*Saya mengadaptasi judul cerita ini dari judul cerpen seorang adik angkatan, tentu saja dengan isi cerita yang berbeda.*
*Alur cerita lambat dan mudah ditebak. Jika tidak suka, jangan coba-coba membacanya.*
*Ber-genre drama keluarga. Bukan penyuka cerita drama tidak dianjurkan untuk membacanya.*
*Ini bagian ke-2. Bagian ke-1 dapat dibaca di sini*
Selamat membaca! :D
________________________________________________________________________________________________
Kepingan 2a: Takdir yang Tertukar
Deng. Deng. Deng.
Itu suara jam kayu yang kesepian, berdiri seorang diri di ruang
baca. Ia menabuh lonceng, yang menggantung malas di badannya, sebanyak tiga
kali. Oh. Sudah pukul tiga sore rupanya. Artinya, sudah satu jam lamanya aku
duduk bermalasan di atas kursi lesehan berlengan sambil menonton televisi. Satu
menit lagi. Oh tidak. Tiga menit lagi. Aku yakin tiga menit lagi, FTV dengan
cerita picisan tentang seorang casanova yang jatuh cinta pada
asisten rumah tangganya ini akan segera berakhir. Merasa tertantang oleh diri
sendiri, aku mencari-cari pengukur waktu untuk membuktikan dugaanku. Aku
menemukan selulerku, kemudian menyalakan aplikasi stopwatch yang
ada di dalamnya.
Klik. Menit kosong kosong. Sang casanova kini
sedang mengendarai motor besar berwarna merah dengan kecepatan tinggi.
Wajahnya hampir seluruhnya tertutup oleh helm full
face yang dikenakanya. Hanya
matanya yang tampak, menajamkan fokus, tetapi juga mengisyaratkan kegelisahan.
Ia sedang terlibat dalam aksi pengejaran, mengejar si asisten rumah tangga yang
sudah lebih dulu bertolak dari rumahnya, menuju terminal bus ibukota. Pria ini,
dikisahkan baru saja lolos dari pergolakan batinnya sendiri. Akhirnya, ia sadar
bahwa ia memang menyayangi si asisten, jatuh cinta tepatnya. Jatuh cinta pada
kemampuannya dalam meracik jamu tradisional. Namun, ternyata ia terlambat. Sang
asisten rumah tangga terlanjur mengundurkan diri karena berbagai uji, salah
satunya patah hati karena sang majikan menuduhnya mencuri. Tertebak sekali.
Menit kosong tiga puluh tiga. Sang majikan casanova berlarian di
terminal, mencari sosok asisten yang membuatnya gila hingga mengejarnya ke
terminal yang tak ia kenal. Ia tampak berlari dari satu sudut ke sudut lain.
Butir-butir keringat bermunculan di keningnya, mengalir hingga ke pipi
menyerupai air mata yang memilukan. Ketika ia hampir menyerah dan memutuskan
untuk menyeret badannya kembali menuju motor besar, yang entah mengapa
diperbolehkan terparkir bebas bukan di tempar parkir seharusnya, si gadis
asisten rumah tangga itu muncul dari balik dinding.
Menit satu kosong satu. Mereka bertatapan. Kamera di-setting berputar, mengitari mereka, persis
seperti adegan di film india. Tampak, mereka yang tengah berdiri berhadapan
terpisah jarak hanya sekitar dua setengah meter. Background musik ala pop melayu
mengalun meliuk, mengiringi prosesi saling pandang mereka yang memakan waktu
lebih lama daripada lama pencarian terhadap si asisten rumah tangga tersebut.
Menit dua kosong tujuh. Cklik!
Aku bosan. Aku matikan televisi, yang tengah menampakkan dua orang
tengah berdialog panjang, saling mengutarakan penjelasan dan mematahkannya
sendiri, itu. Aku menghabiskan satu jam yang berharga untuk menonton kisah
cinta klise para anak muda yang alur dan akhirnya sangat mudah ditebak. Aku
sendiri pun bertanya-tanya, mengapa aku tetap bertahan mengikuti jalan
ceritanya, padahal aku sudah tahu akhir dari kisah cinta pasaran mereka berdua.
Mungkin, aku terlalu baik. Seharusnya stasiun televisi swasta itu membayarku
atau memberiku bingkisan menarik atas jasaku, setia menonton hasil kerja mereka
yang setengah payah, setiap hari.
Drrrrt. "Permisi! Paket! Paket!"
