Sunday 15 December 2013

Cerpen Gagal

Judul        : *belum kepikiran mau dijuduli apa*
Genre       : Friendship, Music, Poetry, Drama
Setting     : Middle School Life
Rate         : K+
Characters: Kau dan ACI's characters
Summary : 
Ini adalah cerpen tentang perjuangan Guru Jay, Andi, Cahaya, Ian dan teman-temannya dalam *melakukan sesuatu*. Cerpen ini baru sepertiga jalan tapi gagal alias tidak jadi dikirimkan, karena telat nyadar kalau saya tidak memenuhi persyaratan umur dan pendidikan--> ketuaan dan bukan lagi pelajar sekolah -____-




“Tidak ada kata terlambat bagi seorang pemimpi yang memiliki mimpi untuk mewujudkan mimpi-mimpi orang lain,” sayup-sayup terdengar suara seorang lelaki dewasa berpenampilan nyentrik dari arah kelas 9D. Guru Jay, itulah panggilan sehari-hari yang dilayangkan kepadanya di sekolah. Ia tampak nyaman saja dengan panggilan, yang sebetulnya kurang sopan untuk ukuran sebuah panggilan sapaan bagi seorang guru, itu. Guru Jay adalah seorang guru musik yang selalu memiliki ide-ide unik. Saking uniknya, ia sering kali membuat para siswanya, bahkan rekan sesama gurunya tergeleng-geleng karena takjub atau saking tidak pahamnya.


“Maksud Guru?” tanya seorang siswi yang duduk di pojok kanan tepat di depan meja guru. Wajah bulatnya terlihat semakin bulat karena ia mendongakkan kepalanya dengan berlebihan hingga rambut panjang yang ditirainya tak mampu menutupi pipi-pipi chubby­­-nya. Matanya membelalak sempurna, dahinya berkerut hebat hingga nyaris menyatukan kedua alisnya.


‘Anak ini terlalu penasaran atau memang ia terlalu lama dalam mencerna apa yang kuucapkan?’  batin Guru Jay. Ia tampak terkekeh geli ketika mendengar pertanyaan siswi tersebut. “Hahaha. Begini Nanda,” Guru Jay mulai menjawab pertanyaan dari siswi yang ternyata bernama Nanda itu, “tadi kita semua sama-sama mendengar apa yang dikatakan Andi, bukan? Ia berkata bahwa ia hanya seorang pemimpi dan ia terlalu pesimis dapat mewujudkan cita-citanya sebagai seorang guru musik karena...”


“...guru musik sekeren Anda, Guru Jay,” potong Andi sembari mengoreksi ucapan Guru Jay.


“Oke, Andi... sebagai seorang guru musik yang sekeren gue, hahaha...karena Andi merasa ia terlalu terlambat dalam mengenal dan mempelajari musik. Begitu bukan?” seluruh siswa mengangguk serentak. Beberapa di antaranya terkekeh sambil menirukan gaya bahasa gaul lo-gue ala Guru Jay. Guru Jay diam dan tersenyum, sembari menanti mereka kembali terfokus kepadanya. Setelah mereka diam, ia kembali malanjutkan, “Namun, ia tidak terlambat, tentu saja. Apalagi jika tujuannya adalah untuk memperkenalkan musik kepada anak-anak di daerahnya, sedari dini. Kalian kira semua jenius musik selalu memulai berlatih membaca not balok dan bermain piano ketika mereka mulai merangkak, hm? Tidak bukan? Come on, anak-anak! Kejeniusan hanya menyumbang tak lebih dari 10 persen dari suatu keberhasilan. Lalu sisanya? Tentu saja niat untuk mau mencoba hingga akhir dan kerja keras tanpa bosan,” kata Guru Jay dengan suara mantap, tapi terdengar lembut dan menyenangkan.


“Jadi, tak perlu menjadi jenius seperti Mozart dan Beethoven, Guru? Yang penting usaha?” tanya seorang siswa laki-laki berkacamata persegi yang langsung diiyakan oleh siswa laki-laki bermata coklat terang yang duduk sebangku dengannya.


