Friday 29 August 2014

Senja Bersama, Merkurius dan Venus (1)

*Saya mengadaptasi judul cerita ini dari judul cerpen seorang adik angkatan, tentu saja dengan isi cerita yang berbeda.
*Alur cerita lambat dan mudah ditebak. Jika tidak suka, jangan coba-coba membacanya.
*Ber-genre drama keluarga. Bukan penyuka cerita drama tidak dianjurkan untuk membacanya.
*Ini bagian ke-1, yang masih berisi prolog dan pengenalan tokoh-tokoh utamanya.

Selamat membaca! :D
________________________________________________________________________________________________


Kepingan 1: Cokelat Kelinci

'Ibu, ayah sebentar lagi pulang. Sekarang sedang mampir di minimarket atas. Beli cokelat kelinci pesanan si Dede. Ibu, bisa tolong siapkan air hangat buat mandi?' katanya melalui pesan singkat yang baru saja menyeruak masuk ke dalam inbox telepon genggamku.

'Okeee, ayah,' balasku singkat. Ah, tentu saja aku telah menyiapkannya, sebelum ia meminta. Aku sudah hafal jam pulangnya hingga kebiasaannya mengirim pesan untuk mengabarkan bahwa ia hampir mencapai rumah atau sekadar menanyakan oleh-oleh kepada Keke dan Dede, buah hati kami yang sedang pandai-pandainya menghafal lagu anak-anak.

Aku sudah sedang mengecek suhu air dalam bak mandi, ketika nada dering penanda pesan singkat selulerku terdengar mencicit meminta perhatian. Sebuah pesan singkat tergelar melalui pop up di layarnya, 'Cokelat di tangan, Ayah siap meluncur pulang.' Aku tersenyum membaca pesan tersebut. Suamiku masih saja cerewet seperti dulu ternyata. Lagi-lagi, aku tersenyum nyaris terkikik, membayangkan ia di masa muda yang begitu ceria, bersemangat dan disukai banyak orang. Well, setidaknya ia berhasil membuat orang-orang berpikir demikian tentang dirinya.

Aku sengaja tidak membalas pesan terakhirnya dan mungkin aku akan beralasan: ini demi penghematan pulsa. Padahal, aku memang tidak ingin membalasnya saja. Aku ingin mengetes bagaimana reaksinya ketika pulang nanti, mengingat ia tidak suka jika ada pesan atau perkataannya yang diabaikan. Sebenarnya, sudah dapat kutebak, ia pasti hanya akan mencelotehkan protes mini selama beberapa detik, lantas lupa dan berlari menuju dua malaikat kecil kami, yang kini tengah menari bersama menggunakan kostum peri.

Ah, dua anak itu, tiba-tiba aku ingin melihat bagaimana progres tarian mereka. Aku mengintip ke sebuah ruangan bernuansa kuning pastel yang memang berada di dekatku. Kulihat pangeran kecilku sedang berdiri di atas kursi mungilnya sambil berkacak pinggang. Ia menggunakan kostum Oki, si peri cilik nan jail, yang berwarna hijau daun pisang tua. Di sisi lain kamar tersebut, tepatnya di depan cermin setinggi satu meter yang terparkir aman di salah satu sisi kamar berbentuk segi lima itu, putri manisku tengah memandangi pantulan dirinya yang tak kalah manis di dalam cermin. Kostum bersayap dari tokoh Nirmala, si peri penyihir cantik dalam dongeng bergambar "Cerita dari Negeri Dongeng", tampak luwes melekat di tubuh mungilnya. Mereka sangat lucu, menari sambil sesekali menggumamkan semacam dialog yang selalu saja berubah-ubah kalimatnya di setiap latihan, sangat menyimpang dari naskah yang diajarkan oleh guru mereka. Meski begitu, mereka telah membuatku tersihir dan hampir lupa jika ayah mereka sudah hampir pulang dari kerja. Kulirik jam dinding berbentuk burung hantu yang terpaku lucu di sudut kamar itu. Oh, tidak! Sebaiknya aku membiarkan mereka bermain dan bergegas menyelesaikan persiapan makan malam sebelum ia pulang.

"Ayah pulaaang!" kudengar suaranya dari luar rumah, mengeras memenuhi teras dalam, seiring rintihan pintu yang perlahan terbuka. Baguslah, aku telah selesai menata hidangan makan malam kami, ketika ia telah masuk ke dalam rumah seutuhnya. Namun, ada yang aneh. Keke dan Dede tidak menghambur ke luar kamar untuk menyambut kedatangannya. Apakah mereka tertidur dalam satu menit? Aku menyempatkan menemuinya yang tengah duduk melepas sepatu, untuk sekadar memberikan senyuman kecil, sebelum pergi mencari Keke dan Dede ke dalam kamar.