Eh? Apakah mereka betul-betul mengirimkan bingkisan menarik
sebagai hadiah untuk para pemirsa baik hati sepertiku? Plak. Aku tampar mukaku
dengan halus, berniat menyadarkanku dari kantuk yang mulai membuatku
berhalusinasi, hingga tak mampu membedakan dunia drama dan nyata.
"Ya, Mas. Tunggu sebentar," teriakku dari dalam ruang
keluarga, tempat yang sama dengan tempatku menonton televisi. Sayup kudengar
jawaban "oke" dari teras depan.
Aku berjalan ke arah pintu dengan cepat. Kemudian bergegas
membukanya dan tampaklah seorang kurir dengan seragam dan topi bercorak oranye
cerah, membawa sebuah kardus kecil di tangannya. Mataku tertuju pada sebuah
bentuk familiar yang ada di muka topinya. Eh? Bukankah itu logo sebuah toko
online yang sangat rajin beriklan di televisi, youtube, bahkan
halte bus sekolah Keke dan Dede? Heee? Siapa yang berbelanja online?
"Ibu, ini paketnya silahkan diterima," kata mas kurir
sambil menyodorkan kardus berbentuk kubus, berukuran sekitar 15 cm.
Aku menerimanya dengan ragu. Namun, ini aneh karena si mas kurir
tidak langsung pergi. Ia merogoh tas pinggangnya mencari-cari benda yang
sepertinya penting. Bonkah? Aku curiga, jangan-jangan paket atau pesanan ini
belum dibayar. Ah, orang itu memang keterlaluan. Mentang-mentang aku memotong
uang jajan bulan ini, ia ingin membalasku dengan menyuruhku membayar barang
belanjaannya yang tidak jelas ini. Betul juga. Ia tidak pernah bilang ia akan
membeli suatu barang. Ya ampun. Awas saja, kalau nanti ia pulang.
"Mmm... Maaf, mas..." panggilku. Si mas kurir mendongak
ke arahku, kebingungan, karena aku menyodorkan kembali paket, yang baru saja
kuterima, kepadanya.
"Kenapa, Bu? Salah alamat, ya?" tanyanya tampak resah.
Kepalanya celingak-celinguk untuk memastikan, sepertinya mencari plat alamat,
RT/RW, atau nomor rumah, yang mungkin terpaku di salah satu dinding rumahku.
"Hmmm.... Jadi..." jawabku terpotong oleh ia yang
tiba-tiba menyambar berbicara dengan cepat.
"Jadi, ini bukan rumah ibu Rindah K. Ihsani? Ini jalan
Kenanga Nomor 9A, KAN? RT 2, KAN? RW 3, KAN?" tanyanya membabi buta dengan
disertai penekanan pada setiap pengucapan kata 'kan'.
"Hoo... Betul, betul, BETUL," sanggahku tak ingin kalah
dengan sedikit menaikkan volume suara. 'Cuma, saya nggak pesan apa-apa
di toko online mas, loh. Suami saya juga nggak bilang lagi nunggu paket
sesuatu. Jangan-jangan, masnya oknum, ya? Mau menipu dengan modus cash on
delivery pesanan toko online? Saya bisa laporin mas ke polisi loh!' dalam hati aku ingin mengatakan
hal itu.
Namun, entah mengapa kata-kata yang keluar hanya, "Pesanan
ini udah dibayar, mas?" dan ditambah dengan bonus senyuman setengah paksa
yang pasti sangat aneh dilihat.
Si mas kurir pun tertawa, lalu menjawab, "Yaelah, si Ibu.
Cemas amat. Kirain aye salah alamat. Udah kok, udah dibayar. Toko kami sekarang
tidak melayani pembayaran di tempat alias semua transaksi dilakukan melalui
transfer. Tenang aja deh, Bu. Ini, ibu tinggal tanda tangan di sini dan aye
akan segera pergi."
Melongo. Aku masih mencerna keadaan. Pelan-pelan kutorehkan tanda
tangan di atas kertas kuning yang disodorkannya. Lagi-lagi aku berpikir
yang tidak baik, tentang si kurir, tentang si toko online, juga tentangnya,
suamiku sendiri. Ya Tuhan. Aku hanya berharap Tuhan memaafkan segala pikiran
burukku beberapa saat lalu. Inilah aku, ibu rumah tangga dengan pemikiran
setara pemikiran bocah ABG labil. Parahnya lagi, si ABG labil ini terperangkap
dalam tubuh dan wajah orang dewasa, berusia tiga puluh satu tahun, dengan dua
anak.
Eh? Parah? Ralat. Bukan parah, ini anugerah.
