Friday, 28 November 2014

Mencabut

Puluhan tahun hidupku kuhabiskan dengan mendengarkan banyak suara serupa ocehan, membaca banyak opini yang belum tentu berteori, dan menyimak gerak-gerik para orang sunyi juga berisik. Apa yang kudapat dari ketiganya bukanlah hal yang kasat terlihat. Terkadang aku mendapat paket kejutan berupa ilusi dan mimpi, yang sudah pasti tidak dapat dilacak siapa pengirimnya. Terkadang, aku mendapatkan tiket gratis untuk mengunjungi taman imaji, yang sebetulnya tidak boleh dimasuki oleh orang sehat pada umumnya. Terkadang, aku mendapatkan kesempatan untuk meniti di atas titian bambu setebal kertas tisu, lalu aksiku disaksikan oleh punggung-punggung orang-orang, yang tak berwajah. Terkadang, aku mendapatkan surat kaleng yang sengaja dikirimkan ke alamat yang salah, agar sampai ke tanganku ratusan hari kemudian. Terkadang, aku mendapatkan pelajaran yang menurut orang lain tak cukup berharga untuk dinobatkan sebagai sebuah pelajaran. Terkadang, aku mendapatkan cinta dan kasih dari orang-orang yang tak diduga akan memberikannya kepadaku. Terkadang, aku mendapatkan serangan jatuh cinta lebih dari dua kali dalam sehari pada mereka yang sangat sunyi dalam beraksi. Terkadang, aku mendapatkan petunjuk agar aku berhenti melakukan ketiga aksi itu: dengar, baca, dan simak.
Barangkali aku terlalu asyik, hingga sepertinya melupakan sebuah kunci juga ciri-ciri diri, sebanyak berkali-kali, bahkan lebih sering dari terkadang itu sendiri. Barangkali, aku harus mulai percaya pada angin, bahwa ia tak pernah bermaksud membunuh sebatang pohon meski terus menerus menggugurkan dedaunannya. Barangkali, aku harus merelai kemestian mengusirku dari lingkaran usia, yang seharusnya telah kutinggalkan sedasawarsa lalu. Bagaimana pun, meneruskan ketiga aksi tersebut hanya akan menjagal langkah sendiri. Tak membuatku cepat mati memang, hanya saja kemungkinan membusuk pelan-pelan tak terelakkan. Oleh karena itu, aku berterima kasih kepada para pemberi petunjuk. Secara pahit, mereka membuatku ingin mencabut diri dan menanamnya ke lahan baru dengan lingkaran usia yang lebih padu. Satu harapku, semoga mereka juga bersedia menyirami dan memupukku suatu saat nanti. Ya, lebih dari sekadar menebarkan unjuk, tunjuk, dan petunjuk.

Thursday, 27 November 2014

Sayang Mereka

Yosh. Setelah di pos sebelumnya, "Sayang", saya menyampaikan perasaan saya secara diam-diam, maksud saya tanpa menyebutkan nama sasaran sayang tersebut, akhirnya saya dapat menyampaikannya juga di tempat dan ke orang-orang yang tepat.

"Great.
Kekanca, gimanapun aturan, pasal, atau definisine, sing penting aku sayang kaliaaaaan, nggak pake boong, nggak pake pura-pura. Mumumuuu...
Btw, mohon doanya, semoga ini jadi semester pungkasan bagi yang belum pungkas, ya.
Doa terbaik juga untuk kalian yang tengah atau dalam tahap menapaki dunia karier.
Plus semangat untuk yang sedang rajin-rajinnya kembali belajar di strata 2 atau mengejar mimpi dengan lompat ke jurusan lain.
Kyaaaa.... "

Yeah, tentu saja tak berbalas. Namun, saya sayaaaang mereka. Btw, sekarang saya sedang left hampir semua grup WA. Hanya grup kosan, grup angkatan kampus, dan grup mantan divisi LDF yang masih say ikuti. Tidak ada alasan khusus untuk melakukan ini, sih. Ahahai.

Sayang

Aku paham kita masih belum dekat. Bahkan, mungkin aku hanya sekadar angin lewat. Namun, sampai kapan pun, aku sayang. Setidaknya, hatiku berkata demikian, meskipun otakku berteriak tidak karuan. Aku paham jika tanyaku terjawab dengan bungkam dan senyumku terhadiahi sebuah lengosan. Karena, besar kemungkinan, auraku masih sewarna aura orang asing yang berantakan, aku mafhum jika kedatanganku terdefinisikan sebagai kelabu yang harus segera melenyap tanpa jejak. Tenanglah, aku sudah tak mampu bersedih semenjak festival kembang api awal tahun kala itu. Pun lama-lama ragu dan malu meletup hilang bersamaan dengan bungkamnya teriakan setiap percikan api. Aku tak memiliki ketiganya sekarang. Bukan main berbedanya hawa yang mengasapi ruang hatiku, beberapa waktu belakangan. Tetap saja, sayangku tak akan seluruhnya hilang. Bagaimana pun, sayangku ini bagaikan pokok yang terhunjam kokoh, meski topan mengembusnya dan mengobrak-abrik seluruh penghuni lainnya. Aku cukup keras kepala dalam hal ini, tak kubantah. Namun, aku juga cukup keras dalam menyampaikannya, tak dapat kutolong. Hanya sedikit yang berhasil paham, itu pun dengan sedikit paksaan. Namun, jika suatu saat aku menghambur dengan terlalu gampang, lalu sekejap pergi tanpa berbasa-basi atau meninggalkan pesan kepergian, ini karena aku sayang. Sayangku tak butuh bantuan verba apa pun untuk mengartikannya. Sayangku, sayang yang melayang tanpa batasan tempat dan waktu, selagi otakku masih mampu bekerja, selagi hatiku masih mau merasa.

Sunday, 23 November 2014

Hati, Patah

Sepertinya aku kembali patah hati
Karena terlalu memaksa menyimpan cinta
Untuk benda hidup yang tak ingin dicintai

Aku kira kami hampir mendekati dekat
Ternyata aku hanya orang lewat
Aku kira sayangku terkirim dengan tepat
Ternyata dia tersesat, pun salah alamat

Lagi-lagi aku salah paham
Aku kira kami cukup mungkin untuk bermain peran
Ternyata, sandiwara tak pernah menang dari hakikinya kenyataan
Formalitas tak 'kan pernah meleleh menjadi fleksibilitas
Kami tetap bagai dua kutub yang saling aku, tapi tak sudi duduk berdampingan

Aku tak menuntut koneksi
Aku tahu, ini arena sebelah sisi
Namun, tak kukira, adaku begitu asing
Di saat aku tengah girang, aku dapat berkisah dengan sering

Ini bukan tentang kisah cinta
Namun, ini patah hati dan aku memaksa
Rasanya sama seperti ketika dipatahkan oleh cinta
Rasa kosong yang mencabik, karena menjadi kepingan tak berhawa secara tiba-tiba

Dari awal aku salah
Mengira menaklukan macan yang belum pernah kukenal
Dan kini dinding kamar pun tak lagi mampu berpura-pura
Menertawai lambanku, menyadari kami, sesama sebatas pengguna jasa

Aku memang patah hati
Karena kukira satu-satunya yang tersisa
Telah menguap menjadi mendung yang tak akan menghujan turun
Namun, aku pemercaya lahirnya hal baik dari matinya hal, baik tak baik, yang lain

Hatiku masih luas
Patah satu teras, tak kan mati seluruh badan
Aku mengaku, lama-lama ia kebas
Mati rasa, tuna akan kepekaan
Namun, bagaimana pun, aku masih bersisa
Tak adil jika harus berhenti karena alasan sisa

Baik, mungkin harus lebih berhati-hati memberi hati

Saturday, 22 November 2014

Salah Satu Rindu

Tentu saja, ada orang-orang yang merindu, tapi tak mau mengaku. Bisa jadi, bukan karena mereka tak rela malu, melainkan karena mereka percaya bahwa rindu bukanlah paket yang wajib dikirim ke penerima rindu, tepat alamat dan tepat waktu. Perindu terkadang memilih jalanan sunyi, melangkah pelan melompati biang berisik, sembari menanti sebuah perjumpaan di perpotongan jalan yang pasti. 'Cukuplah Tuhan yang Tahu,' batin mereka meyakini kepastian-Nya. Hanya saja, terkadang luput menggantung di kelopak mata, memaksanya tertutup barang sekejap, membuat mereka tak melihat apa yang berhasil dilihat oleh para pencuri lihat benda-benda rahasia orang-orang lewat. Mereka tahu, tapi banyak yang memutuskan tak mau tahu. Mereka tahu, lalu beberapa di antaranya diam menunggu. Mereka tahu, dan seperempatnya berkasak-kusuk mengembuskan berita busuk. Beberapa perindu mengaku memiliki strategi untuk menghadapi para pencuri. Sedangkan sisanya menggumam, 'Mungkin ini saatnya membunuh diri,' dalam geming. Namun, bagaimana pun, sampai kapan pun, rindu tak pantas dikambinghitamkan sebagai penyebab mati. Dia rasa yang terkadang berkawan dengan imaji, bukan benda tajam atau alat mematikan diri. Dan pemiliknya pun bukan narapidana yang harus diinterogasi apalagi dihakimi. Sebab Tuhan pun tak pernah bilang bahwa rindu dan merindu adalah benda ilegal atau kejahatan yang merugikan. Kukira keduanya merupakan hadiah dari-Nya untuk para makhluk yang dicintai-Nya.

Friday, 21 November 2014

Wa Favorit

Barangkali, saya tidak akan pernah sampai di sini, di titik ini, jika saya memutuskan untuk tidak mau mengenalnya. Bagi saya, dia merupakan salah satu orang paling berpengaruh dalam perjalanan hidup saya. Dia bukan ayah saya, tetapi memori masa kecil saya dengan dan tentangnya jauh lebih banyak dan menyenangkan, jika dibandingkan dengan kerabat saya yang lain, bahkan mungkin dibandingkan dengan ketika dengan ayah saya sendiri. Saya memang tinggal bersama Romo, sapaan saya kepada ayah saya, tetapi ketika saya masih kecil, dia lah orang yang lebih sering menyengajakan diri untuk datang ke rumah kami dan bermain dengan saya. Romo memang lebih betah beraktivitas di luar rumah dibandingkan berdiam diri lama-lama di dalam rumah. Tidak hanya berkunjung, dia selalu membawakan saya hal baru yang membuat saya kegirangan. Tidak hanya berupa barang, tetapi juga pelajaran atau sekadar pengalaman. Dia adalah wa favorit saya. Wa nomor 1 di dunia.

Namanya Sidik. Saya memanggilnya Wa Sidik. Dalam bahasa jawa, wa merupakan sebutan untuk kakak dari ayah atau ibu. Semacam Pak Dhe atau Bu Dhe. Dia adalah anak ke-6 kakek dan nenek saya, dari pihak ibu. Dengan kata lain, dia adalah kakak termuda Mama, sapaan saya kepada ibu saya, karena dia lahir tepat sebelum Mama. Meskipun dia lebih tua dari Mama, tetapi dia tidak menikah lebih dulu dari Mama. Mama memang "melangkahi"-nya dalam urusan pernikahan, hanya dalam hal pernikahan. Menurut pengamatan saya, Wa Sidik merupakan kerabat yang paling dekat dengan Mama. Tidak hanya dalam hal jarak umur, tetapi juga dalam ikatan persaudaraan. Dia adalah orang pertama yang dicari oleh mama untuk dimintai tolong, orang yang sangat dapat kami, saya dan mama, andalkan dan percayai.

Dulu, ketika dia masih menjadi satu-satunya orang yang belum menikah di keluarga mama, dia merasa memiliki tanggung jawab paling besar terhadap kaki dan nini, kakek dan nenek saya. Meskipun dia sudah memiliki cukup uang untuk membeli atau membangun rumahnya sendiri, dia memutuskan untuk tetap tinggal bersama kaki dan nini, di rumah kelahirannya --juga saudaranya yang lain, di tengah desa Karangsari. Rumah itu juga merupakan kantor baginya. Di sana lah dia bekerja sepanjang hari, sepanjang waktu, dengan profesinya sebagai penjahit seragam sekolah.

