Friday 21 November 2014

Wa Favorit

Barangkali, saya tidak akan pernah sampai di sini, di titik ini, jika saya memutuskan untuk tidak mau mengenalnya. Bagi saya, dia merupakan salah satu orang paling berpengaruh dalam perjalanan hidup saya. Dia bukan ayah saya, tetapi memori masa kecil saya dengan dan tentangnya jauh lebih banyak dan menyenangkan, jika dibandingkan dengan kerabat saya yang lain, bahkan mungkin dibandingkan dengan ketika dengan ayah saya sendiri. Saya memang tinggal bersama Romo, sapaan saya kepada ayah saya, tetapi ketika saya masih kecil, dia lah orang yang lebih sering menyengajakan diri untuk datang ke rumah kami dan bermain dengan saya. Romo memang lebih betah beraktivitas di luar rumah dibandingkan berdiam diri lama-lama di dalam rumah. Tidak hanya berkunjung, dia selalu membawakan saya hal baru yang membuat saya kegirangan. Tidak hanya berupa barang, tetapi juga pelajaran atau sekadar pengalaman. Dia adalah wa favorit saya. Wa nomor 1 di dunia.

Namanya Sidik. Saya memanggilnya Wa Sidik. Dalam bahasa jawa, wa merupakan sebutan untuk kakak dari ayah atau ibu. Semacam Pak Dhe atau Bu Dhe. Dia adalah anak ke-6 kakek dan nenek saya, dari pihak ibu. Dengan kata lain, dia adalah kakak termuda Mama, sapaan saya kepada ibu saya, karena dia lahir tepat sebelum Mama. Meskipun dia lebih tua dari Mama, tetapi dia tidak menikah lebih dulu dari Mama. Mama memang "melangkahi"-nya dalam urusan pernikahan, hanya dalam hal pernikahan. Menurut pengamatan saya, Wa Sidik merupakan kerabat yang paling dekat dengan Mama. Tidak hanya dalam hal jarak umur, tetapi juga dalam ikatan persaudaraan. Dia adalah orang pertama yang dicari oleh mama untuk dimintai tolong, orang yang sangat dapat kami, saya dan mama, andalkan dan percayai.

Dulu, ketika dia masih menjadi satu-satunya orang yang belum menikah di keluarga mama, dia merasa memiliki tanggung jawab paling besar terhadap kaki dan nini, kakek dan nenek saya. Meskipun dia sudah memiliki cukup uang untuk membeli atau membangun rumahnya sendiri, dia memutuskan untuk tetap tinggal bersama kaki dan nini, di rumah kelahirannya --juga saudaranya yang lain, di tengah desa Karangsari. Rumah itu juga merupakan kantor baginya. Di sana lah dia bekerja sepanjang hari, sepanjang waktu, dengan profesinya sebagai penjahit seragam sekolah.

Wa sebetulnya orang yang pandai. Dibandingkan dengan saudaranya yang lain, dia memiliki riwayat pendidikan paling baik. Dia merupakan lulusan STM Kebumen. Ya, lulus, di saat wa-wa yang lain hanya tertarik bersekolah hingga tingkat SD atau SMP. Mama sendiri hanya tamat MTS. Mama memutuskan untuk berhenti sekolah, ketika dia duduk di kelas 2 Madrasah Aliah. Kurang jelas apa alasan yang membuatnya berhenti. Namun dari apa yang saya tangkap dari ceritanya bertahun-tahun yang lalu, pada zamannya, banyak sekali anak perempuan yang lebih memilih untuk ngode (bekerja) atau menikah dini dibandingkan bersekolah hingga tingkat SMA. Berbeda dengan Mama, Wa merupakan orang yang konsisten dan sangat tertarik pada hal-hal yang sarat pengetahuan. Dia juga suka mempelajari hal baru. Dia terlihat sangat bahagia ketika menonton berita, untuk kemudian mendiskusikan isi berita tersebut dengan orang-orang yang menurutnya asyik diajak berdiskusi. Ketika saya belum kuliah dan masih tinggal di Kebumen, salah satu partner diskusinya adalah saya. Kami terkadang membangun dugaan-dugaan motif atau modus operandi dari sebuah kasus kriminal atau sekadar melontarkan opini ringan tentang kabar yang tak kalah ringan.

Wa cukup lama melajang. Entah karena tanggung jawabnya mengurusi kaki nini dan usaha keluarga (usaha jahit), entah susah menemukan wanita idaman, atau entah memang suka berlama-lama melajang. Dia menikah ketika saya duduk di kelas 3 SD, atau sekitar 11 - 12 tahun setelah Mama menikah. Saya sangat ingat hari itu, hari pernikahannya, di suatu Jumat yang cerah.


Hari Bersejarah Wa
Saya sedang belajar di dalam ruangan kelas 3 SDN 1 Karangsari, ketika tiba-tiba wali kelas saya memanggil saya. Beliau bilang saya harus pulang karena Mama menjemput saya. Saya deg-degan, penasaran, dan kegirangan. Itu adalah kali pertamanya saya dijemput dan diizinkan pulang di saat jam pelajaran tengah berlangsung. Saya tidak peduli apa alasan Mama menjemput saya lebih awal, yang penting akhirnya saya dapat mengalami dan merasakan bagaimana rasanya pulang cepat. Dari dulu, saya memang menantikan saat-saat seperti ini. Rasanya dijemput dan tidak mengikuti pelajaran seperti itu merupakan hal yang keren dan dapat membuat orang-orang penasaran, hingga membuat si anak yang pulang cepat menjadi pusat perhatian. Rasanya seperti menjadi orang penting yang dibutuhkan oleh dunia dan dinantikan kedatangannya di tempat lain selain sekolah. Setidaknya, itu yang saya pikirkan ketika saya melihat teman saya dijemput dan pulang di tengah pelajaran. Dengan cekatan, juga kepala yang memanas dan serasa menjadi lebih besar dari biasanya, saya segera mengemas buku-buku dan alat tulis saya, memasukkannya ke dalam tas yang besarnya melebihi besar tubuh bagian atas saya. Saya melenggang pergi, dengan dagu terangkat, meninggalkan teman-teman di kelas yang memandang saya penasaran hingga keluar kelas.Saya merasa menjadi orang spesial saat itu.

Di luar kelas, Mama sudah menunggu. Dia terlihat sedang terburu-buru, kemudian segera mencidukku, meletakkan saya di atas boncengan. Tidak ada banyak percakapan yang terjadi saat itu. Saya hanya diam dan manut (menurut), ke mana pun dia membawa saya pergi. Saya masih merasa keren karena dapat skip kelas. 

Akhirnya, saya tiba ke sebuah tempat yang saya kenal. Rumah Mba Sri. Di sana banyak sekali orang berkumpul. Mereka berbaju rapi. Beberapa wanita memakai make up tipis. Para orang laki-laki memakai baju batik dan kopiah atau peci. Saya masih tidak punya petunjuk tentang alasan di balik "penculikan" ini. 

No comments:

Post a Comment

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...