Aku sempat cemas selama beberapa detik karena tidak dapat menemukan mereka berdua. Namun, kecemasan itu bergenti kegemasan ketika mendapati mereka sedang sama-sama berjongkok bersembunyi di balik bak mandi. Kamar mandi berpintu dua itu memang diset berada di perbatasan kamar tidur kami dan mereka untuk mempermudah segala aktivitasku dalam mengurusi mereka. Aku pura-pura tidak melihat mereka yang sepertinya memang tidak menyadari kedatanganku. Kutinggalkan mereka, yang tengah terkikik sembari membungkam mulut mereka dengan tangan mungil mereka sendiri, lalu segera menemui suamiku tercinta. Ia sudah selesai melepaskan pantofel kirinya ketika aku tiba di depannya.

"Tak membalas sms-ku lagi, uhm?" tanyanya dengan wajah kesal yang dibuat-buat. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman yang juga kubuat-buat sedemikian rupa agar setidaknya tampak manis bak personel-personel girlband di televisi. Namun, ia belum mengubah ekspresi wajah kesal buatannya. Akhirnya, aku menambahkan jurus andalanku, yaitu mengedip-ngedipkan mata dengan jahil, yang tentunya sangat tidak pantas dilakukan oleh wanita berkepala tiga sepertiku. Sukses. Ia telah lupa akan akting kesalnya dan kini digantikan dengan tawa spontan yang sangat keras, cukup untuk membangunkan anjing tetangga. Aku memberinya lirikan tajam khasku dengan mengisyaratkan pesan ancaman, 'Reaksi berlebihan macam apa itu? Hentikan atau kau akan mendapat ganjarannya!'  

Sepertinya, ia dapat membaca pesanku dengan baik karena ia menghentikan tawanya pasca melihat lirikan dariku itu. 'Yes! Selalu berhasil setiap saat!' batinku sembari menyeringai puas merasakan kemenanganku darinya untuk yang kesekian kalinya. Aku tidak melakukan semua ini karena aku ingin menindas atau tak menghormatinya. Namun, beginilah cara kami berkomunikasi, bahkan sejak lama saat status kami belum seperti ini.

Aku mendekatinya, meraih tas kerja berselempang yang ia gantungkan di bahu kanannya. Ia memandangku, masih terlihat sedikit gugup dan salah tingkah. Aku dapat melihat lelah terpatri jelas di relief wajah jenius sekaligus jenakanya. Lalu tiba-tiba kami tersenyum tanpa alasan yang jelas. Aku pun mulai menyapanya, "Selamat datang, Ayah. Apa kau tidak merasa di sini sedikit lebih tidak berisik? Kau tidak ingin mencari di mana mereka? Mereka sudah lebih pandai dalam bersembunyi, jika kau tahu."

Ia lantas tersenyum, membelai rambutku dan mendaratkan kecupan lembut di keningku. Dengan suara yang tak kalah lembut pula ia berkata, "Aku pulang. Terima kasih telah menjaga anak-anak kita. Dan..." tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya sebelum akhirnya menaikkan volume suaranya dengan sengaja untuk menghasilkan teriakan yang sekeras toa demi memperoleh respons dari kedua bocah yang tengah bersembunyi itu, "HALOOO??? KOK RUMAH SEPI SEKALI, YA??? AYAH PULANG NGGAK ADA YANG MENYAMBUT, NIH?"

Alih-alih respons, suara kikikan tertahan mereka lah yang terdengar menggema dari arah yang sangat kami kenali dan tentu saja ia sudah dapat mengetahui letak mereka bersembunyi. Namun, ia tidak menuju ke tempat tersebut. Ia lebih memilih duduk di kursi berlengan dan menyalakan televisi dengan suara keras. Sepertinya ia ingin menggoda mereka. Dan betul saja, baru lima detik ia merebahkan punggungnya di penyangga kursi, ia kembali berbicara setengah berteriak, "YAH, SAYANG SEKALI, TERNYATA KEKE DAN DEDE TIDAK ADA DI RUMAH. PADAHAL, AYAH PUNYA COKELAT KELINCI KESUKAAN DEDE, BU. KITA MAKAN SAJA YUK, BU! MUMPUNG CUMA ADA KITA BERDUA, KITA BISA MENGHABISKANNYA SAMPAI PUAS. OIA, HADIAHNYA NANTI BUAT IBU, DEH."

Oh, ternyata aku salah. Ia tidak setengah berteriak, tetapi betul-betul berteriak dengan kekuatan maksimal untuk memancing kedua bocah jail itu keluar dari persembunyiannya. Atas upaya berteriak-teriaknya itu, kini ia cukup gelagapan mengatur napas. Dasar sama-sama bocah!