Wa sebetulnya orang yang pandai. Dibandingkan dengan saudaranya yang lain, dia memiliki riwayat pendidikan paling baik. Dia merupakan lulusan STM Kebumen. Ya, lulus, di saat wa-wa yang lain hanya tertarik bersekolah hingga tingkat SD atau SMP. Mama sendiri hanya tamat MTS. Mama memutuskan untuk berhenti sekolah, ketika dia duduk di kelas 2 Madrasah Aliah. Kurang jelas apa alasan yang membuatnya berhenti. Namun dari apa yang saya tangkap dari ceritanya bertahun-tahun yang lalu, pada zamannya, banyak sekali anak perempuan yang lebih memilih untuk ngode (bekerja) atau menikah dini dibandingkan bersekolah hingga tingkat SMA. Berbeda dengan Mama, Wa merupakan orang yang konsisten dan sangat tertarik pada hal-hal yang sarat pengetahuan. Dia juga suka mempelajari hal baru. Dia terlihat sangat bahagia ketika menonton berita, untuk kemudian mendiskusikan isi berita tersebut dengan orang-orang yang menurutnya asyik diajak berdiskusi. Ketika saya belum kuliah dan masih tinggal di Kebumen, salah satu partner diskusinya adalah saya. Kami terkadang membangun dugaan-dugaan motif atau modus operandi dari sebuah kasus kriminal atau sekadar melontarkan opini ringan tentang kabar yang tak kalah ringan.

Wa cukup lama melajang. Entah karena tanggung jawabnya mengurusi kaki nini dan usaha keluarga (usaha jahit), entah susah menemukan wanita idaman, atau entah memang suka berlama-lama melajang. Dia menikah ketika saya duduk di kelas 3 SD, atau sekitar 11 - 12 tahun setelah Mama menikah. Saya sangat ingat hari itu, hari pernikahannya, di suatu Jumat yang cerah.


Hari Bersejarah Wa
Saya sedang belajar di dalam ruangan kelas 3 SDN 1 Karangsari, ketika tiba-tiba wali kelas saya memanggil saya. Beliau bilang saya harus pulang karena Mama menjemput saya. Saya deg-degan, penasaran, dan kegirangan. Itu adalah kali pertamanya saya dijemput dan diizinkan pulang di saat jam pelajaran tengah berlangsung. Saya tidak peduli apa alasan Mama menjemput saya lebih awal, yang penting akhirnya saya dapat mengalami dan merasakan bagaimana rasanya pulang cepat. Dari dulu, saya memang menantikan saat-saat seperti ini. Rasanya dijemput dan tidak mengikuti pelajaran seperti itu merupakan hal yang keren dan dapat membuat orang-orang penasaran, hingga membuat si anak yang pulang cepat menjadi pusat perhatian. Rasanya seperti menjadi orang penting yang dibutuhkan oleh dunia dan dinantikan kedatangannya di tempat lain selain sekolah. Setidaknya, itu yang saya pikirkan ketika saya melihat teman saya dijemput dan pulang di tengah pelajaran. Dengan cekatan, juga kepala yang memanas dan serasa menjadi lebih besar dari biasanya, saya segera mengemas buku-buku dan alat tulis saya, memasukkannya ke dalam tas yang besarnya melebihi besar tubuh bagian atas saya. Saya melenggang pergi, dengan dagu terangkat, meninggalkan teman-teman di kelas yang memandang saya penasaran hingga keluar kelas.Saya merasa menjadi orang spesial saat itu.

Di luar kelas, Mama sudah menunggu. Dia terlihat sedang terburu-buru, kemudian segera mencidukku, meletakkan saya di atas boncengan. Tidak ada banyak percakapan yang terjadi saat itu. Saya hanya diam dan manut (menurut), ke mana pun dia membawa saya pergi. Saya masih merasa keren karena dapat skip kelas. 

Akhirnya, saya tiba ke sebuah tempat yang saya kenal. Rumah Mba Sri. Di sana banyak sekali orang berkumpul. Mereka berbaju rapi. Beberapa wanita memakai make up tipis. Para orang laki-laki memakai baju batik dan kopiah atau peci. Saya masih tidak punya petunjuk tentang alasan di balik "penculikan" ini. 

Thursday, 20 November 2014

Sajak

Sajakku berisi sekawanan kisah tragis yang manis. Mereka tumbuh bergantian, sudi berkenalan, tapi tak bersedia bertalian. Bermuara di tepi pantai berpasir kelam, tetapi tak cukup kasihan untuk melulu dihujani asinnya tangisan. Alih-alih tangis, aku ingin menganugerahi mereka, senyuman yang sedikit nakal. Suatu ketika, aku hampir mati bosan, mereka datang tanpa membawa kebahagiaan. Inginku menjual bosan, barangkali laku dan menghasilkan banyak uang. Namun, sekejap aku berpikir, mereka hanya milikku, dinikmati hanya boleh olehku. Maka aku menyimpan mereka ke dalam guci sewarna emerald yang kedap waktu, mencegah mereka termakan detik yang berlari terburu-buru. Tentu saja, aku punya rencana untuk mereka. Bukan rencana besar tentang aksi penyelamatan semesta. Bukan pula rencana dahsyat untuk menghancurkannya. Aku berlepas dari hiruk pikuk urusan manusia, setidaknya dari mereka yang tak kukenal, atau kupilih untuk tidak kukenal. Hanya saja, rencana ini akan membuatku hidup lebih lama. Tidak abadi, karena hanya Tuhanlah yang memiliki hak milik atas keabadian itu sendiri. Lantas, apa yang kuinginkan jika aku beserta mereka berhasil hidup lebih lama? Hanya secuil sejarah, dengan aku, sebagai tokoh utama, dan monolog-monolog yang selurus horizon senja di dalamnya.

Tuesday, 18 November 2014

RCG (4)

Setelah dua atau tiga hari lamanya miskin sinyal internet, akhirnya saya dapat kembali ke dunia maya. Hahahai, senangnya kembali meranodm. 

Uhn, pos ini dibuat dengan maksud menyelesaikan apa yang sudah saya mulai, melalui tiga pos bertopik sama, sebelumnya. Tidak harus diselesaikan, sebetulnya. Pos ini tidak berisi manfaat, mungkin malah justru sebaliknya. Anda yang tidak menyukai hal-hal tidak lazim, iidak dianjurkan untuk membacanya.

Tujuh
Pertama kali saya memiliki handphone yang dapat digunakan untuk mengakses internet dan men-download aplikasi adalah pada saat kelas X SMA. Romo membelikan saya Nokia 3110C, tepat ketika saya akan menghadapi ujian akhir semester 2, kelas X. Saya tidak akan membahas spesifikasi dari handphone ini karena saya memang bukan akan bercerita tentang handphone tersebut. Namun, berkat benda elektronik berbasis java inilah saya berkenalan dengan seseorang. Seseorang, yang merupakan salah satu orang yang (tanpa dia sadari) telah berpengaruh dan terselip dalam beberapa episode hidup saya. Ya, dia adalah seorang lelaki, satu sekolah dengan saya. Sebetulnya, lebih dari sekadar pernah, saya menyebutnya dalam pos-pos saya di blog ini, baik secara langsung, maupun secara implisit. Mungkin, jika ada pengunjung tetap yang membaca blog ini, dia akan tahu siapa orang tersebut, tanpa harus membaca pos ini.

Uhn, mulai dari mana, ya? 

Saya sudah hampir kehabisan kata dan rasa untuk menggambarkannya. Sepertinya, kemarin-kemarin saya terlalu sering membicarakan setiap hal tentangnya yang saya tahu, sampai-sampai saya tidak punya bahan lagi untuk dituliskan di sini sekarang. Jike begitu, mungkin saya akan memulai dengan menuliskan data dirinya, yang saya ingat dan tahu.

Dia seorang laki-laki. Apa lagi, ya?

Dia. Saya sering menggunakan kata ganti dia ketika menulis pos tentangnya di blog ini. Dia tinggal di kabupaten yang sama dengan saya, tetapi berbeda kecamatan. Rumah saya di pusat daerah sedangkan rumahnya di daerah Barat. Namun, ketika SMA, dia mengekos di sebuah gang yang cukup dekat dengan sekolah. Kami berasal dari sekolah yang sama, tetapi tidak pernah satu kelas. Kami sama-sama menekuni jurusan IPA ketika duduk di kelas XI dan XII. Kami berasal dari SMP yang berbeda. Saya bersekolah di SMP yang dekat dengan rumah saya, begitu pula dia. Saat ini, dia tengah menjalani studi akhirnya di sebuah universitas di Yogyakarta. Jurusannya? Hmm. Jika saya menyebutkannya, semua akan tahu siapa dia, dan selesai lah teka-teki tidak penting ini.

Kami lahir di tanggal dan bulan berbeda, bisa jadi tahunnya juga. Dia merupakan anak bungsu, tetapi memiliki seorang adik. Tidak seperti saya, dia menyukai kucing atau setidaknya pernah beberapa kali mengepos foto-foto kucing yang dimilikinya di salah satu akun media sosialnya. Sepertinya, itu saja yang saya tahu tentang dia. Saya tidak tahu apa saja hal yang disukainya, juga bagaimana prestasi atau keahliannya.

Dia adalah orang pertama yang saya kepo-i melalui jejaring sosial. Alasan saya melakukannya, sebetulnya saya tidak tahu. Mungkin penasaran karena sejak pertama berkenalan, saya tidak pernah bertemu atau bersapa dengannya. Proses perkenalan dengannya memang tidak terjadi di dunia nyata, melainkan dunia maya. Oleh karena itu, saya berterima kasih kepada Nokia 3110C yang telah hadir sebagai media perkenalan saya dengan dia. 

Saya pertama kali mengenalnya ketika duduk di kelas XI SMA melalui salah satu aplikasi online chatting via handphone yang cukup populer di daerah saya, pada zaman itu, sekitar 2009. Awalnya, saya tidak tertarik untuk melakukan percakapan di dunia maya dengannya karena dia adalah seorang laki-laki. Sebab berbagai alasan, saya memang tidak terbiasa --jika perlu menghindari-- berbincang tanpa tujuan jelas dengan kaum laki-laki. Begitu pula kepadanya. Apalagi, dia orang asing yang sama sekali belum pernah saya dengar namanya selama hampir dua tahun saya bersekolah di SMA tersebut. 

Sebagai orang yang pertama meng-inviteakhirnya dia pun menyapa saya dan memperkenalkan diri. Dia memiliki username yang sangat alay, dengan menggunakan karakter-karakter nonalfabet untuk membentuk nama panggilan aslinya, seperti tanda kurung buka, tanda seru, dan sebagainya. Saya pun membalas seperlunya, sebatas memperkenalkan biodata singkat. Ketika saya menyebutkan asal kelas saya, dengan cepat dia pun mengatakan "ledekan" yang oleh orang lain pun cukup sering dialamatkan kepada saya. Bukan ledekan buruk sebetulnya, hanya saja ini membuat saya merasa bosan dan tidak enak ketika menerimanya. 

"Cieee. Ada anak rajin dan pinter dari kelas IPA 1, loh," katanya, kurang lebih seperti itu.

Saya sebal seketika kepadanya. 'Ajeg. Kenapa harus ter-mindset seperti itu? Ini menyebalkan. Pasti dia sama seperti anak-anak itu: anak-anak laki-laki di SMP atau anak-anak kelas lain yang berpikiran bahwa kelas saya agak berbeda dengan kelas mereka. Padahal, saya sebelas dua belas dengan mereka. Saya sebelas, mereka dua belas' batin saya, kurang lebih, meskipun pada waktu itu belum ada istilah sebelas dua belas untuk mewakili perbandingan. 

Setelah sedikit sekali bercakap tentang "ini" dan "itu", kami pun mengakhiri obrolan. Dia offline terlebih dahulu, sedangkan saya masih asyik bermain dengan aplikasi yang terbilang masih baru bagi saya itu.

Di lain waktu, tak lama setelah malam berkenalan itu, kami mengobrol lagi. Tidak cukup jelas topik yang kami perbincangkan. Namun, saya mulai mengurangi judging negatif saya tentang dia. Dia tidak seburuk yang saya duga. Dia tidak lagi membawa nama-nama kelas. Lalu, selayaknya user lain, kami pun mulai bertukar informasi atau membahas topik yang sedang hangat di televisi. 

Suatu hari, dia salah menuliskan nama sapaan saya. Saya sebal karena typo tersebut cukup fatal, menurut saya saat itu. Ketika saya komplain ke dia, dia pun tidak merasa bersalah. Akhirnya, saya menyengajakan diri, memanggilnya dengan sebuah nama sapaan aneh, nama seekor binatang mungil sebetulnya. Dia terpancing, membalas menyebut saya dengan nama sapaan yang tulis dengan salah. Rasa sebal saya berangsur lenyap dan digantikan perasaan gemas dan geli, ketika kami mulai saling ejek dengan nama sapaan aneh. Mulai hari itu, di dunia maya, kami lebih sering saling sapa dengan nama jadi-jadian tersebut dibandingkan dengan nama diri kami masing-masing.

Obrolan kami tidak banyak dan tidak sering. Isinya tidak bermanfaat dan tidak untuk diingat-ingat. Kami tidak dekat, tidak saling kenal, tidak juga pernah punya urusan. Kami hanya teman mengobrol ketika kebetulan sama-sama sedang online. 

