Gambar di samping adalah saya. Percaya atau tidak, ini selfie loh. Saya mengambil foto ini dengan kamera digital yang diatur timer-nya selama 10 detik, terus saya lari-lari ke depan lemari yang saya pilih jadi background, sambil meraih violin yang emang udah disiapkan ditaruh di depan lemari tersebut. Jadi, mungkin dapat kita lihat, citra bow (busur biola) yang saya pegang dengan tangan kanan tampak kabur, yang menandakan adanya kekurangsiapan dalam berfoto. Tepatkah disebut sebagai selfie? Wkwk. Ah iya, meski sedikit kabur begitu, tapi foto ini adalah salah satu foto yang paling sering saya gunakan sebagai profile picture, display picture atau avatar, hehe.
By the way, mulai hari ini saya akan menggunakan kata ganti pertama saya atau aku dalam menulis post-post di blog saya. Sepertinya, ini membuat tulisan-tulisan di sini menjadi tampak lebih rapi jika dibandingkan dengan ketika saya menggunakan kata ganti pertama: gue. Selamat tinggal gue! Selamat datang saya dan aku! :D
Dari gambar di atas, mungkin sudah dapat diterka, saya mau menulis tentang ada dalam post ini. Yep! Tepat sekali, tentang selfie! What!?? Bukan! Bukan! Maksud saya tentang bagaimana hubungan saya dengan violin (?). Violinnya Dzakia lebih tepatnya. Meski saya menulis tentang violin, bukan berarti saya dapat memainkannya. Violin memang merupakan salah satu dari tiga alat musik (dua yang lain adalah gitar dan piano) yang ingin saya pelajari dan kuasai dalam hidup saya. Oleh, karena itu saya menulis ini.
Violin, atau yang sering disebut juga dengan biola di Indonesia, merupakan alat musik gesek yang terdiri dari empat senar berbeda nada, yaitu G-D-A-E. Nada terendahnya adalah nada G sedangkan yang tertinggi adalah nada E. Di antara saudara-saudaranya, violin ini menghasilkan nada yang paling tinggi, tidak seperti viola (biola bass) dan cello yang nadanya cenderung rendah. Kunci dasar yang digunakan untuk violin adalah kunci G sehingga pada kertas musik, di bar pertama suatu partitur, hampir selalu menggunakan atau ditulis pada kunci G. (Wikipedia)
Begitu pula dengan violinnya Dzakia, yang saya gunakan sebagai teman berpose pada foto di atas, dia memiliki empat senar yang berbeda nada dan ketebalan. Namun, ada yang unik dari violinnya. Senar ke-1, yaitu senar E (nada tertinggi) begitu rentan putus. Pernah suatu kali, saya mengganti senarnya di Gramedia Margonda, sekalian menyetem senar-senar lainnya. Namun, belum ada satu minggu senar itu dipasang, sudah putus dia tanpa sebab yang jelas. Tidak ada satu orang pun yang menyaksikan putusnya senar tertipis itu.
Saya adalah saksi yang pertama kali menemukannya sudah dalam kondisi terputus ketika saya membuka case-nya. Senar tersebut putus tepat di bagian tengah. Hal ini membuat saya terheran-heran dan tidak enak kepada Dzakia karena saya adalah orang yang paling sering meminjamnya dan memainkannya sesuka hati, tanpa teknik yang benar, tanpa menghasilkan suara yang indah didengarkan.
Merk violin milik Dzakia ini adalah Paladin. Jika tidak salah ingat, dia membelinya ketika di tingkat dua kuliah. Saya tidak tahu menahu tentang spesifikasi-spesifikasi merk-merk biola Indonesia dan kelebihannya, sebetulnya. Sebagai seorang pemula, yang bahkan tak memiliki violin, apa pun merk violinnya bukan jadi masalah untuk berlatih menggesek dan bermain.
Sebenarnya, bukan baru-baru ini saya tahu atau pegang violin (orang lain). Ketika masih maba dulu, pernah beberapa kali saya melihat violin milik Kyu, yang diberi nama Vi. Kyu membelinya ketika baru lulus SMA atau sebelum berangkat ke Depok (jika tidak salah). Dia membawanya ke Depok dan sering kali menggunakannya dalam persembahan di Perhimak UI. Terkadang dia mampir ke kamar saya sambil membawa Vi-nya atau saya yang ke kamarnya untuk sekadar melihat Vi itu atau jika sedang sangat ingin meminjamnya, saya akan meminjamnya.