“Oh, jadi kalian berdua berpikir seperti itu, Ichsan? Bagas? Nah, kau tahu Ichsan bagaimana akhir hidup Mozart, yang cemerlang sejak muda?” tanya Guru Jay sembari mendekatkanlangkahnya menuju meja duduk Ichsan dan Bagas.


Ichsan terdiam. Tangan kanannya membetulkan letak kacamatanya yang melorot ke ujung hidungnya yang mungil. Ia pun menjawab dengan pertanyaan, “Sukses? Berumur panjang dan memiliki band atau kelompok musik yang terkenal?”


“No, boy! Dia mati muda, Ichsan... dan dalam keadaan miskin,” jawab Guru Jay singkat.


“Betulkah? Bagaimana mungkin?” tanya Andi kaget.


Guru Jay tersenyum penuh arti. “Karena ia  terlalu jenius, hingga lupa caranya bekerja keras dalam memanajemen kejeniusan dan kehidupannya, boy. Baik. Sepertinya ada yang masih belum berkenalan dengan tokoh-tokoh musik dunia, nih. Sepertinya, ini mengasyikkan untuk dijadikan tugas pekan ini. Hahaha!” kata Guru Jay. Sontak, seluruh kelas bergidik sekaligus menjadi ramai oleh keluhan-keluhan. Hampir semuanya menyalahkan Ichsan yang ditengarai menjadi penyebab “penganugerahan tugas musik ini”.


“Oke, anak-anak, silent please! Tidak usah terlalu bersemangat seperti itu, hahaha,” teriak Guru Jay dengan volume yang ternyata tidak cukup membuat siswanya mengalihkan perhatian kepadanya. Mereka masih saja berteriak, menawar keringanan tugas, meminta pemberian tugas dibatalkan, dan sebagainya. “Bocaaah! Diam, woy!” teriak Guru Jay dengan volume yang bisa jadi dapat menggetarkan kaca jendela ruangan kelas itu. Sontak seluruh siswa terkaget dan kembali duduk diam di bangku masing-masing. “Berkelompoklah menjadi lima kelompok dan pilih salah satu genre musik dan.... “ 


Kriiiiing,suara bel istirahat berbunyi.


“...dan kumpulkan kertas draft-nya setelah istirahat di meja saya. Draft-nya berisi nama anggota kelompok, genre musik dan nama tokoh yang akan kalian bahas dalam paper  kalian. Dan satu lagi... Setiap kelompok wajib membuat rancangan pementasan musik sesuai genre yang kelompok kalian pilih,” jelas Guru Jay yang ditanggapi dengan hening oleh anak-anak sekelas. Bukan karena mereka sudah paham dan bersedia menerima tugas tersebut dengan senang hati, melainkan karena mereka tak menyangka akan mendapatkan tugas yang menantang semacam ini secara spontan dan tiba-tiba. 


“Tugas ini akan kita bahas pekan depan! Yeay, tidak sabar menanti hari Rabu datang lagi,” Setidaknya mereka perlu beberapa detik untuk tenggelam dalam alam bawah sadarnya masing-masing, mencerna setiap poin tugas yang disampaikan oleh Guru Jay dan ketika mereka tersadar, Guru Jay sudah keluar dari kelas meereka.


“TIDAAAAAK!!!” setidaknya dua per tiga siswa 9D berteriak histeris mendapati tugas ini mengandung unsur “pementasan” dan Guru Jay tidak akan pernah main-main setiap ucapannya.


*****
Awan mendung memayungi ubun-ubun setiap siswa 9D. Mereka tidak menyangka pelajaran musik mereka, yang diawali dengan suka cita sembari mendengarkan dan menceritakan cita-cita masing-masing anak-anak 9D, berakhir suram seperti ini. Nanda dan Tiwi, si kembar siam beda ayah ibu, yang duduk sebangku, telah bertanya ke anak-anak kelas 9C dan 9E perihal pemberian “semacam tugas aneh” dari Guru Jay kepada kelas mereka dan jawabannya adalah sama-sama TIDAK. Hal ini membuat awan mendung di langit-langit kelas 9D semakin hitam.


