Serial Aisyah Adinda
Edisi 4: Senja di
Surau Al-Ikhlas
“Awas,
mbak! Ada kereta!” Glek. Dinda terkaget. Peringatan bapak penjual es doger itu
berhasil mengalihkan perhatian Dinda dari sepatunya. ‘Eh? Sepertinya, bapak itu
salah sangka,’ batin Dinda.
Siang
itu, Dinda memang sedang capek. Masalah “ini”, “itu” dan ini-itu lain tengah berlalu
lalang di otaknya membuatnya jenuh dan galau. “Aish! Mau ke tempat yang lebih
damai aja, ah!” kata Dinda dengan volume normal.
Tiba-tiba,
si bapak nyeletuk, “Mbak! Kalau tadi mbak berhasil pun mbak belum tentu masuk
tempat sedamai surga!” Sontak kalimat tersebut membuat perhatian orang-orang teralih
ke arah Dinda. Dinda hanya mampu ber-sweatdropped
ria menerima tatapan prihatin orang-orang padanya
“Maaf,
Pak! Saya nggak mau berbuat
macam-macam, kok. Ini tadi saya nunduk-nunduk,
memang karena lagi banyak pikiran aja. Na’udzubillah,
deh, Pak! Insya Allah hal seperti itu nggak
bakal terjadi,” papar Dinda kepada si Bapak. Tiba-tiba, si bapak
melambai-lambaikan tangan sambil berkata ke orang-orang, “Aman! Mbaknya aman!”
Dinda pun berpikir, ‘Bapak ini terlalu banyak menonton sinetron Cinta di Palang Kereta!’
Dinda
memperhatikan si Bapak dengan seksama. Tiba-tiba Dinda ketularan berteriak, “Koh
Joni yang jualan siomay super jumbo ya?” Si bapak pun gantian kaget hingga tak
sengaja meminum es doger yang seharusnya diberikan kepada pembeli. “N.. Nn..
Neng Dinda?”
Ternyata,
mereka sudah saling mengenal sejak Dinda tinggal di rumah lama, bersama orang
tuanya saat belum meninggal. Cukup lama mereka mengobrol dan bernostalgia
hingga diputuskanlah sebuah ide gila…
*****
Senja
di hari yang sama, Dinda sudah berada di halaman sebuah mushola tua. Penampakannya
terlihat tiga kali lebih parah dibandingkan terakhir kali ia lihat. Dinda merasakan
ada energi penuh kedamaian yang perlahan merambat, menghangatkan jiwa dan
pikirannya yang penat seharian ini. Di mushola yang lebih terbiasa Dinda sebut
dengan surau inilah, ia pertama kali belajar mengaji bersama teman-teman masa
kecilnya. Tiba-tiba, memori masa lalunya terputar kembali.
Suatu
hari, mereka bermain kejar-kejaran di dalam surau sambil menunggu Wak Bahruddin
datang untuk mengajar Iqro. Namun, ulah kami yang menimbulkan kegaduhan
ternyata telah membuat beliau kesal. Jadilah kami trauma dan takut pergi ke
surau. Tempat ini menjadi terlihat eksklusif. Bahkan, teman kecil Dinda yang
bernama Dika, menganggap surau sebagai “tempat keramat” dengan penunggu Wak
Bahruddin yang galak. ‘Sungguh sudah tersesat akal sehat temanku ini,’ batin
Dinda sambil tersenyum kecil.
Dika
adalah teman Dinda yang ngaco. Di suatu Ramadhan dia pernah membuat Wak
Bahruddin menceramahinya selama setengah jam sehabis salat tarawih. Dalam hal
ini, Koh Joni turut ambil andil. Alkisah, Dika usia TK kelaparan setelah salat
tarawih. Ia pun berinisiatif memesan siomay Koh Joni dari dalam surau. Koh Joni
yang selalu punya jargon “Tamu adalah Kaisar” pun mengerti dan mengantarkan
pesanan Dika ke dalam surau. Dika membayarnya dengan sekeping uang 100 perak.
Nah,
aksi itu tertangkap basah oleh Wak Bahruddin yang posisinya tepat berada di
samping Dika di shaf laki-laki paling
belakang. Terjadilah insiden penyanderaan sebungkus siomay dan sekeping uang
logam oleh Wak Bahruddin, diikuti ceramah tentang hal-hal yang dilarang dilakukan
di dalam masjid. ‘Lagian ini Dika. Padahal udah dikasih tahu kalo bertransaksi
di dalam masjid kan nggak boleh, hihi,’ lagi-lagi Dinda terkikik mengingat masa
itu.
Satu
per satu ingatan tentang kejadian-kejadian di
surau muncul. Ada adegan di mana salah seorang “mantan calon lurah” di
sana tiba-tiba datang ke surau setiap hari, beri’tikaf, menunaikan salat
jamaah, hingga berujung mengkampanyekan dirinya sendiri seusai shalat di depan
jemaah yang kebanyakan orang tua dan sedikit anak-anak yang lebih memilih
berlepas dari urusan politik.
Tanpa
sadar Dinda menggumam, “Uhm… Zaman Rasul dulu, selain untuk ibadah, masjid
memang digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, sosial bahkan militer,
tapi ya nggak untuk kampanye juga kali.
Orang tua dan anak-anak? Wah, kalau dipikir-pikir jama’ah masjid saat ini
memang…”
“Dinda?
Neng Dindakah itu?” kata suara dari dalam surau.
“Eh,
iya. Wak Bahruddin masih ingat? Alhamdulillah…” jawab Dinda dengan wajah
berseri-seri.
Wajah
Wak Bahruddin pun tak kalah berseri-seri dibalik hiasan keriput. Beliau pun
menyambung gumaman Dinda, “Iya seperti inilah, Din. Tempat ibadah yang
seharusnya diramaikan oleh anak-anak untuk belajar mengaji malah makin sepi
anak-anak. Orang-orang menganggap masjid cuma bisa dipakai untuk kegiatan
keagamaan. Sedih saya, Din. Lama-lama masjid isinya orang-orang tua, orang yang
rumahnya dekat masjid, orang yang lagi kena masalah atau orang yang sedang
punya hajat dan tiba-tiba ingat Alloh…”
Dinda
tercekat.
*****
“Sesuai fiman Alloh di
dalam surat At-Taubah ayat 180 yang artinya ‘”Sesungguhnya yang memakmurkan
masjid Alloh ialah orang–orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir,
mendirikan sholat dan menunaikan zakat serta tidak takut kecuali kepada Alloh.
Merekalah orang–orang yang diharapkan termasuk golongan orang–orang yang
mendapat petunjuk,’” jadi masjid itu nggak
hanya buat sholat ya, adik-adik, tetapi…” suara Dinda terdengar oleh Wak
Bahruddin saat mengajar mengaji di Surau Al-Ikhlas selama liburan semester
genap.
No comments:
Post a Comment