Namun, entah mengapa, lama-lama saya merasa senang mengobrol dengannya, meski hanya melalui kata, meski saya belum pernah berjumpa muka dengannya, meski seringkali berakhir dengan saling ejek atau hening tanpa kata, lalu pergi tanpa mengucapkan salam sama sekali. 

Saya bahagia ketika kami mengobrolkan film atau buku. Saya terkesan ketika dia mengucapkan opini spontannya tentang sesuatu. Saya tertawa ketika dia bercerita bahwa dia baru ditegur oleh seorang guru. Saya tersanjung ketika dia berkata bahwa saya dapat melakukan sesuatu dengan baik. Saya bersemangat ketika dia, mungkin tanpa dia sadari, telah memberi semangat atau inspirasi untuk saya yang gemar memurukkan diri. Saya berdebar ketika melihat namanya bertengger di notifikasi. Saya penasaran ketika berhari-hari dia tidak memunculkan diri di media itu atau ini. Saya lega ketika tahu dia dapat mempertahankan prestasi. Saya salah tingkah ketika melihat dia melewati kantin, perpustakaan, atau lapangan, yang tanpa dia sadari, ternyata teramati. Saya merasa dihujani bebungaan, ketika dia mengirimi saya ucapan semangat menghadapi ujian. Saya merasa bangga, ketika dia menceritakan sedikit sekali tentang rencananya di masa depan. Saya... Saya lama-lama mengerti apa dan bagaimana rasanya harap-harap cemas karena lama-kelamaan saya memaksakan diri untuk menanti. Saya, pada akhirnya, mengerti bahwa sepertinya saya telah kembali merasakan jatuh hati.

Mungkin, saya terlalu cepat menyimpulkan dan mengambil keputusan. Suatu ketika, saya ingin bertobat dan menobatkan rasa itu sebaai perasaan sesaat. Namun, nyatanya, hingga ratusan hari berlalu, saya belum juga mampu berhenti merasakan sensasi naik roller coaster yang saya alami setiap terlintas pikiran atau terbaca kabar tentangnya. Ini memang hanya rasa berlebihan yang saya rasakan oleh perlakuan biasa darinya. Perlakuan yang bahkan mungkin olehnya tidak terartikan sebagai sebuah perlakuan, alih-alih basa-basi kepada orang yang pernah dia kenal. 

Yeah, dia itu, mungkin tidak pernah tahu akan berbagai tindak investigasi tidak masuk akal terhadapnya yang pernah saya tahu. Orang itu mungkin tidak pernah menyangka, saya sedikit tahu riwayat percintaannya. Orang itu mungkin tidak akan pernah percaya, saya pernah diteror oleh salah satu orang yang "mengenalnya". Orang itu mungkin tidak ambil pusing, bagaimana perasaan saya ketika saya menyadari bahwa saya bukanlah orang-orang yang diperlakukan dengan baik olehnya. Orang itu mungkin tidak pernah ingat, topik apa yang pernah kita obrolkan, karena saya sendiri juga sekarang sudah tidak ingat. Orang itu, mungkin tidak berusaha mengingat informasi yang saya ceritakan, sekeras usaha saya mengingat apa pun yang dia tuliskan. Orang itu memang tidak tahu, tidak memiliki petunjuk, kecuali jika dia menemukan pos ini, dan saya yakin pasti tertawa membaca tulisan absurd ini. Namun, orang itu mungkin sebetulnya tahu, hanya saja pura-pura tidak tahu.

Dengan berbagai pertimbangan, khususnya tentang akan datangnya hal buruk yang lebih banyak daripada hal baik dari aksi ini, akhirnya dua tahun lalu saya memutus segala akses dengannya, demi mendukung misi: berhenti jatuh hati. Tindakan ini aneh memang. Sangat aneh. Namun, ternyata cara ini efektif. Jika saya tidak melakukan ini, mungkin saya masih melakukan hal-hal nista dan cari-curi perhatian terhadapnya. Sifat saya memang seburuk itu. Saya sendiri sebetulnya malu pada Tuhan.

Note FB Tua: Refleksi di Tingkat Sebelas

Bukan apa-apa. Sungguh! Ini note isinya cuma tugas dulu jaman kelas XI.
Dianjurkan tidak usah dibaca karena tidak layak baca.
Tujuan di-upload-nya ehn....coretan ini adalah biar aku ngga suka mengeluh lagi seperti dulu (mungkin sampai sekarang) dan ngga terlalu membanggakan diri sendiri.
Sekali lagi dianjurkan tidak usah dibaca.

Refleksi dimulai
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Selesai.





1 Juni 2009
Bismillahirrahmanirrahiim....

Setahun Berlalu
“Pencarianku Belum Jua Berujung”
Anifatun Mu’asyaroh



Akhir tahun ajaran 2008. Cukup berat hatiku meninggalkan kelas pertamaku di SMA, Brownies X.1. Meninggalkan keceriannya, kegokilannya, kehangatannya dan teman-teman yang telah setahun lamanya berjuang bersama dalam mengusir remidi dan menciptakan kegaduhan. Apalagi, setelah tahu ada beberapa teman dekat yang tak kan mungkin bersama lagi dalam satu kelas. Seperti ada satu potongan puzzle yang hilang dalam hidup. ‘Ah…individualis sekali, masa mau sekelas terus, gimana bisa punya teman banyak kalau teman-teman kita itu-itu saja. Semangat!!!’, pikirku. 

Pagi hari di pertengahan Juli, hari pertamaku di kelas XI, masih terbayang nilai-nilaiku --yang terjun bebas di akhir semester 2-- ketika roda depan sepedaku melintasi gerbang depan sekolah. Tiba-tiba, seorang karib datang menyambutku dan menyetop laju sepedaku, lalu berkata sambil melonjak-lonjak, “An, kita di IPA 1. Aku duduk sama kamu lagi, ya!”

Tak percaya. Aku mengangguk dalam senyuman, meskipun sebenarnya aku dilanda kebingungan. Berkali-kali muncul kalimat tanya yang sama di kepalaku “kenapa aku masuk di kelas itu?”. Bahkan, sampai saat aku sudah memasuki ruang kelas sementara itu (saat itu ruang kelas XI IPA 1 yang sebenarnya dipakai untuk MOS), aku masih tak percaya. Aku takut terpuruk di kelas itu. Kusalami satu per satu orang-orang yang akan setahun bersamaku itu. Sejak kecil aku mempunyai kebiasaan memperhatikan tingkah laku orang, dan kebiasaan itu pula yang kuterapkan di hari itu. Kupandangi mereka (selain anak-anak X.1) dengan seksama, tentu tanpa sepengetahuan mereka. Mereka bergaul dengan anak-anak dari kelas asal yang sama. ‘Ah itu wajar,Ani! Ayo semangat!!! Dekati mereka dan jadikan teman!’, bisikku dalam hati yang mulai bosan melihat kekakuan itu. Jujur, aku tidak suka dengan orang-orang yang ngeblok. 

Seminggu pertama, baru kusadari ternyata tidak semua dari mereka seperti itu. Beberapa di antara mereka langsung akrab denganku dan bahagia aku. Alhasil untuk sementara waktu, hilanglah pandanganku tentang anak-anak IPA 1 yang pilih-pilih teman. Sementara!

Namun, aku masih tetap saja merasa tidak nyaman. Entah kenapa, aku merasa belum bisa mengikuti irama kelas yang masih sangat baru bagiku. Sebagian dari mereka begitu tergila-gila pada nilai. Setiap aku memasuki ruang kelas, suasana yang tampak adalah kawanan orang-orang yang tengah sibuk memelototi buku. Entah saat itu ada tugas atau tidak. Hal ini sungguh tidak biasa di awal-awal tahun pelajaran seperti ini. ‘Wah benar-benar manusia pilihan yang masuk kelas ini’.


Aku semakin berusaha untuk mengimbangi kehebatan mereka. Jika mood sedang baik aku akan lebih rajin mengerjakan berbagai soal-soal latihan, terutama matematika dan kimia. Namun, hal itu hanya bertahan di bab pertama matematika saja, “TRIGONOMETRI”. Aku tidak lulus pada bab tersebut, sehingga membuatku agak bosak pada mapel ini. Matematika yang sejak SMP sangat kugemari, berangsur-angsur hilang kharismanya di mataku, hingga membuatku mual dan mulai menyepelekan kehadirannya. Kini, aku menyejajarkannya dengan mapel fisika yang sangat tidak aku kuasai.  

Semakin bertambah hari aku semakin merasa aneh di kelas METANA ini. Suatu kelas yang amat sulit ku mengerti, terlalu dalam untuk diselami. Keadaan kelasnya tidak sesuai dengan kepanjangan namanya yang megah. Entah apa kepanjangannya. Namun, yang aku ingat di dalam patah-patah hurufnya terkandung arti yang kurang lebih “komunitas penghuni suatu kelas eksakta yang megah”. Nama itu sendiri ditentukan dengan terburu-buru dan semoga tidak  terkesan asal-asalan. 

Awalnya, kelas itu bakal dinamai “SEPATU” singkatan dari Sebelas IPA Satu. Namun, tidak direstui oleh wali kelas kami, Bu TL (nama panggilan para siswa kepada salah satu guru kimia kami, Ibu Tri Lestari) dengan alasan,”Sepatu itu,  letaknya di bawah, diinjak-injak. Memangnya kalian mau jadi kelas terbawah dan diinjak-injak?”. Lantas kami menetapkan nama baru yang lebih terkesan artistik, ”MAGENTA”. Hampir seluruh anak menyetujui nama tersebut, dan dimulailah penyusunan tema dan konsep kelas. Saat kami hampir memulai pembelian alat-alat dekorasi, terdengar kabar kalau kelas tetangga mempunyai konsep warna serupa, yaitu ungu. Akhirnya, kami pun mengalah dan mulai mencari nama lain bagi kelahiran kelas XI IPA 1 yang baru ini. Setelah beberapa petinggi kelas bermusyawarah dan berkonsultasi dengan Bu TL, terciptalah sebuah nama yang disadur dari salah satu senyawa kimia, Metana, hanya dalam hitungan menit. 

Aku begitu bersemangat pada saat pendekorasian –setiap awal tahun ajaran baru di SMANSA diadakan lomba menghias kelas dalam rangka merayakan HUT SMANSA yang jatuh pada tanggal 1 Agustus-- itu. Aku berpikir saat-saat seperti itu adalah saat yang tepat untuk beradaptasi, dan saling dekat satu sama lain. Meski hari Minggu pun, kami datang dan mulai mendekor. Namun, hal yang terjadi tidak seperti yang kupikirkan. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Sibuk dengan kerumunan masing-masing. Sehingga, mereka tidak akan mulai berbuat sebelum diuprak-uprak. Alhasil, bukan “mari bekerja sama dalam gembira” yang terjadi, tetapi “mari bekerja agar selesai”. Hasilnya, kelas yang rapuh lah yang terjadi. Para penghuninya kurang bersatu sama lain, seperti yang pernah dikatakan oleh Bu Tuti, tapi tepatnya seperti apa, aku tidak ingat.  Menurutku, mereka kurang mengamalkan ilmu pendidikan kewarganegaraan.


Di semester awal seperti saat itu, semangat belajar dan stok percaya diriku masih penuh. Aku berani berekspresi dan berpendapat dengan ribuan pikiran positif yang masih tergantung rapi di kail-kail pikiranku. Hingga sementara waktu, aku lupa dan tidak peduli dengan keadaan kelas yang seperti itu. Lalu aku nikmati satu penemuan baruku yang aku kira sudah sempurna kala itu, yaitu arti persahabatan. Aneh memang. Tadi kusebutkan bahwa orang-orang di Metana ini sulit ku mengerti, tetapi entah mengapa di sini aku malah menjadi paham kenikmatan bersahabat itu seperti apa. Berteman tidak harus sama dalam segala hal. Sahabat bukan orang yang selalu mengikuti dan selalu berada dekat serta nempel seperti perangko padaku. Perbedaan dalam suatu pertemanan bagaikan putih telur dalam martabak, yaitu sebagai perekat dan penghubung.

