Dari apa yang orang-orang kicaukan, saya dengar hanya kisah-kisah menarik yang dibumbui aksi kepahlawanan, sarat motivasi dan pelajaran, menghibur dan mengaduk-aduk emosi, dan minimal memiliki alur atau tujuanlah, yang akan dibaca, didengarkan, dan mungkin terus diingat oleh orang-orang. Apakah ini berarti bahwa orang-orang biasa tak layak berkisah? Apakah kisah terlalu biasa tersebut tak pantas diceritakan kepada orang-orang, tak cukup berbobot untuk diunduh pelajaran darinya, tak baik untuk dikonsumsi orang awam karena dikhawatirkan tidak akan membuat mereka lebih hebat dari sekadar orang biasa?
Senjang. Kesenjangan menimbulkan masalah. Masalah menghadirkan ancaman juga pahlawan. Ancaman menjanjikan kehancuran, sedang pahlawanlah yang digadang-gadang akan meminimalisasi atau mengatasi kehancuran tersebut. Pahlawan. Semua orang ingin menjadi pahlawan. Orang kuat, sudah pasti masuk kandidat, bekal kuasa. Orang pintar, sangat mungkin dinobatkan, bonus gelar. Orang licik, bisa juga jadi nominasi, menang taktik. Orang biasa, tak tinggal diam, angkat senjata, modal nekad. Orang biasa, juga pandai diam, menanti saat, lalu bersorak, "Kita menang!"
Saya tidak mengerti, mengapa ada banyak sekali orang tak ingin menjadi orang biasa. Padahal, orang biasa merupakan orang berjasa. Tanpa mereka, para calon pahlawan tidak akan benar-benar menjadi pahlawan. Orang biasa seharusnya berbangga. Berkat mereka, para pahlawan memiliki pekerjaan dan pengagum di mana-mana. Orang biasa seharusnya berbahagia. Mereka menjadi orang biasa bukan tanpa alasan dan peran, melainkan sebagai tokoh utama yang nantinya akan menjadi prioritas nomor satu mereka, para pahlawan, untuk diselamatkan. Meskipun mungkin kisah dan keberadaan mereka tidak untuk diselipkan dalam sejarah yang diturun-temurunkan, tetapi sebagai salah satu dari orang biasa tersebut, saya sangat bersyukur memiliki peran ini. Terlebih inilah hal yang memang sepertinya saya inginkan.
Perkenalkan, saya Ani. Orang biasa. Saya masih seorang mahasiswa. Masih, karena saya memutuskan untuk menjadi demikian, menjadi tertinggal dan menyandang predikat "yang tersisa" dari angkatan saya yang belum menamatkan studi, di saat lebih dari tiga perempat rekan satu angkatan di peminatan saya telah menapaki dunia kerja.
Saya "berkuliah" di jurusan Kesehatan Masyarakat, peminatan Biostatistika, angkatan 2010. Dengan demikian, kini saya tengah menempuh semester 9. Saya tahu, saya tahu. Saya tidak seperti orang lain pada umumnya karena sengaja berlama-lama berkutat dengan "apa yang mereka sebut skripsi" sejak semester 7 silam.
Mungkin, karena saya terlalu biasa, saya pikir saya tak mampu melakukan hal-hal luar biasa seperti mereka. Rendah diri saya tinggi, memang. Namun, jika tidak salah ingat, saya merupakan tipe orang yang mampu memperkirakan akurasi pencapaian saya sendiri. Dengan demikian, saya hanya akan melakukan hal-hal yang menurut saya dapat saya lakukan dan, menurut perkiraan saya, akan berhasil saya capai sesuai keinginan. Contohnya, perkiraan ketika mendaftar masuk universitas ini. Saya memiliki keyakinan besar saya akan berkesempatan memijakkan kaki di sini. Hanya saja, saya tidak yakin, saya sudah cukup tahu apa yang akan saya lakukan ketika kaki saya telah betul-betul berdiri di tanah penuh manusia cendekia ini.
Setidaknya, perkiraan keberhasilan tersebut terbukti. Pada Mei 2010, saya resmi diterima di jurusan yang sudah saya sebutkan di atas, jurusan pilihan kedua saya. Lantas, apa jurusan pilihan pertama saya? Ah, tidak perlu saya sebutkan. Saya tidak yakin, saya tidak sedang tidur ketika memilih pilihan jurusan pertama, pun dengan pilihan jurusan kedua tersebut. Meski prosesi yang saya lalui hingga sampai ke tempat belajar ini bertabur dengan ketidakyakinan, tetapi saya masih memiliki sisa keyakinan lain, bahwa saya dapat bertahan meski akan sempoyongan.
Satu tahun. Saya memutuskan untuk memilih peminatan Biostatistika. Satu-satunya mata kuliah yang nilainya tidak hancur pada saat semester 2 adalah mata kuliah yang belajar tentang dasar-dasar ilmu yang berkenaan dengan statistika ini. Maka saya setengah yakin, di kemudian hari, barangkali saya tidak akan hancur juga pada hal yang sama. Namun, jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam, saya belum jatuh cinta pada apa pun yang ada di sini. Saya masih terombang-ambing di lautan ilmu yang saya renangi selama ratusan hari. Sayang, hanya sedikit "benda laut" di dalamnya yang menyerap dalam pori-pori memori saya. Atau mungkin saya yang tidak mengizinkan mereka memasuki akal saya? Saya masih belum bisa memastikannya hingga saat ini. Pun demikian, saya tetap berjalan sembari berhalusinasi. Barangkali, saya akan menemukan sesuatu yang menarik, yang betul-betul saya inginkan dan akan saya perjuangkan untuk saya genggam, ketika saya sudah semakin mencapai ujung dari perjalanan, yang kata orang-orang namanya menimba ilmu ini.