Pasalnya, ini hanya dua bulan menjelang Ujian Nasional. Mereka harus meningkatkan kapasitas belajar mereka pada mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional. Mereka berpikir bahwa tugas yang diberikan Guru Jay hanya akan mengurangi jatah waktu belajar mereka yang berharga. Apalagi Guru Jaya membumbui tugas dengan kata "pementasan” yang artinya sembilan puluh sembilan persen, apa pun yang terjadi nantinya, Guru Jay pasti akan mewujudkan pementasan ini tetap terselenggara.


“Andiii! Ichsaaan! Bagaaas! Nandaaa! Tiwiii! Ke mari!”teriak seorang siswa laki-laki yang selalu memakai jaket setiap saat.


“Apa sih, Iaaan! Berisik deh!” jawab Tiwi dengan muka sebal. Teriakan siswa laki-laki berjaket yang dipanggil Ian itu memang sangat keras. Ditambah lagi, suara tenor yang unik, tetapi lebih mendekati cempreng seakan menggaruk-garuk telinga. Kelima orang yang namanya dipanggil itu pun mendekati Ian dengan tujuan agar ia tidak lagi menimbulkan polusi suara bagi warga kelas lain.


“Apa sebaiknya aku melaporkan ini kepada papaku?” tawarIan.


“Ini? Ini apa? Oh tidak! Maksudmu bukan tentang...” jawab Nanda sambil membekap mulutnya sendiri.


“Tepat sekali! Tugas ini tidak penting sama sekali. Kita sebentar lagi ujian loh. Ingat, kan? Kita tidak mungkin menuruti perkataan Guru Jay yang semaunya sendiri ini. Pak Salman, Papaku, kan kepala sekolah. Hanya papaku yang dapat membuat Guru Jay, membat...”


“TIDAK, papa’s boy!”jawab kelimanya serentak membuat Ian terlonjak di tempat.


Andi pun mendekati Ian. Diraihnya telinga kiri Ian kemudian berbisik dengan volume bisik yang tidak mampu didefinisikan sebagai suatu bisikan, “Sudah saatnya kamu keluar dari balik ketiak papamu, Ian. Ayolah, kita hadapi tantangan ini dengan cara jantan..."


"... dan elegan,” imbuh Nanda.


Wajah Ian memerah, bibirnya bergetar sembari menimpali, “Tapi kalian sendiri tidak suka dengan tugas ini, kan?” Mata hitamnya berkaca-kaca.


“Kami memang sedikit shocked  Ian, tapi kami lebih tidak suka jika kamu menjelekkan guru dan menyelesaikan masalah tugas ini dengan cara seperti itu. Iya, kan, geng?” kata Tiwi yang langsung diiyakan oleh seantero kelas. Ian terdiam, wajahnya tertekuk dan terlukisi semburat malu.




Kriiiiing...
Bel tanda masuk pelajaran terakhir berbunyi lebih keras dibandingkan biasanya. Anak-anak 9D berlarian mencari kelompok musiknya masing-masing. Ada yang masih memilih genre musik untuk kelompoknya; ada yang mencakar rambutnya sendiri karena tak kunjung menemukan titik temu dari genre musik dan ide pementasan kelompoknya; ada yang bersorak karena akhirnya mereka berhasil menentukan satu genre musik setelah beradu opini sepanjang istirahat; dan ada pula yang masih berdebat kusir sejak sebelum istirahat. Singkat cerita, belum ada satu pun kelompok yang telah berhasil menyelesaikan draft mereka.


“Bu Kinan sudah dataaaang,” teriak Sabri, salah satu siswa 9D yang terbiasa bertugas sebagai penjaga palang pintu kelas, sambil berlarian tak tentu arah hingga akhirnya masuk ke dalam kelas.


“Terima kasih Sabri sudah mengumumkan kedatangan Ibu. Kamu boleh duduk di tempat semestinya,” kata Bu Kinan, guru Bahasa Indonesia mereka, sembari membantu Sabri, yang entah bagaimana caranya ikat pinggangnya yang menjuntai tersangkut gantungan sapu ketika berlarian tadi sehingga ia terjerembab dengan muka mendarat terlebih dahulu. Tawa anak-anak 9D pun meledak dan Sabri akhirnya kembali ke kursinya sambil mengelus-elus dahi dan hidung setengah mancungnya.