Butuh belasan detik hingga akhirnya terdengar sepasang langkah kaki kecil yang bergerak semakin dekat. Tampaknya pertahanan salah satu dari mereka telah tumbang karena tak kuat menahan godaan cokelat kelinci yang aku tak tahu di mana letak enaknya. Tak hanya sepasang kaki, sepertinya sepasang kaki lain pun terdengar berlari kecil mengikuti pemilik kaki sebelumnya yang kini mulai berlari juga. Kami berdua hanya tertawa sembari menanti kedatangan dua bocah polos ini dari persembunyiannya, yang letaknya sekitar dua puluh lima meter dari tempat kami memarkirkan diri.

"Mau bermain tebak-tebakan, siapa dulu yang sampai sini?" tanyanya dengan ekspresi menantang.

"Boleh!" jawabku tegas. "Aku bertaruh Dede karena ia yang paling suka pada cokelat itu," tambahku cepat.

"Tidak. Kali ini pasti Keke!" timpalnya dengan penuh percaya diri.

Entah mengapa, dalam sekejap rutinitas biasa ini berubah menjadi menegangkan karena disambi dengan menanti pembuktian tebakan kami. Lima meter lagi, mereka akan tiba di ruang keluarga di mana kami berdua berada dan aku sudah tidak sabar lagi memastikan siapa yang datang lebih dulu. Aku menoleh ke koridor yang membatasi ruangan ini dan ruangan bermain di sampingnya. Ia datang! Dan dapat kulihat sepasang sayap merah muda mengepak-ngepak masuk menerobos tirai kerang. Si Keke tiba di hadapannya dengan napas tersengal disusul oleh Dede yang tangannya terangkat ke atas, jelas sekali tengah bersiap mendorong Keke menjauhi sang ayah, untuk mengamankan cokelat favoritnya.

'Apa? Kok bisa? Kenapa bisa begini? Keke kan tidak suka cokelat. Kenapa ia datang duluan?' batinku. Seketika, aku merasa bodoh karena memikirkan hal seperti ini.

"Kau ingin tahu, kenapa aku tahu?" tanyanya padaku seolah-olah dapat membaca pikiranku.

Namun, alih-alih ia menjelaskan alasannya, Keke lah yang angkat bicara, "Ayah! Ayah curang. Ayah kan udah janji nggak akan mancing-mancing Dede pakai cokelat lagi. Gara-gara Ayah, Dede nggak mau sembunyi karena pengen cepat-cepat makan cokelat. Jadi gagal total kan, Ayah! Ayah curang dan pemalas, nggak mau nyariin kita." Dahinya mengerut dan matanya berapi-api ketika ia mengatakannya. Keke tampak betul-betul kesal. Mungkin itu yang membuatnya berlari lebih cepat hingga dapat menyusul Dede dan sampai ke sini lebih dulu darinya. Si Ayah yang tengah diprotes oleh putrinya hanya meringis tanpa rasa bersalah sambil mengacak-acak rambut putra bungsu yang sekarang sudah duduk di pangkuannya.

"Ayah, Dede mau cokelatnya. Hehehe. Ayah beli dua, kan?" pinta Dede dengan polosnya, mengabaikan sang kakak yang masih cemberut dan sesekali meracau tidak jelas karena jengkel pada Dede, si tokoh utama yang telah menggagalkan operasi persembunyian mereka berdua. Mereka terlihat sangat lucu.

"See? Aku menang, kan? Jadi, apa imbalan atas kekalahanmu dalam taruhan ini?" tanyanya membabi buta. Dan...apa?

"Taruhan? Sejak kapan ini menjadi taruhan?" Keke dan Dede yang tak mengerti isi pembicaraan kami hanya mengerjap-ngerjapkan mata kebingungan. Kemudian mereka kembali berisik, berebut untuk bicara dengan ayahnya.

Ia hanya menoleh sekilas kepadaku, lalu kembali memandang serius kepada putra-putri kami seraya berkata, "Sudah pikun rupanya, Ibu kalian. Kalian harus sabar, ya." Dede dan Keke berpandangan satu sama lain, hening sejenak, kemudian sama-sama mengangguk pasti. Hey, sikap tidak sopan macam apa itu? Apa yang ia ajarkan kepada mereka berdua?

Ia meraih satu kotak cokelat kelinci, membukanya, kemudian memberikannya kepada Dede. Dede menyambar kotak tersebut dengan beringas, membuang cokelatnya dan merogoh-rogoh benda yang masih tersangkut di dasar kotaknya. Ah! Akhirnya, aku tahu mengapa Dede begitu tergila-gila pada cokelat kelinci ini. Maksudku, ia tidak pernah betul-betul menyukai cokelatnya. Ia hanya suka mengoleksi hadiah-hadiah mainan yang ada di dalamnya.

"Yeay! Mainan perahu dayung!" teriak Dede girang.

