Thursday 4 November 2010

Di Balik Laptop

Aku melihat dia berjalan di tengah taman bundar. Hatiku berbunga karena aku yakin dia pasti akan mendatangi aku yang sedang duduk sendiri tanpa kawan sama sekali. Hanya sebuah laptop usang keluaran 90-an yang menemaniku layaknya seorang pacar, menatap mataku yang terselimuti kacamata persegi.

Aku mengamati tiap langkahnya dengan sembunyi-sembunyi lewat balik laptop 14 inchi itu. Aku tidak mau dia menyadari tatapanku yang berlebihan itu. Iya! Aku memang menyimpan perasaan lebih dan mendalam kepadanya sejak pertama kali aku mengenalnya, SMP kelas 8. Aku menyukai keunikannya dan kepandaiannya. Ketenangan sikap yang menyembunyikan kepanikan dan kesiapsiagaan. Rambutnya yang indah membuat angin diam sejenak untuk bertiup. Tatapan matanya yang tajam tapi memelas benar-benar membuat gemas siapa saja yanng melihatnya. Dia diam! Sungguh pendiam! Namun, di jam-jam berikutnya dia akan menjadi bom atom yang meledakkan suasana lewat candaan-candaan khasnya.

Dia kawanku yang baik. Aku menganggapnya sebagai kawan selama-lamanya waktu yang bisa aku kecapi. Bahkan, jika suatu saat nanti aku menderita alzheimer atau tiba-tiba disleksia dan lupa cara mengeja huruf-huruf namanya aku akan selalu setia menganggapnya sebagai kawan terbaikku.

Aku masih mengamatinya. Kepalaku timbul tenggelam di balik perlindungan laptop dan kulihat dia masih asyik memainkan handphone nokianya. Dia itu seorang yang sederhana, terlalu sederhana kalau boleh kubilang. Dia menolak dibelikan blackberry oleh kakak perempuannya. Alih-alih blackberry, dia menunjuk sebuah handphone zaman Jepang tanpa kamera 0,001 milipixel pun. Aku menyukai kesederhanaanya itu.

Aku yakin dia sudah melihatku. Aku yakin dia sempat melirik selimut kepalaku dan aku semakin yakin dia akan mendatangiku. Di balik laptop, aku mempersiapkan senyum terbaikku untuknya. Sepuluh meter lagi.... Aku sedang bersiap mengejutkannya dengan tampang paling menjijikan dan suara menggelegar. Tujuh meter... Check sound, semoga suaraku cukup mampu membuat lalat di atasku pingsan. Tiga meter lagi... Aku menundukkan kepalaku lebih dalam untuk mendukung sandiwaraku "berpura-pura tidak melihatnya". Dua detik lagi...aku yakin dia akan berada di depanku sambil tersenyum manis semanis permen starburst.

Waktu terus berjalan. Sepuluh detiik lebih aku menunggunya berdiri di depanku. Namun, hal tersebut tidak terjadi hingga mencapai detik ke sekian puluh sekian. Penasaran. Aku mendongakkan mata dan kulihat dia berbelok arah ke kananku, tanpa menyapaku, tanpa mengubah arah pandangannya dari layar handphone-nya tanpa bunyi satu huruf pun.

Kau tahu??? Bagaimana perasaannya saat kau diperlakukan seperti itu oleh orang yang kau anggap sahabat terbaikmu? Orang yang kamu sayangi dan dibela-bela, dipertahankan kegembiraannya, diusahakan agar tetap tersenyum kepadamu??? Rasanya seperti direbus, lalu disiram air es, dijemur dan digoreng dalam pasir.

Aku masih tidak tahu, mengapa dia melakukan hal itu. Aku tidak ingat sejak kapan dia berlaku seperti itu kepadaku, tapi yang pasti sejak lama. Kalau begitu aku yang terlalu mengharapkannya dan menganggap diriku sahabatnya? Jangan-jangan aku hanya orang biasa baginya? Aku mulai patah hati sejak aku menyadari bahwa dia tidak terlalu peka terhadapku. Sakit hati? Jelas? Parahnya, aku mulai memupuk sebuah kebencian abstrak terhadapnya. Cintaku yang tulus kepadanya perlahan sirna. Namun, jujur, aku masih menyayanginya. Sama sayangnya kepada laptop jadulku yang tidak akan pernah kugantikan sebelum dia wafat permanen.

Aku terpaku, memandang punggungnya yang kecil berlalu melewati koridor tak berdinding. Tidak terasa butir air mataku menetes satu kali lewat sudut mata sebelah kiri. Lalu aku memutuskan untuk menyimpan kembali kejutanku untuknya yang telah aku persiapkan sejak bertahun-tahun lalu. Lama memang. Namun, kejutan itu tak pernah kuberikan karena aku menunggu sampai aku dapat menemuinya dalam kehangatan persahabatan sejati, bukan pertemanan basa-basi.

Bougenvile, kampus FKM UI....

No comments:

Post a Comment