“Selamat siang anak-anak. Oh, iya. Sebelumnya ada titipan pesan dari Pak Guru Jay...” kata Bu Kinan tiba-tiba dan sukses membuat atmosfer kelas yang sempat bertabur tawa selama beberapa detik seolah berubah menjadi ruang yang terpolusi gas metana, membuat mereka menahan napas. Bu Kinan melanjutkan perkataannya, sembali tersenyum geli, “Santai saja,anak-anak. Beliau bilang kalian bisa mengumpulkan draft tugasnya maksimal jam 3 sore di mejanya. Ia akan menunggu,” kata Bu kinan yang secara signifikan berhasil membuat aura kelas berubah dan bertabur pelangi-pelangi kelegaan. Setidaknya mendung di langit-langitnya sedikit berkurang.


“Satu lagi...” ternyata pengumuman dari Bu Kinan belum selesai dan beberapa dari mereka kembali menahannafas, mengantisipasi jika apa yang diumumkan adalah kabar lain dari Guru Jay. “Hahaha ,tenang saja ini bukan tentang Pak Guru Jay dan tugasnya, tapi tentang teman sekelas kalian yang baru. Cahaya! Sini masuk, nak!” kata Bu Kinan sembari melambaikan tangan ke seseorang di luar kelas dan disusul dengan masuknya sesosok gadis perempuan cantik, berkulit langsat dengan rambut panjang terjuntai hingga sepinggang.


“Perkenalkan dirimu, Cahaya,” perintah Bu Kinan.


“Cahaya imnida... Uhm, maksud saya, nama saya Cahaya. Saya adalah siswa pindahan dari Korea Selatan,” kata si siswa baru, yang diikuti dengan gumaman dan sorak tertahan dari anak-anak 9D. Cahaya dapat membaca keterkejutan mini para calon teman sekelasnya. Ia pun melanjutkan, “Meski demikian saya lahir di Indonesia, kok. Ibu, kakek dan nenek saya berasal dari Wonosobo. Itulah sebabnya saya pindah ke sini dan... Hey, jika kalian masih tidak percaya, apa kalian tidak sadar kalau bahasa Indonesia saya cukup baik dan lancar?” tanya Cahaya dengan hiasan senyum manis yang membuat siswa 9D tertawa kecil.


“Bagus, perkenalan yang menarik Cahaya. Sekarang kamu bisa duduk di kursi kosong di samping Sabri, di belakang Tiwi dan Nanda,” kata Bu Kinan, masih dengan senyum pisangnya yangkhas. Cahaya mengikuti arah dan duduk di kursi yang ditunjukkan Bu Kinan. "Yap, tepat sekali di sana."


“Anyeong! Salam kenal Cahaya,” sapa Tiwi dan Nanda bersamaan.


“Anyeong! Wah kalian mengetahui bahasa Korea!?” jawab Cahaya bersemangat.


“Sedikit. Haha,” kata Tiwi.


“Kami kan penggemar hal-halberbau Korea, termasuk musik Korea. Ihihihi,” timpal Nanda.


“Kau jenius, Nanda! Bagaimana kalau kita mengangkat tema musik Korea untuk paper kita?” kata Tiwi saking bersemangatnya hingga membuat Bu Kinan repot-repor menyuruh mereka memperhatikannya di depan.


Raut wajah Cahaya berubah seketika setelah mendengar percakapan kecil keduanya. Ia hanya menjawab “oh” datar, yangentah mengapa berhasil membuat Nanda dan Tiwi salah tingkah dan berbalikmenghadap ke depan memperhatikan Bu Kinan.


‘Lagi-lagi ini terjadi. Orang-orang yang dengan bangga mendeklarasikan kecintaannya kepada budaya bangsa lain. Apakah aku akan asing juga di sini?’  batin cahaya.




*****



(bersambung)

2 comments:

  1. Sudah terbaca semua, amanatnya tersampaikan dengan baik... ^_^

    ReplyDelete

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...