Friday 27 December 2013

Simfoni Empat Musim (1)

Ini malam yang sempurna. Besok adalah awal liburan musim dingin dan aku sudah menyusun segunung rencana yang akan kulakukan untuk menghabiskannya. Aku sudah tidak sabar menanti datangnya esok pagi. Mataku sampai-sampai tak mau terpejam. Keduanya menerawang ke langit-langit kamar, samar-samar membayangkan apa saja yang akan aku lakukan besok. Siluet abu-abu dan putih menari-nari di atas hamparan pasir yang tersapu ombak kemilau.

Aku sendirian di rumah saat ini. Mom, Dad, Cedric, dan Naomi tengah menginap di rumah bibi Serena, yang baru saja melahirkan anak laki-laki ketiganya. Mereka tidak curiga kepadaku, ketika aku menolak untuk ikut bersama mereka dengan alasan lutut kiriku, yang dioperasi tahun lalu, sedang sedikit bermasalah. Tentu saja aku mengarangnya karena sebetulnya, selepas operasi itu, kakiku sama sekali tidak pernah sakit lagi. Aku terpaksa berbohong kepada mereka karena hanya itulah satu-satunya cara agar aku dapat bermain dengan tenang.

"Anabeth! Hey, apa kau di rumah?"

'Siapa?' Sepertinya aku tidak mengundang siapa pun untuk datang ke pesta di kebun belakang. Tunggu, sepertinya aku tidak sedang mengadakan sebuah pesta. Aneh. Siapa dia? Aku seperti mengenali suaranya, jika saja tanpa serak.

"Hey! Anabeth! Aku tahu kau di rumah. Tadi sore aku melihat semua keluargamu pergi dengan van coklat milik ayahmu. Pasti mereka akan pergi ke rumah bibi Serena, paling tidak untuk tiga hari. Dan aku yakin pasti kau telah berbohong kepada mereka dengan berkata lututmu bermasalah agar kau diperbolehkan untuk tidak ikut, bukan?" teriak suara yang berasal dari pintu samping itu.

'Sial! Itu pasti Justin!' Bagaimana mungkin aku tidak mengenali suaranya. Ada apa dengan suaranya? Aku harus segera membungkamnya sebelum Mrs. Ross menyadari makna teriakan Justin dan melaporkannya kepada Dad.

"Hey, Beth! Lama sekali, apa kau tak takut kalau Mr. Ross..."

Ckrkk. Suara pintu yang kubuka berhasil membuatnya diam.

"Apa kau tidak bisa sedetik saja membuat mulutmu diam, Just? Sepertinya lain kali aku harus menyumpalnya dengan kaus kaki Naomi. Kau tahu akibatnya, jika Mrs. Ross tahu dan melaporkannya kepada Dad. Aku tidak main-main dengan perkataanku saat itu. Mengerti???" jawabku sewot. Aku sangat sebal dengan sifat kekanak-kanakannya. Tahun ini dia sudah 14 tahun, tapi tingkahnya masih sama seperti lima tahun lalu, ketika kami pertama berkenalan. Kuduga kekanak-kanakkanya inilah yang membuatnya tak pernah sekali pun disukai seorang gadis di sekolah. Ini membuatnya tampak begitu menyebalkan sekaligus memperihatinkan. Oke, aku mulai melantur.

Justin tak begitu mendengarkanku. Sesekali dia menguap lebar dan menggaruk-garuk kaki kirinya --yang kutebak tidak gatal sama sekali-- dengan kaki yang lain. Dia memang selalu seperti itu, sangat kekanak-kanakkan. "Yes, Ma'am! Sudah selesai pidatonya, ibu negara?" lagi-lagi dia mengucapkannya. Dia memang selalu menjawabku dengan kata-kata itu, yang pada akhirnya hanya akan kujawab dengan mengangkat bahu atau memutar bola mataku. Aku mempersilahkannya masuk atau lebih tepatnya dia mendorongku ke samping pintu sehingga dia dapat melompat masuk dengan gerakan yang tidak terlihat lucu sama sekali.

"Hey, dengar! Kau sudah besar bocah! Dan ada apa dengan suaramu? Kau bukan bocah lagi sepertinya? Uhn?" entah kenapa tiba-tiba mewujudkan kekesalanku menjadi kenyataan.

