Wednesday 9 April 2014

Sepatu

Sepatu yang saya maksud di sini adalah sepatu yang judul lagu, yang dinyanyikan oleh Tulus Band, Sepatu. Pertama kali saya mendengar lagu tersebut adalah pada saat Gladi Resik acara puncak UI GTK X, 2 Februari 2014 lalu. Yep, tepat sekali, saya jatuh cinta pada saat pertama kali mendengar lagu ini. Ndilalahnya, saya merekam mereka pada saat menyanyikan lagu ini. 

Oke, siapa mereka? 
Mereka adalah....siapa, ya?
Hadeuh! Geje, kan? 

Jadi, mereka ini adalah Grup Musik Perhimak UI tahun 2013-2014 yang saya sendiri juga tak tahu nama dagangnya (?), maksudnya nama panggungnya. Grup musik ini terdiri dari tujuh orang, yaitu:
  • Thariq Adha Gumilang a.k.a. Thariq sebagai gitaris/bassis (Teknik Elektro/2011)
  • Ersal Fahrul Yoserizal a.k.a. Ersal sebagai gitaris/bassis (Teknik Industri/2013)
  • Setiawan Eko Wardany a.ka. "Ce'eng" sebagai keyboardist (Geografi/2012)
  • Roland Raymond Dino a.k.a. Roland/Oland di perkusi (Ilmu Komputer/2012)
  • Anggita Oksyrana a.k.a Anggita sebagai vokalis utama (Ilmu Keperawatan/2012)
  • Nadia Prahesti a.k.a Nadia sebagai vokalis (Ilmu Keperawatan/2012)
  • Himamul A'la a.k.a. Himam sebagai vokalis (Ilmu Hukum/2013) 
Aaaak! Sebal. Sebenarnya, pada saat menulis ini saya tengah menanti proses pengunggahan rekaman mereka dalam meng-cover lagu Sepatu ini, yang menurut saya lebih bagus dinyanyikan oleh mereka dibandingkan oleh penyanyi aslinya. Namun, apaaaa??? Pengunggahannya gagal sehingga tidak dapat saya bagikan di sini. 

Yep! Saya tidak berbohong jika lagu ini sangat bagus dinyanyikan oleh mereka dan mungkin lebih bagus. Hal ini dikarenakan oleh karakter suara yang dimiliki oleh sang vokalis utama (untuk lagu ini), Anggita, menurut saya sangat cocok untuk lagu ini. 

Lirik lagu ini memang unik karena disesuaikan dengan kondisi dari sepasang sepatu. Dari yang saya tangkap, si pencipta lagu mengisahkan bahwa sepasang sepatu adalah dua hal yang diciptakan untuk selalu bersama, sejak ia dibuat hinngga dikenakan oleh pemilik yang memilihnya. Namun, sayangnya meski mereka selalu bersama, mereka tak pernah bisa bersatu karena berbagai alasan. Satunya adalah sepatu kanan, sedangkan yang satunya sepatu kiri. Oleh karena itu mereka tidak dapat bersatu karena perbedaan tersebut. Mari kita cermati kembali lirik lagunya...

Ilustrasi Sepatu
Kita adalah sepasang sepatuSelalu bersama tak bisa bersatuKita mati bagai tak berjiwaBergerak karena kaki manusia
Aku sang sepatu kananKamu sang sepatu kiriKu senang bila diajak berlari kencangTapi aku takut kamu kelelahanKu tak masalah bila terkena hujanTapi aku takut kamu kedinginan
Kita sadar ingin bersamaTapi tak bisa apa-apaTerasa lengkap bila kita berduaTerasa sedih bila kita di rak berbedaDi dekatmu kotak bagai nirwanaTapi saling sentuh pun kita tak berdaya
Ku senang bila diajak berlari kencangTapi aku takut kamu kelelahanKu tak masalah bila terkena hujanTapi aku takut kamu kedinginan
Kita sadar ingin bersamaTapi tak bisa apa-apaKita sadar ingin bersamaTapi tak bisa apa-apaTerasa lengkap bila kita berduaTerasa sedih bila kita di rak berbedaDi dekatmu kotak bagai nirwanaTapi saling sentuh pun kita tak berdaya
Cinta memang banyak bentuknyaMungkin tak semua bisa bersatu(Sumber: kapanlagi.com)

Bukankah tersurat dalam lirik tersebut tersebut, bahwa salah satu sepatu yang (mungkin) bernyanyi itu, mengisahkan (atau meratapi) takdir mereka sebagai pasangan yang selalu bertemu, berdampingan, setiap saat dan setiap waktu, tetapi tidak pernah bersama? Jika dilihat dari liriknya, si penutur, yang menyebut dirinya sebagai sang sepatu kanan memiliki sifat yang tampak lebih kuat dan mencemaskan pasangannya, sang sepatu kiri. Jika dimanusiakan, mungkin sang sepatu kanan ini berkedudukan sebagai laki-laki yang tidak ingin membuat sang sepatu kiri (yang otomatis versi perempuannya) merasa sakit.

