Sunday, 7 December 2014

Pesta Tengah Siang (1)

Berkali-kali aku berjalan melewatimu tanpa ragu. Ini kulakukan agar kau tahu bahwa aku tidak sedang berpura-pura mencari perhatianmu.

Satu dua kali, kulihat kau menatap kilat ke arah tempatku berdiri. Kau mencuri pandang ke arah seekor burung asing berbulu merah jambu, berjambul putih susu.

Tanpa menanti detik itu berganti, aku memutuskan untuk tahu satu hal akanmu. Tanpa peduli dosa yang harus kutanggung akibat berprasangka akanmu, aku tetap bersikeras menganggapmu pantas masuk sangkar hukuman karena telah membunuh khayalan indahku.

Benar. Sebelumnya, aku mengkhayalkan sesuatu tentang kita, hanya tentang kau dan aku, tanpa dia dan mereka. Kita memakai gelang kaki yang sama, pertanda bahwa kita tidak lagi berselisih paham atau kata. Kau tersenyum terlampau tulus kepadaku. Aku menunduk memandangi kuku jariku, menyembunyikan wajah merahku yang terserang rasa malu. Kita berhadapan, tapi mata kita tak bertemu, pun telapak kita tak jua bertaut. Namun, entah mengapa, aku menikmatinya.

Aku tengah berdiri dengan satu kaki ketika kembali kupergoki kau melirik singkat kepada si burung merah jambu. Hilang keseimbangan, aku hampir terjengkang akibat terkejut dan terserang sakit, seperti dilempari petasan. Apakah aku juga harus membunuh khayalanku seperti yang sudah kau lakukan sebelumnya?

Aku tidak dapat berpikir dengan benar selama lama sekali. Gundah dan gulana berlarian, berkejaran, bolak-balik di jalanan transparan yang menghubungkan otak dan hati. Jika ada seseorang menuduhku tengah cemburu, aku tidak akan mengelak dari tuduhan itu. Namun, jika seseorang menanyakan apa alasanku berani bercemburu, hingga purnama habis pun aku tak memiliki jawaban untuk itu. Bukan aku ingin menimbun derma hingga tak mau membagikannya. Hanya saja aku sendiri tidak yakin aku tahu apa alasanku, mencemburuimu. Pagi menjelang siang ini, aku seperti tak mengenali diriku sendiri. Aku tidak berterima kasih kepadamu untuk ini.

Aku merasa matahari pagi ini menaik dengan tergesa-gesa. Tetiba dia sudah bertengger di atas kepala. Tetiba sang hulubalang menyuruh kita berpesta tengah siang. Dan tetiba pula kau melenyap tanpa meninggalkan tanda. Aku kocar-kacir, tanpa menyumbangkan ekspresi yang twrbaca. Namun, yang kuingat, aku semakin tidak dapat berpikir dengan benar sepanjang waktu pesta tengah siang yang tersisa.

Hiruk pikuk pesta ternyata justru memurukkanku dalam halusinasi gelap yang dengan mudah mengurung kesadaranku. Aku hampir lupa bernapas selama beberapa detik, membuatku terbatuk dengan tidak anggun. Detik selanjutnya, terbersit sebuah ide tak buruk dalam otakku. Patuh. Aku menuju ke tepi Sungai Biru yang airnya sejernih cermin yang tak pernah menipu. Kini aku tepat di tepi badan sungai, membungkuk seratus derajat untuk melihat pantulan diriku yang terhidang di permukaan Sungai Biru. Hitam. Dingin. Misterius. Aku bak obsidian yang tak pernah laku dijual di pasar perhiasan. Pantas, kau tak menyadari kehadiranku.

Ratusan detik kuhabiskan untuk bercermin di Sungai Biru, hingga tetiba aku menyadari bahwa gempitanya pesta telah terdiam. Buru-buru, aku kembali ke tengah hutan bambu menemui mereka yang telah puas mengisi lambung, telah kenyang mendiskusikan berita-berita di hutan beberapa hari belakangan. Namun, tak kudapati kau berada di tengah-tengah mereka. Apa kau telah betul-betul terbang tanpa berniat kembali? Apa kau betul-betul tak menyadari upayaku beberapa waktu lalu, berlalu lalang di hadapanmu untuk setidaknya kau sapa meski dengan sepatah kata tak merdu?

Dan berkat kepergianmu, hari ini terasa berakhir tanpa sempat tersentuh oleh gelapnya malam.

No comments:

Post a Comment

Titipan Doa

To the point sekali, nitip doa begini ke dr. Ria, di umroh tahun ini. 1. Semoga 2 laki-laki di keluarga Ani melembut dan kembali ke jalan ya...