Monday 16 December 2013

Mengapa Kau Melamarku Saat Itu?

Kau mengenakan kaos biru muda berhiaskan pelangi dan tampak tengah memiliki percakapan setengah serius dengan sepupu perempuanku. Kalian berdiri memalang di pintu laboratorium. Bagaimana kalian bisa menjadi begitu dekat? Bahkan ketika berbulan-bulan aku dan kau hidup bersama, waktu itu, kita berdua tak cukup memiliki kedekatan seperti itu. 

Ini membuatku bertanya-tanya, "Mengapa kau melamarku saat itu? Bukan dia saja atau perempuan yang bertetangga kamar dengannya, yang pernah sangat kau cintai lahir dan batin?" 

Aku benci harus melewati kalian yang tengah berbincang akrab tanpa tahu tempat. Aku ragu, lalu kuputuskan untuk menunggu. Beberapa menit berlalu kalian tak juga berpindah tempat, meski belasan orang berlalu lalang melewati pintu itu. 

"Kalian mengganggu! Sial!" teriak seorang remaja lelaki berseragam SMA, yang baru saja melewati pintu itu. Entah mengapa, aku merasa senang, mereka diteriaki. 

Akhirnya, aku memutuskan untuk mengikuti jejak anak lelaki bermulut kasar itu. Aku sudah menyiapkan kata-kata makian, yang lebih memerahkan telinga, untuk kalian. Aku siap memaki, kalau-kalau kalian terlalu sulit untuk menyingkirkan badan. Dan tentu saja aku tidak peduli jika wajahku akan terlihat oleh kalian berdua. Toh, aku dan kau tak lagi punya urusan, tak lagi tersatukan oleh sebuah ikatan. Terlebih aku yakin, di sini hanya aku yang merasakan kesakitan oleh kecemburuan. Ya, aku memang akan tetap dan terus cemburu, meski kini aku tak lagi berhak melakukan itu. 

Aku mendekat. Kebetulan kau membalikkan badan. Kalian tak lagi saling berhadapan. Punggungmu terlihat jelas membelakanginya. Apa kalian tetiba bertengkar? 

Namun, hey, ini kesempatan baik untukku lewat tanpa terlihat. Kunaikkan kecepatan langkahku dan sekejap telah kucapai pintu. Dengan sigap, aku putar daun pintu hingga kaitnya terbuka dan badan pintu itu terhuyung ke dalam. 

Aku siap berlari ke dalam laboratorium. Namun, tiba-tiba, "Hap," tangan kananmu memblokade jalanku dengan rentangannya yang membentuk sebuah palang pintu. Aku terhalang, terhenti di antara kalian. Kau masih membelakanginya dan kini bertambah aku. Mata kita tak bertemu, tapi aku yakin sepasang mata lain dari sosok sepupu bertalian darah, yang tengah berdiri di belakangku, tengah tertuju padaku. Aku dapat merasakan tusukan imajiner yang membuat isi kepalaku tak lagi bekerja sesuai tugasnya. 

'Please, boy! Get out of my way. I wanna come in!' batinku. 

Tetiba kau menyingkirkan tangan kananmu, memberikan akses untukku. Aku terkaget. Otakku menyuruhku untuk berlari, segera masuk. Namun, tubuhku berpendapat lain. Ia bergeming, tak sedikit pun mau bergeser dari tempat yang menyulut kengerian itu. Apa ini? Jantungku berdegup kencang seperti ketika pertama kali aku bertemu denganmu. Jatuh untuk kedua kali? 

Butuh lima detik hingga aku dapat menguasai dan mengendalikan diriku sendiri. Ketika aku siap untuk melangkah masuk, kau membalikkan badanmu. Dan sekali lagi, kau menghalangi jalanku, berganti dengan tangan kirimu. Dengan jelas aku melihat wajahmu. Wajah yang sama, yang menyimpan misterinya sendiri, yang tak pernah dapat kemengerti. Melihat wajah itu, pilu dan amarah menghardirkan tenaga baru bagiku. 

"Singkirkan!" kataku dengan suara sedikit bergetar. Kau menurut tanpa sedikit pun memandangku. Aku dapat melangkah masuk, tetapi aku merasa terusir oleh cintaku sendiri. Apakah ini benar-benar telah berakhir? Cinta yang bertepuk sebelah tangan tak akan pernah menemukan pasangan tangannya? Tak akan pernah benar-benar bertepuk tangan? 

