Saturday 6 November 2010

Esai Zaman SMA

Sudah Usang Pejuang Ditelantarkan

Sang bintang tengah beraksi di lapangan hijau dan disaksikan oleh ribuan penonton yang memenuhi tribun dan membuat panas stadion. Mereka menyoraki jagoannya, meneriakkan yel-yel dan/atau mengibarkan bendera dan spanduk yang berisi kata-kata penyemangat bagi sang bintang. Sang bintang pun terpacu adrenalinnya dan makin berhasrat tuk membuktikan yang terbaik. Sebuah gol tercipta lalu penonton bergoyang bahagia. Sang bintang dipuja, didewakan, dielu-elukan dan dirindukan meski hanya foto dan/atau tanda tangannya.

Cerita di atas adalah gambaran para atlet Indonesia di masa kejayaannya.
Lalu, tahukah Anda, di mana dan bagaimana kebanyakan dari mereka hidup dan tinggal setelah pensiun? Mari kita cek lebih jauh.

Prestasi para atlet Indonesia tak bisa dibilang buruk, tapi juga belum bisa dikatakan very fantastic. Meski begitu, mereka telah banyak berprestasi dan mengharumkan nama bangsa lewat kemenangan mereka di berbagai cabang olahraga yang digeluti masing-masing atlet, seperti: badminton, tinju, angkat besi, sepeda dan lain-lain. Sebut saja Taufik Hidayat, Chris John dan Bambang Pamungkas, siapa yang tak tahu mereka? Bahkan beberapa di antaranya sering muncul di iklan televisi. Merekalah bintang olahraga yang masih bersinar dan dikenal masyarakat.

Lalu, bagaimana dengan Rachman Kilikili, Rexy Maenaki, Ferry Moniaga atau Martha Kase? Tahukah Anda siapa mereka? Jika Anda belum pernah mendengar nama-nama beliau, bertanyalah pada orang tua, paman, kakek, tetangga Anda atau orang-orang yang lebih tua dari Anda, siapa mereka. Jujur, saya pun baru saja tahu nama-nama mereka dari internet sebab saya bukan pecinta olahraga selain badminton. Seluruh nama tadi adalah para mantan atlet Indonesia.

Rexy, dulunya adalah pemain badminton yang disegani. Namun, akibat susahnya berkarir di dalam negeri selepas ia pensiun, akhirnya ia hijrah ke Amerika dan menjadi pelatih badminton di sana. Lain halnya dengan mantan pelari asal Kupang, Martha Kase yang menjadi penjual minuman dan pedagang kaki lima di ibukota sejak ia berhenti jadi atlet pada tahun 2000, karena pemerintah mulai menelantarkannya.

Di antara beberapa atlet di atas, yang paling memperihatinkan adalah Rachman, mantan petinju nomor satu, kelas bulu, IBF. Masa Rachman berakhir tepat ketika Chris John muda mulai naik ring dan dikenal orang. Di masa keemasannya, Rachman banyak yang mengagumi dan tak sedikit tawaran pekerjaan yang datang padanya. Kesempatan memperoleh honor besar semudah melemparkan kepalan tinju ke udara bebas. Namun, perlu ditegaskan sekali lagi, itu dulu! Selepasnya menjadi atlet tinju, kehidupannya memburuk. Perusahaan-perusahaan atau semacamnya yang dulu merayu-rayu, kini bahkan tak meliriknya. Dia pun jatuh miskin dan hanya menumpang di rumah kontrakan adiknya. Kesulitan memperoleh kerja dan pendapatan, Rahman alami hingga ujung usianya di pertengahan Februari 2007, ketika ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Tragis memang.

Yeah, kira-kira mirip seperti itulah nasib kebanyakan atlet selepas kejayaannya. Pendapatan mereka tak lagi cukup tuk biayai hidup, hingga lama-lama jatuh miskin bahkan lebih miskin dari saat sebelum menjadi atlet. Hal tersebut dikarenakan mereka tak punya keterampilan lain selain keahlian di bidang olahraga tadi. Sementara itu, saat mereka tak lagi bisa menggantungkan nasib padanya --keahliannya--, mereka menjadi amat kesusahan mencari pekerjaan lain.

Kepedulian pemerintah yang kian luntur terhadap para atlet setelah mereka tak lagi ”berbuah” lebih sering dianggap sebagai penyebab adanya mantan-mantan atlet terlantar. Mereka seakan angkat tangan terhadap nasib mereka di kemudian hari dan tidak lagi memberi asupan dana, pekerjaan atau setidaknya modal usaha bagi mereka. Memang benar pemerintah memberikan semacam bonus bagi pensiunan atlet, tapi jumlahnya kecil dan tak mampu menutupi kebutuhan pokok sekali pun. Pemberian dari pemerintah ini tak sepadan dengan apa yang telah mereka korbankan. Mereka kurang menikmati masa muda, pendidikan, kebebasan dan moment-moment bersama keluarga sejak saat memutuskan menjadi atlet. Itulah sebabnya mereka hanya mempunyai sedikit keterampilan.

Tak hanya pemerintah, masyarakat pun perlahan-lahan mulai lupa kepada atlet yang dulu menjadi favoritnya dan beralih hati pada atlet lain yang lebih muda serta berprestasi. Hal itu sebenarnya wajar, sebab itu adalah sebuah siklus. Tak mungkin seseorang terus-menerus berada di atas, di puncak kejayaan. Namun, setidaknya masyarakat bisa lebih menghargai perjuangan mereka karena mereka juga adalah para pahlawan, pahlawan olahraga, pengangkat nama Indonesia di mata dunia.

Setahu saya, hanya beberapa pensiunan atlet yang masih cukup dikenal, khususnya pada cabang olahraga badminton, seperti Lim Swie King, Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma. Alasannya adalah mereka atlet badminton --yang merupakan olahraga nomor 1 yang membuat nama Indonesia lebih dikenal dunia-- dan sering memenangkan banyak kejuaraan. Namun, tak semua nasib para atlet badminton seberuntung mereka. Mereka yang menduduki ranking dunia tak terlalu tinggi, nasibnya juga tak jauh berbeda dengan Rexy yang akhirnya pindah ke negera lain yang memberi penghidupan lebih menjanjikan. Satu per satu kehilangan mereka tentu sangat merugikan bangsa bukan?

Saya bukanlah orang pertama yang menyampaikan opini semacam ini. Sudah banyak orang yang berbuat sama, tapi mereka tak lain halnya dengan pemerintah. Cuma omong doang dan tak ambil sikap. Lalu bagaimana nasib para atlet, pejuang olahraga, milik bangsa kita? Akankah mereka selalu dibuang setelah menjadi sepah dan tak manis lagi?
********

1 comment: