Saturday 8 October 2011

Serial Aisyah adinda Edisi 4: Senja di Surau Al-Ikhlas

Serial Aisyah Adinda
Edisi 4: Senja di Surau Al-Ikhlas

“Awas, mbak! Ada kereta!” Glek. Dinda terkaget. Peringatan bapak penjual es doger itu berhasil mengalihkan perhatian Dinda dari sepatunya. ‘Eh? Sepertinya, bapak itu salah sangka,’ batin Dinda.
Siang itu, Dinda memang sedang capek. Masalah “ini”, “itu” dan ini-itu lain tengah berlalu lalang di otaknya membuatnya jenuh dan galau. “Aish! Mau ke tempat yang lebih damai aja, ah!” kata Dinda dengan volume normal.
Tiba-tiba, si bapak nyeletuk, “Mbak! Kalau tadi mbak berhasil pun mbak belum tentu masuk tempat sedamai surga!” Sontak kalimat tersebut membuat perhatian orang-orang teralih ke arah Dinda. Dinda hanya mampu ber-sweatdropped ria menerima tatapan prihatin orang-orang padanya
“Maaf, Pak! Saya nggak mau berbuat macam-macam, kok. Ini tadi saya nunduk-nunduk, memang karena lagi banyak pikiran aja. Na’udzubillah, deh, Pak! Insya Allah hal seperti itu nggak bakal terjadi,” papar Dinda kepada si Bapak. Tiba-tiba, si bapak melambai-lambaikan tangan sambil berkata ke orang-orang, “Aman! Mbaknya aman!” Dinda pun berpikir, ‘Bapak ini terlalu banyak menonton sinetron Cinta di Palang Kereta!’
Dinda memperhatikan si Bapak dengan seksama. Tiba-tiba Dinda ketularan berteriak, “Koh Joni yang jualan siomay super jumbo ya?” Si bapak pun gantian kaget hingga tak sengaja meminum es doger yang seharusnya diberikan kepada pembeli. “N.. Nn.. Neng Dinda?”
Ternyata, mereka sudah saling mengenal sejak Dinda tinggal di rumah lama, bersama orang tuanya saat belum meninggal. Cukup lama mereka mengobrol dan bernostalgia hingga diputuskanlah sebuah ide gila…
*****
Senja di hari yang sama, Dinda sudah berada di halaman sebuah mushola tua. Penampakannya terlihat tiga kali lebih parah dibandingkan terakhir kali ia lihat. Dinda merasakan ada energi penuh kedamaian yang perlahan merambat, menghangatkan jiwa dan pikirannya yang penat seharian ini. Di mushola yang lebih terbiasa Dinda sebut dengan surau inilah, ia pertama kali belajar mengaji bersama teman-teman masa kecilnya. Tiba-tiba, memori masa lalunya terputar kembali.
Suatu hari, mereka bermain kejar-kejaran di dalam surau sambil menunggu Wak Bahruddin datang untuk mengajar Iqro. Namun, ulah kami yang menimbulkan kegaduhan ternyata telah membuat beliau kesal. Jadilah kami trauma dan takut pergi ke surau. Tempat ini menjadi terlihat eksklusif. Bahkan, teman kecil Dinda yang bernama Dika, menganggap surau sebagai “tempat keramat” dengan penunggu Wak Bahruddin yang galak. ‘Sungguh sudah tersesat akal sehat temanku ini,’ batin Dinda sambil tersenyum kecil.
Dika adalah teman Dinda yang ngaco. Di suatu Ramadhan dia pernah membuat Wak Bahruddin menceramahinya selama setengah jam sehabis salat tarawih. Dalam hal ini, Koh Joni turut ambil andil. Alkisah, Dika usia TK kelaparan setelah salat tarawih. Ia pun berinisiatif memesan siomay Koh Joni dari dalam surau. Koh Joni yang selalu punya jargon “Tamu adalah Kaisar” pun mengerti dan mengantarkan pesanan Dika ke dalam surau. Dika membayarnya dengan sekeping uang 100 perak.
Nah, aksi itu tertangkap basah oleh Wak Bahruddin yang posisinya tepat berada di samping Dika di shaf laki-laki paling belakang. Terjadilah insiden penyanderaan sebungkus siomay dan sekeping uang logam oleh Wak Bahruddin, diikuti ceramah tentang hal-hal yang dilarang dilakukan di dalam masjid. ‘Lagian ini Dika. Padahal udah dikasih tahu kalo bertransaksi di dalam masjid kan nggak boleh, hihi,’ lagi-lagi Dinda terkikik mengingat masa itu.
Satu per satu ingatan tentang kejadian-kejadian di  surau muncul. Ada adegan di mana salah seorang “mantan calon lurah” di sana tiba-tiba datang ke surau setiap hari, beri’tikaf, menunaikan salat jamaah, hingga berujung mengkampanyekan dirinya sendiri seusai shalat di depan jemaah yang kebanyakan orang tua dan sedikit anak-anak yang lebih memilih berlepas dari urusan politik.
Tanpa sadar Dinda menggumam, “Uhm… Zaman Rasul dulu, selain untuk ibadah, masjid memang digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, sosial bahkan militer, tapi ya nggak untuk kampanye juga kali. Orang tua dan anak-anak? Wah, kalau dipikir-pikir jama’ah masjid saat ini memang…”
“Dinda? Neng Dindakah itu?” kata suara dari dalam surau.
“Eh, iya. Wak Bahruddin masih ingat? Alhamdulillah…” jawab Dinda dengan wajah berseri-seri.
Wajah Wak Bahruddin pun tak kalah berseri-seri dibalik hiasan keriput. Beliau pun menyambung gumaman Dinda, “Iya seperti inilah, Din. Tempat ibadah yang seharusnya diramaikan oleh anak-anak untuk belajar mengaji malah makin sepi anak-anak. Orang-orang menganggap masjid cuma bisa dipakai untuk kegiatan keagamaan. Sedih saya, Din. Lama-lama masjid isinya orang-orang tua, orang yang rumahnya dekat masjid, orang yang lagi kena masalah atau orang yang sedang punya hajat dan tiba-tiba ingat Alloh…”
Dinda tercekat.
*****
“Sesuai fiman Alloh di dalam surat At-Taubah ayat 180 yang artinya ‘”Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Alloh ialah orang–orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, mendirikan sholat dan menunaikan zakat serta tidak takut kecuali kepada Alloh. Merekalah orang–orang yang diharapkan termasuk golongan orang–orang yang mendapat petunjuk,’” jadi masjid itu nggak hanya buat sholat ya, adik-adik, tetapi…” suara Dinda terdengar oleh Wak Bahruddin saat mengajar mengaji di Surau Al-Ikhlas selama liburan semester genap.

No comments:

Post a Comment

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...