Monday 20 October 2014

Festival

Semalam aku bermimpi. Di dalam mimpiku ada kau dan Setia. Kalian sedang bermain dengan kamera di tepi sungai besar, yang airnya setinggi lutut. Di mimpiku itu sedang musim kemarau dan diadakan festival sesuatu yang sangat meriah.

Aku pergi mengunjungi festival itu bersama beberapa orang, yang aku tak yakin siapa mereka. Namun, sebelum mencapai area festival, aku menghentikan langkah karena melihat kalian berdua. Aku ingin menghampiri kalian. Namun, ternyata kita berseberangan. Aku mencari-cari jembatan. Namun, sepertinya tidak ada jembatan di dekat tempat itu. Aku hanya memandang kalian dari kejauhan.

Aku berpikir, bagaimana mungkin di sekitar area festival seperti ini tidak ada jembatan atau apa pun yang menghubungkan daratan yang kupijak dengan daratan di seberang sungai ini, tempat festival berlangsung, juga tempat kalian tengah mengistirahatkan diri. Lalu aku tersadar, festivalnya dilaksanakan di seberang sungai ini. Apakah panitianya sengaja melewatkan soal jembatan ini? Apa mereka tak ingin orang-orang di seberang, seperti aku dan orang-orang yang datang bersamaku, mendatangi festival mereka? Atau mereka lupa? Lupa? Lupa akan hal sekrusial akses ini? Kemudian aku mulai sangsi untuk mendatangi festival tersebut.

Tunggu, orang-orang yang tadi datang bersamaku? Di mana mereka? Sepertinya, mereka pergi meninggalkanku yang tengah memperhatikan kalian berdua dan memikirkan festival serta jembatan. Apakah mereka tetap pergi ke festival? Atau mungkin sudah sampai di sana? Kemudian aku merasakan sesuatu menggoresku, tapi badanku tak terluka. Aku tertunduk. Aku kira aku memikirkan sesuatu, tapi aku tak yakin apakah aku benar-benar memikirkan sesuatu. Aku hanya merasakan nyeri akibat goresan yang tak tampak itu.

Ketika aku memutuskan untuk mengalihkan pikiran, mataku secara reflek membelokkan arah pandangan. Imaji segerombol bocah tertangkap oleh kedua mataku. Tidak! Mereka nyata. Mereka tengah bermain dengan sangat bergembira di hadapanmu, di sungai itu, sungai di antara kalian berdua dan aku. Namun, kalian sepertinya tak tertarik untuk menghiraukan kegiatan mereka. Kalian tetap berbincang akrab, sembari mengelap lensa kamera.

Aku, entah bagaimana, sudah tak lagi tertarik pada kalian. Aku memusatkan perhatian dan pengamatanku pada bocah-bocah yang berbasah-basah di dalam sungai. Tetiba mataku terpaku pada sesosok anak laki-laki yang tampak familiar. Dia tertawa bahagia setiap salah satu rekan bermainnya mengguyurnya dengan air sungai, yang tetap jernih, meskipun saat itu kemarau. Tak butuh waktu lama, aku pun berhasil mengenalinya. Dia adikku. Adik pertamaku.

Tanpa pikir panjang, aku memanggilnya. Aku tidak tahu tindakan reflek macam apa yang telah kulakukan. Panggilan pertamaku tak membuatnya menoleh. Dia belum dengar. Kupanggil lagi dia, lebih keras dan lebih sering. Dia berhenti tertawa dan lebih menegakkan berdirinya. Kini tampak jelas dia bertelanjang dada, tubuh atasnya tak berbaju. Kepalanya celingak-celinguk mencari-cari sumber suaraku. Rekan-rekannya pun bergeming, sesekali turut membantu mencari. Posisinya membelakangiku, pantas dia lama menyadari keberadaanku. Kupanggil dia sekali lagi dan kali ini dia berhasil mendeteksi arah suaraku.

"Hmm," gumamnya seraya mengangkat badannya sendiri dari sungai, menjauhkannya dari rekan-rekan bermainnya. Dia menemuiku, setelah mengambil kaos putih yang diparkirnya di tepi sungai, tepi sungai di mana aku tengah berdiri.

Dia? Dari mana dia memanjat? Cepat sekali? Apakah begitu cara menyeberangi sungai ini? Tak ada jembatan, apakah harus betul-betul ke bawah dan menyeberanginya langsung? Aku menelusuri bibir sungai yang cukup tinggi ini, mencari-cari jalan atau setidaknya tempat landai yang paling mungkin dapat dilalui untuk turun ke sungai. Sial sekali aku tak memperhatikan dengan baik bagaimana tata cara yang dilakukan adikku hingga dia sampai di sini, di hadapanku.