Sebentar, aku potong dulu kisah tentangku. Aku ingin mengantarkan
si mas kurir sampai pagar sebagai pengganti rasa bersalahku, menuduhnya
melakukan hal yang tidak-tidak.
"Yap! Ini pulpennya, mas. Terima kasih, ya," ucapku sopan
kepada si mas kurir.
"Oke, Bu. Lain kali, santai aje ye, Bu, kalau dapet kiriman
paket, apalagi dari aye. Sayang loh, gara-gara kebanyakkan mikir, ibu nggak
menyadari kegantengan muka aye." balasnya, panjang lebar, dengan logat
betawi yang kental.
Aku kembali tersenyum setengah terpaksa. Si mas kurir melangkah
pergi, keluar dari pagar. Sendirian, karena aku membatalkan niatku untuk
mengantarnya hingga ke pagar, setelah mendengar guyonan tidak lucu darinya.
Entah mengapa, timbul sedikit rasa sebal akibat perkataannya. Bukan karena ia
mengucapkan kata-kata sedikit tidak sopan, melainkan karena ia menerkaku,
menyebutku sebagai orang yang terlalu banyak berpikir.
Namun, jika dipikir-pikir, ia tidak salah. Ia mengatakan fakta.
Aku memang memiliki kebiasaan berpikir kejauhan. Payahnya, wajahku tidak pandai
berekspresi dan aku pun tidak mampu bersembunyi di balik ekspresi palsu ketika
aku sedang berpikir. Akuarium. Teman-teman lamaku memanggilku akuarium karena
kebiasaanku ini. Orang lewat pun dapat mengetahuiku sedang berpikir bahkan
menebak isi pikiranku dengan hanya melihat ekspresi wajahku.
Setelah memastikan si mas kurir telah betul-betul pergi, aku
menutup pintu depan dan melangkah ke dalam rumah, membawa serta paket tersebut.
Aku memilih kembali mendudukan diri di ruang keluarga. Keke dan Dede tengar
tidur siang dengan beralaskan kasur lantai, di sampingku.
Kulirik selulerku, ternyata baru jam tiga lewat tujuh. Mereka baru
tidur selama lima puluh menit. Aku bisa membuat mereka terbangun, jika aku membuka
paket ini di sini.
Akhirnya, aku meninggalkan mereka yang masih tidur dengan
lelapnya, meski terkadang tanpa sadar aksi saling tendang terjadi di antara
keduanya. Langkahku berhenti di sebuah ruangan berukuran 4x4 meter, berbingkai
rak-rak buku di tiga sisi, yang baru setengahnya terisi. Di tengahnya, ada dua
meja: satu meja besar yang lebar dan satu meja kecil nan pendek. Di kedua sisi
masing-masing meja, tersembunyi sepasang dudukan kursi berlengan.
Ini adalah ruang baca kami. Tempat favoritku ketika sedang ingin
berkarya, tempat belajar paling disukai anak-anak, juga tempat yang paling
sering dikunjungi olehnya setiap harinya. Jika kata orang rumah adalah sebuah
istana, maka ruangan ini adalah istana dalam istana itu sendiri, baginya.
Ruang baca. Ini tempat yang cocok dan nyaman untuk melakukan aksi
penggeledahan terhadap paket ini. Namun, sepertinya aku tidak perlu
menggeledahnya karena paket ini memang dialamatkan untukku. Ada nama lengkapku,
bahkan nama belakang suamiku dalam catatan penerimanya.
Kutarik penyangga salah satu kursi besar dan segera kududuki tanpa
pelan-pelan. Tiba-tiba aku menjadi tidak sabar, terlalu ingin tahu benda apa,
yang kemungkinan besar pengirimnya adalah ia. Aku melepas bungkus paket itu
dengan sangat hati-hati, tidak ingin membuatnya terkoyak dan tampak tidak rapi.
Jika bungkus paket ini berantakan dan rusak, aku tidak dapat membungkusnya
lagi. Hanya berjaga-jaga.
Jantungku tetiba berdebar, ketika aku mulai menarik selotip yang
menyatukan kedua penutup mulut kardus. Apakah ini sesuatu yang sangat indah
atau mahal? Mengapa kardusnya terlihat lucu? Apakah toko online itu juga
menjual berlian? Apakah hari ini ulang tahunku? Ulang tahun pernikahan? Satu
per satu pertanyaan kekanak-kanakan muncul dalam pikiranku.
