Thursday 24 April 2014

Buku Harian Rindah (1)

Awal Minggu Ke-4 April 2014

Sudah? Kau hanya mengatakan itu saja, lantas pergi?

Kau tahu, aku sangat senang dapat melihatmu. Kau datang sesuai janjimu. Kau membawakanku satu buket bunga, berisi amarilis dan berjumlah tujuh tangkai. Ketujuhnya berwarna putih. Dari kejauhan, kukira kau membawa bunga lili putih. Aku sangat senang melihatnya. Namun, ternyata kau membawakanku amarilis putih bersih yang sangat kusuka dan ini membuatku lebih dari sekadar sangat senang.  Siapa yang menyangka bahwa kau masih mengingat bunga kesukaanku? Selalu ada hal yang menarik dari seorang jenius memang. Aku akan menyimpan bunga-bunga itu dengan baik. Semoga dia dapat bertahan lama, lebih lama dari sekadar "selamanya".

Dewa, apakah aku pernah bercerita padamu bahwa setiap bunga di dunia ini memiliki arti? Atau malah, aku pernah menceritakan padamu bagaimana awal mula kelahiran bunga amarilis berdasarkan mitologi Yunani? Aku penasaran, apakah hal-hal semacam ini cukup penting untuk kau ketahui. Namun, mungkinkah kau tahu mengapa aku menyukai bunga ini? Ini karena aku merasa aku terlalu mirip dengan si dewi dalam mitologi tersebut, yang menjelma menjadi bunga ini, meskipun aku tidak ingin memiliki akhir hidup yang sama dengannya. Aku tidak ingin menusuk jantung hatiku sendiri untuk membuat satu-satunya orang, yang mengisinya, mengisi hati ini, menyadari betapa besarnya kasih dan cinta untuknya, yang telah dia jaga dengan susah payah dalam diamnya suara, dalam dalamnya tatapan, dalam dinginnya perhatian.

Meski kau telah menepati janjimu untuk datang, tapi aku tidak merasakan kehadiranmu sepenuhnya ada bersamaku, wahai Dewa. Aku dapat membaca senyummu, senyum yang kau berikan merupakan senyuman yang berhiaskan isyarat kasihan. Aku dapat membaca kerutan dahimu, kerutan yang hanya akan muncul ketika kau menyembunyikan sesuatu. Aku dapat menghirup aroma jaketmu, aroma tidak harum hasil perpaduan antara material-material praktikum dan parfum yang sama, yang kau pakai sejak tujuh tahun lalu, tetapi tidak cukup mampu untuk menutupi aroma kerja kerasmu kali itu. Aku mendengar pembicaraanmu dengan pembimbingmu dalam telepon itu, meskipun kau telah berusaha menyembunyikannya dengan beralasan akan membeli es serut tropicana fruit di kedai Abah Ali. Aku dapat menerjemahkan isyarat matamu, yang hanya memandangku sesekali dalam sepuluh menit, yang terlalu sering menjadikan layar bioskop sebagai lawan bicaramu. Aku dapat membacamu... Aku dapat melakukannya, karena kita sudah saling mengenal selama sepuluh tahun. 

Apakah dia, Dewa ini, semakin bodoh dalam menyembunyikan kegelisahan dan isi pikirannya? Satu-satu kebodohannya adalah dia tidak tahu kalau aku dapat membaca setiap detil tingkahnya.

Aku, merasa sangat berdosa karena membuatmu yang tengah sangat sibuk datang menemuiku. Aku merasa telah menunda kesuksesanmu karena telah meminta satu harimu untuk dihabiskan dengan melakukan hal-hal kekanak-kanakan yang kuminta. Dewa, apakah aku orang yang sangat tidak baik... untukmu? Dewa, maafkan aku.

_________
Rian, apakah aku harus menceritakan setiap hal kepada mereka berdua? Aku masih tidak tahu bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan mereka. Aku tidak yakin mereka akan mengerti. Rian, aku sedang tidak ingin membahas tentang mereka.

Kuha, sepertinya aku memang terlalu bergantung pada Dewa. Suasana hatiku bergantung pada suasana hatinya. Semangatku bergantung pada semangat dan dorongan darinya. Segala hal yang kupilih untuk kujalankan bergantung pada segala hal yang terjadi dan telah dijalankan olehnya. Padahal, aku tidak merasa dia terpengaruh olehku atau dengan kata lain tidak sering terpikirkan aku dalam setiap langkahnya. Aku iri dengannya yang dapat mengendalikan hidupnya sesuai keinginan dan pilihannya. Kukira aku mulai percaya dengan apa katanya, bahwa sukses adalah pilihan. Apakah kebergantungan ini terjadi mungkin karena aku lebih memilih Dewa dibandingkan sukses itu sendiri sehingga aku seperti ini? Kuha, apakah aku memang menyukainya... Uhn, oke... ini baru satu setengah bulan sejak aku memutuskan untuk mengambil keputusan untuk tidak menyukainya, lebih dari suka terhadap kawan?

___________

Hari kunjungan Dewa saat itu, diakhiri dengan tolehan sembilan puluh derajat darinya. Di atas motor besarnya, sebelum dia pulang, sembari memutar arah motornya menuju jalan setapak sempit itu, dia menoleh padaku. Aku menghadiahinya dengan lambaian sampai jumpa. Namun, dia hanya tersenyum dingin dan berkata, "Sudah?!" Kata pertama dan terakhir yang kudengar selama tujuh jam kebersamaan kami berdua di weekend itu. Kemudian, dia mengegas sepeda motornya menjauhiku yang berdiri mematung di tempat sembari mengawasi kepergiannya. 

'Bukankah ini adalah weekend yang sangat dingin?' batinku.

Tiba-tiba, sepeda motornya menghilang dari pandangan dalam tiga detik dan semuanya menjadi gelap.

Aku terbangun di sini, di ruang perawatan rumah sakit di tempat yang tidak tahu ada di mana karena kami berpisah di suatu tempat yang tak kukenali dengan baik karena menurunnya kesadaranku. Ternyata, kesadaranku yang tiba-tiba menghilang, bukan sepeda motor Dewa. Aku mengetik ini segera setelah terbangun. Kata suster, tekanan darahku sangat rendah dan maag kronisku semakin buruk....dan aku tidak bertanya lebih lanjut tentang yang lain, haha. Sekarang dia sedang menyiapkan makanan "spesial" untukku. Aku hanya mampu menulis sampai sini karena aku takut dia segera datang dan memarahiku karena tidak menuruti perkataannya. Uhn...aku yakin sebentar lagi Rindy akan datang karena suster bilang bahwa pihak rumah sakit telah menghubungi pihak keluargaku dan pasti itulah Rindy, karena aku masih belum menyimpan nomor ayah dan ibu. 

Oke, sudah dulu Rian dan Kuha... 
Aku menyayangi kalian! :)

No comments:

Post a Comment

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...