Dia sudah di hadapanku?

Lantas apa yang akan kulakukan padanya sekarang, setelah dia sudah ada di hadapanku? Bahkan aku tidak memiliki alasan untuk memanggilnya. Aku hanya ingin memanggilnya. 

Dia terdiam, sama sepertiku. Kami hanya saling pandang. Dia tak menanyakan apa pun dan aku bersyukur dia tak bertanya.

Kondisi saling diam itu berlangsung sangat lama. Biasanya aku akan sangat bosan ketika terlibat dalam kondisi seperti itu. Namun, kali ini aku menikmatinya. Aku tak bosan, walau hanya berdiri diam dan memandangnya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana dengannya karena wajahnya sama sekali tak menyumbangkan ekspresi.

Aku tak ingin dia bosan dan meninggalkanku. Maka aku mengajaknya berkeliling. Aku sudah tak tertarik pada festival itu atau pada kalian yang bermain kamera tanpa peduli apa yang ada di sekitar kalian. Aku hanya ingin aku berada di dekat adikku. Aku ingin dia mengikutiku, menghiraukanku, meski dia tak bicara apa pun.

Kami melangkah pelan, menikmati setiap hal yang ada di sekitar sungai dan padang rumput hijau yang sedang kami injak-injak itu. Ini seperti senja, tapi aku bahkan tak yakin saat itu sudah mencapai pukul lima. Dia masih diam, aku pun demikian. Kami diam sepanjang perjalanan.

Cukup lama kami berjalan, tapi lelah sama sekali tak terasa menggoda kaki. Kami pun tiba di suatu tempat. Tempat yang saat ini adalah tempat sejarah bagiku.

"Gedung sekolah? Sekolahmu?" tanyanya.

Aku mengangguk. Rasa hangat menjalar di tubuhku. Sepertinya, aku bahagia karena akhirnya dia berbicara.

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Kenapa?" aku berbalik bertanya. Aku bukan bertanya padanya, melainkan pada diriku sendiri. Kenapa aku mengajaknya ke sini? Aku tak punya jawaban untuk ini. Aku tidak tahu. Aku diam tanpa menampakkan kepanikan atau kebingungan dalam mencari jawaban untuknya. Kenapa? Aku pun tidak tahu kenapa tiba-tiba kami bisa sampai di sini. Dan aku pun melarikan diri, menghindari tatapan penasarannya dengan membuang pandanganku ke arah tiang voli.

Dia tidak bertanya lagi. Dia hanya menungguku menjawabnya. Dia percaya aku akan menjawabnya. Ini terlihat dari matanya, yang kulirik lewat ekor mataku. Dia bersabar. Aku terkesan.

Kutepuk bahu kanannya seraya berkata, "Bersihkanlah dirimu dan pakaianmu. Kau tampak kacau setelah bermain di sungai." Hanya kata-kata itu yang meluncur dengan lancar dari mulutku. Entah kupungut dari mana mereka.

Dia mengangguk. Aku membawanya ke taman sekolah, menuju sebuah keran yang berada di tepi kolam ikan di wilayah taman tersebut. Dia mendekati keran itu, menyalakannya, membersihkan kaki, tangan, wajah, dan rambut di kepalanya. Apakah dia adikku yang biasanya? Dia menurutiku dengan mudah, tidak seperti biasanya. Dia tak membantah atau banyak bertanya. Namun, dia kehilangan tawa, seperti tawa yang dilakukannya di sungai. Apa aku tak memahami sesuatu? Apa aku melewatkan banyak hal? Apa aku memang tak mengenalnya?

"Sudah," katanya pasca berbasuh.

"Iya? Kau tampak lebih baik," pujiku jujur.

"Iya. Ini segar. Tapi kenapa?" dia kembali bertanya tentang itu lagi.

Aku tak menjawabnya. Aku masih tidak tahu. Lalu aku mengajaknya pulang.

"Kalau begitu, kita pulang?" tanyaku, retoris.

Dia mengangguk. Kami pun bertolak dari sekolah.

Di tengah perjalanan menuju rumah, tetiba aku teringat akanmu. Aku mulai bertanya-tanya. Apa kau masih di tepi sungai? Apa kau masih berfokus diri pada kamera? Apa kau masih bersama Setia? Atau sudah pulang dan merebahkan diri? Aku penasaran dan memutuskan untuk kembali ke tepi sungai, tempat kalian duduk bersantai.

