Monday 27 December 2010

Aku Tahu Caramu Menyayangiku

Aku Tahu Caramu Menyayangiku
Oleh Anifatun Mu’asyaroh (1006668014)

Depok tidak panas hari ini. Langitnya menggelap dengan petir yang sesekali berteriak parau seperti anak kucing lapar. Sekawanan tikus got berlari santai menyeberangi gazebo asrama. Saking santainya atau tepatnya lalainya, hampir saja ada seekor tikus yang tertendang kaki mahasiswi bergaya tomboy ini. Dia berjalan gontai di tengah keramaian kantin. Bukan untuk mengisi perut tujuan kunjungannya, melainkan sekedar menumpang lewat sambil mencari kalau-kalau ada menemukan ceceran inspirasi.
Petir berteriak lagi, menyadarkan si mahasiswi bahwa keberadaanya di kantin hanya sia-sia. Dia memutar langkahnya ke arah kamarnya di gedung C. Tangga-tangga pendek itu terasa jauh lebih tinggi dari biasanya. Lambat. Dan dia merasakan kamarnya seakan sejauh kampung halamannya di Wonogiri. Dia sudah akan memutar pintu, tapi...
“Oh My! Aku benci hari ini! Arrrgh! UTS! Presentasi! Shit semua! Aku benci sastra!” teriaknya yang sukses membangunkan tidur siang beberapa tetangga kamarnya. Dibukanya daun pintu dengan kasar, lalu dia lemparkan pintu sekenanya hingga menimbulkan bunyi super gaduh. Kasur yang busanya sudah sedikit “sakit” menjadi korbannya yang selanjutnya. Dia berbaring, memejamkan mata tanpa berniat untuk tidur. Lalu tiba-tiba dia menangis. Tangisan pertamanya tahun ini. Diambilnya Lintang, lalu menarilah jemarinya di atas Lintang, si laptop jadul kesayangannya.



Senin, 8 November 2010
Tiba-tiba aku teringat lebaran tahun lalu, saat aku melukai hatinya. Kami bertikai, mempersoalkan hal yang sungguh sepele. Hingga ujungnya, aku mengunci diri di kamar paling timur dan tak mau mendengarkan sepatah kata pun dari mulutnya.

Aku sedang kesal padanya saat itu dan jujur aku memang tidak menyukai sifatnya yang keras dan benar-benar susah dibelokkan, benci bahkan. Namun, aku juga tidak pantas menyakiti hatinya, tidak sama sekali. Sebab aku sendiri pun seperti itu. Aku keras, baik kepala maupun hati. Emosiku labil dan jarang stabil... dan aku amat tahu, kesemuanya itu aku dapatkan dari dia. Tentu saja! Setiap inchi tubuhku adalah berasal darinya.

Hari ini, saat aku sendiri, saat aku tidak ada di sisinya, aku menyadari bahwa aku menyayanginya... Aku sadar betul, setiap hal yang kunikmati adalah karena dia, setiap tetes ilmu yang kudapat adalah berkat tetes keringatnya dan setiap keberhasilanku adalah karena ridho di setiap hembusan nafasnya. Lalu kenapa aku selalu berpura-pura tidak tahu dengan bertingkah sombong kepadanya? Perlahan, aku mengaku, “Aku malu!”

Pernahkah aku memujinya? Pernahkah aku memijiti bahunya sehabis kerja? Pernahkah aku mengucapkan selamat datang saat dia pulang? Tidak. Hingga tiba saatnya aku pergi untuk waktu lama, aku pun tidak menyentuh tangannya. Pernahkah aku bercerita tentang dia di depan teman-temanku? Tidak. Bukan malu, hanya bingung, apa yang ingin aku ceritakan tentang dia kepada mereka. Dia kaku sekaku karang yang congkak dihantam ombak.

Namun, hari ini aku menyadari bagaimana caranya menyayangiku. Dia tidak pernah mengucapakan sayang padaku, seperti yang aku harapkan dari dulu, seperti yang biasa terlihat di dalam televisi. Dia tidak pernah memujiku saat aku mendapatkan peringkat satu di kelas. Bahkan, dia bersikap tidak peduli saat aku diterima di perguruan tinggi impianku. Benarkah dia tidak tahu?

