Friday 29 April 2011

Esai Kaligrafi yang dibikin Satu Jam doang...


Nomor Absensi: 13


Don’t Judge A book from the Cover


Berbicara tentang lukisan, hal-hal pertama yang terlintas di benak kita pasti tidak jauh-jauh dari gambar, keindahan, polesan warna yang padu dan harmonis atau opini-opini lain yang cenderung berkaitan dengan penampilan fisik lukisan tersebut. Lukisan memanglah salah satu media penyalur seni yang menghasilkan keindahan sejuta macam dan berjuta makna. Kemajemukan makna ini timbul akibat dari perbedaan penafsiran dan penilaian setiap penikmat seni yang mengamatinya. Pada umumnya, hanya sedikit orang –di samping pelukisnya-- yang mampu menerka dengan benar makna dari sebuah lukisan. Inilah salah satu hal yang menarik dari lukisan menurut saya. Lukisan itu indah, mengantongi berjuta makna dan menjerat kita untuk berpikir sambil berimajinasi.
Lukisan hanyalah satu contoh saja dari segunung benda seni dunia yang populer di masyarakat. Seiring berlarinya waktu, lukisan terus mengalamai pemekaran. Lukisan tidak hanya menuangkan kembali wujud benda yang secara nyata ada di depan mata ke dalam kanvas, tapi dapat pula merekam ayat-ayat suci Tuhan dalam bentuk tulisan Khat atau kaligrafi, sebuah tulisan yang indah.
Seni itu indah, sebuah keindahan yang tidak hanya bisa diraba mata, tapi juga dapat disentuh dengan akal dan hati. Dengan kata lain, seni itu sangat erat kaitannya dengan rasa dan logika. Hal ini secara gamblang disampaikan dalam cerpen karya Gus Mus, Lukisan Kaligrafi tersebut.
Dikisahkan bahwa Ustadz Bachrie seorang jenius di dunia Khat dengan pengalaman dan pengetahuannya tentang Khat yang tidak diragukan. Meski begitu, beliau belum pernah melukis sekali pun. Berkat paksaan teman dan didorong oleh keinginan dan rasa penasaran, melukislah Ustadz. Namun, hingga di tetes terakhir cat-catnya yang berwarna dan merona, Ustadz masih belum berhasil menyelesaikan satu lukisan pun. Dua warna tersisa adalah putih dan silver yang bisa dikatakan bersaudara karena selisih gradasi yang tidak terlalu jauh. Huruf kaligrafi yang dilukis pun amat sederhana, yaitu sebentuk huruf “Alif” yang
Ilustrasi Lukisan “Alifku Tegak Di Mana-mana”

ditulis dengan cat silver dan di-background-i dengan cat putih yang tersisa. Rasa pesimis akan kesuksesan lukisannya pun mulai menghinggapi Ustadz Bachri. Namun, siapakah manusia yang mampu menebak apakah dia akan mendapatkan durian atau kedondong? Lukisan Kaligrafi huruf Alif seorang diri yang diberi nama “Alifku Tegak Di Mana-mana” itu telah berhasil memikat hati para pengagum seni lukis dan kaligrafi yang datang di pameran itu.
Mungkin awalnya kita akan terbingung-bingung kenapa sebuah alif itu mampu menggemparkan seluruh pemikat seni. Bahkan, penulisnya sendiri sempat tidak mengerti kenapa hal tersebut bisa terjadi. Namun, itulah seni, khususnya seni lukis kaligrafi. Seni tak melulu memamerkan keindahan dan keberanian memadukan warna. Seni lukis kaligrafi itu, selain bisa dilihat dan dibaca dengan otak, dapat dirasakan maknanya dengan hati. Mungkin kemenangan sebuah alif yang terkenal itu bisa membuat orang awam tertawa karena memang tidak mengetahui maknanya. Namun, bagi seseorang yang mampu melihat dan membaca sisi lain dari seni dan kesenian, alif itu mempunyai sejuta makna yang bahkan lebih mengesankan dibandingkan lukisan bebungaan tulip di tepi kincir angin di Belanda. Orang yang mampu membaca itu salah satunya tokoh Hardi yang di dalam cerpen dikisahkan sebagai pelukis ternama yang melukis segala hal dan menilai serta memaknai segala lukisan dengan begitu detail.
Cerpen tersebut mampu menyadarkan kita bahwa seni lukisan itu tidak hanya untuk indah dilihat. Seni kaligrafi itu tidak hanya untuk dibaca dan digunakan penangkal syaitan seperti yang dimanfaatkan oleh Ustadz Bachri. Dan seni Lukisan Kaligrafi itu tidak hanya mampu menimbulkan kesan indah dan susah dibaca. Namun, kesemuanya itu juga mampu dimaknai karena mereka memang sarat arti dan pesan moril.
Semakin ke ujung cerpen, saya semakin mengerti bahwa seni lukisan, termasuk lukisan kaligrafi itu memang menarik dan berarti. Sesederhana apa pun bentuknya, seminimalis apa pun pewarnaannya bahkan sehuruf saja bentuknya kaligrafi itu tetap memiliki makna dan filosofi. Belum tentu sesuatu yang lebih rumit atau lebih indah mempunyai makna dan filosofi yang membelajari pemirsanya. Seni… Sekali lagi, kaligrafi itu seni. Dibutuhkan perpaduan, mata dan hati untuk mampu menikmati seni. Dan semakin ke sini, saya semakin percaya terhadap kebenaran pepatah asing, “Don’t judge a book from the cover!”.



No comments:

Post a Comment

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...