Kejutan. Ini adalah kejutan. Sekarang aku yakin, paket ini pasti
darinya. Ia tahu bahwa aku sangat menyukai kejutan dan apa ini? Sebuah benda
berbentuk balok terhidang di dalam kardus. Aku memungutnya, memperhatikan
detail di setiap sisinya, dan aku pun terlonjak.
Ini seperti pernah terjadi. Ia pernah memberiku benda ini, dulu.
Dulu sekali. Tidak betul-betul memberikan benda itu untukku sebetulnya. Di
lihat dari sisi mana pun, benda ini sangat mirip dengan yang dulu. Merk,
desain, motif, bahkan warnanya.
Apa maksud ia memberiku ini?
Apakah ia ingin aku mengingat sesuatu? Ia betul-betul lucu. Aku
tidak perlu mengingat apa pun karena aku tidak akan pernah melupakan apa pun.
Tidak, kecuali aku mengalaminya tidak dengan bersamanya.
*****
Akhir Desember, 1998.
Ini adalah malam Minggu yang paling membahagiakan bagiku karena
lusa adalah tahun baru. Libur dua hari berturut-turut seperti ini adalah hal
langka yang diidam-idamkan oleh banyak orang, tak terkecuali aku. Terlebih,
karena aku tidak perlu berjumpa dengan Senin yang menjengkelkan di mana ada
pelajaran olah raga di hari itu.
Aku sudah menyusun segunung rencana yang akan kulakukan untuk
menghabiskan libur dua hari ini dan tentu saja tidak sabar menanti datangnya
esok pagi. Mataku sampai-sampai tak mau terpejam. Keduanya menerawang ke
langit-langit kamar, samar-samar membayangkan apa saja yang akan aku lakukan
besok. Siluet abu-abu dan putih tergambar jelas dalam bayanganku, menari-nari
di atas hamparan pasir yang tersapu ombak kemilau. Aku sangat merindukan
pantai.
Aku sendirian di rumah. Dua hari ini ayah, bunda, Rindy, dan
Namira akan menginap di rumah tante Sherry, yang baru saja melahirkan anak
laki-laki keempatnya. Mereka tidak curiga kepadaku, ketika aku menolak untuk
ikut dengan alasan lutut kiriku, yang dioperasi tahun lalu, terasa lebih lelah
dari biasanya. Tentu saja aku mengarangnya karena sebetulnya, selepas operasi
itu, kakiku sama sekali tidak pernah bermasalah. Aku terpaksa berbohong kepada
mereka karena hanya itulah satu-satunya cara agar aku dapat bermain dengan
tenang.
"Riiindaaah! Hey, apa kau di rumah?"
Siapa? Sepertinya aku tidak mengundang siapa pun untuk datang ke
acara selamatan. Tunggu, sepertinya selamatan itu diadakan di rumah Tante
Sherry, bukan di sini. Lagipula, mengapa ia berteriak-teriak memanggil namaku
seperti itu? Aneh. Aku seperti mengenali suaranya, jika saja tanpa serak.
"Hey! Rindah! Aku tahu kau di rumah. Tadi sore aku melihat
semua anggota keluargamu pergi dengan carry coklat ayahmu. Mereka
pasti akan pergi ke rumah Tante Sherry, paling tidak untuk tiga hari. Dan aku
yakin pasti kau telah berbohong kepada mereka dengan berkata lututmu bermasalah
agar kau diperbolehkan untuk tidak ikut, bukan?" teriak suara yang berasal
dari halaman samping itu.
'Sial! Itu pasti Dewa!' batinku. Bagaimana mungkin aku tidak mengenali suaranya. Ada apa
dengan suaranya? Aku harus segera membungkamnya sebelum mbak Uci menyadari
makna teriakannnya dan melaporkannya kepada ayah.
"Hey, Rindah!" teriaknya lagi. "Lama sekali, apa kau
tak takut kalau mbak Uci..."
Ckrkk. Suara pintu samping yang kubuka berhasil membuatnya diam.
Aku memberinya pandangan kesal, meskipun dalam hati aku sebetulnya tengah
terheran-heran karena ia selalu dapat menebak apa kupikirkan.
"Apa kau tidak bisa sedetik saja membuat mulutmu diam, Wa?
Sepertinya lain kali aku harus menyumpalmu dengan kaus kaki Namira. Dan kau
tahu Dewa apa akibatnya, jika mbak Uci tahu dan melaporkannya kepada Ayah. Aku
tidak main-main dengan perkataanku saat itu. Mengerti???" jawabku
sewot.