"Aku masih punya urusan. Kau bisa pulang sendiri?" tanyaku kepada adikku.

"Ya. Aku akan pulang," jawabnya.

"Pastikan sampai rumah dan bertemu dengan mereka," pesanku.

"Ya," jawabnya singkat.

Kami berpisah. Aku berbalik arah, melangkah menuju tepian sungai. Aku sempat menengok ke belakang sesekali, melihat punggungnya menjauh, memastikan dia memilih belokan yang benar, hingga dia tak lagi terlihat.

Aku berjalan sedikit lebih cepat, bahkan semakin cepat, dan kudapati tetiba kakiku setengah berlari. Apa aku sepenasaran itu? Penasaran akan apa?

Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan, tapi saat aku tiba di tempat parkir festival, napasku terengah-engah. Festival? Aku di area festival tanpa perlu menyeberangi sungai?

Aku melihat ke arah Barat, dua puluh meter dari tempatku berdiri. Sungai itu masih ada. Jadi, aku tidak berhalusinasi beberapa saat lalu, saat aku melihat kalian, saat aku tak menemukan jembatan, saat aku putus asa untuk mendatangi festival, saat aku menemukan adikku, dan saat aku berjalan di tepian sungai itu bersamanya. Lalu bagaimana caraku sampai ke festival ini tanpa menyeberangi sungai itu?

Persetan! Mungkin aku telah mengambil jalan memutar tanpa sadar, jalan alternatif yang tak pernah aku tahu keberadaannya selama ini, dan aku menemukannya secara tiba-tiba tanpa aku ingat, bahkan tanpa kau sadari. Apakah aku baru saja mengumpat dan menyumpal umpatan itu sendiri?

Saat aku berpikir tidak penting itu lah, aku melihatmu keluar dari tempat parkir. Kau memacu hati-hati sepeda motormu. Aku senang dapat menemukanmu tepat waktu. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arahmu, tepat menyongsong kau dan sepeda motormu.

Tak kusangka, kau terkaget lantas mengumpat dengan keras, "Sial! Apa kau cari mati, hah?"

Aku diam membatu.

"Awas! Menyingkirlah dari depanku, apa kau sengaja mengumpankan diri?" katamu lagi sembari berteriak.

Aku terperangah. Kau berbeda. 

Orang-orang telah mengalihkan perhatian mereka dari aktivitas mereka --menjelajahi kemegahan festival-- ke arahku yang tengah dimaki, membuatku mengerti apa yang namanya hampir mati. Sayup-sayup aku dapat mendengar mereka berbisik.

'Ada apa?'
'Ada seorang gadis yang hampir tertabrak motor.
'Wah! Pakaian wanita itu aneh sekali!
'Eh, dia tuli ya?'
'Tidak. Mungkin, hanya kaget.'
'Ibu, aku takut. Hiks hiks.'
'Kasihan, gadis itu.'
'Pemuda itu keterlaluan, berteriak seperti itu.'
'Tch! Gadis itu yang salah. Dia sengaja menabrakkan diri. Dasar bodoh.'
'.......'


Dan semakin banyak sekali orang yang sengaja datang untuk menontonku. Mereka membangun opini mereka sembari mengerubungiku. Apa aku tengah diperhatikan? Jadi, beginikah rasanya menjadi pusat perhatian? Jika iya, maka aku tidak suka menjadi pusat perhatian. Apakah mereka tak bisa meninggalkanku dan kembali ke festival? Aku bukanlah festival! Kecuali, mereka benar-benar menganggapku sedang berfestival kematian.

"KAU BEGO, HAH?" kali ini kau meneriakiku kelewatan hingga aku kehilangan kesabaran.

"Kau t...tak me..menge..mengenalku?" tanyaku. Apakah begini caraku mengekspresikan kehilangan kesabaran itu? Namun, benar, aku merasa kita seperti orang asing.

"Mengenal? Dasar aneh! Minggir!" bentakmu, sontak membuatku menepi tanpa melawan. Mendengar jawabanmu dan caramu berteriak padaku, sepertinya kau tak ingat padaku. Atau memang kita sama sekali tidak pernah berkenalan?

Kerumunan di sekelilingku menyepi, tetapi masih terdengar kasak-kusuk dari mereka yang sepertinya topiknya adalah aku. Aku tak peduli dengan mereka, yang aku pikirkan hanya kau yang tak mampu mengingatku. Apa kita benar-benar pernah berkenalan?

Dan begitulah festival mimpi ini berakhir. Aku mendapatkan adikku kembali, tetapi tak mampu dikenali oleh dirimu lagi.

No comments:

Post a Comment

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...