Sunday, 6 April 2014

Dia (1)

Aku melihat dia duduk di tepi tiang voli. Sesekali bertepuk tangan, tapi lebih jarang tidaknya. Mungkin dia menjagokan tim yang salah atau kalah atau belum waktunya menang atau sinonimnya. Seorang teman memberitahuku bahwa dia adalah dia. Aku kaget awalnya karena ternyata dia sangat berbeda dengan dia yang ada di imajinasiku. Kawanku berkata dia pendiam dan pelajar yang berbudi baik. Aku menganggapnya sebagai orang aneh yang tidak bisa mengatakan hal yang serius, tidak bisa diam dan penuh dengan pikiran lawak.

Aku mengamati wajahnya dari radius terlalu jauh yang tidak dapat ditolerir mata minusku. Aku hanya mampu menangkap sepasang benda hitam menghiasi daerah kapalanya. Aku bersyukur menonton pertandingan voli sore itu karena setidaknya aku berhasil menemukan dia, orang aneh yang selalu bersembunyi di balik kata-kata sihir. 

Sore itu, kemeriahan suporter dari kedua kubu tidak mampu menandingi kerasnya degup jantungku. Mustahil memang, tapi aku memang selalu mendengarkan kata hatiku atau pikiranku saja. Inilah modal utama keegoisanku.

****

Aku mulai membanting barang-barang di dekatku. Sebuah botol parfum dengan suksesnya menghantam sebuah foto yang terpajang miring dinding. Tatanannya yang memang kubuat miring, sekarang semakin miring karena hanya tinggal satu pengait saja yang masih bertahan. Aku mendekati bingkai foto yang tampak kasihan itu itu. Kacanya pecah dan aku yakin salah satu kepingan kecilnya telah menusuk daging di telapak kaki kananku. Aku tidak peduli dengan sakit itu, aku lebih tertarik memandang apa yang ada di dalam foto. Dia tersenyum manis dengan seorang bayi perempuan kecil yang manis dan sipit di gendongannya.

Ya Tuhan, dia sangat menyayangi Lintang.

****

Aku tahu dia adalah orang yang sangat tepat menjadi objek pelarianku. Terkadang aku jenuh menulis cerita anak-anak yang ceria dan menyenangkan. Meskipun itu profesiku, tapi aku tidak menyukainya. Aku tidak bisa terus berpura-pura ceria sambil terus menulis kalimat-kalimat yang menghibur anak-anak itu. Sandiwara bagiku. Saat aku mulai menjadi seorang anarkis dan menjejalkan muatan-muatan horor ke dalam cerita-ceritaku, aku akan menghubungi dia. Sekedar hubungan jarak jauh lewat telepon, chatting atau e-mail. Dia selalu membangkitkan jiwa kanak-kanakku. Dia memperlakukanku seperti seseorang yang sebaya. Padahal usiaku jauh di atasnya. Gurauan segar mengalir dengan spontan dan menyenangkan sekali berbicara dengannya.

Seminggu setelah aku melihatnya di tribun penenton saat pertandingan voli, aku mulai menyapanya dan menceritakan identitasku yang sebenarnya. Aku terus menceritakan diriku tanpa membiarkannya berbicara sepatah kata pun. Aku sangat suka menceritakan akui dan tidak akan berhenti sebelum aku kehabisan akal untuk mendeskripsikan siapa aku. Aku memang egois dan aku sudah mengatakan hal itu ratusan kali kepadanya. Namun, dia hanya tersenyum bijak. Kilatan pelangi di matanya sungguh menyejukkan. Benarkah dia lebih muda dariku? Dia seperti kakakku... Kakak yang tidak pernah kupunya karena aku memang anak perytama. 

Baru sekali ini aku kehabisan kata saat berbincang dengan seseorang. Orang lain akan pergi karena bosan mendengarkan ocehanku yang mempunyai panjang dan lebar yang tidak proposional. Namun, dia tidak. Dia tetap mendengarkan dan tersenyum. Aku tidak tahu apakah dia paham sepenuhnya omonganku atau tidak. Yang pasti aku mulai merasakan canggung yang tidak biasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Ya Tuhan... 

Dia sangat berbeda dengan dia yang kukenal sebelum ini. Dia adalah sahabat penaku. Aku mendapatkan surat pertama darinya di kebun belakang sekolah saat aku sedang membolos mata pelajaran sejarah yang membosankan. Aku duduk di kelas 2 SMA saat itu. Akulah yang pertama meletakkan sepucuk kertas di pagar kebun belakang berisi umpatanku tentang seorang guru. Seminggu kemudian di tempat yang sama dengan aku meletakkan suratku, kutemukan balasan suratku. Penasaran, aku membacanya dan aku langsung menyukai caranya berbicara dan berpikir. Hal itu berlanjut hingga kami sering chatting lewat messenger.

Dia selalu punya penyelesaian untuk masalah-masalahku. Mottonya saja "menyelesaikan masalah tanpa masalah" dan aku curiga dia mendapatkan motto itu karena sering menggadaikan perhiasan ibunya mengingat tingkah lakunya yang bandel. Namun, Ya Tuhaan... aku jatuh cinta kepadanya...

(bersambung)

_____________________________________________________________________________________________
Depok, 7 November 2010

No comments:

Post a Comment

Monolog (1): Menggantung Harap

Hai kamu... Kamu bukan pilihan, maka jangan berharap masuk ke dalam prioritas. Telanlah segala yang ditujukan kepadamu. Cerna dan ekskresika...