Aku sangat sebal dengan sifat kekanak-kanakannya. Tahun ini, ia
berumur 14 tahun, tapi tingkahnya masih sama seperti 5 tahun yang lalu, ketika
kami pertama berkenalan. Kuduga, tingkah kekanak-kanakkan inilah yang
membuatnya tak pernah sekali pun disukai seorang gadis di sekolah, meskipun ia
sangat pintar. Ini membuatnya tampak memperihatinkan. Ah, aku melantur.
Dewa tak begitu mendengarkan perkataanku. Sesekali ia menguap
lebar dan menggaruk-garuk kaki kirinya, yang kutebak tidak gatal sama sekali,
dengan kakinya yang lain. Ia memang selalu seperti itu, menyebalkan. "Ya,
Nyonya? Sudah selesai pidatonya, ibu negara?" lagi-lagi ia mengucapkannya.
Ia memang selalu menjawabku dengan kata-kata itu. Dan aku hanya menjawabnya
dengan mengangkat bahu atau memutar bola mataku.
Aku akhirnya mempersilahkan ia masuk. Lebih tepatnya, ia sendiri
yang memperilahkan diri masuk, dengan mendorongku ke samping pintu sehingga ia
dapat melompat masuk dengan gerakan yang tidak terlihat lucu sama sekali.
"Hey, dengar! Kau sudah besar, bocah! Perhatikan perubahan
suaramu. Kau tidak pantas bersikap seperti bocah lagi. Mengerti?" Entah
mengapa tiba-tiba aku mewujudkan kekesalanku menjadi kenyataan.
Dia terbelalak dan berhenti melompat-lompat.
Satu, dua, tiga detik, dan ia pun tertawa terbahak-bahak,
"Buahahaha... Tentu saja aku bukan bocah lagi. Menurutmu siapa yang lebih
bocah di sini? Aku atau kau, bocah?" jawabnya sambil tertawa mengejek.
Sombongnya kambuh, ia mulai membanggakan suaranya yang kini memang terdengar
lebih berat dibandingkan dua bulan lalu.
Aku dapat merasakan panasnya amarah merayapi pipiku. Memang untuk
beberapa hal, aku lebih kekanak-kanakkan daripada dia. Namun, ini bukan berarti
bahwa ia lebih dewasa dariku. "Tentu saja kau yang lebih bocah karena aku
satu tahun lebih tua darimu, bocah!'
"Sepuluh bulan, dua puluh lima hari tepatnya! Itu belum genap
satu tahun, Ndah!" jawabnya meralat kalkulasiku.
"Ya! Tapi sudah beda tahun lahir. Itu sama saja," tentu
saja aku tak mau mengalah.
"Jelas berbeda, Rindah. Lagipula, bukankah kita berada di
tingkat yang sama? Wah! Apa ini artinya? Jika bukan karena aku yang terlalu
pintar, pasti karena kau begitu bodoh. Apa kau pernah me-ngu-lang kelasmu
selama satu tahun, Ndah? Hahahaha..."
"STOP, Dewa! Kau mulai mengusik topik ini lagi. Aku tidak
suka, INGAT?!! Bertingkahlah sesuai umurmu, Dewa!" akhirnya emosiku
meledak. Sekarang aku yakin, aku dapat membuatnya merasa bersalah karena
sekarang ia terlihat menundukkan kepalanya. Mungkin saja sekarang matanya
berkaca-kaca atau malah mungkin sudah mulai basah? Ia memang jail, tapi juga
sangat sensitif dan sangat benci dibentak.
Tiba-tiba, seperti muncul suatu energi dari dalam diriku yang
menonjok perasaanku. Apa aku sudah keterlaluan padanya?
Aku mendekatinya, merendahkan tubuhku agar dapat sedikit mengintip
wajahnya dan tiba-tiba, ia berteriak dengan sangat keras "BRAAH!!! Ya,
nyonya? Ada yang bisa saya bantu?"
Ia melompat ke depan, ke arahku yang tengah memperhatikannya
dengan cemas, membuatku terkaget dan terjengkang ke belakang. Tentu saja ia
hanya tertawa terguling-guling di sofa menyaksikan posisi dan ekspresi wajahku
yang tengah memancarkan aura marah, cemas sekaligus terkejut. 'Aku menyesal
mengkhawatirkanmu, Wa!'
"Ya! Ada! Tinggalkan aku sendiri, kecuali kau ada urusan penting
denganku atau memberiku SESUATU MENARIK yang baru!" jawabku akhirnya,
begitu acak.
