Sebetulnya, alasan saya menggambar, yang sepertinya akhir-akhir ini menjadi lebih sering, bukanlah untuk kejar setoran menghasillkan banyak gambar, bukan juga untuk sepenuhnya pamer atau di-upload di instagram atau sebagainya, dan juga bukan untuk sekadar iseng doang. Ada perasaan bahagia dan puas setelah menggambar. Ada rasa penasaran yang terpenuhi setiap kali saya berhasil menyelesaikan sebuah gambar. Ada rasa syukur kepada-Nya, yang menjejal ingin dikeluarkan ketika memandang setiap hasil gambar yang saya hasilkan, baik yang berhasil dan dapat dikenali, maupun yang acak-acakan dan tidak asyik untuk sering-sering dilihat. Ada energi positif yang mendorong alam bawah sadar untuk menumbuhkan kembali rasa percaya kepada diri saya sendiri yang terkadang turun drastis secara tiba-tiba. Itulah beberapa alasan yang mendorong saya untuk menggambar sesekali.
Mama lah orang yang paling berjasa dalam perkembangan minat menggambar saya. Meskipun sebetulnya sudah timbul niat untuk menggambar akibat iri yang sudah saya sebutkan di atas, tetapi saya masih belum bisa menggambar sama sekali. Hingga pada suatu Senin pagi di tingkat yang sama, ketika saya lupa mengerjakan PR Matematika, Mama memarahi saya karena saya menangis pada saat mengerjakannya. Mengapa saya menangis? Saya sebetulnya dapat mengerjakan soal deret sederhana yang ada dalam buku teks tersebut, tetapi masalahnya: penyajian soal dan penulisan angka-angka tersebut adalah dalam bentuk gambar ulat di mana di setiap segmen tubuh ulat yang berbentuk lingkaran-lingkaran tidak sempurna itu berisi soal yang harus dijawab. Jadi, mengapa saya menangis? Saya tidak takut gambar ulat. Hanya saja, saya mengira jika saya harus menggambar ulat itu juga jika saya ingin mengerjakan soal Matematika tersebut karena penyajian soal di buku adalah seperti itu. Senin pagi itu menjadi sangat ribut dan Mama pun akhirnya turun tangan. Beliau akhirnya menggambarkan dua ekor ulat beserta bulatan-bulatan badannya, tentu saja sambil mengomel begini-begitu. Kurang lebih inti omelannya adalah begini:
"Masa iya udah kelas 2 SD, PR-nya masih dibikinin. Nanti kalau keterusan sampai kelas tinggi gimana? Lagian ini PR Matematika bukan PR menggambar. Kok pakai digambar segala sih ulatnya? Kayaknya kalau nggak pakai ulatnya nggak apa-apa deh. Terus, nih ya, kalau kamu nggak pernah mau mencoba untuk menggambar, sampai kapan kamu bisa menggambar? Sampai nanti SMA pun pasti akan ada pelajaran menggambar, Yoh. Kalau alasannya karena tangan basah kan bisa dikasih alas pakai saputangan (yeah, ketika SD saya selalu bawa saputangan dan pakai jam tangan *loh kok jam tangan?*). Lagian, Yoh, keluarga kita kan sebenarnya banyak yang pinter menggambar. Mbah Kakung, Pakdhe Ipin, Pakdhe Sidik, Bapakmu juga...mereka jago loh. Pasti kamu juga bisa lah, kan faktor keturunan."
Saat selesai mengucapkannya, dua ekor ulat pun selesai digambar oleh beliau dan langsung saya isi dengan angka-angka jawaban saya. Saya berangkat telat Senin pagi itu. Namun, sejak saat itulah saya lebih berminat untuk menggambar. Memang tidak pernah mendapat nilai bagus, tetapi setidaknya saya tidak lagi mendapat nilai 5 atau 6 dalam pelajaran menggambar. Terima kasih Mamaaa *ngelap air mata*. Saat itu, saya betul-betul seperti terhipnotis oleh kata-kata beliau. Sejak saat itu, saya semakin percaya pada kekuatan mencoba dan bekerja keras. Jika saya tertarik pada suatu hal, rasa penasaran dan keinginan untuk meraihnya akan sangat besar. Yeah, saat SD itu memanglah saat-saat di mana kesombongan dan iri dengki berkibar-kibar. Meskipun cenderung menjadi follower, tetapi saya selalu berambisi dan antusias dalam diam saya. Saya merasa saya dapat melakukan segalanya yang saya inginkan, bahwa jika orang lain bisa melakukannya maka saya pun pasti bisa melakukannya juga, bahwa jika saya niat saya pasti dapat meraih segalanya. Saya yang dulu, tidak jauh berbeda dengan yang saya sekarang, hanya saja saya yang dulu memiliki...ambisi. Bedanya lagi, saya yang sekarang, meskipun tidak terlalu berambisi (kok sedih ya?), tetapi saya lebih berpersaan dan menilai setiap hal dengan perasaan. Sampai-sampai, otaknya jarang dipakai untuk berpikir, karena terlalu sering mengandalkan hati. Hahai...
Ah, malah melantur. Jadi, begitu ya latar belakang dan alasan saya agak sering menggambar, meskipun (saya ulang lagi) kualitas gambaran saya standar atau biasa-biasa saja, sama seperti gambaran orang lain pada umumnya. Hehe...
Lampiran
![]() |
"My Signature" Depok, 4 September 2014 |
![]() |
"Fanart: Kikyo" Depok, 5 September 2014 |
![]() |
"Fanart: Wedding Peach" Depok, 7 September 2014 |
![]() |
"Please, Give Me Peace!" Depok, 8 September 2014 |
No comments:
Post a Comment