Tak terasa waktu telah mendekatkan seleksi LMP ke depan mata. Aku yang dari SMP sangat menyukai mapel biologi –di samping matematika—mencoba mencari mujur lewat seleksi itu. Siapa tahu aku lolos, hehehe… Aku tahu, sudah ada ahli biologi yang tidak lain tidak bukan juga sahabatku sendiri.  Tapi tak salah kan kalau aku mencoba mencari potensi diriku. Apalagi aku ingin menjadi seseorang yang jago dalam bidang farmasi, yaaa… paling tidak seorang apoteker lah... Dan di sinilah kumulai pencarianku……

Sabtu siang di bulan tak tahu, aku memasuki ruang kelas XII IPS 3 dan menerima 3 lembar soal seleksi LMP Kimia, melangkah ke  pojok kanan ruangan, lalu duduk di atas satu-satunya kursi yang tersisa. Ya… aku berubah pikiran tentang biologi. Kutinggalkan seleksi biologi yang juga berlangsung di hari itu. Entah kenapa aku terbujuk –padahal tidak ada yang membujuk-- untuk megikuti seleksi mapel kimia yang sebelumya tak terpikir sama sekali. Namun, kimia lah modal utamaku untuk menjadi seorang ahli farmasi, Akhirnya, kuputuskan untuk mengikutinya. Di luar dugaan, aku hampir tidak dapat mengerjakan soal-soal yang sebenarnya tidak terlalu susah itu. Di tengah kebingungan, kuterima sms dari sahabatku yang jago biologi yang isinya….. 

”An, bio yg ikt slksi cm 5 org.dah mst km msk lh. cptan k lab bio!dtggu!”

Maka dari itu aku nekat mengikuti seleksi itu. Apalagi yang ikut saat itu hanya 6 orang, termasuk aku. ‘Wah peluangku untuk masuk akan semakin besar,’ anganku. Lalu, kuselesaikan soal-soal kimia itu secepat mungkin agar dapat segera melanjutkan mengerjakan soal-soal biologi. Setelah sampai di lab, kuambil satu bendel soal yang ternyata, ‘Innalillahi… angel banget!’ Akhirnya, kukerjakan soal-sol itu semampuku, dengan harapan lolos limit mendekati nol. Waaaaaah… parah. Inilah akibat dari sifat plin-planku. ‘Huft….. Coba kumantapkan pilihan pada biologi saja atau kimia saja, dan kupelajari salah satunya dengan serius, pasti hasilnya tak kan seburuk ini,’ sesalku. Apalagi bagaimana tanggapan guru-guru yang mengoreksi jawaban-jawabanku, mungkin mereka akan melotot atau menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan kebodohanku ini.


Beberapa hari kemudian, aku sudah mulai melupakan tentang seleksi itu. Aku pun mulai melakukan pencarian selanjutnya….”mencari bakat-bakatku yang lain”. Ketika majalah Karisma sekolah menempelkan iklan tentang pencarian karya-karya dalam bentuk tulisan, hatiku merasa tercolek. Belum pernah semangat menulisku mengebu-gebu seperti saat itu. Aku kumpulkan informasi mengenai persyaratan-persyaratan untuk mengirimkan karya –meski di iklan sudah ada, tetapi aku begitu suka bertanya-- pada temanku, salah satu redaktur Karisma, sampa ke detail terkecil. Sebab begitu antusiasnya aku saat itu. Lalu, kutulis sebuah cerpen berjudul “My Real Superhero is…” dan sudah selesai kuketik.

Namun, tak dinyana-nyana tugas-tugas yang lain berdatangan mengharuskanku mengerjakannya. Sedangkan ulangan semester 1 semakin dekat. Hingga deadline pengumpulan tiba, cerpenku belum sempat menyentuh printer. Hyaaah…kali ini aku gagal lagi mengirimkan karyaku. Dulu aku tak jadi ikut seleksi anggota Karisma karena takut gagal. Namun, sekarang aku sudah gagal sebelum aku takut. ‘Semangat!!! Masih ada semester 2. Jangan takut pada kegagalan!’ hiburku. Sejak saat itu frekuensi menulisku kembali jarang. Entah kerena bosan, entah tidak sempat, atau entah lupa. Dan kulanjutkan kehidupan yang biasa-biasa lagi….


‘Aku semakin paham bahwa tidak semua orang tahu apa yang aku mau, so aku harus mengungkapkannya. Dan apa yang masing-masing orang bisa, aku tak harus terlalu berusaha untuk sama bisanya dengan mereka karena setiap orang mempunyai kelebihannya masing-masing. Yang aku harus lakukan adalah mengembangkan apa yang sudah aku bisa dan punyai, jangan mau yang muluk-muluk. Namun, toh tak salah jika aku terus mencari!’ Aku masih terus melakukan pencarianku. Pencarian akan teman, bakat, potensi, dan bagaimana rasanya menjadi orang penting. 

Kegiatan yang masih terus kulakukan dari awal semester 1 hingga kini adalah menggambar arsiran. Cukup banyak gambar yang telah kuhasilkan, meskipun dari hasil mencontoh gambar yang sudah jadi. Namun, tak apa hal itu baik untuk menyeimbangkan otak kanan dan otak kiriku. Semakin lama aku semakin berpikir, ‘Apakah ini bakatku yang sebenarnya? Menggambar atau melukis? Waaahh…alangkah indahnya kalau benar. Aku bisa sekolah seni kalau lulus besok,’ ujarku dalam hati. Sejenak, terlupa tujuan utamaku menjadi seorang apoteker yang hebat. 

Aku terlalu banyak berkeinginan, sehingga hal itu membuatku sering diliputi kebingungan sepanjang waktu. Aku terkadang diam menyendiri memikirkan sesuatu, mencari inspirasi, atau menyanyi dalam hati –tapi aku tak pernah ingin menjadi penyanyi--. Diamku yang tiba-tiba itu terkadang membuat kawan-kawan atau keluargaku memandang aneh diriku. ‘Ah… whatever!’ 

Setelah sembuh dari kediaman, seringkali aku lupa tentang apa yang aku renungkan baru saja. Mungkin hal itu dipengaruhi oleh penyakit pikunku yang sudah akut. Saking akutnya sampai-sampai sudah 8 kali hpku ketinggalan di wilayah sekolah. dan seanyak 8 kali itu pula aku menambah jarak perjalananku ke sekolah karena harus mengambil hp yang tertinggal itu. Pikunku semakin parah di semester 2 kelas XI ini. Resolusiku untuk tahun ajaran depan, ‘Aku berharap tidak pelupa lagi’. Amiin.


Semester 2 di kelas ini adalah semester terburuk sepanjang hidupku. Dalam hal sekolah, nilai-nilaiku bukan main hancurnya. Sekarang nilaiku bukan lagi terjun bebas seperti saat kelas X semester 2 dulu, melainkan sudah jatuh ke dalam sumur tak berdasar dan tak tahu kapan akan mencapai nol. Sungguh ironi. Cita-citaku menjadi seorang apoteker seakan kandas di tengah laut karena nilaiku hancur di mapel fisika dan pas-pasan di mapel kimia dan biologi. Nyaliku semakin ciut. Dan aku jadi lebih sering merenung….

Note FB Tua: DI BALIK KESUKSESAN SANG “PENYIHIR WANITA”

“Penyihir Wanita” modern mungkin adalah salah satu julukan yang tepat untuk disandang oleh wanita kelahiran  31 Juli 1965 ini. Joanne Kathleen Rowling atau lebih dikenal sebagai J.K. Rowling adalah seorang novelis yang terkenal dengan karya panjangnya, Harry Potter yang telah berhasil menyihir jutaan pasang mata para pembacanya melalui 7 buku sekuel Harry Potter itu. Dia dilahirkan di Chipping Sodburry, sebuah kota kecil di dekat Bristol, Inggris. Sebelumnya ia adalah seorang single parent (orang tua tunggal) yang tinggal di Edinburgh, Skotlandia, setelah bercerai dengan suaminya yang berprofesi sebagai wartawan.

Rowling menjadi sorotan kesusasteraan internasional pada tahun 1999 saat tiga seri pertama novel remaja Harry Potter mengambil alih tiga tempat teratas dalam daftar New York Times best-seller setelah memperoleh kemenangan yang sama di Britania Raya. Kekayaan Rowling semakin bertambah saat seri ke-4, Harry Potter dan Piala Api diterbitkan pada bulan Juli tahun 2000. Seri ini menjadi buku paling laris penjualannya dalam sejarah. 

Saat ini, terhitung sudah tujuh novel Harry Potter. Jo menjadi sangat beruntung, setelah keseluruhan edisi bukunya diproduksi dalam bentuk layar lebar. Dan keseluruhannya merengkuh kesuksesan yang luar biasa. Ia juga sudah menulis buku baru berjudul “The Tales of Beedle the Bard”.



Bagaimana Riwayat Hidup dan Periwtiwa yang dialami si Rowling?
“Jo”, begitulah nama panggilan akrabnya, adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ia mempunyai seorang adik perempuan bernama Di, yang lahir sekitar dua tahun setelah ia. Mereka berdua bagai sahabat karib dan selalu bermain bersama di sela-sela kesibukan orangtua mereka.

Kedua orangtua Jo adalah orang Inggris. Mereka gemar membaca buku dan rumah mereka di Cheptow selalu penuh buku. Tak khayal kalau Jo sangat suka membaca dan mengarang. Dia sangat ingin menjadi pengarang sejak dia mengetahui apa itu pengarang dan mengarang. 

Jo kecil sangat suka berkhayal dan bercerita. Di, adiknya, adalah pendengar setianya. Mereka sering bermain drama bersama dengan Jo sebagai pengatur jalan cerita. Jo selalu menceritakan apa pun cerita dalam imajinasinya, bahkan kadang-kadang dia sampai menduduki Di agar dia tidak pergi dan mau mendengarkan cerita-cerita khayalannya.

Kegemaran menulis Jo semakin menjadi, terutama saat ia berusia 6 tahun. Pada usia itu, dia telah berhasil menulis buku anak-anak berjudul “Rabbit” yang menceritakan tentang seekor kelinci kecil yang bernama Rabbit. Selain mengarang Jo juga memiliki kegemaran tanpa malu-malu menunjukan karyanya kepada teman-teman dan orangtuanya. Kebiasaan ini terus dipelihara hingga ia dewasa.

Jo ternyata cukup sering mengalami pindah rumah selama kecil. Pada usia 4 tahun, ia dan keluarganya pindah dari Bungalow ke Winterbourne yang terletak di luar Bristol dan tinggal di rumah berlantai lebih dari satu. Di sanalah ia bertemu dengan kakak adik dari keluarga Potter, tetangga barunya di sana. Jo sangat menyukai nama Potter itu, meski anak laki-laki yang mempunyai nama itu sangat nakal kepadanya. Itulah sebabnya dia menamai tokoh penyihir cilik dalam novelnya “Harry Potter”.

Ketika menginjak usia 9 tahun, lagi-lagi orangtuanya mengajaknya pindah rumah ke Tutshill, sebuah desa kecil di luar Cheptown.  Kepindahannya itu hanya beberapa lama sebelum kematian orang tua asuh—pengasuh—nya yang bernama Kathleen yang sangat membuatnya terpukul. Dulu saat ia membutuhkan nama ekstra untuk inisial nama penanya, ia mengambilnya dari nama pengasuhnya itu sebgai nama tengahnya. Pada saat itu, pengarang wanita kurang begitu diminati dibanding pengarang pria.

Saat SMP, ia bertemu dengan Sean Harris untuk pertama kali. Sean mempunyai sebuah mobil Anglia Ford yang selalu ia gunakan ke sekolah. Sejak pertemuannya dengan Sean lah, terlintas ide tentang cerita “Harry Potter and the Chamber of Secret”, sekuel kedua Harry Potter. Memori yang paling Jo ingat saat remaja adalah ketika dia bercerita kepada orang lain untuk pertama kali tentang keinginan besarnya menjadi sorang penulis. Orang itu  adalah Sean. 

Hal terburuk yang terjadi saat ia remaja adalah saat ia mendengar bahwa ibunya divonis penyakit pada pusat sistem syaraf yang tak tersembuhkan. Dia sangat terpukul meskipun saat itu ia belum tahu apa arti penyakit itu. Ibunya meninggal pada tanggal 30 Desember 1990.

Setelah lulus kuliah, dia memutuskan untuk pergi ke London dan bekerja di sana. Kontrak kerja terpanjangnya adalah dengan Amnesty International, yang memiliki semboyan “melawan segala jenis pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di seluruh dunia". Namun, di tahun 1990 dia memutuskan untuk pindah ke Manchaster, bersama kekasih barunya.

Di tahun yang sama, ketika ia naik kereta api dari Manchaster untuk pulang ke London, keretanya mogok selama 4 jam. Jo lalu memandangi sapi-sapi desa yang sedang merumput dari luar jendela yang memberinya inspirasi brilian. Sesampai di stasiun King’s Cross sosok penyihir cilik bertubuh kurus kering, berambut hitam dan berkacamata bundar tergambar jelas di benaknya dan dia mulai bermain-main imajinasi mengenai penyihir itu yang akhirnya diberi nama Harry Potter.