Kyu adalah orang pertama yang mengizinkan saya meminjam violin. Dari Kyu pula, saya belajar bagaimana cara membuatnya berbunyi, mengetahui nama bagian-bagian tubuhnya, bagaimana membiasakan meletakan jari-jari tangan kiri di tiap senarnya yang tak memiliki fret ini, dan lain-lain. Saya sangat berterima kasih padanya untuk kesabarannya memperkenalkan Vi-nya dan mengajari saya bermain.
Bagian-bagian Violin Sumber: Wikipedia |
Oke, mari move on to topik yang lebih bermanfaat tentang violin. Gambar di samping adalah ilustrasi violin beserta bagian-bagiannya. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa susunan violin cukup rumit.
Seperti yang sudah saya bilang di atas, violin tidak memiliki fret. Leher biola dan papan jarinya mulus, tanpa memiliki batas-batas kunci (fret) seperti yang ada pada gitar. Oleh karena itu, kita harus mampu mengira letak nada pada senar-senar tersebut. Semakin sering memainkannya, semakin terbiasa jemari kiri kita untuk menemukan nada yang tepat secara otomatis. Selain membiasakan jari, kita juga harus terbiasa melatih pendengaran telinga (hearing) kita sehingga dapat mengenali nada-nada yang tepat atau sumbang. Saya juga belum bisa melakukannya, haha.
Fret pada Violin (Penjarian) Sumber: Wikipedia |
Senar
Gambar di samping adalah gambar penampang senar violin, yang terdiri dari senar bernada G-D-A-E. Untuk menghasilkan bunyi bernada G, kita dapat menggesek senar ke-4 (senar paling kiri, senar G) tanpa menekan senarnya sama sekali. Begitu pula untuk menghasilkan nada D-A-E, kita dapat menggesek senar ke-2, 3 dan 4.
Selanjutnya, untuk menghasilkan nada A-B-C kita dapat menekan senar ke-4 (senar G) hingga menghasilkan nada A. Nada A adalah nada setelah G (ya iyalah) sehingga jaraknya paling dekat dengan batas bawah kepala biola, seperti gambar di samping.
Ingat jarak antarnada, kan?
c-d : 1
d-e : 1
e-f : 1/2
f-g : 1
g-A : 1
A-B : 1
B-C : 1/2
Dalam penjarian ini, posisi meletakkan jari juga berdasarkan jarak antarnada tersebut. Jarak antara nada B-C dan E-F (mi ke fa dan si jalam ke do dalam kunci G=do) tidak sama dengan jarak A-B, C-D, D-E, dll, karena jarak B-C dan E-F hanya setengah. Oleh karena itu, jarak peletakkan jarinya pun setengah jarak.
Bow (Busur Violin)
Bow inilah yang sering kita lihat untuk menggesek senar violin. Dia terbuat dari kayu dan sekumpulan rambut ekor kuda putih jantan, yang warnanya tampak putih keemasan. Bulu-bulu ini diikatkan pada bow di setiap ujungnya. Pada salah satu ujung, yaitu ujung yang dipegang, bow ini memiliki sekrup yang dapat digunakan untuk mengencangkan atau mengendurkan rambut tersebut. Bow dikencangkan ketika akan digunakan untuk bermain dan dikendurkan ketika akan disimpan.
Bermain violin memang memang tidak mudah. Kita harus memiliki kemampuan hearing, mengenali nada, estimasi penjarian dan menggesek yang baik. Selain itu, suara yang dihasilkan pun belum tentu bagus dan lembut seperti yang sering kita dengarkan dari para pemusik violin selama ini. Perlu banyak latihan dan penguasaan teknik menggesek, vibrasi, dll. Namun, hal ini dapat dilatih sedari dini. Dininya kapan? Ya, mungkin dulu dan sekarang pun oke saja, jika memang memiliki minat sungguhan untuk mempelajarinya. Semangat belajar violin, Ani, untuk nanti diajarkan pada anak-anakmu. Hahaha....
theme-nya lebih rapi ^^
ReplyDelete...karena sedang agak niat dan ditulis pakai laptop, hehe.
DeleteBtw, Jeki bisa main Vio Lin?
DeleteBisa, bisa. Saya 11, dia 12... :D
DeleteQuite interested in seeing either you or she/both of you playing such an music instrument... Someday... Haha... ^_^
DeleteOuch, I'm sorry Indra, I won't play if there's someone watching me. Maybe Dzakia will... (bener ga kata-katanya? Haha)
Delete