Namun, sepertinya, ini berhasil membungkamnya. Kulihat ekspresi
wajahnya berubah. Ia sudah berhenti tertawa dan mengalihkan segala fokus
perhatiannya pada tangannya yang tengah mengorek-orek satu per satu saku-saku
celana longgarnya.
"Aha! Aku punya ini, Ndah!" sebuah benda tiga dimensi,
berbentuk persegi panjang, tetiba muncul di depan mataku. Aku tak cepat
mengenali benda itu. Terlebih karena benda ini terpoles warna silver jernih,
memantulkan cahaya yang masuk melalui ventilasi pintu kamar Rindy yang setengah
terbuka. Silau dan aku membutuhkan setidaknya lima detik untuk mengenalinya
dengan baik.
"HARMONIKA!?" teriakku seketika. Kurebut benda itu.
Kuputar-putar sembari mengamati setiap detailnya. Aku selalu tertarik dengan
setiap alat musik yang dibawanya, begitu pula dengan harmonika ini. Ini pertama
kalinya aku melihat dan menyentuh harmonika dengan indra perabaanku sendiri. Ia
tampak begitu kaku, mengkilat dan misterius.
"Kau suka? Rindah?" tanya Dewa memotong aktivitasku yang
tengah terbengong-bengong mengamati sebuah benda mungil di genggamanku.
"Lumayan," jawabku singkat dan datar. Tentu saja aku
sangat menyukainya. Aku sangat menyukai setiap benda-benda yang bersuara,
bahkan jika benda itu hanyalah atap teras belakang, yang bersuara ketika
diterpa reruntuhan hujan. Atau sekadar suara teko teh Bunda, yang bersiul
dengan nada tinggi di setiap pagi. Aku sangat menyukai mereka, meskipun Ayah
sangat tidak suka ketika aku bilang aku menyukai musik.
Aku mengalihkan pandanganku dari harmonika itu kepada Dewa. Aku
ingin sekali mengatakan terima kasih. Namun, aku tidak ingin membuatnya besar
kepala dan mungkin... aku terlalu gengsi untuk mengapresiasi seseorang yang
lebih muda dariku. Apalagi jika orang itu adalah Dewa.
"Sama-sama," kata Dewa tiba-tiba.
"Apa? Aku tidak mengatakan apa-apa," protesku.
"Yeah, tapi matamu mengatakan segalanya, Ndah!" jawabnya
dengan cekikikan.
"Oke, baiklah. Terima kasih, Dewa!!!" ucapku datar,
akhirnya, masih tanpa memandangnya. Seluruh perhatianku seolah hanya dapat
tercurah untuk benda di tanganku ini.
"Oke, tak usah memaksakan. Ayo mulai rekaman!" katanya
sambil mengeluarkan alat perekam.
"Ehh? Jadi, lagi-lagi ini bukan untukku?" jawabku,
pura-pura kaget.
Entah mengapa, kali ini, justru Dewa yang sepertinya menampakkan
keterkejutan. Alisnya mengendur, air mukanya menampakkan kesalahtingkahan.
"Apa kau sangat mengingkannya, Ndah? Maaf. Aku tak bisa memberikanmu yang
ini juga. Aku hanya, yeah... kau tahu, kan? Menerima apa yang diberikan oleh
Papa... dan tentu saja meminta tolong padamu untuk memainkannya... dan aku akan
merekamnya... dan menunjukkannya ke Papa ketika ia pulang... dan... "
"Hahaha, iya, boy! Aku hanya bercanda, tentu saja! Aku juga
tidak mungkin menyimpannya untukku, di rumah ini. Jika Ayah menemukannya, ini
bisa berbahaya. Kena kau, Dewa!" kataku. Geli sekali melihatnya bertingkah
salah tingkah dan lucu seperti itu.
Semenjak kepindahan keluargaku ke kota belimbing ini, lima tahun
lalu, aku telah berteman akrab dengan Dewa. Dari sinilah aku mengenal dan
menyukai musik. Dewa sangat pandai dan tahu banyak tentang musik, tapi tidak
untuk memainkannya. Ia pandai sekali mengulang apa yang diajarkan ayahnya, tapi
tidak mampu mengaplikasikannya.
"Terkadang aku penasaran, mengapa takdir kita seperti
tertukar," katanya tiba-tiba.
Aku diam, tidak memiliki jawaban yang cukup baik untuk kuberikan
padanya karena diam-diam aku pun sebetulnya sering menanyakan hal yang sama.