Meski ia sudah mulai menulis sejak umur 6 tahun, tapi dia tidak pernah merasa sesenang saat memperoleh ide tentang Harry Potter ini. Yang menjadi permasalahan, dia terllu miskin dan tak punya pulpen yang pas atau berfungsi baik. Nemun, dia terlalu malu untuk bilang ke orang lain mengenai ini. Hingga ia memutuskan untuk menyimpan ide-ide briliannya dalam otaknya saja. 

Sembilan bulan kemudian dia pindah ke Portugal dan memperoleh pekerjaan untuk mengajar bahasa Inggris di suatu Institut Bahasa. Jo juga tak lupa membawa serta manuskrip cerita yang ditulisnya sejak di Manchaster dan berharap dapat menyelesaikannya saat dia di sana. Jo mangajar siang dan malam, sehingga semakin jarang waktunya untuk meneruskan ceritanya. Di sana Jo bertemu dengan wartawan Portugis dan menikah. Namun, akhirnya bercerai karena suaminya tak pernah bekerja. Hal terindah yang ia dapat darinya adalah Jessica, anak perempun mereka yang lahir tahun 1993. Jo berpindah ke Edinburgh bersama-sama dengan anaknya tinggal berdekatan dengan rumah adiknya, Di, pada tahun 1995.

Akan tetapi, Jo seperti tak henti didera masalah. Keadaan yang miskin, yang bahkan membuat ia masuk dalam kategori pihak yang berhak memperoleh santunan orang miskin dari pemerintah Inggris, itu masih ia alami ketika Rowling menulis seri Harry Potter yang pertama. Kondisi yang serba sulit itu justru semakin memacu dirinya untuk segera menulis dan menuntaskan kisah penyihir cilik ini. Tahun 1995, dengan susah payah, karena tak memiliki uang untuk memfotocopy naskahnya, Rowling terpaksa menyalin naskahnya itu dengan mengetik ulang menggunakan sebuah mesin ketik manual.

Naskah yang akhirnya selesai dengan perjuangan susah payah itu tidak lantas langsung diterima dan meledak di pasaran. Berbagai penolakan dari pihak penerbit harus ia alami terlebih dahulu. Diantaranya, adalah karena semula ia mengirim naskah dengan memakai nama aslinya, Joanne Rowling. Pandangan meremehkan penulis wanita yang masih kuat membelenggu para penerbit dan kalangan perbukuan menyebabkan ia menyiasati dengan menyamarkan namanya menjadi JK Rowling. Memakai dua huruf konsonan dengan harapan ia akan sama sukses dengan penulis cerita anak favoritnya CS Lewis.

Akhirnya keberhasilan pun tiba. Harry Potter luar biasa meledak dipasaran. Semua itu tentu saja adalah hasil dari sikap pantang menyerah dan kerja keras yang luar biasa. tak ada kesuksesan yang dibayar dengan harga murah.



Di mana dan Bagaimana Jo Belajar Mengarang?

Jo menempuh jenjang pendidikan yang berwarna-warni. Hal itu dikarenakan keseringannya berpindah-pindah rumah semasa kecil. Di tingkat Sekolah Dasar saja, dia pernah menjajal 2 sekolah. Sekolah pertamanya di Witerbourne. Dia sangat senang sekolah di sana, dia belajar membuat puisi, menggambar dan yang paling disukainya adalah saat ada tugas mengarang cerita. Kesemuanya itulah yang semakin sempurna membutnya jatuh cinta dengan dunia kesusastraan.

Berpindah dari Winterbourne, dia melanjutkan sekolah di Tutshill. Di sana ia mempunyai kenangan tentang bangku tempat duduknya di san pertama kali. Bangku itu mempunyai lubang dari jangka yang sengaja dibuat oleh kakak kelasnya. Jo sangat suka meneruskan pekerjaan kakak kelasnya, yaitu dengan membuat lubang itu bertambah besar hingga sebesar jempol. Kenangannya saat kecil itulah yang ia tuangkan dalam buku-bukunya, seperti suasana sekolah Harry Potter di Hogwarts of Witchcraft and Wizardery.

Setelah lulus SMA pada tahun 1983, Jo melanjutkan Kuliah di Universitas Exeter yang terletak di pantai selatan Inggris. Dia mengambil jurusan Bahasa Perancis. Kemudian disadarinya sebagai suatu kesalahan besar dalam pemilihan jurusan. Sebab ia dan keluarganya adalah benar-benar pecinta Inggris. Namun, ada sisi positif untuk Jo. Berkat ia kuliah jurusan itu, ia jadi berkesempatan untuk tinggal di Paris, Perancis selama satu tahun untuk kursus bahasa perancis. Keuntungan lainnya adalah menambah pengetahuannya menganai Perancis yang kemudian sangat berharga dan tertulis menghiasi buku-bukunya.
 
Jo menulis sekitar 10 menit sampai 10 jam dalam sehari. Hal itu tergantung suasana hati dan situasi serta kondisinya saat menulis. Dia sangat suka menulis pada malam hari, di bawah terangnya lampu dan seorang diri dalam kamar pribadinya. Ia selalu suka menulis, menulis dan menulis, sejak sesaat setelah ia mengetahui apa arti dari penulis atau pengarang pada saat ia kecil dulu.



Apa Saja Karya-karyanya dan Penghargaan yang Diporelehnya?
Keberhasilan yang luar biasa diraihnya sejak novelnya laris manis bahkan sampai diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa di seluruh dunia. Harry Potter and the Sorcerer’s Stone (Harry Potter dan Batu Bertuah) adalah judul buku pertamanya yang diterbitkan oleh “Bloomsburry” pada tahun 1997 (di Indonesia diterbitkan oleh PT Gramedia Jakarta pada tahun 2000). Sedangkan novel-novel yang lain beserta penghargaanya, yaitu:
Rabbit Stories, yang ditulisnya saat berumur 6 tahun

  1. Sebuah novel tentang tujuh berlian kutukan dan para pemiliknya, yang belum sempat ia beri judul, ditulisnya saat berumur 11 tahun.
  2. Harry Potter and the Chamber of Secret (Harry Potter dan Kamar Rahasia). Penghargaan yang diperoleh:
    - Nestle Smarties Book Price Gold Medal 9-11 yrs
    - FCBG Children’s Book Award (overall winner)
    - Young Telegraph Paperback of the Year
    - British Book Award’s (Nibbles) Children’s Book of the Year
    - Sheffield Fiction Award (shortlisted), dan berbagai penghargaan lain.
  3. Harry Potter and the Prisoner of Azkaban (Harry Potter dan Tawanan Azkaban), dengan penghargaan:
    - Guardian Fiction Prise (shortlisted)
    - Whitbread Children’s Book Award (shorlisted), dan berbagai penghargaan lain serupa dengan yang didapat buku sebelumnya.
    - Harry Potter and the Goblet of Fire (Harry Potter dan Piala Api)
    - Nestle Smarties Book Price Gold Medal 9-11 yrs
    - Whitbread Children’s Book Award (shorlisted), dan berbagai penghargaan lain serupa dengan yang didapat buku sebelumnya.
  4. Harry Potter and the Order of the Phoenix (Harry Potter dan Orde Phoenix). Buku ini hanya memperoleh satu penghargaan yaitu: WH Smith Children’s Book of the yuear winner.
  5. Harry Potter and the Half Blood Prince (Harry Potter dan Pangeran Berdarah Campuran). Penghargaan yand didapat antara lain:
    - British Book Award’s (Nibbles) Children’s Book 2005
    - Carnegie Medal 2005 (longlisted)
    - Royal Mail Scottish Children’s Book Awards 8-12 category winner
  6. Harry Potter and the The Deathly Hallows (Harry Potter dan Relikuli Kamatian)
  7. The Tales of Beedle the Bard, buku terbarunya yang baru saja terbit 2008.


Bagaimana Kehidupan Rowling saat ini?
Pada penghujung Desember 2001, Rowling menikah dengan Dr. Neil Murray di rumah mereka di Skotlandia. Anak kedua dan anak lelaki pertama mereka, David Gordon Rowling Murray, dilahirkan pada 24 Maret 2003, di Royal Infirmary, Edinburgh. Untuk menjaga anaknya itu, Jo mengatakan dia akan jarang muncul di depan orang banyak dan menandatangani buku kelima yang pada saat itu baru dilancarkan. Tak berapa lama selepas mengumumkan yang buku keenam seri Harry Potter telah sempurna dikarang, Rowling melahirkan anak perempuan pada 23 Januari 2005 dan dinamai Mackenzie Jean Rowling Murray.

Setelah merauk pendapatan yang sangat tak terduga seperti saat ini, Jo mempunyai keinginan untuk mempunyai sebuah rumah yang damai di selatan Skotlandia yang dibeli dengan pendapatannya saat ini. Dia berharap rumah itu akan selalu tenteram dan penuh canda dari keluarga dan teman-temannya.

Alih-alih dari itu, Jo juga semakin getul untuk menulis dan berharap menerbitkan karya-karya lain dengan genre yang berbada dengan karya-karya sebelumnya. 



Alasan Aku Memilih J.K. Rowling sebagai Tokoh yang Kutulis Biografinya
Aku pertama kali membaca buku Harry Potter saat duduk di bangku SMP. Sejak saat itu aku semakin jatuh cinta pada kisah Harry Potter yang imajinatif. Gaya bahasa yang dikenakan dalam kalimat-kalimatnya sangat tinggi untuk seukurun anak SMP sepertiku saat itu. Namun, oh aku sangat suka mambacanya.

Ketertarikan berlebihan pada novel Harry Potter kala itu, membuatku penasaran dengan siapa ”penyihir” sebenarnya di balik pencipta tokoh penyihir cilik ini. Kemudian aku mulai berburu informasi tentang J.K Rowling. Aku sangat mengaguminya sejak aku mulai membaca Harry Potter dan semakin bertambah saat aku mengetahui bagaimana lika-liku kehidupannya sembari menulis karya spektakuler Harry Potter-nya ini.

Jo adalah penulis yang sangat memberi aku inspirasi. Aku mempunyai ambisi untuk menjadi seorang penulis atau pengarang sejak aku membaca karyanya. Hal itu mungkin membuat gaya bahasaku terkesan sedikit mirip dengannya, seperi yang telah diungkapakan teman-temanku saat membaca cerpenku. Namun, sebenarnya aku ingin menjadi diriku sendiri. 

Ketekunan dan sikap tak pernah putus asa Jo juga sangat membuatku  sangat terkesan kepadaya. Hidupnya yang kini mapan, berawal dari kerja keras gigihnya sejak kecil. Ia juga memiliki pengalaman yang tak boleh diremehkan. Pernah menetap  di berbagai negara seperti Inggris, Perancis dan Portugal membuatnya kaya pengetahuan yang belum tentu dimiliki setiap orang. Apalagi pengetahuan itu dia masukkan dalam buku-bukunya yang pastinya akan bermanfaat begi orang lain. Pengetahuanya yang sangat luas itu adalah salah satu penyebab tumbuhnya bibit ketertarikanku kepadanya.




DAFTAR PUSTAKA
  • Rowling, Joanne Kathleen. 2007. Harry Potter and the Deathly Hallows. Jakarta: Gramedia.
  • 2007. J.K. Rowling (Bagian 4), (online), (www.feminaonline.com, diakses Kamis, 29 Januari 2009, pukul 14.30 WIB).
  • 2007. J.K. Rowling, (online), (www.wikipedia.org.id, diakses Kamis, 29 Januari 2009, pukul 14.40 WIB).
  • 2008. ‘Penyihir Wanita’ dibalik suksesnya Harry Potter,(Online), (www.peperonity.blogspot.com, diakses Kamis, 29 Januari 2009, pukul 14.40 WIB).