Pencipataan lagu dan lirik tersbut mungkin disesuaikan dengan vokalis Tulus Band, yang merupakan seorang laki-laki. Namun, saat mendengar nada-nadanya untuk pertama kali dari Anggita, menurut saya, lagu ini lebih cocok untuk dinyanyikan seorang penyanyi perempuan. Entahlah. Mungkin, jika pada saat kali pertama saya mendengar lagu ini dari seorang laki-laki pun mungkin saya akan tersugesti untuk lebih suka jika lagu ini dinyanyikan oleh seorang penyanyi laki-laki. Saya pernah mendengarkan lagu ini yang dinyanyikan oleh penyanyi aslinya kemudian membandingkannya dengan saat Anggita, dkk menyanyikannya. Karakter suara Anggita yang lembut, tetapi memiliki power yang tepat terdengar sangat pas untuk lagi ini. Dalam hal kecocokan dengan lirik, mungkin laki-laki lebih tepat untuk menyanyikannya. Namun, dalam hal kecocokan nada entah kenapa akan lebih indah jika dinyanyikan oleh perempuan.

Nah, muatan liriknya secara keseluruhan, sebenarnya saya kurang begitu mengerti. Mengapa mereka (sepatu kanan dan kiri) begitu meratapi ketidakbersatuan mereka. Bersatu yang macam apa yang mereka inginkan sebenarnya? Bersentuhan? Melekat selalu setiap saat, seperti itukah? Saya betul-betul tidak dapat menangkap dengan kesedihan yang mereka rasakan. Pernah, suatu kali saya mengomentari status seorang adik tingkat, Wahidatul Kurniasari, seperti ini, "Justru, dengan demikianlah mereka bersatu, saling menyempurnakan dan berguna. Jika bersatu itu harus melekat erat, mau jadi apa mereka? Pajangan? Siapa pula yang akan menggunakannya? Memandang (mereka) berlama-lama saja kurang tertarik mungkin. Wkwkwk. 

Komentar tersebut saya tulis untuk menanggapi status facebook-nya "selalu bersama tak bisa bersatu #sepasangsepatu" di mana pada saat itu (4 November 2013), saya belum mendengar lagu bahkan judul lagu itu sekali pun. Saya pikir, dia tengah membicarakan sebuah fenomena di kehidupan nyata, tentang dua orang yang berkawan, selalu bersama ke mana pun, kapan pun dan apa pun aktivitasnya...tetapi sebenarnya, mereka tidak pernah bersatu, entah dalam hal pemikiran atau hal lain. Mereka berdua saling diam seperti sepadang sepatu, menyembunyikan suara dan keluhan mereka, teredam oleh bunyi langkah diri mereka masing-masing. Saya berpikir, 'Bukankah ini bagus, mereka (sepasang sepatu ini) sudah selalu bersama? Bersatu macam apalagi sebenarnya yang mereka inginkan? Mungkin, hanya butuh keterusterangan untuk dapat benar-benar saling bersatu. Bersatu selalu pun jika tidak ada rasa saling nyaman, dipandang orang lain pun tidak akan nyaman dan menyenangkan."

...dan betapa malunya saya, ketika saya tahu beberapa hari kemudian kalau ternyata status tersebut adalah lirik dari sebuah lagu. Krik.

Hingga saat ini pun saya masih tidak mengerti maksud dan keinginan dari tokoh utama dalam lagu ini, tentang "tak bisa bersatu", tentang "sadar ingin bersama, tapi tak bisa apa-apa", dll. Memang sih, sepatu di sini, bisa jadi adalah sebuah alegori tentang kisah sepasang manusia. Dua orang yang selalu bersama, dekat dan saling mempedulikan satu sama lain. Dua orang yang merasakan hal yang sama: bahagia jika berdekatan dan sedih jika dipisahkan. Mereka yang segala aktivitas dalam hidupnya ternyata berada di bawah kendali orang lain dan harus menurut kepadanya. Mereka yang menyukai petualangan, bahkan menembus hujan, tetapi tetap mencemaskan risiko yang mungkin dirasakan oleh pasangannya. 

Namun, kenapa harus sepatu? Benda yang bahkan oleh penulis liriknya sendiri disebut mati, tak berjiwa. Wah, bebas sebetulnya, bahkan dulu saya pernah manganalogikan kehidupan seseorang dengan seekor makhluk imajiner yang memiliki sebutan setan-setan bersayap. Haha.

Terlepas dari ketidakmengertian saya tentang lirik lagu ini, saya sangat menyukai nadanya, yang membuat lagu ini tampak lebih unik, menarik dan memiliki kekuatan. 

No comments:

Post a Comment

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...