"Hey, ayolah! Kita sudah terlalu sering membicarakannya. Aku
bosan. Sekarang, aku sudah tidak sabar untuk mencoba harmonika ini. Ini alat
musik tiup pertama yang kau perlihatkan kepadaku, Dewa. Ayo kita ke tempat
itu!" jawabku sembari menariknya ke sebuah tempat.
Ia hanya diam dan menurut. Aku tahu ia tengah memikirkan hal itu.
Ia pasti akan bersedih setelah ini dan aku tidak suka melihatnya bersedih.
"Dewa. Kau mau ikut ke pantai denganku?" ajakku,
spontan.
"Kapan?" tanyanya.
"Besok pagi. Kita langsung berangkat setelah subuh. Tidak
boleh telat, karena ini akan menjadi perjalanan yang sangat panjang,"
jelasku.
"Oh begitu," jawabnya datar. Aku menoleh padanya,
berharap memperoleh tambahan jawaban. "Baiklah, saya akan ikut, jika
Nyonya memang memaksa," imbuhnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak ada yang memaksamu untuk ikut, bocah!" timpalku
ketus. Namun, sebetulnya aku lega. Ternyata, ia baik-baik saja.
*****
Lima belas tahun yang lalu, di tanggal yang sama, ia, suamiku,
Dewa, memperlihatkan harmonika yang sama rupa dengan harmonika di hadapanku
saat ini. Ternyata, paket dari toko online itu berisi harmonika ini. Kejutan
darinya ini membuatku teringat pada hari itu. Kata-katanya di hari itu, kembali
terngiang.
"Terkadang aku penasaran, mengapa takdir kita seperti
tertukar."
Jika diingat-ingat, waktu itu ia memang tengah mengalami masa yang
berat. Masih 14 tahun umurnya saat itu, tetapi ayahnya mulai menggantungkan
harapan padanya. Ia, memiliki seorang ayah yang berprofesi sebagai seorang
konduktor dan pemain musik, dengan spesialisasi piano. Beliau juga mengajar
musik di sebuah universitas swasta di Jawa Barat, kalau aku tidak salah ingat.
Selain itu, beliau adalah pendiri Four
Seasons Orchestra. Sebuah
orkestra yang secara rutin mengadakan pertunjukan di setiap tengah musim, di
empat negara berbeda.
Ayahnya, menginginkan atau lebih tepatnya menganggapnya memiliki
bakat yang sama dengannya. Namun, ternyata bakat itu tidak diwariskan secara
genetik kepada Dewa kecil. Ia sama sekali tidak mampu memainkan alat musik apa
pun, bahkan terbilang sangat payah untuk sekadar membunyikan solmisasi dengan
benar.
Inilah yang membuatnya memintaku untuk memainkan alat-alat musik,
yang diberikan oleh ayahnya sejak ia berumur 11 tahun. Alhasil, ia
terbiasa "menggunakanku" untuk memainkan alat-alat musiknya itu.
Awalnya, ia mengajariku bagaimana cara memainkan alat-alat musik tersebut,
menuntunku hingga mampu memainkannya dengan mahir. Selanjutnya, ia akan merekam
permainanku dan memperdengarkan hasil rekaman itu kepada ayahnya.
Kami berdua sama-sama pembohong cerdik yang menikmati setiap
kebohongan yang kami lakukan. Kami tahu, ini adalah dosa. Namun, kami juga
masih belum bisa menerima takdir kami. Aku dengan larangan ayahku dan ia dengan
tuntutan dari ayahnya. Kebohongan besar ini, justru membuatku begitu bahagia
menerima "permintaan bantuannya", pun dengannya yang juga begitu
bahagia dapat "menggunakanku".
Lalu mengapa ia nekad memintaku?
Aku bukan orang seperti tokoh fiksi August Rush, yang sangat
jenius dalam bidang musik, hingga mampu mengarang dan mengaransemen lagu tanpa
mengikuti sekolah musik. Aku juga bukan orang yang terlahir dengan bakat musik,
yang dapat memainkan setiap alat musik meski baru pertama kali
menjumpainya. Namun, menurutnya aku dapat menerka nada dengan baik,
setidaknya jika dibandingkan dengannya.
Setelah bertemu dengannya, aku menyadari bahwa aku memiliki
ketertarikan diam-diam terhadap musik. Sayangnya, aku memiliki seorang ayah
yang sangat tidak menyukai musik. Bahkan untuk sekadar mengucapkan do-re-mi
dengan nada flat di depannya, aku tak berani.
Hingga saat ini, aku tidak tahu pasti alasan ayah begitu membenci musik dan aku
tidak berani menanyakannya.