Note FB Tua: Saya

  • Nama: Anifatun Mu'asyaroh
  • Nama panggilan: Ani
  • TTL: Kebumen, 15 Maret 1992
  • Status: Belum Kawin, Tidak (pernah) Pacaran
  • Minat: Tidur, Tidak pikun
  • Keahlian: Menulis tulisan ngga jelas, hanya bisa menulis paragraf deskripsi dan nyaris selalu tidak bisa menulis paragraf eksposisi, narasi, argumentasi apalagi persuasi.
  • Pen-name: Auriga Amarilis
  • Hobi: Tidur, Ngetik hal apapun yang tidak penting
  • Pekerjaan: Mahasiswa FKM UI 2010 semester 2, karena masih mahasiswa, maka saya tidak punya kerjaan selain tidur, kuliah, berpura-pura belajar di dalam kamar, lalu mencanangkan SKS saat akan ujian.
  • Cita-cita: Bisa merampungkan setidaknya satu saja cerpen! hahaha,,, parah
  • Makanan favorit: Mie Ayam, Ayam bakar, dan apa pun yang tidak terlalu amis
  • Minuman favorit: Apa pun yang bisa diminum, halal, dimasak
  • Warna favorit: ungu, hitam, putih, coklat, cream, ungu, biru, ungu
  • Kebiasaan favorit: Tidur
  • Pendidikan: RA Perwanida Karangsari, SD Negeri 1 Karangsari, SMP NEgeri 1 Kebumen, SMA Negeri 1 Kebumen, Universitas Indonesia lulus Agustus 2014 (amiin, kalau bisa sih Februari 2014, hehe)
  • Buku favorit: ngga ada
  • Film favorit: ngga ada
  • Penulis favorit: JK Rowling, Andrea Hirata, Fandita Tonyka Maharani dan Yuridista Putri Pratiwi, Pipiet Senja, Azzimatinur Siregar, Auriga Amarilis, hahaha...
  • Hal yang paling dibenci: dicuekin, melihat ketidakadilan, diaggap remeh, ditinggalkan, dikritik yanng tidak sesuai kenyataan
  • Hal yang paling disukai: tidak menjadi pusat perhatian, dikenal, tidur
  • Target Hidup (Jangka Pendek)
  • Lulus tepat waktu
  • Berani dan konsisten dalam menulis, setidaknya berani mengirimkan naskah ke penerbit di awal tahun depan
  • No pacaran sampai menikah
  • Khatam Qur'an minimal 2x tahun ini
  • Menulis setidaknya 1 cerpen seminggu
  • Mengurangi jam terbang program SKS
  • Tidur maksimal pukul 12
  • Bangun tidur paling telat pukul 5
  • Konsisten di MB, dan jadi pasukan yang tangguh dan indah pukulannya
  • Kerja di Dinkes Kabupaten Kebumen
  • Bisa membahagiakan orang tua dengan menaikkan haji (amin amin amin)
  • Hemat, nabung sebulan minimal *piiip*
  • Bisa menahan "rasa itu" walau susah
  • Punya publisher sendiri
  • Aaaaa... ini sangat susah untuk bisa konsisten dalam berbagai hal, terutama belajar dan menulis
  • Dateng ke akad nikah-nya teman-teman baik, agak baik, kurang baik dan kuanggap baik walaupun tidak baik padaku, kalau diundang
  • Menamatkan novel pesanannya Syifa tepat waktu!!! (tidak nyaris terlupa, maaf Syifa)
  • Banyak makan sayur
  • Senyum kepada setiap orang walaupun harus dikira orang gila
  • Jangan gampang terpancing emosi
  • Cum laude di semester 4 dan bertahan hingga tamat
  • Tidak caper
  • Lebih berani bicara
  • Tidak mudah down
  • Berani megambil keputusan
  • Semangaaaaaaaaaaaaaaat...
  • Tidak ngeksis, tapi kenal semua warga Perhimak
  • Dapat terbebas dari dengki
  • Puasa Senin-Kamis minimal 2 hari dalam sebulan untuk tahun ini, 3 untuk tahun depan, 5 untuk lusa tahun depan, dan terbiasa hingga selanjutnya... (oh, sepertinyaaa... ini...)
  • menyusul.....
 
Depok, 20 Februari 2011
 
 
saya

Saturday, 15 November 2014

Nama

Alinda, antar-lintas-daerah.

Aldilah, alhamdulillah dia lahir.

Badura, bahagia dunia akhirat.

Dude, dua Desember.

Muktia, Muktisari.

Rianti, ....ri dan ...ti.

Riansyah, ...ri dan ...sah.

Nama-nama di atas merupakan beberapa nama orang yang terbentuk dari hasil menyingkat frasa, doa, atau nama-nama kedua orang tuanya. Saya pikir, ini ide yang kreatif. Mungkin, jika suatu saat nanti saya memiliki seorang anak, saya akan mencarikan ia nama dengan metode ini.

Ngomong-ngomong soal nama, sebenarnya saya mempunyai beberapa nama, yang saya temukan dari hasil comot sana, comot sini. Mungkin, beberapa tahun lagi, saya akan menggunakannya untuk menamai beberapa bayi atau justru melupakannya karena mereka tidak memiliki prioritas tinggi untuk saya ingat.

Auri. Bukan Auriga, bukan. Meskipun saya akui, saya memang memungutnya dari kata itu. Auri berarti udara, juga merupakan bentuk jamak dari emas. Di bidang militer AURI sendiri merupakan kependekkan dari Angkatan Udara Republik Indonesia. Ini juga pemlesetan dari kata aurora. Nama aurora sepertinya terlalu bagus dan sulit diucapkan karena memiliki dua huruf R di dalamnya. Jadi, mungkin akan lebih ideal jika saya memendekkannya. Tidak jelas mau dan maksudnya, memang.

Aria/Ariana. Saya memang sangat suka nama yang berawalan huruf A. Orang tua saya menamai saya dengan huruf awal A dan ini membuat saya selalu memiliki nomor absen di awal-awal. Saya ingin anak saya juga merasakan apa yang rasakan, sebagai pemilik nomor absen awal. Kata Aria atau Ariana saya ambil dari Arya. Semoga orang yang menyandang nama ini memiliki tekad dan semangat tinggi, juga kreatif dan pandai mempelajari dan menemukan hal-hal baru.

Arif/Arifia. Di kampung halaman, saya memiliki seorang tetangga yang berumur lebih tua bernama Arif. Ia kawan main saya, ketika masih kecil. Ia memiliki tingkah yang lucu, sifat yang terpuji, dan track record pendidikan yang baik. Saya percaya bahwa sebuah nama dapat mempengaruhi watak pemilik namanya, setelah saya mengamati perilaku si mas Arif ini. Selain itu, saya masih suka huruf A.

Lily. Ini adalah nama bunga. Bunga Lily dapat mekar di musim apa pun, di tempat seperti apa pun. Meski demikian, mereka bukan bunga yang pasaran seperti pacar air. Mereka kokoh, tegar, dan besar. Ada keanggunan juga kecantikan yang melekat pada nama dan penampakannya. Lily merupakan saudara Amarilis, nama kesukaan saya. Karena Amarilis terlalu aneh jika digunakan sebagai nama orang, sepertinya Lily bukanlah alternatif buruk untuk menggantikannya. Yah, lain cerita jika anak saya kembar. Mungkin, saya akan menamai mereka Lily dan Amari, meskipun saya tidak tahu akan memanggil apa si anak yang bernasib mendapatkan nama Amari.

Paramitria. Ini diambil dari istilah dalam statistik, parametrik. Parametrik sendiri berasal dari kata parameter. Yah, semoga orang yang manyandang nama tersebut dapat menjadi parameter yang bagus bagi apa pun di sekitarnya atau yang membutuhkan. Iya, ini juga tidak jelas. Saya hanya suka dengan kata ini, terlihat lucu. Selera saya memag agak aneh.

Raditya. Semua orang (mungkin) tahu bahwa raditya artinya adalah matahari. Sejak SD saya sangat suka dengan nama ini, bahkan sering kali menuliskannya tanpa sadar di buku corat-coret sambil mendengarkan penjelasan guru atau dosen. Namun, saya tidak ingat asal muasal saya mengenal namanya dan apa alasan yang membuat saya menyukainya. Nama Raditya, menurut saya, terlihat sangat indah dan megah. Mungkin jika seseorang memiliki nama hanya Raditya saja, tanpa embel-embel lain, sepertinya ini sudah sangat cukup baginya. Semoga orang yang memiliki nama Raditya dapat menjadi sosok yang bermanfaat dan menjadi cahaya yang menginspirasi bagi makhluk hidup di sekelilingnya.

Friday, 14 November 2014

THE WORLD OF MATRIX

Ini adalah cerita fiksi tentang teman-teman sekelas terakhir saya ketika SMA, kelas XII IPA 1. Saya meng-copy-paste-nya tanpa pengubahan dari dokumen aslinya. Cerita ini juga ditampilkan di dalam album kenangan kelas. Pemilihan tema didasarkan pada hal yang sedang panas-panasnya terjadi ketika kelas XII saat itu. 

Sebetulnya, cerita ini tidak sengaja dipilih. Sebagian besar teman saya tidak terlalu memikirkan perihal album kenangan ini. Mereka terlalu sibuk melakukan persiapan menghadapi Ujian Nasional (UN) dan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan materi album kenangan. Ndilalah, beberapa saat sebelum UN, saya sempat menulis sebuah catatan FB, yang isinya adalah tentang lika-liku cinta fiksi dari seluruh anak sekelas saya. Karena sudah dikejar-kejar dateline pemotretan dan ancaman dari si fotografer, yaitu tidak akan melayani pemotretan jika tidak sesuai dateline tersebut, akhirnya, tanpa pikir panjang dipilihlah catatan FB tersebut sebagai materi cerita dan pedoman menentukan kostum serta lattar foto.

Berdasarkan cerita, yang ternyata ditulis dengan topik dan alur yang sangat tidak jelas, diputuskan sebuah tempat yang diyakini cocok untuk menjadi tempat pemotretan. Braja. Letaknya, jika tidak salah di Petanahan, tidak jauh dari rumah Hari, salah satu anak XII IPA 1 juga. Kostum yang dipilih adalah kebaya dan beberapa atribut yang disesuaikan dengan penokohan setiap tokoh. Karena saya yang membuat cerita itu, mereka mempercayai saya untuk mengatur urusan: kostum, pembagian peran, dan penentuan pose ketika pemotretan. Saya bak sutradara dadakan saat itu.

Awalnya, hampir seluruh anak keberatan dengan ide kostum kebaya yang saya sampaikan. Namun, akhirnya mereka menyetujuinya. Dalam satu hari, para anak perempuan telah berhasil memperoleh kostum sesuai dengan yang saya jelaskan kepada mereka, meskipun tidak semuanya. Saya, sebagai dalang dari plot tidak jelas ini, pun bertanggung jawab untuk menyediakan tiga setel kebaya bagi mereka yang belum memperoleh kostum. 

Kami menggunakan sebuah minibus atau colt untuk mencapai Braja, lokasi pemotretan. Kami berganti kostum di tempat. Ketika mereka berganti kostum, saya berputar-putar di lokasi, mencari spot yang tepat untuk dijadikan lokasi setiap scene sesuai cerita ini. 

Hingga sekarang, saya kurang tahu apa sebetulnya Braja ini. Sepertinya, Braja merupakan bekas kompleks gedung kelurahan kecil pada zaman dahulu. Ada sebuah rumah tua mirip joglo dengan teras yang luas di depannya. Sepertinya ini adalah bangunan utamanya. Di tengah teras, ada sebuah meja kuno panjang yang sepertinya melekat dengan lantai karena dulu saya tidak kuat untuk menggesarnya. Selain itu, di teras tersebut, ada sebuah kursi panjang berlengan yang mengahadap ke halaman pekarangan di depannya. Di halaman pekarangan, terdapat sebuah gardu terbuka yang di samping kanan kirinya ditumbuhi bunga-bungaan, jika tidak salah bunga sepatu. Di pekarangan samping kanan, berdiri reruntuhan bekas bangunan yang menyisakan sebuah dinding dengan dua lubang pintu yang berjeruji bambu. Di samping kiri bangunan utama, ada sebuah sumur tua lengkap dengan timba dan sebuah padasan (tempat wudhu) dan bak cuci kaki di sekitarnya. Sumur ini dibingkai oleh dinding lembap berlumut setinggi beberapa sentimeter di atas kepala saya, mungkin sekitar 160an sentimeter. Di beberapa titik lain, ada perkebunan bambu yang tidak terlalu rimbun, tapi terlihat rindang. Saya sangat menyukai lokasi tersebut, sangat cocok dengan cerita ini.

Sayangnya, pada saat pemotretan tiga teman kami tidak ikut. Mereka adalah Fazri, Syifa, dan Putri. Syifa dan Putri saat itu masih di Amerika, masih mengikuti program AFS. Kalau Fazri, sepertinya dia memang punya alasannya sendiri untu tidak ikut. 

Pemotretan pun berlangsung damai dan lancar, sesuai dengan alur cerita yang saya buat, seperti di bawah ini. 


Auriga Amarilis Ltd. dengan was-was dan harap-harap cemas, mempersembahkan:
THE WORLD OF MATRIX
Starring:
* Puput Y Giza*
* Barkah Y Titi*
*Mie Shil
Y Yanto*
*Miftah Hood YDakresnia*
*Aris-san Gozaimasu
Y Ria*
*Ari-Sonde
Y à (.....putri seberang)*
*Jendra Sujendra Y Widya Chichuouwouwo*
*ADeRa Y FajaridamY Defita*
*Sanda Y Asep Y Septi Y Alfi*
*Harry Muter YAdeel Khan *
*Mr. Ijod Y Vesta*
*Mr. Yugo Y Alinda*
*Defita Y Sukono-san*
*Timo-Cheon Y Rif Khan*
*Duo Spy (Spy Wien Y Spy LeLee)*
* DeokNOP Y Wah2*
* Ardian Y Annis*
* Peti Y Amelia *
*Ani Wagujayanti Y Tori Utami*

P.s. Nama-nama tokoh dalam cerita ini memang sengaja disamarkan dan dibuat alay untuk membuat pembaca dan tokoh-tokoh itu sendiri berpikir ketika membacanya. Terima kasih.

