepada gue, "Apa yang gue tahu tentang C? Siapa cowok yang dia taksir? Dan kira-kira apa yang C pikirkan tentang dia?"

Gue dengan lantang menjawab, "Oh! Jadi tujuan lo ngajak gue chat? Gue nggak ngerti tentang C, gue bukan orang terdekatnya, dan yang gue tahu C adalah tipe orang yang fokus pada hal yang tidak macam-macam." Gue tidak menuliskan kalimat yang sama dalam chatting tersebut, tapi inti dari jawaban gue adalah seperti itu.

Lalu dia menjawab, "Ah! Sia-sia gue ngobrol panjang lebar!"

Pelajaran yang gue dapat dari mengenal orang ini adalah:
1. Jangan mudah menerima opini dan gosip yang beredar di khalayak umum, meskipun kabar tersebut seolah-olah sangat benar. Tidak ada sebuah kebenaran absolut selain atas kehendak-Nya dan Dialah yang Mahabenar. Gue harus observasi dan kritis menerima setiap informasi.
2. Jadilah seorang yang jujur, tetapi bukan blak-blakan. Kembali ke poin 1, berpikir dan bertindak kritis adalah kunci dari keberhasilan dan kebenaran. Tenang dan tidak gegabah dalam memcahkan sebuah permasalahan.
3. Jangan terlalu mudah menilai orang dari luarnya.
4. Jangan mudah terpancing perkataan orang. Harus fokus dan konsentrasi dalam melaksanakan setiap hal agar tidak terjebak dalam lubang di tengah jalan. Jika gue jatuh ke lubang itu, bisa saja nggak cuma gue yang rugi tapi orang lain, bahkan orang banyak.
5. Lebih berpikir humanis.
6. Jangan mudah emosi dan men-judge orang.
7. Belajarlah menerima orang apa adanya, bagaimana karakteristiknya. Ambil mana yang baik yang mampu diambil dan ingatkan dia manakala dia melakukan sesuatu yang sekiranya memang kurang pantas dihadirkan di depan umum.
8. Percaya pada diri gue, bahwa gue memang bisa dan punya kebisaan.
9. Sabar dan tabah meskipun gue nggak terlalu dikenal. Setelah tabah saatnya berpikir dan beraksi untuk meyakinkan orang lain bahwa gue ada dan gue punya kebisaan. Ini gue dengan bagaiamanya gue dan dengan apa yang gue punya.
10. Tetap semangat, Ani!!!!

Thursday 8 September 2011

Nai (1)

Kisah ini tentang Nai. Nai bertemu Robert pada suatu senja larut. Dia memperhatikan Robert yang tampak cupu dengan rambut bergaya John Lennon dan kacamata minus berbingkai besi tak bercat. Kalau kau tahu kacamata milik Harry Potter, kacamata Robert sama sekali tidak mirip dengan kacamata Harry. Jika, kau mengenali dengan pasti kacamata Betty Lavea dan mengira kacamata Robert akan mirip dengan miliknya, maka kau juga salah besar. Pokoknya kacamata itu aneh, dan parahnya, kacamata itu yang membuat Nai tertarik mengamati Robert.

******

Nai sama sekali tidak mengenal Robert hingga suatu hari dia menginjak bulpoin bergambar Spongebob yang terjatuh di samping kaki Robert. Tindakan tidak sengaja Nai membuat bulpoin Spongebob itu tertawa keras khas Spongebob: “Aaahahaha’! Aaahahahha’!” Sontak seluruh mahasiswa di kelas itu pun tertawa terpingkal-pingkal, tak terkecuali Nai dan Pak Matthew, dosen yang sedang mengajar mata kuliah Anatomy saat itu.

Satu-satunya orang yang tidak tertawa hanyalah Robert. Jika kau mengira dia membisu dikarenakan malu, maka kau salah. Dia tidak pernah mengenal kata malu dalam kamus hidupnya. Lalu, jika kau mengira dia diam karena tertidur, maka kau juga sangat salah. Baginya, terlelap di tengah-tengah perkuliahan merupakan salah satu tindakan paling amoral di dunia. Lagipula, dia adalah pemenang lomba nonton tv paling lama tanpa tertidur selama 5 tahun berturut-turut di kotanya. Rekor terlamanya adalah 27 jam 23 menit 5 detik, jadi sangat tidak mudah baginya untuk tertidur di depan dosen saat jam perkuliahan. Lalu apa yang lakukan dalam diam itu? Oh tidak! Dia memang tidak melakukan apa-apa! Dia diam, menatap lurus ke layar dan sesekali mencatat istilah-istilah yang berada di slide.