Greg! Ya ampun, benar juga. Sepertinya tadi aku keceplosan menyebutkan kata taruhan. Aku lupa betapa jeniusnya orang di hadapanku ini dan betapa lemahnya aku dalam hal seperti ini. Baru beberapa menit lalu aku menang darinya dengan jurus kedipan mata dan sekarang sudah dikalahkannya hanya dengan bermain tebakan? Seharusnya, aku lebih berhati-hati ketika menghadapinya karena ia masih saja lebih pintar dariku.

"Ah! Sudah! Sudah! Ayah! Lebih baik Ayah segera mandi atau air hangatnya akan mendingin. Kau tidak kasihan padaku, yang sudah capek-capek menyiapkannya, uhm?" ucapku mengalihkan topik pembicaraan.

"Tentang taruhannya bagaimana?" ia masih tak mau melepaskan topik ini ternyata. Dan akhirnya, aku terpaksa mengeluarkan jurus pengobrak-abrik sukma kepadanya sebelum ia kembali berbicara.

"Ayah?" ia menoleh kepadaku. "CEPAT MANDI ATAU JATAH MAKAN MALAM KALI INI IBU BERIKAN KE MEONG YANG BELUM MAKAN SEHARIAN!" teriakku sambil menyeringai penuh arti. Sontak, ketiga manusia di depanku terdiam seketika. Dede akhirnya menyadari bahwa ancaman tersebut bisa jadi berlaku juga bagi mereka, jika mereka tidak patuh. Dede turun dari pangkuannya dan mencolek-colek pipi Keke --yang membisu masih mencerna suasana-- mencoba mengajaknya menjauhiku, yang tengah berakting bak nenek sihir pemangsa bocah.

"Keke! KEKE!" panggil Dede. Namun, yang dipanggil masih tak menyaut. Akhirnya, Dede mengambil tindakan berupa mendaratkan jitakan kecil ke kepala Keke yang loading-nya terlampau lama.

"Auw! Sakit Dedeeee! APAAN SIH KAMU?" teriak Keke sambil mengelus bekas jitakan di kepalanya. Kini Keke sudah sadar sepenuhnya dan mampu mengenali kondisi yang tengah terjadi. Ia bergidik ngeri melihatku.

"Oh, dek Dede lapar, ya? Kak Keke juga. Ayo kita siap-siap makan," kata Keke sembari memutar badan dan menggandeng tangan adiknya menuju meja makan.

"Ayo, Kak! Hehehe," jawab Dede. Aku hanya tertawa tertahan melihat tingkah lucu mereka.

"Mereka lucu, ya? Hahaha," tetiba ia kembali bicara sambil merangkulkan lengannya ke bahuku. Aku menoleh kepadanya, masih dengan mempertahankan tatapan tajamku yang dapat menusuk-nusuk kebahagian. Perlu waktu cukup lama hingga ia sadar, jika aku tidak sedang bermain-main dengannya. Sret. Seketika ia menurunkan lengannya dan menyusul si kembar yang sudah hampir mencapai meja makan.

"Keke! Dede! Ayo makan ber...bersamaaa... Ha...ha... haaa...." katanya terbata-bata.

"AYAH MANDIIII!!!" teriakku mematahkan tawa terbata-batanya.

"I...IYAAA..." jawabnya sambil berlari ke kamar. Beberapa lama kemudian terdengar lagu She Loves You milik The Beatles dinyanyikannya dari dalam kamar mandi.

Aku tertawa kecil sambil mengambil nasi dan menyajikannya ke atas piring-piring mereka bertiga, para jantung hatiku. Keke dan Dede sudah terbiasa denganku yang pandai berubah-ubah ekspresi seperti ini. Mereka hanya berdecak sesekali ketika melihatku tersenyum-senyum tidak jelas, kemudian kembali asyik bermain berdua sambil menanti ayah mereka selesai mandi.

"AYAH!" panggilku dari ruang makan.

"Yes, honey?" jawabnya genit dan sangat tidak pantas didengar oleh anak-anak. Mungkin ia ingin diberi pelajaran tambahan? Baiklah, honey. Hahaha.

"Dua menit saja kau malama-lamakan diri di dalam kamar mandi, ayam bakar madu ekstra jumbo ini akan lenyap dari meja makan oleh si kembar. Wah, mereka sangat lahap memakannya. Oh, kau masih ingin berendam ya, SAYANG? Nikmati waktu mandimu kalau begitu, ya, Yah! Ohohoho," kataku dengan diakhiri senyuman licik. Dua bocah di hadapanku hanya tertunduk pasrah menerima fitnahan dariku.


"TIDAAAAAK!!!"

Dan kali ini, senja berlalu dengan menyenangkan seperti senja-senja sebelumnya.


*****

Kepingan 2: Takdir yang Tertukar

No comments:

Post a Comment

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...