Prolog dulu, euy...... 
Suatu hari Ratu "Bunda" Sulastri, sang penguasa dunia Asal-ana, murka kepada dewi Peti dan dewia (iki makhluk ora jelas dewi apa dewa) AmeliaMereka berdua --yang sebenarnya terlibat cinta terlarang-- telah datang ke tempat terlarang --hutan terlarang-- dan melakukan perbuatan terlarang yang paling dilarang, yaitu me-larang-kan cinta di bumi. Mahalnya harga cinta, membuat bumi porak-poranda (pejabat padha kerah, rakyat cilik padha sulaya, bebek padha poligami, dene sinetron cinta-cintaan padha gulung klasa. Terektek..tek..tek). Parahnya, belum ada penangkal untuk kutukan ini, bahkan sang ratu pun angkat batu.

Atas saran Adeel Khan --calon penerus Bunda Ratu, karena telah ditunangkan dengan Pangeran Harry Muter-- Peti dan Amelia pun dihukum dan dicemplungna meng Lubang Semut.

 *****
Beralikkhhh ke bumi... (masuk dongeng!) 

Di sebuah negeri nan panas, berrakyat kompleks (dari yang datar hingga mlengkung-mlengkung ora pacul) dan beratmosfer geseng-geseng memabukkan (khas wong arep ujian), bernama MATHRIKHHS, hiduplah 39 juta (kali 10 pangkat min 6) rakyat yang hidup tenteram, cinta alam dan kasih sayang sesama manusia. Tersebutlah (siap-siap, hikayate labuh) Kaisar Benzena Alam Barkah berdamping Ratu MenCheng Larastiti (cuit cuit, ichi ichi, plok plok plok, cie cie cie, priiiiiiit!) yang mempunyai seorang anak bernama Pangeran Puput Prek-prekkan (bocahe ora iso meneng, asli!!!).




Suatu hari kekacauan terjadi saat pelajaran kimia kerajaan. Raja Barkah dan Ratu Titi yang duduk berdampingan di bangku nomor 3, tiba-tiba berpisah dan saling menjauh. Ratu mendekati dayang Defita Sejuta Cerita, sedangkan Raja memilih duduk dengan hulubalang Ari-Sonde yang tengah melamunkan kekasihnya di benua seberang yang penuh “Ice”. Hal itu membuat bingung perdana menteri single seumur hidup yang memang selalu bingung, Ani Wagujayanti.




Usut punyane usut, akhirnya Ani pun tahu bahwa dewi Peti dan Amelialah biang kerok-nya (pantes pijitanne mereka enak, euy) dan menyuruh Panglima Fajaridam, Jenderal Timo-Cheon dan Jenderal Jendra Sujendra untuk mencari penangkal kutukan.

Namun, kutukan itu sudah menyebar. Rakyat MATHRIKHHS, seperti duo dangkal (Yanto & Aris-san), duo peng-"rajin" (Sukono-san & Miftah Hood), trio perhatian (Tori Utami, Wah2 & deokNOP), dan duo vocal grup (Alfi & Srandal, eh Sanda) terlanjur malas mencari cinta yang mahal dan lebih menggilai kitab-kitab pusaka (menu UAN, gitu).



Seribu satu hari berlalu (meski soal 1001-ne durung kegarap kabeh), Peti dan Amelia lolos dari lubang semut jagaan Dakresnia yang sedang frustasi, karena tak juga menemukan cintanya, Miftah Hood, yang hilang tiba-tiba saat "berjalan di tepi pantai".  (belum tau aja dia kalo Miftah sebenernya lagi nyariin kekasih lamanya, Rif Khan).



Saat tahu bahwa duo dewi jahat sudah bebas, Widya si aktivis pembuat bom, nenek sihir Alinda, dan Ratu "lirikan ora nguati" Lie_Sol, sangat gembira lalu mengadakan upacara penyambutan bagi duo dewi itu. Mereka menunjuk Tori Utami sebagai pengisi pengajian serta Mr. Ijod dan Mr. Yugo sebagai pengawal pribadi Ratu Lie_Sol dan nenek sihir Alinda. Jodi dan Martyn malah diam-diam menaruh perhatian lebih pada majikan mereka. ( cuit, cuit, wek, wek, kukuruyuk).

Agen Spy LeLee dan Spy Wien, duo mata-mata cerdik nan kalemik lagi serasi yang mengetahui hal itu, langsung lapor ke jenderal hitam manis kecap asin, Asep, yang olehnya lalu dilanjutkan ke Raja. Karena Raja dan Ratu masih saling diam, Asep malah dikacangin. Akhirnya, dayang ADeRa dan dayang Rif Khan lah yang mewakilkan. Kedekatan mereka berdua dengan Jenderal Asep bikin cemburu Septi sehingga, frekuensi latahnya (Septi: EH MONYET, MONYET, MONYET!! EH MONYET!!!) tak terkendali.

-------oo0oo-------

Di sela kekacauan dunia tanpa cinta, Yanto si master pisika malah melihat ketulusan cinta seseorang yang justru tak pernah mengejar-ngejarnya (cara-carane Yanto akeh ingkang ngefans, terektek..tek..tek..). Dia lah Mie Shil yang anggun (padahal jane ya ora pacul kelakuane, haha). Karena Yanto sudah punya tambatan hati, para fans Yanto yang kebanyakan anak cewek pun kecewa. Rombongan yang dipelopori Alfi dan Sanda ini beralih mengejar-ngejar Aris-san, diikuti para fans lain yaitu Wah2, DeokNOP, dan Ria. Aris-san pun menggila, lalu menyuruh Baron Ardian mengusir mereka. Hal itu malah membuat Baron yang juga pinter pisika, ikut digilai mantan fans Yanto. Istri Baron, Annis gething jealous dan menghujaninya dengan cubitan superperih yang membuat Ria, adik tiri Annis, ngeri saat melihat KDRT tersebut.

Dengan mempelajari kasus jatuh cintanya Yanto Y Mie Shil, seorang filsuf wanita --yang juga mantan fans Yanto-- berkesimpulan bahwa kutukan ini dapat dipatahkan hanya oleh cinta yang tulus, lus, lus. (Tuluskah hatimu mencintai aku... tirukan gaya Ian Kasela). Filsuf berjasa itu adalah Giza yang tinggal di sebuah "gubug" di pertigaan kolopaking. Panglima Fajaridam, Jenderal Timo-Cheon, dan Jenderal Jendra Sujendra lah yang menemukannya yang langsung diusungnya ke istana.

-------oo0oo-------

Di Istana MATHRIKHHS.....


Wanita enerjik ini betul-betul bikin Pangeran Puput mabuk judi, eh mabuk kepayang and fall in love at the firstsight. Itu semua akibat jurus cinta tulus dari Giza. (Waw teori Giza terbukti, ichi ichi ichi, cuit cuit, cie cie, ngok ngok). Bahkan, Raja Barkah dan Ratu Titi rukun kembali.



Tiba-tiba, Ratu mendapat ide yang menurutnya dahsyat, bombastik, fantastik, dan wagutik untuk mempersatukan kembali ke-39 (kali 10 pangkat min 6) rakyatnya dalam damai dan cinta. Segera, ia panggil kawan lamanya saat di SMA, Dakresnia dan Mie Shil, dan mereka tergabung dalam “Trio Ora Pacul spesialis Kol Jurusan Ngetan” (author ngarang). Aksi ora pacul mereka adalah menjodohkan satu orang dengan orang lain semuanya tanpa kecuali, meski harus ada pilogami di antaranya (SADIS! Maklum, jumlah putranya kan minus). Usaha itu mandan berdampak baik, meski lebih menimbulkan banyak ke-amburadul-an. Istana pun jadi kacau.



Di antara mereka ada Sukono-san putra jepang (ding, putra Sruweng!) yang mukanya memerah setiap bertemu dayang Defita Seribu Cerita dan hal itu sukses membuat geram Panglima Fajaridam (secara tuh dayang kan kekasih gelapnya, hehe). Lain halnya dengan Jenderal Asep yang justru berhasil meyakinkan Septi bahwa ia tak pernah selingkuh dengan mantan istri-istrinya, Sanda, Alfi atau beruang (????). Sedangkan Aris-san dan Ria entah kenapa mereka jadi semakin dekat gitu (padahal dipaksa author). Ada juga, Rif Khan dan Timo-Cheon yang masih sama-sama malu-malu kucing (btw, tuh kucing meresahkan penghuni ruang MATRIX kapan mau minggatnya ya???). Di depan meja pengadilan (baca: meja guru), DeokNop dan Wah2 tak pernah lelah memperdebatkan soal pisika nomor 13 sejak jaman Jepang (Aneh!! mereka tak mempan dijodohkan). Baron dan Annis pun tak mau kalah, bahkan mereka dinobatkan sebagai pasangan paling harmonis abad ini (yang nobatin tuh kucing penunggu kelas yang tadi). Sedangkan Spy Lelee dan Spy Wien (yang kata author mandan mirip) akhirnya dapat pensiun dari pekerjaan memata-matai Widya, nenek Sihir Alinda dan Ratu Lie_Sol (btw, gimana nasib mereka betiga?) dan memulai hidup baru masing-masing.


Di balik kebahagiaan rakyat MATHRIKHHS, berdiri melongolah Widya, nenek Sihir Alinda dan Ratu Lie_Sol di depan gerbang istana MATHRIKHHS. Dasar sial! Cita-cita mereka  untuk menyerang kerajaan itu di saat lemah, kandas di tengah jalan. Apalagi si duo dewi (Peti dan Amelia) menolak membantu mereka karena ingin berbulan madu ke Karangpoh (?????). Meranalah itu tiga anak orang. Namun, mereka terhibur (kecuali Widya karena dia keburu bunuh diri dengan pdkt pada buku fisika, kimia, biologi dan matik. Insyaf maksude!!!) karena Mr. Ijod dan Mr. Yugo bersedia mendampingi mereka hingga akhir zaman (ceileeee.... si antagonis pun akhrnya  jatuh cinta).

Mengingat usia yang sudah uzur, Raja turun tahta dan digantikan oleh Pangeran Puput Prek-prekkan yang berpermaisurikan Giza. Raja dan Ratu hidup bahagia selamanya, ditemani dayang ADeRa yang lemah lembut, perdana menteri Ani Wagujayanti yang selalu bingung, dan Mamah Tori Utami yang alim-iah (penggantinya Mamah Dedeh, hehe). Pangeran Puput, eh maksudnya Raja baru Puput yang masih muda (dipanggilnya aja dede puput! Tapi boong!) dan katanya modern akhirnya mengubah nama kerajaan dari MATHRIKHHS menjadi MATRIX, biar lebih modern. Tak ketinggalan embel-embel on FIRE di belakangnya sebagai perlambang kerajaan yang beratmosfer panas dan geseng.

*Rampungi lah!!! Wis dawa!!!*

-------oo0oo-------

Di pesawat Garuda boeing 777....

“Syif! Syif! Bangun!! Eh, kamu udah merem selama 17 jam lho, tuh sampai kurusan badannya!(???) Lagian udah mau sampai Indonesia nih!” teriak Putri membangunkan seisi pesawat. Syifa pun bangun dan ngusap-ngusap pipi (kira-kira ada apanya ya, kok diusap-usap?)

“Syif, kok kamu senyam-senyum sih tidure, mimpi apa hayoo? Mimpiin aku ya? (masih aja ngga berubah sifat narsisnya, hehe),” tanya putri lagi.

“Aku mimpiin temen-temen kita di SMANSA. Gila! Kayaknya mereka tambah gendheng gitu gara-gara ditinggal kita. Masa mereka pada saling jodoh-jodohan kayak orang ngga jelas gitu!” jelas Syifa.

“Kok mimpi kita sama?????” teriak Putri lagi mengagetkan pilot dan membuat oleng pesawat selama beberapa saat. Sekarang seluruh penumpang (tidak termasuk pilot dan co-pilot), bersiap menimpuknya dengan bantal.

“JANGAN-JANGAN...............!!!” teriak Putri dan Syifa bersamaan, lalu bantal-bantal pun berterbangan kapada mereka. 