Dia terbelalak dan berhenti melompat-lompat. Satu, dua, tiga detik dan dia pun tertawa terbahak-bahak, "Buahahaha... Tentu saja aku bukan bocah lagi. Menurutmu siapa yang lebih bocah di sini? Aku atau kau, bocah?" jawabnya sambil tertawa mengejek sembari membanggakan suaranya yang kini memang terdengar lebih berat dibandingkan dua bulan lalu.

Aku dapat merasakan panas merayapi pipiku. Memang untuk beberapa hal, aku lebih kekanak-kanakkan daripada dia, jadi... "Tentu saja kau yang lebih bocah karena aku satu tahun lebih tua darimu, bocah!'

"Sepuluh bulan, dua puluh lima hari tepatnya! Itu belum genap satu tahun, Beth!" jawabnya meralat kalkulasiku.

"Yeah, tapi itu sudah beda tahun lahir. Itu sama saja," tentu aku tak mau mengalah.

"Tentu, saja berbeda, Beth. Lagipula, bukankah kita berada di kelas yang sama? Wah! Apa ini artinya? Jika bukan karena aku yang terlalu pintar, pasti karena kau begitu bodoh. Apa kau pernah mengulang kelasmu satu tahun, Beth? Hahahaha..."

"STOP, Justin! Kau mulai mengusik topik ini lagi. Aku tidak suka, INGAT?!! Bertingkahlah sesuai umurmu, Just!" akhirnya emosiku meledak. Sekarang aku yakin, aku dapat membuatnya merasa bersalah karena sekarang dia menundukkan kepalanya. Mungkin saja sekarang matanya berkaca-kaca atau malah mungkin sudah mulai basah? Tiba-tiba, seolah-olah muncul suatu energi dari dalam diriku yang menonjok perasaanku. Apa aku sudah keterlaluan padanya?

Aku mendekatinya, merendahkan tubuhku agar dapat sedikit mengintip wajahnya dan tiba-tiba, "Bahh!!! Yes, ma'am? Ada yang bisa saya bantu?" Dia melompat ke depan, ke arahku, membuatku terkaget dan terjengkang ke belakang. Tentu saja dia hanya tertawa terguling-guling di sofa menyaksikan posisi dan ekspresi wajahku yang tengah memancarkan aura marah, cemas dan terkejut. 'Sial! Aku menyesal mengkhawatirkanmu, Just!'

"Ya! Ada! Tinggalkan aku sendiri, kecuali kau ada urusan denganku atau memberiku sesuatu yang baru!" jawabku akhirnya, begitu acak. Namun, sepertinya, ini berhasil membungkamnya. Kulihat ekspresi wajahnya berubah. Dia sudah berhenti tertawa dan mengalihkan segala fokus perhatiannya pada tangannya yang tengah mengorek-orek satu per satu saku-saku celana longgarnya.

"Aha! Aku punya ini, Beth!" sebuah benda tiga dimensi, berbentuk persegi panjang, tetiba muncul di depan mataku. Aku tak cepat mengenali benda itu. Terlebih karena benda ini terpoles warna silver jernih, dia memantulkan cahaya yang masuk melalui ventilasi pintu kamar Cedric. Silau dan aku membutuhkan setidaknya lima detik untuk mengenalinya dengan baik.

"HARMONIKA!?" teriakku seketika. Kurebut benda itu. Kuputar-putar sembari mengamati setiap detailnya. Aku selalu tertarik dengan setiap alat musik yang dibawanya, begitu pula dengan harmonika ini. Ini pertama kalinya aku melihat dan menyentuh harmonika dengan indraku sendiri. Dia tampak begitu kaku, mengkilat dan misterius.

"Kau suka, Beth?" tanya Justin memotong aktivitasku yang tengah terbengong-bengong mengamati sebuah benda mungil di genggamanku.

"Lumayan," jawabku singkat. Tentu saja aku sangat menyukainya. Aku sangat menyukai setiap benda-benda yang bersuara, bahkan jika benda itu hanyalah atap teras belakang, yang bersuara ketika diterpa reruntuhan hujan, atau teko teh Mom, yang bersiul setiap pagi. Aku sangat menyukai mereka, meskipun Dad sangat tidak suka ketika aku bilang aku menyukai musik.

Aku mengalihkan pandanganku kepada Justin ingin sekali aku mengatakan terima kasih. Aku tidak ingin membuatnya besar kepala dan mungkin yeah, aku terlalu gengsi untuk mengapresiasi seseorang yang lebih muda dariku. Apalagi jika orang itu adalah Justin.

"Sama-sama," kata Justin tiba-tiba.