Tiga setengah tahun. Saya mulai kelabakan dalam diam yang menyeramkan. Saya sepertinya mengalami hal yang dikenal dengan sindrom tingkat akhir. Namun, apakah semua mahasiswa di tingkat akhir merasa seperti ini: TIDAK MEMILIKI KEINGINAN. Saya menceracau dan meragu. Apakah saya betul-betul orang biasa? Orang biasa bahkan memiliki mimpi dan tahu apa yang mereka sukai. Atau justru saya orang bodoh, pemalas, dan merugi? Saya pun memutuskan untuk berlari, melarikan diri dari semua yang hal yang berkaitan dengan pendidikan saya. Asing. Hawa, penampilan, aroma, dan irama mereka masih asing bagi saya.
Perlahan, beberapa orang dapat membacanya, keganjilan perilaku. Beberapa opini dari mereka tentang saya yang seperti ini, baik secara langsung, maupun tidak langsung, sampai ke telinga atau mata saya. Banyak saran dan komentar, baik yang hanya sekadar saran lewat, maupun saran bermanfaat, yang saya terima. Tak sedikit tamparan pedas yang saya terima karena ulah saya semakin memurukkan diri. Namun, mengapa saya tetap bergeming?
Empat tahun. Saya masih bebal. Saya tidak tergoda iri pada mereka yang sudah menggenggam kunci. Saya tidak ingin mengejar mereka yang tengah berlari menjemput mimpi. Saya puas dengan hanya mengamati mereka berlelah, berbahagia, bercerita, berbagi, berpindah, berlari, berlain-lain. Saya pemalas dan mulai menjadi sampah. Apa yang terjadi pada saya?
Apakah saya terlalu terbuai dalam hidup dan peran saya sebagai orang biasa? Apakah saya memang terlalu bodoh hingga tak mampu mengenali keinginan dan mimpi saya sendiri? Apakah saya cukup pantas disebut manusia, alih-alih mayat hidup, karena saya tidak memiliki keinginan dan mimpi?
Saya masih akan berusaha merampungkan apa yang seharusnya sudah saya rampungkan sejak berbulan-bulan lalu. Namun, saya tidak yakin, saya dapat melanjutkan langkah saya di jalur ini, jalur yang samar-samar saya lukis selama tiga empat tahun belakangan dengan kuas nomor satu dan cat tanpa warna.
Perkiraan saya tentang pencapaian keinginan saya, berhenti di sini. Tidak perlu lagi ada akurasi karena tidak ada perkiraan yang terpampang. Kosong.
Mungkin, saya bukan lagi orang biasa. Saya orang bebal, yang mencampakan diri sendiri tanpa berpikir matang-matang. Saya orang gagal, yang bangga berkoar tentang kisah kehilangan arahnya kepada orang-orang. Saya orang tertinggal, yang tidak memiliki hasrat untuk mengejar mereka yang telah lebih dahulu berlari meraih tujuan. Saya orang menjengkelkan, yang kata beberapa orang sengaja jatuh untuk mencari belas kasihan. Saya orang tak punya mimpi, yang kata para pengarang cerita berpahlawan, adalah pesakitan yang tinggal menunggu mati. Saya orang pengecut, yang bersembunyi di balik ketiak malam dan pagi, katanya tak akan pernah berhasil melakukan debut.
Tak perlu lagi bertanya. Terlalu banyak tanya yang patah tanpa sempat terjawab. Gamblang. Bosan. Murahan.
Banyak orang ingin orang seperti saya diam, meskipun mereka tidak menyampaikannya secara verbal. Terkadang, mulut mereka diam. Namun, mata dan langkah mereka berteriak lebih keras dari mulut bungkam tersebut. Saya tahu karena saya juga diberi tahu oleh mereka yang tanpa sadar memberi tahu.
Pada akhirnya, saya disuruh diam dan menyelesaikan masalah saya sendiri. Tak perlu saya kembali diperingatkan untuk menyimpan salah, masalah, dan kesalahan saya hanya untuk saya sendiri. Tentu saja. Saya sudah tahu diri. Saya tahu, memang hanya saya yang dapat melakukannya hingga selesai. Hanya saya yang dapat mengais dan menggali lubang hingga saya menemukan apa yang saya cari dan inginkan.
Saya mengerti, tak baik menggantungkan apa pun pada siapa pun selain pada Tuhan. Ah, saya bersyukur saya memiliki-Nya, membuat saya mengingat hal-hal indah, membuat saya tidak ingin memperjuangkan mati, membuat saya masih bertahan sembari berpayah mencari hingga saat ini.
Tuhan, tolong jaga saya dalam perjalanan saya, tetap menjadi orang biasa, manusia biasa. Saya tidak berharap kisah keluh kesah seorang biasa seperti saya dipungut orang lewat. Namun, setidaknya jangan biarkan saya terinjak hingga mati, ketika saya tengah mengais untuk menemukan keinganan saya di jejalanan. Ah, Tuhan pasti melakukannya tanpa dipinta. Mengapa sedetik tadi saya meragukan-Nya beserta kejutan indah dari-Nya? Hmm.
Tuhan, tolong jaga saya dalam perjalanan saya, tetap menjadi orang biasa, manusia biasa. Saya tidak berharap kisah keluh kesah seorang biasa seperti saya dipungut orang lewat. Namun, setidaknya jangan biarkan saya terinjak hingga mati, ketika saya tengah mengais untuk menemukan keinganan saya di jejalanan. Ah, Tuhan pasti melakukannya tanpa dipinta. Mengapa sedetik tadi saya meragukan-Nya beserta kejutan indah dari-Nya? Hmm.
Semangaaat, Mbaaa! ^_^
ReplyDelete