Saat aku dan Rindy seusia Keke dan Dede, kami tidak pernah
bernyanyi bersama ayah. Ayah pasti pergi, melenyap tanpa jejak ketika salah
satu dari kami mulai bernyanyi. Beruntung, kami sudah besar ketika Namira,
adikku, lahir. Ia tidak perlu kesepian ketika bernyanyi, karena ada aku dan
Rindy yang menemaninya.
"Ibuuu!!! Huweee. Ibu di mana?" terdengar sebuah suara
cempreng disertai rengekan tangis yang dibuat-buat membuatku terkaget. Aku
terbangun dari lamunan tentang kenangan masa kecil, lima belas tahun lalu. Itu
suara Dede. Ia pasti bangun karena terkaget.
"Ibuuu, Dede berisik! Aku udah bilang ibu ada di rumah, tapi
ia tetap nangis!" kata Keke yang sudah menemukanku di ruang baca dan
segera berlari ke pangkuanku. Tangannya mengucek matanya yang terlihat merah.
Sepertinya ia masih mengantuk.
"Ya. Dede di mana sekarang?"
"Nggak tahu, deh. Keke ngantuk, mau tidur lagi,"
jawabnya sekenanya, tak memberiku petunjuk. Ia berjalan ke pojok kanan ruang
baca, ke arah sebuah karpet berbulu, berukuran satu setengah meteran yang memang
sengaja kutata dan kuletakkan di sana.
"Keke, kok nggak sopan begitu jawabnya. Kebiasaan, deh.
Jangan tidur di... Eh? Sudah tidur lagi? Telat," kataku, ternyata pada
diriku sendiri. Sepertinya Keke memang belum betul-betul bangun ketika ia
mendatangiku. Ia tidur seketika, begitu badannya menempel di karpet. Dasar
bocah ini, persis sekali ayahnya.
Aku menggendong Keke dan memindahkannya ke kamar berdinding kuning
pastel milik si kembar ini. Ternyata, Dede juga ada di dalam kamar itu. Ia
meringkuk di atas kasurnya sendiri yang berada di pojok dalam. Posisinya
membelakangi arah pintu. Namun, aku dapat melihatnya tengah memeluk boneka
Naruto, tokoh animasi kesukaannya. Aku tidak mendengar suaranya dan dapat
kulihat punggungnya bergerak pelan. Sepertinya Dede juga sudah kembali
tertidur.
Keke tak terusik sedikit pun, ketika aku merebahkannya di atas
kasurnya yang bernuanasa ungu lavender. Kurapikan posisi kaki dan kepalanya
agar tidak kaku ketika bangun nanti.
Setelah selesai dengan Keke, aku berjalan ke arah Dede yang memang
betul-betul sudah tertidur dengan mulut terbuka. Lelap.
Jadi, apa itu barusan? Mereka betul-betul bangunkah atau hanya
mimpi sambil jalan? Dasar bocah. Jam dinding burung hantu di kamar mereka
menunjukkan pukul 3.20.
Baru beberapa menit aku melamun di ruang baca. Namun, rasanya
seperti baru saja melakukan penjelajahan waktu hingga belasan tahun. Mungkin,
ini yang menyenangkan dari sebuah kenangan. Ia dapat membayar kerinduan, juga
menyajikan kembali rasa dan sensasi yang sama seperti saat ketika mengukirnya.
Drrrrt. Drrrrt.
"Ada pesan?"
Belum sampai tanganku meraih selulerku, jendela pop up terhidang di layarnya,
menghidangkan sebuah pesan, 'Ibu, sepuluh menit lagi ayah sampai.
Jangan terlalu merindukanku, ya!'
Ish. Pesan macan apaan ini. Eh? Sepuluh menit? Gawat. Aku lupa. Ia
bilang bahwa hari ini ia akan pulang cepat. Kupandangi seisi rumah.
Kuingat-ingat beberapa hal dalam daftar pekerjaan soreku. Aku belum menyiapkan
air dan menu makan malam. Rumah masih berantakan. Aku bahkan belum jadi belanja
ke minimarket. Keke dan Dede tidur, aku tidak bisa meninggalkan mereka. Belum
lagi paket di ruang baca masih berserakan.
Aduh. Aku sedang tidak siap dikomentari. Apakah aku harus meminta
bantuan si kembar lagi? Baiklah. Sepertinya, aku akan berpura-pura ikut
tertidur ketika menidurkan si kembar.
*****
(bersambung)
No comments:
Post a Comment