Jlep! Perlahan gemuruh tawa mulai berhenti dengan sendirinya. Mereka salah tingkah karena melihat Robert yang tak bertingkah sedikit pun. Nai yang awalnya merasa bersalah dan mengira telah membuat malu Robert ke seantero kelas berubah ekspresi mukanya di depan Robert yang tanpa ekspresi. Diambilnya bulpoin Spongebob yang terjugkal parah di lantai dan diserahkannya kepada Robert yang bermuka datar sedatar tembok sambil berkata, “Maaf ya, kawan!”

Diam. Tidak ada respon dari Robert. Nai mulai bosan dengan orang itu. Situasi dan suasana ini semakin terlihat berlebihan saja. Bagaimana mungkin orang ini marah setengah mati hanya karena bulpoinnya terinjak? Akh!

“Maaf, tuan muda yang terhormat! Maaf karena aku telah menginjak bulpoinmu yang lucu ini,” kata Nai seraya menyerahkan bulpoin berwarna kuning cerah itu. Namun, Robert tetap tak menjawab. Dia menunduk tepekur dan khusyuk pada buku catatannya. Hal ini membuat Nai sangat kesal hingga membuatnya setengah berteriak, “Hei, tuan muda cupu berkacamata kuda! Aku sedang bicara padamu!”

‘Berhasil!’ pekik Nai dalam hati. Akhirnya, Robert mengalihkan pandangannya ke Nai. Kacamatanya tebal dan berbingkai besi tak berwarna, menyembunyikan sebuah kilatan mata tajam yang mampu membekukan nyali siapa pun yang menatapnya. Siapa pun atau hanya Nai?

“M... Mm-aaf!” hanya kata itu yang mampu Nai ucapkan.

“Sudah empat kali kau mengucapkan kata maaf. Apa kau hanya mengenal kata itu? Oh iya, sepertinya kau salah alamat,” jawab Robert tenang memandang lurus ke arah mata Nai. Penghuni kelas yang lain seolah-oleh terhipnotis oleh percakapan mereka, bahkan Pak Matthew berhenti memainkan mouse komputernya. Sebaris adegan telenovela seakan tengah berputar di layar yang tertancap tengah kelas. Nai salah tingkah untuk yang kesekian kalinya menerima terpaan aura teman-teman dan dosennya yang super berlebihan itu.

“Apa maksudmu dengan salah alamat, tuan?” tanya Nai seperempat emosi.
“Bolpoin itu bukan milikku, tapi milik gadis berbaju kuning di sebelahku yang saat ini sedang ke kamar mandi,” jawab Robert sambil menunjuk sebuah kursi kosong di sampingnya. Tiba-tiba terdengar suara kekehan tertahan dari seluruh penghuni kelas itu. Robert tak lagi memandang Nai. Perhatiannya telah beralih kepada sebuah buku tebal di hadapannya yang sedang ia bolak-balik. Deg! Angin topan superkencang seakan baru saja menerpa kepala Nai hingga membuatnya jatuh tertunduk keras dengan awan-awan hitam memayungi di atasnya.

“Siapa namamu?” tanya Nai dengan kepala yang masih tertunduk.

Krekk! Suara pintu kelas terbuka diikuti masuknya seorang gadis berambut coklat tua panjang dan berbaju kuning cerah. Dia menuju kursi di mana Robert dan Nai berada. Diliriknya sebuah benda kuning yang tergeletak di meja Robert dan tiba-tiba dia berteriak, “Aaaaa! Robert! Terima kasih telah mengambilkan bolpoin itu. Akhirnya kamu perhatian juga sama aku. Aaaa *^$#*^&$#!@%#$@&^%$#E#$………” kata gadis itu dengan cerewetnya kepada Robert.

“A… Arigatou, R..R-obert-san!” kata Nai membuat si gadis berbaju kuning berhenti mengoceh.
Robert terdiam dengan wajah yang masih menghadap ke buku. Tak ada yang tahu bahwa sebenarnya dia kaget karena Nai tiba-tiba berkata terima kasih. Dia menoleh kepada Nai, memandang matanya sejenak, lalu menyunggingkan kedua sudut bibirnya dengan sangat simetris. “Iie… Douitashimashitte, Nai-chan!”
“………”

(bersambung)

Depok, 30 Desember 2010

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...