Kembali aku bertanya, "Mengapa kau melamarku saat itu?" 

***** 
Langit senja Jakarta. Tak kemuning, tak dilukisi jingga memerah. Abu-abu. Abu-abu di mana-mana. Aku menikmatinya sembari duduk di atas ayunan. Monumen bermahkota emas itu berdiri tegak, mencuat ke atas seperti ingin menusuk langit. Mengapa harus dia yang terhadir di hadapanku? Mengapa aku duduk di atas ayunan karet ini? Berayun tanpa henti, sembari memandangi monumen tua congkak, yang tampak berlompat-lompat seiring ayunanku yang bergerak konstan, ke depan dan belakang. 

Aku terhenyak, bersandar ke penyangga punggung ayunan karet itu. Gerimis sedikit demi sedikit mengiklankan diri, mendarat lemah di atas pangkuanku dan membuat basah rok coklat panjangku. 

'Aaargh, aku masih ingin di sini,' teriakku dalam hati. Aku tak peduli lagi dengan malam yang mulai menyergapi, dengan gerimis yang mulai membanjiri. Aku ingin membekukan perasaanku untukmu, menghanyutkan semua pikiran ilegalku tentangmu. 

Kutarik penutup kepala yang menyatu dengan jaket hoodie-ku. Terbungkam. Suara gerimis terdengar sedikit terbungkam, menyisakan suara dalam yang bergemericik menghantam tanah merah di bawahku. Terpagari. Aku hanya melihat ke depan, ke monumen bermahkota emas yang samar-samar mulai terselimuti kabut, tanpa melirik ke samping, tanpa menilik ke belakang. 

Bermenit-menit, aku masih melayang, berayun lemah tanpa ingin memijak tanah. Air langit ini mulai menelusup memasuki pori jaketku. Dingin mulai menjilati kulitku. Langit mulai menghitam pekat. Mungkin sudah seharusnya kusudahi upacara kesedihan bermandikan gerimis ini. 

Kuberhentikan laju ayunanku. Diam di tempat, kutatap monumen bermahkota emas itu untuk terakhir kalinya di hari ini. Semenit? Mungkin lebih. 

Aku tak pernah berkawan ketika pulang dan kali ini ingin sekali aku memilikinya. Aku kembali teringat akan kau. Kau lagi dan kau lagi! Apa tak cukup gerimis ini menyingkirkanmu dari pikiranku? Aku tertunduk frustasi. 

Tetiba, suara terkekeh terdengar dari arah kananku. 

'Kau!!!' teriakku dalam batin. 

"Iya aku!" jawabmu sembali tersenyum dengan cara dan sesuai ciri khasmu. Butiran air mengalir dari rambut ikal pendeknya yang basah, melewati dahi, lekukan mata, dan menetes melalui ujung hidung sedikit mancungmu. 

'Apakah dia sudah lama berjongkok di sampingku? Dihujani gerimis? Disuguhi pemandangan menjijikan tentang perempuan sakit jiwa yang tengah berayun sembari menantang hujan?' 

Aku merasakan datangnya aliran panas di pipi, menguapkan rintik gerimis yang menerpa wajahku, mengusir dingin yang baru sebentar menghinggapi. Aku dapat menatap mata hitam pualammu dan senyum serupa pisangmu. 

"Tunggu aku di sini. Aku akan mengambil sepeda motorku," katamu. Kemudian kau berlari ke arah alun-alun kota, menghilang tenggelam di tikungan tajam. 

Aku merasa aneh karena aku mengangguk dan menuruti perkataanmu, diam menanti di bawah pohon asam sambil memelintir tali gantungan ayunan. Aku menanti hingga gerimis berubah menjadi hujan sejati. Aku menanti hingga sekujur tubuh tak mampu mengingat rasanya kehangatan. Aku menanti hingga lama sekali dan tak mampu membedakan kenyataan dan mimpi. Dan... 


***** 
...benar saja, ini adalah mimpi. Dalam mimpi pun, aku dipermainkan oleh rasa dan hati. 

2 comments:

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...