Ternyata sudah seminggu kamu berlabuh. Aku, dia, dan mereka masih seperti kabut-kabut yang bergerak satu-satu.
Udara yang layak hirup perlahan menipis karena dalam dingin kami berebut. Gemintang tampak bingung, kadang hilang, kadang timbul, tidak tahu momentum yang tepat untuk berpendar dengan senyum.
Ada nyeri yang tak mampu dimaklumi manusia, ada keluh yang dimaknai ceracau dan tak pantas diterima, ada kebohongan yang ditafsirkan kebaikan bersama, ada sedih yang dikubur demi membahagiakan mereka yang tak boleh melihat kita tidak tertawa.
Sayup-sayup terdengar pujian-pujian suci mengalun indah nan tegas, menepuk kewarasan, mengikat otak tetap di tempat, mengancamnya agar tak kabur dengan acak.
Miliaran jiwa berlalu-lalang di setiap inchi belahan bumi, tak adakah satu saja yang sudi menepi barang satu atau dua detik?
Di antara dua tiang gagah bermahkota biru, aku terduduk menunduk menekuk lutut, membatin dengan keras dengan tetap menanggalkan fungsi kedua inderaku, "Kapan aku tepat?"