Memang, aku ingin sekali melihat dan merasakan kehangatan seperti yang dirasakan oleh teman-temanku yang lain. Dipeluk, dicium, dibelikan boneka atau diajak berlibur ke pulau Bali. Namun, sekarang aku sudah tahu, semua itu memang bukanlah caranya.

Suatu hari, di luar sana, dia tersenyum bahagia di antara kerumunannya. Aku iri karena orang lain begitu mudah mendapatkan senyumnya, sedangkan aku tidak. Aku melihat dia bercanda-canda, lalu menceritakan hal yang menarik membuat orang lain terkagum-kagum. Dia tampak bahagia. Aku tidak pernah melihat ekspresi seperti itu. Aku sadar, aku tidak bisa membuatnya tersenyum dan tertawa seperti itu. Aku iri lalu pergi...

Aku memendam iriku berhari-hari hingga tidak mampu dihitung dengan jari.
Hingga saat lebaran itu, aku sudah terlalu lama memendam kejengkelan. Aku muntab, lalu membanting pintu tepat di depan hidungnya. Aku menolak diajak ke tempat rekannya dan menolak apa pun yang dia perintahkan. Aku menulis catatan nista itu lalu disukai oleh beberapa teman di facebook. Aku malu sebenarnya, tapi itulah aku, seorang yang sok. Lalu sekarang, lagi-lagi aku malu...

Aku sudah bilang aku sudah tahu bagaimana caranya menyayangiku. Dia berkata sayang lewat diam. Belakangan aku tahu, dia menimbun harta untuk aku bisa sekolah. Aku pun tahu dia menceritakan aku yang mendapat juara satu, aku yang diterima di SMA favorit, aku yang mendaftar di jurusan farmasi dan arsitektur UGM dan aku yang mendapat beasiswa serta diterima di universitas impianku di jurusan Sastra Indonesia. Dia bercerita kepada teman-temannya, di kerumunnya, dengan bahagia. Dia bahagia bercerita tentang aku.

Dia tidak menampakkan kegembiraannya saat aku bercerita tentang prestasiku karena dia tidak ingin aku menjadi gadis sombong. Dia tidak pernah menanggapi soal gambar atau tulisanku karena dia tidak ingin aku cepat berpuas diri. Dia tidak selalu menuruti setiap hal yang aku mau karena dia ingin aku menjadi manusia mandiri yang tidak materialistik. Dia tidak menunjukkan lemah lembutanya karena dia tidak mau aku menjadi seorang yang tidak menghormatinya.

Astaghfirullohal’adzim... Maafkan aku, God! Maafkan aku, sayangku, yang selama ini buta oleh keinginan-keinginan yang berlebihan, yang terkadang imajiner, yang terlalu menuntut kepadanya tanpa pernah terlalu berusaha membuatmu bangga! Padahal kau tidak pernah menuntutku bisa ini dan bisa itu. Aku malu... Karena aku baru menyadari indahnya cintamu saat aku tidak di sampingmu, aku malu karena aku selalu merepotkan dan tidak pandai membuatmu senang, dan sekali lagi karena tahun ini aku belum bisa mempersembahkan yang terbaik bagimu. Maafkan aku! Maafkan Nabila, Dad...!




Dia sedang mengklik pilihan “TERBITKAN ENTRI” ketika handphone-nya tiba-tiba berbunyi. Dengan air mata yang masih mengalir dan suara yang sedikit bergetar dia berkata ke suara di seberang, “Dad, aku tahu caramu menyayangiku... Aishiteru!”\


Cerpen untuk tugas Penulisan Ilmiah

No comments:

Post a Comment

MD: Ide Yang Tersesat

Minggu lalu, Jumat 15 Maret 2024, saat Live sendirian, kepikiran untuk bikin INSTAL LIVE yang isinya obrolan antar nakes Puskesmas Alian ten...