Dia begitu berbeda dengan saya dan adik kedua saya. Jika saat kecil dulu saya adalah bocah yang paling tidak suka menangis di depan umum, maka Ais ini kebalikannya. Dia sangat suka menangis tak kenal waktu dan tempat dan melempar benda-benda di dekatnya ke segala arah. Dia mengalami masa-masa menjadi anak "ragil" yang cukup lama hingga adik kedua saya, Zahra Nurussyifa (Yaya), lahir pada hari Kamis Kliwon, 4 November 2004. Tujuh tahun dia menjadi anak ragil, tujuh tahun itu pula dia merasa dirinya paling kecil dan paling wajar untuk berbuat jail atau manja di rumah. Ais kecil adalah seorang anak mama dan sangat ciwek. Jika dia terjatuh, dia akan menangis sekeras mungkin dan tidak akan mau bangun dan berhenti menangis, kecuali mama datang dan membangunkannya. Kapan pun, di mana pun, mama harus siap sedia untuk bocah ini.
Pernah suatu kali, Ais balita pergi main hingga ke RT sebelah dengan anak tetangga kami, Emon. Dia bermain lari-larian dan terjatuh di tepi jalan, dekat selokan. Sontak, dia menangis seketika, membuat teman-teman mainnya kebingungan dan ibu-ibu di RT sebelah berdatangan untuk membantu membangunkannya. Namun, Ais justru tidak mau bangun dan semakin memperkeras tangisnya. Ibu-ibu dan teman-temannya semakin bingung, "Apakah terjadi hal yang serius pada bocah ini?" Akhirnya, mereka menyuruh Emon memanggil mama.
Mama datang dengan cepat dan membangunkan Ais yang guling-guling di jalan. Mama langsung mengecek kondisi badan Ais satu per satu: dahi, siku, lutut, telapak tangan dan hasilnya tidak ada luka parah yang berarti. Bocah ini hanya lecet di telapak tangan karena dia menyangga tubuhnya dengan tangan ketika jatuh. Mama pun menggendong Ais dengan paksa, sembari sedikit mencubiti pantatnya. Tak lupa mama meminta maaf kepada ibu-ibu tetangga karena membuat mereka resah. Kebiasaan cengeng dan manja di masa kecilnya inilah yang membuat saya sedikit malas mengajaknya bermain bersama dengan teman-teman saya. Kalau menangis, hanya mama yang mampu mendiamkannya. Masa iya, saya bawa mama juga? Hal ini membuat saya tidak terlalu dekat dengannya, dulu.
Layaknya anak laki-laki sebanyanya yang lain, Ais sangat suka dolan atau main. Dia juga tidak suka tidur siang. Padahal, romo sangat kesal pada anak-anaknya yang tidak mau tidur siang. Beliau sering mencari-cari kami yang tidak pulang selepas adzan bedug (dhuhur). Jika beliau menemukan kami di tempat yang terlalu jauh dari rumah, beliau akan langsung menciduk kami, menaruh kami ke dalam gendongannya, boncengan sepeda atau motornya, sembari ngomel-ngomel. Sampai di rumah, romo melemparkan kami ke atas kasur. Kami pun dikeloninya sampai tertidur, meskipun faktanya akan sangat sulit tertidur jika ada beliau di samping kami. Ais ini yang paling sering kena omel. Namun, lama-lama omelan untuknya itu berkurang karena dia semakin lihai untuk kabur di jam tidur siang. Romo pun lama-lama tidak sempat mencari anak-anaknya satu per satu di jam tidur siang akibat kesibukannya bekerja.
Ais juga bukan seorang perfeksionis di bidang pelajaran. Dia tidak pernah ambil pusing dengan nilai-nilainya yang mepet-mepet dengan nilai rata-rata. Dia tidak bingung jika dia tidak masuk SMP favorit. Dia tetap santai bermain PS, komputer atau game online-nya meski besoknya adalah ujian nasional. Seringkali mama kesal dengan tingkah lakunya itu. Ketika Ais masih SMP, hampir setiap hari mama mendatangi warung-warung game atau internet di desa kami untuk mencarinya. Dengan sepeda mininya, sembari memboncengkan Yaya, beliau masuki warung-warung berteknologi modern itu demi menjemput putra laki-lakinya yang tak pulang-pulang seharian. Yaya pun sampai hafal dengan letak tempat-tempat itu. Namun, lama-lama beliau lelah juga. Setelah masuk SMK, mama sudah tidak lagi serajin dulu dalam menjemput Ais. Kata beliau, biarkan saja Ais, sudah seharusnya Ais paham dengan kewajiban dan tanggung jawabnya sendiri.
Meski Ais bandel, tapi sepertinya dia memiliki bakat di bidang multimedia. Yeah, dia sudah SMK. Dia mengambil jurusan multimedia, jurusan yang bisa jadi berhubungan dengan hobinya: nge-game, main komputer, dsb. Beberapa liburan ini, saya lihat dia sudah mulai melakukan tugas-tugas coding, walau masih menggunakan software sederhana, semacam dreamweaver. Dia juga sering membantu teman-temannya mengerjakan tugas IT lainnya, instal ulang komputer atau laptop, dsb. Tak jarang dia memperoleh tip dari apa yang dia lakukan. Namun, entah ke mana perginya rupiah-rupiah itu, hanya dia dan Tuhan yang mengetahuinya. Dia sama sekali tidak bisa menabung. Alhasil, sedikit-sedikit dia minta jatah ke mama, hanya ke mama.
Ais sudah besar sekarang. Dia sedang duduk di kelas 2 SMK. Dia sudah lebih tinggi dari saya, mungkin sekitar 165-168 cm tingginya. Dia juga sudah lebih mampu mengontrol emosinya, tidak manja dan ciwek lagi. Namun, dia masih keras kepala seperti dulu dan saat dia marah kata-kata tidak sopan kadang kali muncul dari mulutnya. Ini yang paling tidak saya suka darinya. Baru-baru ini dia melakukannya pada saya dan mama. Namun, saya yakin...nanti, dia pasti berubah menjadi anak laki-laki yang lebih baik dan berbakti pada mama dan romo. Hnn... Jika dilihat kami bertiga memang sedikit terlambat dalam mengalami perkembangan psikologis. Jadi, bisa jadi tingkah lakunya yang mirip bocah ini akan segera berubah menjadi lebih rasional, stabil, dewasa dan taktis. Suatu saat nanti, Ais pasti akan mengerti bahwa ada yang lebih patut diperjuangkan dan diutamakan dari apa yang dilakukannya saat ini.
Toh, sebenarnya dia anak lurus-lurus saja. Dia tidak pernah mencoba merokok. Tidak berpacaran. Tidak pernah minta dibelikan motor bagus. Tidak minta yang macam-macam, kecuali jatah uang jajan yang teradang membengkak dibandingkan yang dianggarkan mama...
Hnnn... Pray for Ais, semoga cepat dewasaaaa.... Wah, tidak terasa dia sudah 17 tahun. Dewasa muda yang masih bertingkah seperti remaja muda. Hmmm...
No comments:
Post a Comment