Wednesday, 2 April 2014

Ibuku, Perempuan Perkasa

Apa yang dapat kutuliskan tentang ibuku? Lebih dari banyak, seharusnya. 

Beliau yang selalu menemani, tak pergi, tak menghakimi, meski kami tengah dalam masa terpuruk dan sulit membangkitkan diri. 
Beliau, yang mendukung setiap langkah kami, dalam diam serta kekhusyukan doa dan sujudnya. 
Beliau, yang tak pernah letih memperhatikan dan memenuhi setiap detil kebutuhan dan keinginan anak-anaknya yang hampir tak pernah terpuaskan, meski telah habis receh dalam dompet bercap toko emasnya. 
Beliau, yang tak pernah mengambil seratus rupiah pun dari jatah yang dititipkan kepadanya untuk diberikan kepada anak-anaknya, meskipun telah begitu lama tak turun jatah bagi dirinya. 
Beliau, yang hanya mampu menanti sembari menyederhanakan pengeluaran hanya miliknya sendiri, jika satu-satunya pemasukan dari usaha kost-nya tersendat, akibat kelalaian para siswa SMK penyewa kamar di rumah... yang parahnya ini terjadi setiap bulan.
Beliau, yang dengan teguh dan sabar mengajari anak-anaknya dalam belajar ilmu dunia dan ilmu agama, semampunya, sebatas bekal sekolah setingkat SMP-nya yang dapat ia tular-ajar-kan kepada kami, anak-anaknya yang berbeda minat dan kecepatan dalam mencerna setiap input yang diberikannya.
Beliau, yang tidak akan terlelap tidur, jika ada satu saja anaknya: yang masih terjaga merampungkan tugas pribadinya, menikmati cobaan sakit yang terkadang dirintihkan terlalu berlebihan, belum pulang hingga larut malam atau tak juga terpejam karena diselimuti resah dan gulana.
Beliau, yang entah bagaimana pun caranya akan berusaha membuat anak-anaknya bahagia, meski itu artinya beliau akan menumpuk derita yang harus berangsur-angsur dikuranginya agar tidak menggunung dan merobohkan ketahanan hidupnya.
Beliau, yang tak pernah mengeluh dalam setiap putaran roda dan kayuhan pedal sepeda mini ukuran sedang, satu-satunya kendaraan butut dengan sadel yang hanya tinggal separuh bagian, yang beliau gunakan untuk pergi ke tempat manapun, jauh dekat, menurun menanjak, berjalan mulus atau terjal, entah ke perkampungan atau ke tengah perkotaan...dan hingga kini tak pernah menginginkan untuk diberi yang lebih baik.
Beliau, yang tak pernah meminta apa pun kepada suaminya, jika itu untuk kepentingan pribadinya sendiri hingga lama-lama tak mampu mengingat dan mengenali apa saja kepentingan pribadinya, apa saja yang diinginkannya. 
Beliau, yang selalu sabar meladeni kami yang berbeda tingkah dan sifat, berbeda mau dan taraf kepatuhan, berbeda di mana-mana dalam setiap hal dan beliau tetap ada tak kabur untuk memerdekakan diri.

Ah! 
Ibuku, ibu nomor satu sedunia. 
Ibu paling mandiri dan sabar yang tidak pernah betul-betul marah, meski anak-anaknya sering kali durhaka dan membantah petuah-petuahnya. 
Ibuku, ibu yang tak pernah lelah berjuang, sejak langit menerang hingga menggelap, sejak diucapkannya kata bersedia dan janji untuk setia mengabdi pada orang yang memintanya menjadi istri dan (aku yakin) hingga nanti orang tersebut tak lagi gagah dan terlalu lelah, bahkan untuk sekadar menghirup dan melepas nafas.
Ibuku, perempuan yang telah menjadi seorang ibu ketika usianya masih begitu muda, merelakan jatah mudanya untuk mengabdikan diri pada suaminya yang unik dan membesarkan buah hati-buah hatinya yang sedikit menarik. 
Ibuku, perempuan paling tangguh, yang tak pernah mengeluh dalam kucuran peluhnya yang mungkin hanya beberapa kali kami sadari dan hargai dengan tulus. 

Hnnn...
Aku tidak ingin lagi ibuku mengerjakan hal-hal seperti yang dikerjakan Cinderella untuk keluarga tirinya. 
Aku tidak ingin ibuku lama-lama menjadi Rapunzell yang terkurung dan hanya mengenali rumahnya sendiri tanpa pernah melihat dunia yang lebih luas dari apa yang ditinggalinya saat ini.
Aku tidak ingin ibuku terbiasa menanti, mandiri dalam kepasrahan, yang aku yakin ini dapat diperbaiki...

Aku tidak ingin ibuku dipandang sebagai ibu yang kasihan dan menderita karena dia adalah seorang ibu yang kuat, perempuan perkasa pertama yang kukenal, Perempuan Pilihan...
Satu-satunya orang yang mampu dan mau mendampingi kami setiap waktu di setiap kondisi yang terjadi.

Dan aku merasa bahagia dan terhormat, Tuhan menjodohkanku dengannya,
menjadi anak pertamanya yang menyaksikan perjuangannya lebih lama dari adik-adikku,
menjadi orang yang beruntung, yang seharusnya dapat memetik jauh lebih banyak pelajaran-pelajaran dari perjalanan dan perjuangan hidupnya  untuk disemaikan kepada adik-adikku juga anak-anakku nanti.

Ibuku, Perempuan Perkasa...
Ibu juara satu di dunia...

1 comment:

Monolog (1): Menggantung Harap

Hai kamu... Kamu bukan pilihan, maka jangan berharap masuk ke dalam prioritas. Telanlah segala yang ditujukan kepadamu. Cerna dan ekskresika...