*****

Sesuai dugaan awal saya, sebagian besar teman saya tidak puas dengan hasil foto tersebut. Banyak yang bilang: hasilnya tidak bagus, suasanya terlalu gelap, pembagian orang tidak merata, kostumnya sama dengan kelas lain, editing yang dilakukan oleh pihak pembuat album kenangan tidak bagus, dll. Saya merasa tidak enak, sudah pasti, karena sayalah yang mengatur ini dari awal hingga akhir. Meskipun untuk urusan pemilihan angle dan perfotoan saya tidak bisa berbuat banyak, tapi untuk urusan persiapan dan pembuatan cerita, seharusnya saya dapat lebih maksimal. Saya pun hanya diam atau pura-pura hilang, ketika mereka berkomentar tentang foto-foto itu.

Sebenarnya, mereka tidak betul-betul setidak puas itu. Hanya saja, jika saja hasilnya lebih baik dari apa yang ada di hadapan kami saat itu, ini akan membuat foto kenangan terakhir ketika SMA kami lebih sempurna. Pada akhirnya, satu orang dari mereka menyampaikan ucapan terima kasih kepada saya. Ia sengaja menemui saya yang sedang menyembunyikan diri di depan kelas tetangga dan mengucapkan ini, "Udah, An, nggak usah terlalu dipikirin hasil fotonya. Udah syukur, ada yang mau ngurusin album kenangan ini. Ya kamu tahu lah, kita lagi sibuk sama UN, UM, dan lain-lain, nggak kepikiran malah sama album kenangan ini. Makasih banget loh ya, An. Udah jangan depresi gitu."

Saya sangat terharu. Itu adalah pertama dan terakhir kalinya saya dan ia berbicara hanya berdua. Ia merupakan salah satu orang populer di angkatan saya. Saya sangat senang dihibur olehnya saat itu. Air mata saya hampir tumpah dan tentu saya tahan mati-matian. Setelah mendengar perkataannya, saya pun lebih bersemangat dan tidak terlalu memikirkan kekuranganbagusan foto-foto album kenangan SMA ini.


Setidaknya, kami memiliki foto bersama yang indah... MATRIXERs. Yah, jujur saya merindukan mereka. Namun, saya tidak tahu harus berbuat apa jika bertemu dengan seluruh dari mereka. Hehe.


*****
MATRIX on FIRE

Setelah berpanjang lebar saya bercerita tentang prosesi pembuatan album kenangan, di bagian ini saya akan sedikit sekali bercerita tentang kelas saya beserta anggotanya, yaitu teman-teman sekelas saya. 

Matrix on Fire, itulah nama kelas kami. 

Kami tidak cukup pusing dalam mencari nama untuk kelas baru kami, pada saat baru naik ke kelas XII, kelas XII IPA 1 tepatnya. Sudah menjadi tradisi turun temurun, sejak lima tahun sebelumnya, nama Matrix akan disandangkan pada kelas XII IPA 1, meskipun tahun ajaran berganti, meskipun bentuk bangunan dan aturan sekolah kami, SMAN 1 Kebumen (SMANSA), juga ikut berganti. Matrix merupakan kependekan dari  "Main Alliance of Three Exact 1". Tahun-tahun sebelumnya, sebutan untuk kelas XII di SMANSA memang masih kelas 3. Baru pada sekitar tahun 2007, aturan baru sekolah mengubah nama sapaan kelas, dari 3 menjadi XII. 

Meskipun nama kelas sudah ada, tetapi kami masih membutuhkan embel-embel untuk mengekori nama Matrix tersebut. Setelah berhari-hari berkutat dengan beberapa nama, akhirnya pada saat mempersiapkan dekorasi ruangan untuk lomba kebersihan kelas, Dede, mantan ketua kelas sebelumnya (saat di kelas XI IPA 1) mengusulkan suatu frasa kata, On Fire. Alasan pertama: Dia menyukai Naruto. Alasan kedua: Di Naruto, Fire atau Api melambangkan semangat membara yang tak mudah padam, seperti Konoha (seingat saya, dia bilangnya seperti itu). Dia berharap, kami sekelas, yang tengah berada di tingkat akhir SMA dan akan segera menghadapi banyak sekali ujian, dapat bersemangat hingga mencapai tujuan kami masing-masing. Mulia sekali harapan Dede ini. Mulai detik itu juga, anak sekelas setuju untuk menambahkan embel-embel On Fire pada nama kelas kami.

Matrix on Fire merupakan Matrix generasi ke-6 di SMANSA. Kelas kami terdiri dari 39 orang: 15 orang putra dan 24 orang putri. Dari 39 orang tersebut, ada cukup banyak anak yang sudah cukup lama kenal dan berasal dari kelas yang sama. Bahkan, ada yang sudah sekelas sejak SMP. Sebagian besar anak XII IPA 1 berasal dari kelas XI IPA 1, dan sebagian besar anak dari XI IPA 1 berasal dari kelas XI. Artinya, ada beberapa anak XII IPA 1 yang sekelas selama 3 tahun berturut-turut. 

Iseng dan penasaran, saya jadi ingin mengingat-ingat riwayat kelas masing-masing anggotanya.

#Daftar nama anak Matrix yang sekelas selama 3 tahun 
(Brownies X 1, Metana XI IPA 1, Matrix XII IPA 1)
  1. Adinda Putri Larastiti (Dinda) - UNDIP
  2. Aditya Ferry Ardianto (Ferry) - ITB
  3. Alinda Tami Pritanti (Tami) - STAN
  4. Anifatun Mu'asyaroh (Ani) - UI
  5. Ardi Subarkah (Dede) - STAN
  6. Ari Gunawan (Ari) - ITB
  7. Aris Tristianto Wibowo (Aris) - ITB
  8. Defita (Defita) - ITB
  9. Fajir Adhi Hartanto (Fajar) - STAN
  10. Geniza Gilda (Gilda) - UNDIP
  11. Huge Djendra Yuningrat (Huge) - STAN
  12. Laeli Nur Maeni (Leli) - UI 
  13. Ratna Prabawati Nopiutami (Nopi) - UNS
  14. Solihatun (Solie) - ITB
  15. Timothy Ricardo (Rico) - UKDW
  16. Wahyu Wijayanti (Wahyu) - UI

#Daftar riwayat kelas anak Matrix yang tidak sekelas selam 3 tahun 
(kehidupan SMA lebih berwarna, heuheu)
  1. Adil Itsmi Isnaini (Alfi): X.4; XI IPA 2 - *UII*
  2. Akhmad Miftahuddin Fazri (Fazri): X.5; XI IPA 1 - UNS 
  3. Alfi Khoiriyah (Alfi): X.3; XI IPA 1 - Poltekes Semarang
  4. Annisa Dewi Ratnanigtyas (Dewi): X.2; XI IPA 4 - UNSOED
  5. Annissa Cahya Dewi Utami (Nisa): X.5; XI IPA 2 - UNPAD
  6. Ardian Dwi Prakoso (Ardian): X.5; XI IPA 1 - ITB
  7. Asep Budi Hermawan (Asep): X.5; XI IPA 1 - Work
  8. Dyah Ayu Kresnianingrum (Ayu): X.3; XI IPA 1 - UNDIP
  9. Hari Purwito (Hari): X.7*; XI IPA 3 - UI
  10. Jodi Setiyawan (Jodi): X.5; XI IPA 3 -UI
  11. Lia Rizqa Amelia Mahmud (Amel): X.2; XI IPA 1 - UI 
  12. Martyn Suprayugo (Martyn): X.2; XI IPA 1 - UI
  13. Pety Refiyanti (Pety): X.2; XI IPA 1 - UNS
  14. Reza Saputra (Reza): X.nggak tahu; XI IPA 4 - STAN
  15. Ria Resti Agustina (Ria): X.nggak tahu; XI IPA 2 - UI
  16. Rifngatul Khasanah (Rif): X.nggak tahu; XI IPA 2 - UNDIP
  17. Rizky Berliana Wijayanti (Rizky): X.3; XI IPA 2- UGM
  18. Sanda Puspa Rini (Sanda): X.3; XI IPA 1 - UNS
  19. Septi Setiarti (Septi): X.5; XI IPA 1 - STAN
  20. Sukono (Sukono): X.5; XI IPA 3 - ITB
  21. Tri Utami (Mbak Ii): X.4; XI IPA 1 - UNS
  22. Widya Ardiani (Widya): X.3; XI IPA 1 - UI
  23. Winantu Wahyu Pamuji (Wiwin): X.nggak tahu; XI IPA 4 - STAN

#Rekapitulasi PT Anak MATRIX on FIRE
  • UNDIP     : 4 orang
  • ITB          : 7 orang
  • STAN      : 7 orang
  • UI            : 9 orang
  • UNS        : 5 orang
  • UKDW    : 1 orang
  • UII           : 1 orang
  • Poltekes  : 1 orang
  • UNSOED: 1 orang
  • UNPAD   : 1 orang
  • UGM       : 1 orang
  • Work       : 1 orang

 #Chairmate Couple
  • Dinda - Defita
  • Ferry - Aris (3 tahun)
  • Tami - Solie
  • Ani - Laeli (3 tahun)
  • Dede - Ari (3 tahun)
  • Fajar - Rico (3 tahun)
  • Gilda - Mbak Ii
  • Huge - Ardian
  • Nopi - Wahyu
  • Adil - Rizky
  • Fazri - Asep (2 tahun)
  • Alfi - Sanda (2 tahun)
  • Dewi - Rif
  • Nisa - Ria 
  • Ayu - Widya (3 tahun)
  • Hari - Sukono
  • Jodi - Martyn
  • Ame - Pety
  • Reza - Wiwin
  • Septi 
*baru ngeh, duduknya bareng sama yang di kelas sebelumnya sekelas, ya iya sih*


Ketua kelas kami Reza Saputra. Ia dibantu oleh Pety sebagai bendahara. Sedangkan, untuk jabatan perangkat-perangkat kelas yang lain, saya sudah lupa. Wali kelas kami saat itu adalah Ibu Sulastri, guru Biologi kelas XII IPA. Beliau merupakan sosok guru yang penyayang dan selalu bersemangat. Meskipun beliau tidak hafal nami kami satu per satu, tetapi beliau tidak pernah memberikan perlakuan yang berbeda. Ketika pengambilan rapor, beliau juga banyak berbincang dengan para pengambil rapor, menyampaikan kondisi kami satu per satu. Bu Lastri, begitu kami memanggilnya, memiliki pronounciation yang unik dan khas, yang tidak akan pernah saya lupakan. Beliau memutuskan untuk tetap mengajar, meskipun seharusnya sekarang beliau sudah pensiun. Saya bersyukur, saya memiliki wali kelas seperti beliau. Sebetulnya, tidak hanya beliau, di dua kelas sebelumnya, saya juga memiliki wali kelas yang hebat dan penyayang.

Sekolah ini memang memiliki guru-guru yang baik dan unik, yang tidak mungkin saya lupakan. Tidak hanya gurunya, semua warga dan kebiasaannya pun menarik dan memorable. Masa SMA, sepertinya memang masa yang paling memungkinkan seseorang untuk mengukir banyak kenangan.

Jika ada seseorang yang bilang masa SMA memiliki warna merah muda, maka menurut saya masa SMA memiliki warna pelangi. Merah muda hanya untuk orang yang sedang jatuh cinta. Ketika SMA, saya tidak hanya merasakan jatuh cinta. Langit-langit bangunannya tidak melulu berwarna merah muda yang bersemu malu-malu. Terkadang lantai yang saya injak memerah darah, membuat saya ingin menginjaknya semakin keras dan sering. Jendelanya lebih sering berwarna hijau atau abu-abu, mempersilahkan rerimbunan daun atau mendung mengintip kami yang tengah berkutat dengan ilmu atau justru terkantuk. Saya terkadang melihat kilatan kuning atau jingga cerah yang berasal dari rona-rona bahagia penghuni kelas lain. Atau biru yang damai dan membuat semua orang bersemangat untuk berlarian di bawah atap langit yang telanjang. Hitam, ungu, tosca, magenta, nila...semua warna ada, ketika SMA.



KAMI


ADIL - DINDA - FERRY - ALFI

TAMI - ANI - DEWI - NISA

DEDE - ARDIAN - ARI - ARIS

ASEP - DEFITA - AYU - FAJAR

GILDA - HARI - HUGE - JODI

LAELI - AMEL - MARTYN - PETY

NOPI - REZA - RIA - RIF

RIZKY - SANDA - SEPTI - SOLIE

SUKONO - RICO - MBAK II - WAHYU



WIDYA - WIWIN




Titipan Doa

To the point sekali, nitip doa begini ke dr. Ria, di umroh tahun ini. 1. Semoga 2 laki-laki di keluarga Ani melembut dan kembali ke jalan ya...