"Apa? Aku tidak mengatakan apa-apa," protesku.

"Yeah, tapi matamu mengatakan segalanya, Beth!" jawabnya dengan cekikikan.

"Oke, baiklah. Terima kasih, Just!!!" ucapku datar, akhirnya, masih tanpa memandangnya. Seluruh perhatianku seolah kucurahkan untuk benda di tanganku ini.

"Oke, tak usah memaksakan. Ayo mulai rekaman!" katanya sambil mengeluarkan alat perekam.

"Ehh? Jadi, ini bukan untukku?" jawabku, pura-pura kaget.

Entah mengapa justru Justin yang sepertinya menampakkan keterkejutan. Alisnya mengendur, air mukanya menampakkan kesalahtingkahan. "Apa kau sangat mengingkannya, Beth? Maaf aku tak bisa memberikanmu yang ini juga. Aku hanya, yeah... kau tahu, kan? Menerima apa yang diberikan oleh Papa... dan tentu saja meminta tolong darimu untuk memainkannya... dan aku merekamnya... dan menunjukkannya ke Papa ketika dia pulang... dan... "

"Hahaha, iya, boy! Aku hanya beranda, tentu saja! Aku juga tidak mungkin menyimpannya untukku, di rumah ini. Jika Dad menemukannya, bisa berbahaya. Kena kau, Just!" kataku. Geli sekali melihatnya bertingkah lucu seperti itu.

Terkadang aku penasaran, mengapa hidup kami seperti tertukar.

Papa Justin adalah seorang komposer dan pemain musik, dengan spesialisasinya adalah piano. Beliau juga mengajar musik di sebuah universitas di Australia, kalau aku tidak salah ingat. Selain itu, beliau adalah pendiri Four Seasons Orchestra yang pada setiap tahunnya rutin, mengadakan pertunjukan tengah musim, di empat negara berbeda. Papanya mengingkan atau lebih tepatnya menganggap Justin memiliki bakat yang sama dengannya. Namun, ternyata bakat itu tidak diwariskan secara genetik kepada Justin karena dia sama sekali tidak mampu memainkan alat musik apa pun, bahkan untuk sekedar membunyikan solmisasi dengan benar pun dia tidak bisa. Inilah yang membuatnya memintaku untuk memainkan alat-alat musik yang diberikan oleh papanya untuk direkam dan dikirimkan ke papanya.

Lalu bagaimana denganku? Yeah, aku bukan seperti August Rush yang begitu jenius dan dapat membuat dan mengaransemen tanpa sekolah musik, yang dapat memainkan setiap alat musik meski baru pertama kali kujumpai atau menerka nada dengan baik sejak aku masih balita. Aku hanya gadis biasa yang memiliki ketertarikan diam-diam yang luar biasa terhadap musik, tetapi aku memiliki seorang Dad yang sangat tidak menyukai musik bahkan untuk sekadar mengucapkan do-re-mi di depannya saja, aku tak berani. Aku tidak tahu pasti alasan Dad begitu membenci musik dan aku tidak berani menanyakannya. Saat aku dan Cedric seusia Naomi, kami tidak pernah bernyanyi bersama Dad. Dad pasti akan pergi melenyap tanpa jejak ketika salah satu dari kami mulai bernyanyi. Naomi baru berusia 4 tahun. Dia masih belum mengerti dan dia selalu bahagia bernyanyi hanya bersamaku, Cedric atau Mom.

Semenjak kepindahan kami ke sini, tujuh tahun lalu, aku berteman akrab dengan Justin. Dari sinilah aku mengenal dan mencintai musik. Justin begitu mengetahui musik, tapi tidak dengan memainkannya. Dia pandai sekali mengulang apa yang diajarkan papanya, tapi tidak mampu mengaplikasikannya. Alhasil, dia "menggunakanku" selama tiga tahun terakhir untuk memainkan alat-alat musik yang dimilikinya. Aku begitu menikmati "pemintaan bantuannya" dan dia pun begitu menikmati "menggunakanku".

"Beth, terkadang aku penasaran, mengapa hidup kita seperti tertukar," katanya tiba-tiba.

"Hey, kita sudah terlalu sering mengatakannya. Ayo ke "sana"! Aku sudah tidak sabar untuk mencoba memainkan harmonika ini. Ini alat musik tiup pertama yang kau perlihatkan kepadaku, Just," jawabku sembari menuntunnya ke sebuah tempat.

*****
(bersambung)

No comments:

Post a Comment

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...