Aku
belum mengizinkan diriku diterbangkan oleh angin,
sebab
aku gembira menanamkan jiwaku di sini,
meski
aku berdusta dan mengkhianati ragaku sendiri,
yang
telah lebih dulu pergi,
dan
kini ia terjebak setengah diri,
di
perbatasan alam nyata dan mimpi
Dua
kepala bocah telah kulompati,
detik
dan jarak perjalananku tak lagi terasa berarti,
kulaju
langkahku tanpa henti,
tetapi
bayangku tak jua mengikuti
Haruskah
aku berhenti,
dan
mulai membangun tenda di sini?
Tatkala
mentari mulai menenggelamkan diri,
kehampaan
memenjarakanku dalam bui tanpa jeruji,
aku
memakukan diri tanpa berniat untuk melarikan diri,
menguping
gagak yang berkicau tanpa solmisasi,
memandang
ilalang yang menari tanpa emosi,
hingga
tetiba rembulan datang mencibir sembari menendang pergi sang mentari
Aku
tak ingin meraih gemintang,
tak
berhasrat menorehkan jejak di pasir pantai milik seseorang,
tak
berniat menancapkan bendera di puncak gemunung untuk disaksikan banyak orang,
tak
berdaya untuk melukiskan peta dan merancang menara pencakar angkasa,
dan
karenanya aku menderita kelumpuhan tak kasat mata
Aku
tak bergerak, kehilangan kendali, bahkan suara untuk memanjatkan pinta
Keterjebakanku,
tanpa melaun-laun, telah mematikan sendi dan kesadaran
Aku
tak tahu cara mempersatukan raga dan jiwaku yang telah berseberangan alam
Aku
tak kuasa memaksa bayanganku menyamai langkah yang telah berlari meninggalkannya
Aku
tak mampu memecahkan kehampaan yang memurukkanku dalam kegelapan
Apakah
akan ada keajaiban atau setidaknya kesempatan
bagi
seseorang yang telah kehilangan keinginan bahkan ingatan akan pencapaian?
No comments:
Post a Comment